Daftar Isi
Menemukan makna dalam kesedihan, Melodi Senja di Atas Bukit: Kisah Perjalanan yang Mengubah Hidupku membawa Anda dalam perjalanan hati Dara, seorang mahasiswi yang berusaha menepati janji kepada adiknya yang telah tiada di Bukit Menoreh, Yogyakarta. Dengan narasi yang penuh emosi, keindahan alam, dan refleksi mendalam, cerita ini tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menginspirasi untuk menghadapi kehilangan dengan cinta. Siapkah Anda menyelami kisah menyentuh ini?
Melodi Senja di Atas Bukit
Awal dari Perpisahan
Hari itu, langit Yogyakarta terlihat lebih kelabu dari biasanya. Awan tebal bergelung di cakrawala, seperti kanvas yang dilukis dengan tinta abu-abu, seolah-olah alam tahu apa yang akan terjadi. Aku berdiri di teras rumah kecil kami di daerah Kaliurang, menatap bukit-bukit hijau di kejauhan yang dulu sering kukunjungi bersama adikku, Raka. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan daun pinus, tetapi udara itu terasa berat di dadaku. Di tanganku, aku memegang sebuah kotak musik tua berukir bunga matahari, peninggalan Raka, yang dentingannya lembut selalu membuatku teringat pada senyumnya.
Raka pergi tiga bulan lalu, di usia 15 tahun, setelah berjuang melawan leukemia selama dua tahun. Aku masih ingat malam terakhirnya di rumah sakit, ketika ia memegang tanganku dengan tangan kecilnya yang dingin, matanya yang cokelat lembut memandangku penuh harap. “Kak, janji ya, suatu hari kita ke Bukit Menoreh bareng. Aku mau dengar kotak musik ini di sana, pas matahari terbenam,” katanya, suaranya parau tapi penuh semangat. Aku mengangguk, menahan air mata, meskipun aku tahu waktu itu bahwa ia mungkin tidak akan pernah melihat senja itu. Malam itu, ia tertidur untuk selamanya, meninggalkanku dengan janji yang belum kutepati dan rasa bersalah yang terus menggerogoti.
Sejak kepergiannya, aku seperti kehilangan arah. Namaku Dara, 22 tahun, seorang mahasiswa seni musik di salah satu universitas di Yogyakarta. Dulu, aku dan Raka sering bermain musik bersama—aku dengan biolaku, dan ia dengan kotak musiknya yang kecil. Ia selalu bilang bahwa nada-nada itu seperti cerita yang tak pernah selesai, dan ia ingin mendengar “cerita terakhir” di Bukit Menoreh, tempat yang konon memiliki pemandangan senja paling indah di Yogyakarta. Tapi setelah ia pergi, aku berhenti bermain musik. Biola yang dulu menjadi bagian dari jiwaku kini hanya teronggok di sudut kamar, berdebu, seperti hatiku yang tak lagi utuh.
Hari itu, 21 Mei 2025, aku memutuskan untuk pergi ke Bukit Menoreh. Bukan karena aku siap, tetapi karena aku merasa tidak bisa terus melarikan diri dari janji itu. Aku mengenakan jaket cokelat tua yang sedikit kebesaran—jaket favorit Raka yang ia pakai saat kami terakhir pergi ke pasar malam setahun lalu. Di dalam tas ranselku, aku membawa kotak musiknya, sebuah botol air, dan buku catatan kecil tempat Raka pernah menulis daftar “hal-hal yang ingin kulakukan sebelum 20 tahun.” Nomor satu di daftar itu adalah: Dengar melodi senja di Bukit Menoreh bareng Kak Dara.
Perjalanan menuju Bukit Menoreh tidak mudah. Aku naik angkutan umum dari Kaliurang menuju daerah Magelang, lalu melanjutkan dengan ojek menuju kaki bukit. Sepanjang perjalanan, pemandangan berubah dari hiruk-pikuk kota menjadi hamparan sawah dan perbukitan yang hijau. Tapi keindahan itu tidak mampu menghapus rasa hampa di hatiku. Setiap kali angin berhembus, aku seperti mendengar suara Raka memanggilku, “Kak, cepetan, kita ketinggalan senja nanti!” Aku tersenyum tipis, tapi senyum itu cepat memudar, digantikan oleh rasa sakit yang familiar.
