Melodi Pulang: Kisah Perjalanan Hati ke Kampung Halaman

Posted on

Melodi Pulang: Kisah Perjalanan Hati ke Kampung Halaman adalah sebuah cerpen yang mengajak Anda menyelami kisah penuh emosi tentang Savira Lintang, seorang perempuan yang kembali ke Desa Sumber Rejeki untuk menemukan makna keluarga, kenangan, dan akar budaya. Dengan narasi yang mendalam dan detail, cerita ini menggambarkan perjuangan batin, kehilangan, dan kehangatan ikatan keluarga di tengah pesona pedesaan Jawa Tengah. Siapkah Anda terhanyut dalam perjalanan yang akan mengingatkan Anda pada arti sejati “pulang”?

Melodi Pulang

Bisikan Tanah Leluhur

Langit Jakarta pagi itu kelabu, seolah mencerminkan beban di hati Savira Lintang. Di usianya yang baru menginjak 29 tahun, ia berdiri di tepi jalan raya, menatap deretan gedung pencakar langit yang dingin dan asing. Koper tua berwarna cokelat tua, peninggalan ayahnya, tergeletak di sisinya, berdebu namun penuh kenangan. Di dalamnya tersimpan pakaian sederhana, sebuah buku catatan usang, dan sehelai kain batik tua yang selalu mengingatkannya pada kampung halaman—Desa Sumber Rejeki, sebuah desa kecil di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Savira menarik napas panjang, mencium aroma asap knalpot yang bercampur dengan embun pagi. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai penulis konten di sebuah startup teknologi yang tiba-tiba bangkrut. Dua tahun di ibu kota, berjuang mengejar mimpi, hanya menyisakan rasa lelah dan kosong. Telepon genggamnya bergetar, sebuah pesan dari ibunya, Nyai Sarijem: “Lintang, pulanglah. Tanah leluhur memanggilmu.” Pesan itu sederhana, namun setiap kata terasa seperti pukulan lembut yang membangunkan sesuatu di dalam dirinya.

Perjalanan menuju desa dimulai dengan bus malam yang penuh sesak. Savira duduk di dekat jendela, menatap pantulan wajahnya yang pucat di kaca. Rambutnya yang biasanya tergerai rapi kini kusut, matanya dilingkari bayang-bayang kelelahan. Di sampingnya, seorang ibu tua dengan kerudung lusuh tersenyum kecil, menawarkan sebutir permen jahe. “Mau, Neng? Biar ga mabuk perjalanan,” katanya lembut. Savira mengangguk, menerima permen itu dengan tangan gemetar, tiba-tiba teringat neneknya yang dulu selalu menyisipkan permen jahe di saku bajunya setiap kali ia pergi bermain ke sawah.

Bus berderit melintasi jalanan berkelok, meninggalkan gemerlap kota dan memasuki kegelapan pedesaan. Bau tanah basah mulai tercium, membawa ingatan Savira pada masa kecilnya. Ia teringat berlari di pematang sawah, kaki kecilnya penuh lumpur, sementara ayahnya, Pak Suryo, menggendongnya sambil tertawa. “Lintang, kamu itu bintangnya bapak. Jangan pernah lupa asalmu, ya,” ujar ayahnya dulu, suaranya hangat seperti sinar matahari pagi. Namun, kenangan itu segera memudar, digantikan oleh rasa sesak. Ayahnya telah tiada lima tahun lalu, pergi begitu saja karena serangan jantung, meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh di hati Savira.

Desa Sumber Rejeki akhirnya terlihat di kejauhan saat fajar menyingsing. Bukit-bukit hijau yang mengelilingi desa itu seolah menyapa, seakan tak pernah berubah sejak ia kecil. Bus berhenti di terminal kecil yang hanya berupa bangunan sederhana dengan atap seng berkarat. Savira turun, koper tua itu menyeret di tanah berkerikil. Angin pagi membelai wajahnya, membawa aroma daun pandan dan asap kayu bakar. Di kejauhan, ia melihat sosok Nyai Sarijem berdiri di ujung jalan setapak, mengenakan kebaya sederhana dengan kain batik yang sama seperti yang ada di koper Savira.

