Daftar Isi
Hai, pernah nggak sih kamu ngerasa terjebak di dalam diri sendiri? Kayak ada bayangan yang terus ngikutin kamu, bikin kamu nggak bisa move on dari masa lalu?
Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu ikut perjalanan seorang cowok yang akhirnya berani buka pintu ke dalam dirinya. Siap-siap deh, karena kita bakal ngelihat cermin yang bukan cuma refleksi, tapi juga sebuah petualangan untuk nemuin diri yang sebenarnya. Yuk, langsung aja kita intip bareng-bareng!
Membuka Pintu Keberanian
Pintu yang Tak Pernah Terbuka
Perpustakaan tua di sudut kota itu selalu jadi tempat pelarianku. Bukan karena aku suka buku, tapi karena tempat itu sunyi. Hampir nggak pernah ada orang yang datang, kecuali sesekali seorang kakek dengan kacamatanya yang tebal, atau anak-anak muda yang datang karena tugas sekolah yang mereka benci. Di sana, aku bisa menyendiri, larut dalam pikiranku yang sering kali terasa lebih ramai daripada dunia nyata.
Sore itu, hujan belum turun, tapi udara sudah terasa dingin. Langit tampak aneh, keunguan, seolah-olah menyimpan rahasia yang tak akan pernah bisa dipecahkan. Aku duduk di pojok, di antara rak-rak kayu yang usianya mungkin lebih tua dari kakek-kakek yang sering datang. Di tanganku, ada buku tebal berjudul “Dimensi di Antara Dua Realitas.” Judul yang cukup aneh untuk buku yang bahkan sampulnya saja sudah mulai robek dan kertasnya menguning.
Aku nggak tahu kenapa buku ini menarik perhatianku. Mungkin karena aku selalu tertarik pada hal-hal yang nggak bisa dijelaskan. Pikiran tentang dunia yang tersembunyi di balik dunia nyata selalu menghantui otakku, seperti teka-teki yang belum punya jawaban. Tapi, saat jariku menyusuri halaman terakhir buku itu, sesuatu terjadi. Sesuatu yang nggak pernah kulihat sebelumnya.
Suara berderit pelan terdengar dari sudut ruangan. Aku menoleh, mencari asal suara itu. Di sana, di antara rak-rak tua, ada pintu kayu yang sedikit terbuka. Pintu itu sudah lama ada di sana, tapi aku nggak pernah benar-benar memperhatikannya. Kayu pintunya penuh debu, engselnya berkarat, dan gagangnya tampak seperti jarang disentuh. Anehnya, meskipun pintu itu sering kulihat, aku nggak ingat kapan terakhir kali pintu itu terbuka.
Aku terdiam beberapa saat, merasa ada sesuatu yang nggak beres. Mungkin cuma angin, pikirku. Tapi angin nggak mungkin membuka pintu seberat itu. Pintu itu… bergerak seakan-akan punya nyawa. Dadaku mulai berdebar aneh, seolah-olah tubuhku tahu sesuatu yang pikiranku belum bisa tangkap.
“Aku harus cek,” gumamku sendiri, walau hati kecilku agak ragu.
Aku bangkit dari kursi dan berjalan mendekati pintu itu, perlahan-lahan. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, seakan-akan ruangan itu semakin sempit. Di hadapanku, pintu tua itu berdiri kokoh, sedikit terbuka, menantangku untuk mendekat. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku nggak tahu apa yang akan kutemukan di baliknya, tapi aku merasa harus tahu.
“Kenapa pintu ini bisa terbuka?” bisikku pada diri sendiri, mencoba mencari jawaban logis di tengah kegelisahanku.
Tangan kananku terulur, menyentuh gagang pintu yang dingin dan berkarat. Saat kulitku bersentuhan dengan logamnya, sensasi aneh mengalir melalui jari-jari, membuat bulu kudukku berdiri. Gagang pintu itu seolah-olah hidup, tapi aku menepis pikiran itu. Ini cuma pintu tua, Eleonora. Aku mencoba meyakinkan diri.