Sampai di kaki Bukit Menoreh, aku mulai mendaki. Jalur pendakiannya tidak terlalu curam, tetapi akar-akar pohon dan bebatuan membuatku harus berhati-hati. Aku bukan pendaki berpengalaman, dan sepatu sneakynku yang sudah usang tidak membantu. Di tengah jalan, aku berhenti untuk mengatur napas, duduk di sebuah batu besar di bawah pohon mahoni yang rindang. Aku mengeluarkan kotak musik Raka dari tas, memutar tuasnya perlahan. Dentingan lembut terdengar, memainkan melodi sederhana yang dulu selalu membuat Raka tersenyum. Nada-nada itu terasa seperti bisikan, mengingatkanku pada malam-malam ketika kami duduk di teras, menghitung bintang sambil mendengarkan kotak musik ini.
“Raka, aku di sini sekarang,” gumamku, suaraku bergetar. Aku menatap ke arah puncak bukit, yang masih terhalang oleh pepohonan. Matahari sudah mulai condong ke barat, sinarnya menyelinap melalui celah-celah daun, menciptakan pola cahaya keemasan di tanah. Aku tahu aku harus segera sampai ke puncak jika ingin menepati janji Raka—melihat senja sambil mendengarkan melodi kotak musik ini. Tapi setiap langkah terasa berat, bukan karena jalur pendakian, melainkan karena beban di hatiku. Aku takut. Takut bahwa ketika aku sampai di sana, Raka tidak akan benar-benar ada, dan aku harus menghadapi kenyataan bahwa ia benar-benar pergi.
Aku bangkit, menyeka air mata yang tanpa sadar mengalir di pipiku. “Aku harus melakukannya untukmu, Ka,” kataku pada diri sendiri, menggenggam kotak musik itu erat-erat. Aku melanjutkan pendakian, langkahku lebih cepat meskipun kakiku mulai terasa pegal. Di kejauhan, aku mendengar suara burung-burung yang mulai bernyanyi, seperti menyambut senja yang akan tiba. Aku tidak tahu apa yang menantiku di puncak Bukit Menoreh, tetapi aku tahu satu hal: aku harus sampai di sana, untuk Raka, untuk janji kami, dan mungkin, untuk menemukan kembali diriku sendiri.
Bayang-Bayang di Jalur Pendakian
Langit di atas Bukit Menoreh mulai berubah warna, dari abu-abu kelam menjadi semburat jingga yang hangat, tanda matahari semakin mendekati ufuk. Aku, Dara, masih melanjutkan pendakian dengan langkah yang mulai terasa berat. Keringat menetes di dahi, bercampur dengan debu tanah yang menempel di pipiku. Sepatu sneakanku yang sudah usang sering tergelincir di atas akar-akar pohon yang menjalar di jalur pendakian, membuatku harus berhenti beberapa kali untuk menjaga keseimbangan. Aku membawa tas ransel kecil di punggung, yang di dalamnya tersimpan kotak musik Raka, botol air yang tinggal separuh, dan buku catatan kecil miliknya. Setiap langkah terasa seperti perjuangan, bukan hanya melawan jalur yang licin, tetapi juga melawan beban kenangan yang terus menekan hatiku.
Udara di bukit ini terasa segar, dengan aroma pinus dan tanah basah yang bercampur dengan bau samar bunga liar yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Angin bertiup lembut, membawa suara dedaunan yang bergoyang seperti bisikan alam, seolah-olah menyemangatiku untuk terus melangkah. Di tengah perjalanan, aku melewati sebuah aliran sungai kecil yang airnya jernih, mengalir perlahan di antara bebatuan. Aku berhenti sejenak, berjongkok di tepi sungai untuk mencuci muka. Airnya dingin, menyegarkan kulitku yang panas karena perjalanan, tetapi juga membawa kenangan yang tak kuinginkan.