“Lintang!” panggil Nyai Sarijem, suaranya penuh kehangatan namun juga ada nada khawatir yang terselip. Savira mempercepat langkah, dan ketika ia sampai di pelukan ibunya, air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. Bau minyak kelapa dari rambut ibunya, tekstur kasar tangannya yang penuh kerja keras, semua terasa begitu nyata, begitu rumah. “Aku pulang, Bu,” bisik Savira, suaranya parau. Nyai Sarijem hanya mengelus punggungnya, tak berkata apa-apa, namun pelukannya berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Rumah kayu sederhana tempat Savira dibesarkan masih berdiri kokoh, meski cat hijaunya mulai mengelupas. Di teras, sebuah ayunan tua bergoyang pelan ditiup angin. Savira teringat betapa ia dan adiknya, Galang Wicaksana, sering berebut ayunan itu saat kecil. Galang kini bekerja sebagai guru di kota lain, jarang pulang, dan hubungan mereka merenggang sejak ayah mereka meninggal. Savira merasa bersalah karena terlalu sibuk dengan mimpinya sendiri di Jakarta, hingga lupa menjaga ikatan dengan adiknya.

Hari itu, Savira menghabiskan waktu membantu ibunya di dapur. Aroma opor ayam dan sambal terasi memenuhi udara, menggugah kenangan masa kecilnya. Mereka duduk bersama di tikar pandan, makan dengan tangan, seperti dulu. Namun, di sela tawa kecil dan cerita ringan, Savira merasakan ada sesuatu yang berbeda. Matanya menangkap foto ayahnya di dinding, tersenyum dalam bingkai kayu sederhana. Di bawah foto itu, ada sebuah kotak kecil yang tak pernah ia lihat sebelumnya, terbuat dari kayu jati dengan ukiran burung merak yang indah.

“Ibu, itu apa?” tanya Savira, menunjuk kotak itu.

Nyai Sarijem menoleh, ekspresinya berubah sejenak, seolah ragu. “Itu… peninggalan bapakmu. Dia bilang, suatu hari kamu harus membukanya, tapi hanya kalau kamu sudah siap.”

Savira mengerutkan kening, jantungnya berdegup kencang. “Siap untuk apa, Bu?”

Ibunya hanya tersenyum samar, lalu mengalihkan pembicaraan. “Besok kita ke makam Bapak, ya. Sudah lama kamu nggak ziarah.”

Malam itu, Savira tak bisa tidur. Cahaya bulan purnama menyelinap melalui celah-celah jendela kayu, menerangi kamar kecilnya. Di sudut ruangan, koper tuanya terbuka, dan kain batik itu tergeletak di atas ranjang. Ia memegang kain itu, merasakan teksturnya yang lembut namun penuh cerita. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu—sebuah lagu yang sering dinyanyikan ayahnya, sebuah melodi sederhana tentang tanah leluhur yang memanggil anak-anaknya pulang. Savira menutup mata, mencoba mengingat nada-nada itu, namun yang terdengar hanya bisikan angin malam yang seolah membawa pesan dari masa lalu.

Ia tahu, perjalanan pulang ini bukan sekadar tentang kembali ke desa. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang menanti untuk ia temukan—tentang ayahnya, tentang dirinya sendiri, dan tentang ikatan yang telah lama ia abaikan. Dengan hati penuh campuran rindu, sedih, dan harapan, Savira akhirnya terlelap, ditemani suara jangkrik dan aroma tanah leluhur yang meresap ke dalam mimpinya.

Jejak di Pematang Sawah

Pagi di Desa Sumber Rejeki selalu dimulai dengan simfoni alam. Suara ayam berkokok bercampur dengan gemerisik daun kelapa yang tertiup angin, sementara kabut tipis masih menyelimuti sawah-sawah yang membentang hijau di kaki Gunung Lawu. Savira Lintang terbangun dengan aroma kopi tubruk yang menyelinap dari dapur, disusul suara Nyai Sarijem yang sedang menggoreng tempe di wajan besi tua. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding kayu, menciptakan garis-garis emas di lantai tanah yang dipadatkan. Savira menggosok matanya, masih merasa seperti terperangkap antara mimpi dan kenyataan, antara Jakarta yang penuh tekanan dan desa yang penuh kenangan.

Setelah sarapan dengan nasi liwet, telur ceplok, dan sambal bawang yang pedasnya membuat Savira tersedak sambil tertawa, Nyai Sarijem mengajaknya untuk pergi ke makam ayahnya. “Sudah lama kamu nggak ke sana, Lintang. Bapak pasti kangen ngeliat anak bintangnya,” ujar ibunya dengan senyum yang menyembunyikan sedih. Savira hanya mengangguk, hatinya terasa berat. Ziarah ke makam ayahnya selalu membawa campuran rasa rindu dan penyesalan—penyesalan karena ia merasa tak cukup menghabiskan waktu dengannya saat ayahnya masih ada.