Kupelintir gagang pintu dengan hati-hati, pintu itu terbuka lebih lebar. Di balik pintu, bukan ruangan seperti yang kukira. Yang kulihat adalah lorong panjang yang membentang entah ke mana. Dinding-dindingnya berkilau seperti kaca, tapi bukan sekadar kaca biasa. Setiap langkah yang kuambil menuju lorong itu membuat refleksiku di dinding-dinding kaca bergerak, seolah-olah memantulkan bukan cuma bayanganku, tapi juga pikiranku, mimpi-mimpiku, ketakutan yang kupendam selama ini.
“Kamu masuk atau nggak?” gumamku, menahan diri di ambang pintu. Tapi dalam hati, aku tahu aku nggak punya pilihan. Pintu ini memanggilku. Sejak pertama kali terbuka, pintu ini seolah tahu aku akan mendekat.
Dengan langkah ragu, aku masuk ke dalam lorong itu. Kaki telanjangku menyentuh lantai yang terasa hangat, seperti memijak sinar matahari yang baru saja menembus kaca. Anehnya, meski ruang ini aneh dan asing, aku merasa… aman. Semua kecemasan yang tadi memenuhi pikiranku perlahan hilang, digantikan dengan rasa penasaran yang semakin besar.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar, memecah kesunyian. “Akhirnya kamu datang juga.”
Aku menghentikan langkahku, mataku berusaha mencari sumber suara. Jantungku kembali berdetak cepat. Suara itu familiar, tapi aku nggak bisa mengingat dari mana aku pernah mendengarnya. “Siapa kamu?” tanyaku, suaraku bergetar.
Dari ujung lorong, muncul seorang pria. Sosoknya tegap, langkahnya tenang. Tapi wajahnya… wajahnya seperti aku, hanya saja ada yang berbeda. Pria itu tersenyum padaku, senyuman yang bikin aku merasa gelisah tapi sekaligus nyaman.
“Kamu tahu siapa aku,” katanya, suaranya lembut tapi tegas.
“Aku nggak ngerti,” jawabku, kepalaku penuh pertanyaan. “Kenapa aku di sini? Siapa kamu?”
Pria itu berhenti beberapa meter dariku. “Aku adalah bagian dari dirimu. Bagian yang kamu sembunyikan, yang kamu nggak pernah mau lihat.”
“Bagian dari diriku?” Aku melangkah mundur, menatap pria itu dengan penuh kebingungan. “Maksud kamu apa? Kamu nggak mungkin…”
“Kamu hidup di antara dua dunia, Eleonora. Dunia nyata dan dunia di kepalamu,” pria itu menjelaskan, matanya menatapku dalam-dalam. “Dan sekarang, kamu harus memilih. Apakah kamu mau tetap terjebak di antara dua dunia itu, atau melangkah ke dalam dirimu yang sebenarnya?”
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Dunia nyata dan dunia di kepalaku? Aku nggak mengerti. Tapi saat melihat ke dinding-dinding kaca di sekitar kami, aku mulai paham. Refleksi yang kulihat bukan hanya sekadar pantulan wajahku, tapi juga perasaan, kenangan, dan mimpi-mimpi yang terkubur dalam benakku.
“Kamu harus memilih, Eleonora,” ulang pria itu.
“Apa yang harus kupilih?” tanyaku, merasa semakin bingung. “Ini nggak masuk akal.”
Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Setiap orang punya pintunya sendiri. Tapi hanya sedikit yang menemukannya. Kamu termasuk yang beruntung. Sekarang, pertanyaannya adalah, apakah kamu siap untuk membuka pintu yang sesungguhnya?”
Kata-kata pria itu terasa seperti teka-teki yang nggak punya jawaban langsung. Aku menatapnya, lalu menatap ke belakangku, ke arah pintu perpustakaan yang mulai tampak jauh, hampir tak terlihat lagi.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Aku nggak tahu apa yang akan kutemukan di sini,” kataku pelan. “Tapi aku rasa aku sudah terlalu jauh untuk mundur.”