Aku teringat suatu sore, sekitar dua tahun lalu, ketika aku dan Raka pergi ke Kaliurang untuk piknik kecil. Kami bermain di sungai kecil seperti ini, tertawa sambil menyiramkan air ke satu sama lain. Raka, dengan jaket cokelat tuanya yang kebesaran, berlari di tepi sungai sambil memutar kotak musiknya. Melodi lembut itu bercampur dengan tawa kami, menciptakan harmoni yang sederhana namun penuh kebahagiaan. “Kak, sungai ini kayak musik, loh! Dengar, gemericiknya kayak irama,” katanya waktu itu, matanya berbinar penuh semangat. Aku hanya tersenyum, mengangguk, tanpa tahu bahwa momen itu akan menjadi salah satu kenangan terakhir kami bersama sebelum ia didiagnosis leukemia.
Aku menghela napas panjang, menyeka air dari wajahku, dan bangkit berdiri. Aku tidak boleh terjebak dalam kenangan sekarang. Aku harus sampai ke puncak sebelum matahari benar-benar terbenam. Aku melirik jam tanganku—pukul 17:15 WIB, 21 Mei 2025. Waktu semakin sempit, dan aku tahu Bukit Menoreh terkenal dengan senjanya yang singkat namun memukau. Aku melanjutkan pendakian, kali ini dengan langkah yang lebih cepat, meskipun kakiku mulai terasa pegal dan napasku tersengal.
Jalur pendakian mulai menanjak lebih curam, dan vegetasinya semakin jarang. Pepohonan pinus yang tinggi digantikan oleh semak-semak pendiam dan rerumputan liar yang bergoyang ditiup angin. Di satu titik, aku melihat sebuah papan kayu tua yang dipaku di batang pohon, dengan tulisan tangan yang sudah memudar: “Puncak Menoreh – 300m.” Jantungku berdegup kencang. Aku sudah dekat. Tapi di saat yang sama, rasa takut yang selama ini kutahan mulai merayap ke permukaan. Bagaimana jika aku sampai di puncak, tetapi tidak merasakan apa-apa? Bagaimana jika Raka tidak “ada” di sana, seperti yang kuharapkan dalam imajinasiku?
Di tengah langkahku, aku tiba-tiba mendengar suara langkah kaki di belakangku. Aku menoleh cepat, tanganku otomatis meraih tas ransel untuk melindungi diri. Di bukit yang sepi ini, suara langkah kaki terasa asing dan mengganggu. Dari balik semak, seorang pria tua muncul, membawa tongkat kayu sederhana untuk membantu langkahnya. Rambutnya sudah memutih, wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya yang cokelat tua memancarkan kehangatan. Ia mengenakan kemeja flanel yang sudah usang dan topi jerami yang sedikit miring di kepalanya.
“Maaf kalau mengagetkan, Neng,” katanya, suaranya lembut tapi serak, khas suara orang tua yang sudah banyak melihat dunia. “Aku Pak Sarto, orang sini. Sering ke bukit ini buat cari ketenangan. Neng mau ke puncak, ya? Sendirian?”
Aku mengangguk hati-hati, masih sedikit waspada. “Iya, Pak. Saya mau ke puncak… ada janji yang harus saya tepati,” jawabku, suaraku pelan. Aku tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Pak Sarto yang membuatku merasa aman, seperti ia bisa memahami apa yang kurasakan tanpa perlu banyak kata.
Pak Sarto tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. “Janji itu pasti penting, ya. Aku juga dulu punya janji sama istriku di puncak ini. Tapi dia sudah pergi duluan, lima tahun lalu,” katanya, nadanya penuh nostalgia. Ia menatap ke arah puncak bukit, matanya seolah melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat. “Senja di sana indah sekali, Neng. Tapi kadang, yang bikin indah itu bukan cuma pemandangannya, tapi apa yang kita bawa di hati.”
Kata-kata Pak Sarto mengena di hatiku. Aku tiba-tiba merasa air mata menumpuk di sudut mataku, tapi aku menahannya. “Saya… saya mau ke sana untuk adik saya, Pak. Dia sudah tidak ada. Ini janjinya,” kataku, suaraku bergetar. Aku mengeluarkan kotak musik Raka dari tas, menunjukkannya pada Pak Sarto. “Dia suka melodi ini. Dia bilang dia mau dengar ini di puncak, pas senja.”