Pria itu tersenyum lagi, kali ini dengan tatapan penuh persetujuan. “Kamu sudah tahu jawabannya, Eleonora. Sekarang, ikuti instingmu.”
Aku melangkah lebih dalam ke lorong itu, meninggalkan perpustakaan di belakangku. Pintu sudah tertutup, dan aku tahu ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah kubayangkan.
Lorong Tanpa Batas
Langkahku semakin mantap, menyusuri lorong yang seakan tak berujung. Dinding kaca di sekitarku terus memantulkan bayanganku, tapi makin lama makin terasa aneh. Refleksiku nggak lagi mengikuti setiap gerakanku. Mereka mulai bertingkah sendiri, seakan-akan mereka hidup di dunianya sendiri. Meskipun ruang ini terbungkus keheningan yang aneh, hatiku berdebar kencang. Suasana di sini nggak sekadar misterius—terasa seperti sedang menunggu sesuatu yang besar untuk terjadi.
Aku nggak bisa mundur sekarang. Pintu perpustakaan sudah tertutup rapat di belakangku. Tapi anehnya, aku nggak merasa takut. Seolah-olah aku memang seharusnya berada di sini, di tengah ruang asing yang hanya aku yang bisa memahaminya. Pria yang mirip denganku tadi—siapa dia sebenarnya? Bagian dari diriku, katanya. Tapi yang mana?
Lorong ini nggak lagi terasa biasa. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti membawa aku lebih dalam ke dalam diriku sendiri, ke bagian yang belum pernah kusentuh sebelumnya. Refleksi di dinding mulai berubah lagi. Kali ini, aku melihat bayangan yang lebih jelas—potongan-potongan kenangan yang terlupakan. Sebuah ruangan di rumah lamaku. Senyuman samar yang pernah kulupakan. Suara tawa yang terdengar jauh di telinga.
Langkahku terhenti saat sebuah pemandangan di dinding menarik perhatianku. Di sana, terpampang sebuah memori yang seakan berputar seperti film lama. Aku melihat diriku—versi yang lebih muda, mungkin sekitar usia sepuluh tahun. Rambutku tergerai, wajahku polos tanpa ekspresi. Di sebelahku, ada seorang anak laki-laki—mungkin teman masa kecil yang sudah lama terlupakan. Kami berdua tertawa sambil bermain di taman belakang rumahku. Aku tahu ini sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi bayangan itu terlihat begitu hidup di hadapanku.
“Aku ingat ini,” gumamku pelan, tanpa sadar.
Tiba-tiba, bayangan itu menghilang, berubah menjadi bayangan diriku yang lebih dewasa—aku yang sekarang. Tapi yang aneh, di sebelahku ada pria yang tadi kutemui di lorong. Wajahnya sama persis denganku, hanya saja matanya lebih gelap, lebih dalam. Dia berdiri di sampingku, melihatku dengan tatapan yang tajam.
“Kamu mau tahu siapa aku sebenarnya?” tiba-tiba suara pria itu terdengar lagi, lebih dekat kali ini.
Aku berbalik dan menemukan sosoknya berdiri di sana. Dia muncul entah dari mana, seolah-olah terlahir dari dinding kaca itu sendiri. Aku menatapnya, bingung sekaligus penasaran.
“Kamu,” jawabku singkat. “Kamu bagian dari diriku, kan?”
Dia tersenyum samar. “Ya, tapi aku bukan sekadar bagian dari dirimu. Aku adalah cerminan dari semua yang kamu sembunyikan. Semua pikiran yang kamu buang jauh-jauh. Aku adalah dirimu yang tak pernah kamu sadari.”
Aku mundur selangkah. Suaranya bukan lagi suara lembut yang tadi kudengar di lorong sebelumnya. Kali ini, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat, dan… lebih gelap.