Pak Sarto menatap kotak musik itu lama, lalu mengangguk perlahan. “Adikmu pasti orang yang istimewa, Neng. Ayo, kita ke puncak bareng. Biar aku temani, jalurnya licin kalau sudah dekat puncak,” tawarnya, tersenyum hangat. Aku ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Ada sesuatu dalam kehadiran Pak Sarto yang membuatku merasa tidak terlalu sendiri, seperti ia adalah bagian dari perjalanan ini yang tidak kusangka.
Kami melanjutkan pendakian bersama, langkah Pak Sarto yang pelan tapi pasti membuatku merasa lebih tenang. Sesekali, ia bercerita tentang bukit ini—tentang pohon-pohon yang dulu ditanam oleh warga desa, tentang burung-burung yang selalu bernyanyi menjelang senja, dan tentang kenangannya dengan istrinya. Aku mendengarkan dengan saksama, tetapi pikiranku terus kembali pada Raka. Aku membayangkan wajahnya, tawanya, dan bagaimana ia akan bersorak kegirangan kalau melihat puncak bukit ini.
Ketika kami akhirnya sampai di puncak, matahari sudah hampir tenggelam. Langit di depan kami terbentang luas, diwarnai gradasi jingga, merah, dan ungu yang memukau. Di bawah, hamparan sawah dan perbukitan terlihat seperti lukisan alam yang tak tersentuh waktu. Angin bertiup lebih kencang di sini, membawa aroma bunga liar yang segar. Aku berdiri di tepi puncak, menatap senja itu dengan perasaan campur aduk—kagum, sedih, dan takut. Pak Sarto berdiri di sampingku, diam, memberiku ruang untuk merasakan momen ini.
Aku mengeluarkan kotak musik Raka, memutar tuasnya perlahan. Melodi lembut itu terdengar, bercampur dengan suara angin dan nyanyian burung di kejauhan. Tapi di saat yang sama, aku merasakan hampa. Raka tidak ada di sini. Aku tidak bisa mendengar tawanya, tidak bisa melihat senyumnya. Air mata yang kutahan sejak tadi akhirnya jatuh, membasahi pipiku. “Raka, aku di sini… tapi kamu di mana?” bisikku, suaraku tenggelam dalam melodi senja.
Denting yang Menyapa Jiwa
Puncak Bukit Menoreh terasa seperti dunia yang terpisah dari segala hiruk-pikuk kehidupan di bawah sana. Langit di depanku adalah kanvas alam yang sempurna, dengan semburat jingga dan ungu yang perlahan menyatu menjadi biru tua, tanda malam akan segera tiba. Angin bertiup kencang, membawa aroma tanah dan bunga liar yang menyegarkan, tetapi juga terasa dingin di kulitku yang basah oleh keringat dan air mata. Aku, Dara, berdiri di tepi puncak, memegang kotak musik Raka yang masih memainkan melodi lembutnya, nada-nada sederhana yang terdengar seperti bisikan dari masa lalu. Namun, di tengah keindahan senja itu, hatiku terasa hampa. Raka tidak ada di sini, dan rasa kehilangan itu terasa lebih nyata dari sebelumnya.
Pak Sarto, pria tua yang menemaniku mendaki, berdiri beberapa langkah di belakangku, diam, memberikan ruang untuk kesedihanku. Ia memegang tongkat kayunya dengan kedua tangan, topi jeraminya sedikit miring karena angin. Aku tahu ia bisa merasakan apa yang kurasakan—ia juga pernah kehilangan seseorang yang dicintainya di tempat ini. Tapi meskipun ada kehadirannya, aku merasa sendiri. Aku menutup mata, membiarkan melodi kotak musik itu membawaku kembali ke kenangan-kenangan bersama Raka, berharap bisa merasakan kehadirannya meski hanya dalam imajinasi.
Aku teringat malam di rumah sakit, beberapa hari sebelum Raka pergi. Ia terbaring lemah di ranjang, kulitnya pucat, tapi matanya masih bersinar dengan semangat yang sama seperti ketika ia sehat. Ia memegang kotak musik ini dengan tangan kecilnya yang gemetar, memutar tuasnya perlahan. “Kak, melodi ini… kayak cerita kita, ya,” katanya, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku mau cerita kita selesai di Bukit Menoreh. Janji, ya, Kak.” Aku mengangguk waktu itu, menahan air mata, tapi di dalam hati aku tahu bahwa janji itu mungkin hanya akan menjadi mimpi. Dan sekarang, ketika aku akhirnya sampai di puncak ini, aku merasa gagal. Aku tidak bisa membawanya ke sini. Aku tidak bisa memenuhi janjinya dengan cara yang ia inginkan.
Air mata yang mengalir di pipiku terasa hangat di tengah angin dingin. Aku membuka mata, menatap senja yang kini mulai memudar, digantikan oleh kegelapan malam yang perlahan merayap. “Raka, maafkan aku,” bisikku, suaraku tenggelam dalam melodi kotak musik yang mulai melambat. Aku merasa seperti kehilangan dia untuk kedua kalinya. Aku duduk di atas rerumputan yang sedikit basah, menarik lututku ke dada, dan membiarkan isakku pecah. Kotak musik itu berhenti bermain, meninggalkan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara angin dan nyanyian burung yang mulai reda.
Pak Sarto melangkah mendekat, lalu duduk di sampingku dengan gerakan perlahan. Ia tidak berkata apa-apa pada awalnya, hanya menatap ke arah horizon yang kini hanya menyisakan garis tipis cahaya jingga. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara, suaranya lembut tapi penuh makna. “Neng, aku tahu rasanya kehilangan seseorang yang kita sayang. Rasanya seperti ada lubang di hati yang nggak akan pernah tertutup. Tapi… kadang, mereka yang pergi itu nggak benar-benar pergi. Mereka ada di sini,” katanya, menunjuk ke dadanya, “dan di tempat-tempat yang mereka cintai, seperti bukit ini.”
Aku menoleh padanya, mataku masih basah. “Tapi aku nggak bisa ngerasain dia, Pak. Aku pikir… aku pikir kalau aku ke sini, aku bakal ngerasain Raka. Tapi aku cuma ngerasa kosong,” kataku, suaraku parau. Aku menggenggam kotak musik itu erat-erat, jari-jariku gemetar. “Aku janji bakal bawa dia ke sini, tapi aku terlambat. Aku nggak bisa tepati janji itu.”
Pak Sarto tersenyum kecil, kerutan di wajahnya terlihat lebih dalam di bawah cahaya samar senja yang tersisa. “Neng, adikmu mungkin nggak ada di sini secara fisik, tapi dia tahu kau berusaha. Janji itu bukan cuma soal bawa dia ke puncak ini. Janji itu soal kau menghormati mimpinya, soal kau ingat dia dengan cinta. Dan lihat,” ia menunjuk ke arah kotak musik di tanganku, “kau bawa melodi dia ke sini. Itu lebih dari cukup.”
Kata-kata Pak Sarto terasa seperti pelukan hangat di tengah dinginnya malam yang mulai turun. Aku menatap kotak musik itu lama, lalu memutar tuasnya lagi. Melodi lembut kembali terdengar, dan kali ini, aku mencoba mendengarkannya dengan hati, bukan hanya dengan telinga. Aku membayangkan Raka duduk di sampingku, rambutnya yang sedikit berantakan tertiup angin, senyumnya yang lebar saat ia menunjuk ke langit. “Kak, lihat! Senjanya cantik banget!” Aku bisa mendengar suaranya dalam imajinasiku, dan untuk pertama kalinya sejak ia pergi, aku merasa sedikit lega.
Aku mengeluarkan buku catatan kecil Raka dari tas ranselku, membukanya dengan hati-hati. Di halaman pertama, tulisannya yang sedikit bergetar karena tangannya yang lemah terlihat jelas: “Hal-hal yang ingin kulakukan sebelum 20 tahun.” Nomor satu adalah mendengar melodi senja di Bukit Menoreh bersamaku. Aku menelusuri daftar lainnya: “Belajar main biola kayak Kak Dara,” “Makan es krim di pantai,” “Lihat bintang jatuh bareng Kak Dara.” Setiap poin terasa seperti tusukan kecil di hatiku, tetapi juga seperti pengingat bahwa Raka mencintaiku, dan aku mencintainya, lebih dari apa pun.
Aku menoleh ke Pak Sarto, yang kini menatap langit yang mulai dipenuhi bintang-bintang kecil. “Pak, terima kasih udah nemani aku ke sini. Aku… aku nggak tahu apa yang bakal aku lakuin kalau sendirian tadi,” kataku, tersenyum tipis meskipun air mataku masih mengalir.