“Jadi, apa tujuan semua ini? Kenapa aku ada di sini?” tanyaku, berusaha memecahkan kebingungan yang semakin dalam.
Dia menatapku tanpa menjawab langsung, seakan berpikir sejenak sebelum bicara. “Selama ini, kamu hidup di dunia yang kamu rasa aman. Kamu selalu mencari kenyamanan di balik kebiasaan, di balik rutinitas. Tapi, kenyamanan itu cuma ilusi. Ada lebih banyak hal dalam dirimu yang belum kamu temukan. Dan untuk menemukannya, kamu harus keluar dari batas yang selama ini kamu buat sendiri.”
Aku diam. Kata-katanya menyusup dalam pikiranku, mengguncangku. Selama ini, aku memang selalu merasa nyaman di perpustakaan tua itu, tapi sekarang aku merasa dipaksa keluar dari zona nyamanku—dan aku belum yakin apakah aku siap.
“Kamu harus memilih,” pria itu melanjutkan, menatapku tajam. “Kamu bisa terus hidup di balik pintu yang tertutup, menghindari semua yang kamu takuti. Atau, kamu bisa membuka pintu yang selama ini kamu abaikan dan menemukan kebenaran tentang dirimu.”
“Pintu? Maksud kamu apa?” tanyaku, sedikit kesal dengan caranya bicara yang selalu penuh teka-teki.
Dia hanya tersenyum, menatap lurus ke arah lorong di belakangku. Aku mengikuti arah pandangannya dan melihat sesuatu yang baru saja muncul—sebuah pintu lain, lebih besar, terbuat dari kayu tua, dengan ukiran rumit yang tampak kuno. Di pintu itu, ada simbol-simbol aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya. Pintu itu seolah-olah memanggilku, sama seperti pintu pertama di perpustakaan.
“Apakah kamu siap?” tanya pria itu lagi, kali ini suaranya terdengar seperti gema dalam pikiranku.
Aku berjalan mendekat, memandangi pintu itu dengan perasaan campur aduk. Ada dorongan kuat di dalam diriku untuk membuka pintu itu, untuk melangkah lebih jauh ke dalam dunia ini, tapi di sisi lain, aku juga merasa ada sesuatu yang berbahaya di baliknya.
“Jika aku masuk,” kataku pelan, “apa yang akan terjadi?”
Dia menggeleng pelan. “Aku nggak bisa memberitahumu. Setiap orang punya perjalanannya sendiri. Tapi satu hal yang pasti, begitu kamu melewati pintu ini, nggak ada jalan untuk kembali. Kamu akan menghadapi dirimu yang sebenarnya, tanpa topeng, tanpa pelarian.”
Aku menatap pintu itu lama, berpikir. Di satu sisi, aku ingin tahu apa yang ada di baliknya. Di sisi lain, aku nggak yakin apakah aku siap menghadapi apa yang akan kutemukan. Tapi pria itu benar—aku sudah terlalu jauh. Mundur sekarang hanya akan membuatku terjebak di antara dua dunia, tanpa arah.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku meletakkan tanganku di gagang pintu. Gagang itu terasa dingin, hampir seperti menggenggam es. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku, lalu memutar gagang itu perlahan.
Saat pintu terbuka, angin dingin berhembus keluar dari dalamnya. Di balik pintu, ada kegelapan pekat yang nggak bisa kuterka. Tapi anehnya, kegelapan itu nggak membuatku takut. Malah, aku merasa ditarik untuk masuk lebih dalam.
“Aku siap,” bisikku pada diriku sendiri.
Dengan langkah mantap, aku melangkah ke dalam kegelapan. Di saat pintu menutup di belakangku, aku tahu ini adalah titik tanpa kembali. Aku telah memulai perjalanan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar lorong tanpa batas atau pantulan cermin yang aneh.
Dan di sinilah aku—berada di antara dua dunia, di mana batas antara kenyataan dan imajinasi mulai mengabur, siap untuk menemukan kebenaran tentang diriku sendiri.
Bayang-Bayang yang Menyusup
Kegelapan di balik pintu itu tidak seperti yang kubayangkan. Ini bukan sekadar ruang kosong tanpa cahaya, tapi lebih seperti lautan yang dalam—tebal, pekat, dan terasa hidup. Di dalamnya, setiap langkah yang kuambil terasa seperti berjalan di dalam air yang berat. Nafasku terhenti sejenak ketika aku merasakan sesuatu yang aneh—seperti ada mata yang mengawasi, menelusuri setiap gerakanku.
Samar-samar, cahaya mulai muncul di sekitarku, berpendar redup dari dasar entah apa. Aku melihat sekeliling, mencari sumber cahaya, tapi yang kulihat hanya kabut abu-abu pekat yang perlahan merangsek ke arahku.
“Aku nggak sendiri di sini,” gumamku, mencoba meyakinkan diriku. Aku tahu pria itu masih ada di suatu tempat, mungkin bersembunyi di bayang-bayang, menunggu sesuatu.
Tiba-tiba, sebuah suara muncul dari balik kabut. Suara langkah kaki, cepat dan bertenaga. Aku menegakkan tubuh, bersiap menghadapi apapun yang mendekat. Kabut itu semakin pekat, melingkupiku, membuat pandanganku terbatas hanya beberapa langkah ke depan. Lalu, sosok itu muncul. Sekilas, dia tampak seperti manusia, tapi langkahnya aneh, tidak alami.
“Siapa kamu?” teriakku, berusaha menembus kepulan kabut yang semakin tebal.
Sosok itu tidak menjawab. Dia mendekat, dan aku bisa melihatnya lebih jelas—wajahnya… wajahku. Sama seperti pria yang kutemui di lorong, hanya saja sosok ini lebih kasar, lebih liar, dan penuh kemarahan. Matanya merah menyala, menatapku dengan kebencian yang tak bisa kupahami.
“Kamu,” katanya, dengan suara yang sama persis denganku. “Kamu lari dari ini.”
Aku mundur setengah langkah, tapi rasa takut mulai menyeruak dari dalam diriku. “Aku nggak lari. Aku di sini, kan?” jawabku, mencoba terdengar tenang meskipun dadaku berdebar kencang.
Sosok itu tertawa dingin. “Kamu nggak bisa lari dari bayanganmu sendiri.”
Dia mendekat lebih cepat dari yang kuduga, dan dalam sekejap, tangannya sudah mencengkeram kerah bajuku. Cengkramannya dingin, menusuk kulitku. Aku mencoba melawan, tapi tubuhnya jauh lebih kuat daripada milikku. Dia menarikku lebih dekat, memaksa wajahku menatap langsung ke matanya yang menyala penuh amarah.
“Kamu takut. Kamu selalu takut,” desisnya. “Semua ini adalah bagian dari dirimu—bagian yang selalu kamu abaikan, bagian yang selalu kamu tolak.”
Aku meronta, tapi cengkeramannya semakin kuat. Setiap kata yang dia ucapkan terasa seperti racun yang meresap ke dalam pikiranku. Sebagian dari diriku tahu dia benar—aku memang sering lari, sering menghindari hal-hal yang nggak ingin kuhadapi. Tapi kenapa harus seperti ini?
“Aku nggak takut sama kamu,” desisku, meskipun suaraku sedikit bergetar.
Dia tertawa lagi, kali ini lebih keras, lebih menakutkan. “Kamu harus takut. Karena akulah yang selama ini kamu abaikan. Akulah sisi gelapmu, bagian yang kamu sembunyikan dari semua orang, bahkan dari dirimu sendiri.”
Tanpa pikir panjang, aku menghentakkan tubuhku, melepaskan diri dari cengkeramannya. Tubuhku terhempas ke belakang, tapi aku cepat-cepat berdiri, menyiapkan diri untuk apa pun yang akan datang selanjutnya. Bayangan itu menatapku dengan senyum sinis, matanya tetap menyala di tengah kabut yang semakin pekat.