Pak Sarto mengangguk, matanya penuh kebijaksanaan. “Sama-sama, Neng. Aku juga senang bisa ke sini lagi, bareng orang yang punya cerita seindah ini. Adikmu pasti bangga sama Neng,” katanya, lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkatnya. “Aku duluan ya, Neng. Hati-hati pas turun nanti. Malam di bukit ini dingin, jangan lama-lama.”
Aku mengangguk, lalu menatapnya pergi, langkahnya yang pelan menghilang di balik semak-semak menuju jalur pendakian. Aku kembali menatap langit, yang kini benar-benar gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang dan bulan sabit yang samar. Melodi kotak musik Raka masih terdengar, dan aku memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama. Aku ingin merasakan momen ini sepenuhnya, merasakan Raka dalam melodi itu, dalam angin, dalam bintang-bintang yang ia sukai. Aku tahu aku belum selesai berduka, tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku tidak harus melupakannya untuk bisa melangkah maju.
Fajar Baru dalam Hening
Puncak Bukit Menoreh tenggelam dalam kegelapan malam, hanya diterangi oleh kilauan bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit luas. Jam di tanganku menunjukkan pukul 09:07 WIB, Rabu, 21 Mei 2025—malam yang sepi namun penuh makna. Aku, Dara, masih duduk di rerumputan yang sedikit lembap, memeluk lututku sambil memandang bulan sabit yang samar di ufuk timur. Kotak musik Raka terletak di pangkuanku, melodi lembutnya telah usai, meninggalkan keheningan yang terasa seperti pelukan halus. Angin malam bertiup dingin, menyapu rambutku yang lepas dan membawa aroma pinus yang menenangkan, tetapi hatiku masih bergolak dengan emosi yang sulit dijelaskan.
Aku menatap buku catatan kecil Raka yang terbuka di tanganku, halaman-halaman yang penuh tulisan tangannya yang bergetar menjadi saksi perjuangan dan mimpinya. Daftar “hal-hal yang ingin kulakukan sebelum 20 tahun” terasa seperti surat yang ditulis untukku, setiap kata membawa kenangan yang pahit dan manis. Aku membaca ulang nomor satu: “Dengar melodi senja di Bukit Menoreh bareng Kak Dara.” Aku telah sampai di sini, memenuhi janji itu dengan caraku sendiri, tetapi rasa lengkap belum sepenuhnya kutemukan. Aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang masih tertinggal di masa lalu, bersama Raka.
Aku mengeluarkan biola yang selama ini kusimpan di tas ranselku, sebuah keputusan spontan yang tiba-tiba terasa tepat. Biola itu sudah lama tak disentuh, tali-talinya sedikit longgar, dan permukaannya berdebu karena terbengkalai di sudut kamar. Aku mengelapnya dengan lengan jaketku, tanganku gemetar saat mencoba menyetel nadanya. Suara pertama yang keluar dari senar itu serak dan fals, membuatku tersenyum tipis. Raka pasti akan tertawa kalau mendengarnya, berkata, “Kak, mainnya kayak katak lagi nyanyi!” Tapi aku terus mencoba, menarik busur perlahan, membiarkan nada-nada sederhana mengalir.
Melodi yang kuumandangkan bukan lagu rumit seperti yang biasa kulatih di kampus. Ini adalah improvisasi, gabungan dari ingatan-ingatan kecil—tawa Raka di sungai, denting kotak musiknya di teras rumah, dan bisikan angin di Bukit Menoreh. Nada-nada itu terdengar rapuh, penuh emosi, dan untuk pertama kalinya setelah kepergiannya, aku merasa biolaku hidup lagi. Air mata mengalir di pipiku, tetapi kali ini bukan hanya karena sedih. Ada rasa lega, seperti beban yang sedikit terangkat dari bahuku.