“Kamu nggak bisa lari dari dirimu sendiri,” katanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi lebih menusuk.
Aku nggak menjawab. Sebaliknya, aku melihat sekeliling, mencari jalan keluar dari kegelapan ini. Di kejauhan, aku melihat kilatan cahaya lain—lebih terang, lebih jernih daripada sebelumnya. Itu mungkin satu-satunya harapanku. Tanpa berpikir panjang, aku berlari ke arah cahaya itu.
Kabut semakin padat, menghalangi setiap langkahku. Suara langkah bayangan itu mengejarku dari belakang, semakin cepat, semakin dekat. Aku bisa merasakan kehadirannya di belakangku, hampir menyusul. Nafasku memburu, kakiku terasa berat seolah ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Tapi aku terus berlari.
“Aku nggak bisa menyerah sekarang,” pikirku, menggigit bibir untuk menahan rasa panik yang mulai merayap ke seluruh tubuhku.
Cahaya itu semakin dekat. Aku bisa merasakannya—sesuatu di balik cahaya itu memanggilku, menawarkan pelarian dari kegelapan ini. Tapi suara langkah di belakangku juga semakin mendekat. Suara napas berat dan kasar terdengar jelas di telingaku. Aku nggak akan punya waktu jika terus seperti ini.
Ketika aku hampir mencapai cahaya itu, sebuah tangan dingin mencengkeram bahuku, menarikku mundur dengan keras. Aku terjatuh ke tanah, terseret ke dalam kabut lagi. Sekilas, aku melihat sosok bayangan itu berdiri di atasku, menatapku dengan penuh amarah.
“Kamu nggak akan pernah bisa melarikan diri dariku,” katanya dengan suara rendah yang terdengar seperti gema di kepalaku.
Aku mencoba meronta, tapi tubuhku terasa lumpuh, berat. Bayangan itu membungkuk, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku.
“Aku adalah kamu. Kamu bisa terus berlari, tapi aku akan selalu ada, mengintaimu di setiap langkahmu.”
Aku memejamkan mata, merasakan cengkeramannya semakin kuat. Namun, tepat ketika aku merasa tidak ada lagi harapan, cahaya yang tadi kulihat meledak dengan kekuatan yang dahsyat. Kilatan terang memenuhi seluruh ruangan, menenggelamkan bayangan itu dalam sinar yang menyilaukan.
Aku membuka mataku perlahan. Kegelapan dan kabut telah hilang. Aku terbaring di sebuah tempat yang sangat berbeda—sebuah ruangan besar dengan dinding-dinding berlapis kaca, tapi kali ini penuh dengan pemandangan alam yang menakjubkan di luar sana. Langit biru, pegunungan hijau, dan sungai yang mengalir deras terlihat jelas dari balik kaca.
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diriku. Aku tahu ini belum berakhir, tapi untuk sementara, aku telah melarikan diri dari bayangan itu. Tapi pertanyaannya, sampai kapan?
Saat aku berdiri dan mengamati ruangan ini, sebuah suara yang tak asing terdengar dari belakangku.
“Selamat datang di tahap berikutnya, Tobi.”
Aku berbalik dan melihat sosok pria yang tadi—pria yang mirip denganku, tapi kali ini dia terlihat berbeda. Dia tidak lagi tampak menakutkan atau penuh teka-teki. Matanya tenang, tatapannya hangat.
“Kamu sudah mulai memahami, kan?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut.
Aku mengangguk pelan, meskipun masih banyak yang belum kupahami sepenuhnya.
“Perjalanan ini belum selesai,” lanjutnya. “Masih banyak yang harus kamu temukan. Dan kebenaran itu… akan semakin sulit dihadapi. Tapi kamu nggak sendirian.”
Aku menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih tenang. Apa pun yang terjadi selanjutnya, aku tahu satu hal—ini bukan tentang lari atau menghindar lagi. Ini tentang menghadapi bayangan yang selama ini kuabaikan.
Dan aku siap.
Cermin yang Retak
Langit biru yang kulihat di balik kaca seolah menenangkanku, tapi aku tahu betul bahwa kedamaian ini bersifat sementara. Aku berdiri di ruangan besar yang kini lebih terasa seperti kandang kaca. Semua terlihat jelas di luar, tapi aku terperangkap di dalam.
Pria itu—diriku, bayanganku, atau apapun dia sebenarnya—masih berdiri di belakangku. Aku tidak lagi merasa takut atau terancam olehnya. Namun, rasa penasaran yang membara di dalam diriku membuatku terus bertanya-tanya. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
“Kamu siap melangkah ke tahap berikutnya?” Suara pria itu kini terdengar lebih bersahabat.
Aku mengangguk pelan. “Apa sebenarnya yang ingin kamu tunjukkan padaku?”
Dia menghela napas panjang. “Ini bukan tentang apa yang ingin kutunjukkan, tapi tentang apa yang harus kamu temukan sendiri. Kamu ingat, kan, semua perasaan yang kamu coba lupakan selama ini? Semua luka yang kamu biarkan mengering tanpa benar-benar diobati?”
Aku terdiam sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. Ya, aku tahu apa yang dia maksud. Ada bagian dari hidupku yang selalu kuhindari—masa lalu, kesalahan, penyesalan, semuanya terpendam dalam bayang-bayang di benakku.
“Kamu nggak bisa sembunyi lagi,” lanjutnya. “Lihat dirimu sendiri, Tobi. Benar-benar lihat.”
Tiba-tiba, dinding kaca di depanku mulai berubah. Bukan lagi pemandangan alam yang indah yang terlihat, melainkan sebuah cermin besar, memantulkan diriku kembali. Aku menatap ke dalam cermin itu dan melihat… diriku yang berbeda. Lebih tua, lelah, dan penuh luka. Luka-luka yang tidak tampak dari luar, tapi terasa jelas di dalam.
“Aku sudah melewati ini semua,” kataku, suaraku bergetar. “Aku sudah mencoba berdamai dengan semua ini.”
“Tapi kamu belum selesai,” jawabnya dengan tenang. “Semua yang kamu alami, semua rasa takut, rasa sakit, mereka masih ada di sini, terkunci di dalam dirimu. Dan sampai kamu benar-benar menghadapinya, kamu nggak akan pernah bebas.”
Cermin di depanku mulai retak, sedikit demi sedikit, mengeluarkan suara pelan yang semakin keras. Setiap retakan yang muncul terasa seperti tamparan, seperti membuka luka lama yang selama ini kuabaikan. Retakan itu merambat cepat, menggores permukaan cermin dengan pola yang acak tapi terasa sangat terarah—seolah mencerminkan setiap kesalahan, setiap penyesalan yang pernah kulakukan.
“Tidak ada yang sempurna, Tobi. Bahkan dirimu yang ada di sini, sekarang,” dia berkata sambil menunjuk ke arah cermin. “Kamu terus-menerus mencoba menjadi sesuatu yang kamu pikir orang lain inginkan. Kamu berusaha menyembunyikan kelemahanmu, menutupinya dengan keangkuhan, atau malah dengan diam.”
Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa amarah dan kecewa yang muncul kembali. “Lalu apa yang kamu mau aku lakukan? Hancurkan diriku sendiri? Terima semua rasa sakit itu?”
Pria itu tersenyum kecil, samar, penuh arti. “Bukan menghancurkan. Tapi menerima. Kamu perlu belajar memeluk bayanganmu, bukan terus berlari.”
Retakan pada cermin semakin besar. Hingga akhirnya, cermin itu pecah sepenuhnya. Pecahan kaca beterbangan, tapi tidak melukai. Sebaliknya, setiap pecahan yang jatuh ke lantai menguap menjadi kabut putih yang tenang, meninggalkan keheningan yang mendalam.