Di tengah permainan itu, aku mendengar suara samar—seperti tawa kecil yang terbawa angin. Aku berhenti sejenak, memandang ke sekitar, tapi hanya ada kegelapan dan bayang-bayang pohon-pohon pinus. Mungkin itu hanya imajinasiku, tapi rasanya begitu nyata, seolah Raka benar-benar ada di sini, duduk di sampingku, mendengarkan. Aku memejamkan mata, membiarkan melodi itu mengalir lagi, dan membayangkan wajahnya—senyum lebarnya, matanya yang cokelat cerah, dan tangannya yang kecil memutar kotak musiknya. “Kak, ini bagus banget!” katanya dalam pikiranku, suaranya hangat seperti dulu.
Saat aku membuka mata, langit di timur mulai menunjukkan tanda-tanda fajar. Garis tipis cahaya keemasan muncul di ufuk, perlahan menyelinap di antara pepohonan, menghapus kegelapan malam. Aku menatapnya dengan takjub, merasa seperti mendapat hadiah yang tak terduga. Fajar itu terasa seperti simbol—akhir dari malam yang panjang, dan mungkin, awal dari sesuatu yang baru. Aku meletakkan biola di pangkuanku, mengambil kotak musik Raka, dan memutar tuasnya sekali lagi. Melodi lembut itu bercampur dengan suara burung-burung yang mulai bernyanyi, menciptakan harmoni yang indah di tengah keheningan pagi.
Aku membuka buku catatan Raka lagi, mengambil pena dari tas ranselku, dan menulis di halaman kosong di belakang daftarnya: “Raka, aku ke Bukit Menoreh untukmu. Aku dengar melodi senja, dan sekarang aku lihat fajar. Terima kasih sudah jadi adikku. Aku akan terus main biola, untukmu dan untuk diriku.” Tulisan itu sedikit bergetar karena tanganku yang masih terbawa emosi, tetapi aku merasa lega setelah menulisnya. Seperti sebuah janji baru yang kutetapkan untuk diriku sendiri.
Aku berdiri, mengemas barang-baruku, dan menatap pemandangan fajar yang semakin terang. Bukit Menoreh terlihat berbeda di pagi hari—hijau segar, dipenuhi embun yang berkilau di bawah sinar matahari pertama. Aku merasa seperti melihat dunia dengan mata yang baru, mata yang tidak lagi hanya dipenuhi duka. Aku tahu Raka tidak akan pernah kembali, tetapi aku juga tahu bahwa ia akan selalu ada dalam melodi, dalam kenangan, dan dalam setiap tarikan busur biolaku.
Sebelum turun, aku meletakkan kotak musik Raka di sebuah batu besar di puncak, diapit oleh dua batu kecil sebagai tanda. Aku ingin meninggalkannya di sini, di tempat yang ia impikan, sebagai simbol bahwa janji kami telah terpenuhi. Aku mengambil foto kotak musik itu dengan ponselku, lalu berbalik menuju jalur pendakian. Langkahku terasa lebih ringan, meskipun kakiku masih pegal. Di kejauhan, aku mendengar suara burung yang semakin meriah, seperti menyanyikan lagu perpisahan yang indah.
Saat aku sampai di kaki bukit, matahari sudah naik setengah di ufuk, menghangatkan kulitku yang dingin. Aku naik ojek kembali ke Magelang, lalu angkutan umum menuju Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, aku memandang keluar jendela, melihat sawah-sawah hijau dan bukit-bukit yang perlahan menjauh. Di dalam hatiku, ada rasa damai yang baru. Aku tidak akan pernah melupakan Raka, tetapi aku tahu aku harus melangkah maju—untuknya, dan untuk diriku sendiri.
Malam itu, saat aku sampai di rumah di Kaliurang, aku mengambil biola dari kotaknya. Untuk pertama kalinya setelah lama, aku memainkannya dengan penuh semangat, membiarkan nada-nada mengalir bebas, membawa cerita baru. Di luar jendela, langit mulai gelap, tetapi di hatiku, ada fajar yang tak pernah padam. Raka mungkin pergi, tapi melodinya akan selalu bersamaku, membimbingku menuju hari-hari yang lebih cerah.
Melodi Senja di Atas Bukit adalah lebih dari sekadar cerita perjalanan—ini adalah perjalanan batin yang mengajarkan kekuatan harapan dan penyembuhan melalui kenangan. Kisah Dara menggugah kita untuk menghargai setiap momen dan menemukan cahaya baru di tengah duka. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan emosi mendalam ini dan temukan inspirasi dalam setiap nada melodinya!