Aku menghela napas panjang. Ada rasa lega yang aneh, seperti beban yang lama kurasakan mulai berkurang. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar terbuka, tanpa lapisan pertahanan atau topeng. Namun, masih ada sesuatu yang tertinggal, sesuatu yang harus aku akui.
“Aku takut,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri daripada kepada pria itu.
Dia menatapku, lalu mengangguk pelan. “Dan itu tidak apa-apa. Takut bukan kelemahan, Tobi. Itu bagian dari dirimu.”
Dengan satu gerakan tangan, dia menunjukkan ke arah pintu lain di ujung ruangan. Pintu itu terlihat berbeda dari yang sebelumnya—lebih sederhana, tapi mengundang. Ada sesuatu yang menungguku di balik pintu itu, aku bisa merasakannya. Bukan lagi kegelapan, tapi sebuah jawaban.
“Ini pintu terakhir,” kata pria itu. “Di balik sana, kamu akan menemukan apa yang selama ini kamu cari. Tapi ingat, hanya kamu yang bisa membuka pintu ini.”
Aku berjalan perlahan menuju pintu, perasaan campur aduk antara ketakutan dan harapan. Ketika tanganku menyentuh gagang pintu, aku berhenti sejenak, mengambil napas panjang. Apa pun yang ada di balik sana, aku harus siap menerimanya.
Aku memutar gagang pintu, dan pintu itu terbuka dengan mudah. Di baliknya, aku melihat sebuah ruangan yang tampak sangat familiar. Ruangan kecil dengan meja kayu tua dan jendela yang terbuka. Udara sejuk masuk dari luar, membawa aroma rerumputan basah. Ini… ini kamarku. Tempat yang sudah lama kutinggalkan, tempat di mana semuanya dimulai.
Aku melangkah masuk, dan di sana, di depan meja, duduk seorang anak kecil. Anak itu menatapku dengan mata yang besar dan penuh keingintahuan. Rambutnya acak-acakan, wajahnya polos, dan di tangannya ada buku gambar yang penuh dengan coretan tak beraturan.
Anak itu… adalah aku.
“Ini yang kamu cari,” suara pria itu terdengar lagi, kini dari belakangku. “Dirimu yang sebenarnya. Sebelum semua rasa takut, semua ekspektasi dan tekanan datang. Sebelum kamu merasa harus menjadi sesuatu yang lain.”
Anak kecil itu menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat diriku yang sesungguhnya—bukan bayangan, bukan cermin yang retak. Hanya aku, tanpa beban, tanpa rasa takut yang selama ini menghantuiku.
Aku berjongkok di hadapannya, melihat ke dalam matanya yang jernih dan polos. Ada rasa damai yang perlahan meresap, seperti menemukan potongan terakhir dari puzzle yang hilang.
“Aku akan mencoba,” bisikku kepada diriku sendiri, kepada anak kecil itu. “Aku akan berhenti lari.”
Anak itu tersenyum, lalu perlahan, ruangan di sekitarku mulai memudar, seperti kabut pagi yang perlahan menghilang diterpa sinar matahari. Aku tahu, ketika aku membuka mata nanti, dunia di luar akan tetap sama. Tapi aku sendiri yang telah berubah—sedikit lebih kuat, sedikit lebih berani, dan sedikit lebih utuh.
Dan untuk pertama kalinya, aku siap menghadapi dunia yang sebenarnya.
Jadi, kalian, udah siap buat hadapin bayangan-bayangan di dalam diri kamu? Ingat, perjalanan menemukan diri itu nggak selalu mudah, tapi kadang kita perlu ngelewatin jalan berliku buat nyampe ke tujuan.
Yang penting, jangan pernah takut buat membuka pintu-pintu itu. Siapa tahu, di balik sana ada keajaiban yang siap nungguin kamu. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan semoga kamu juga bisa menemukan keberanian dalam diri kamu sendiri!