Jalan menuju makam adalah setapak kecil yang membelah sawah. Savira berjalan di belakang ibunya, membawa seikat kembang melati yang dipetik dari halaman rumah. Udara pagi terasa sejuk, membawa aroma tanah basah dan rumput liar. Di kejauhan, ia melihat para petani dengan caping di kepala, membungkuk menanam padi, sementara burung-burung kecil berterbangan di atas hamparan hijau. Pemandangan itu begitu damai, namun entah mengapa, setiap langkah Savira terasa seperti menapaki kenangan yang ingin ia hindari.

Makam Pak Suryo terletak di ujung desa, di sebuah bukit kecil yang dikelilingi pohon bambu. Nisan sederhana dari batu alam berdiri di sana, dihiasi lumut dan beberapa kuntum bunga kering yang ditinggalkan pengunjung sebelumnya. Savira berjongkok di depan makam, meletakkan kembang melati dengan tangan gemetar. Ia menatap nama ayahnya yang terukir di batu itu, “Suryo Wicaksono, 1965-2020,” dan tiba-tiba air matanya jatuh tanpa permen. “Maaf, Bapak,” bisiknya pelan, suaranya tenggelam dalam desau angin. “Aku nggak jadi bintang yang Bapak harapkan.”

Nyai Sarijem, yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan di bahu Savira. “Bapakmu nggak pernah minta kamu jadi bintang di langit, Lintang. Dia cuma ingin kamu jadi bintang buat dirimu sendiri, yang bersinar dengan caramu sendiri,” katanya lembut. Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk lembut, mengingatkan Savira pada semua mimpi yang kini terasa hancur di Jakarta. Ia ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu apa maksud ibunya, tapi lidahnya kelu, dan ia hanya bisa menatap makam ayahnya dengan hati penuh tanya.

Setelah ziarah, Nyai Sarijem mengajak Savira mampir ke sawah milik keluarga, yang kini dikelola oleh Pak Tarmo, tetangga mereka. Sawah itu tak besar, hanya sepetak kecil yang dikelilingi pohon pisang dan saluran irigasi sederhana. Namun, bagi Savira, sawah itu adalah kanvas kenangan masa kecilnya. Ia teringat berlari di pematang sawah, mengejar capung bersama Galang, adiknya, sementara ayahnya mengajari mereka cara menanam padi. “Tanah ini hidup, Lintang,” ujar Pak Suryo dulu, tangannya penuh lumpur. “Kalau kamu rawat dia, dia bakal balas budi. Sama kayak hati manusia.”

Pak Tarmo, seorang pria tua dengan kulit legam dan senyum lebar, menyapa mereka dengan ramah. “Lintang! Keren abis sekarang, ya, anak kota!” godanya sambil menyerahkan sebuah cangkul. Savira tersenyum kecut, merasa asing dengan alat itu setelah bertahun-tahun tak menyentuhnya. Namun, ada dorongan aneh dalam dirinya untuk mencoba. Ia melepas sepatunya, merasakan lumpur dingin di sela-sela jari kakinya, dan mulai mencangkul tanah bersama Pak Tarmo. Gerakan itu kikuk pada awalnya, tapi lama-kelamaan, ia menemukan ritme, seolah tubuhnya mengingat sesuatu yang telah lama dilupakannya.

Saat matahari mulai tinggi, mereka beristirahat di bawah pohon pisang. Pak Tarmo menceritakan tentang desa, tentang panen yang kini tak seberlimpah dulu karena musim yang tak menentu, dan tentang anak-anak muda yang semakin banyak meninggalkan desa untuk bekerja di kota. “Bapakmu dulu selalu bilang, desa ini punya jiwa, Lintang. Tapi jiwa itu perlahan luntur kalau nggak ada yang peduli,” ujar Pak Tarmo, matanya menatap jauh ke arah gunung. Savira mendengarkan, hatinya terasa teriris. Ia teringat ayahnya yang begitu mencintai desa ini, yang selalu bermimpi menjadikan Sumber Rejeki sebagai tempat yang hidup, bukan hanya sekadar tempat singgah.

Di tengah percakapan, Savira melihat sesuatu di ujung sawah—sebuah pohon jati tua yang dulu sering ia panjat bersama Galang. Di batangnya, ia masih bisa melihat ukiran kasar yang mereka buat: “Lintang & Galang, Selamanya.” Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit. Ia teringat pertengkaran terakhirnya dengan Galang, dua tahun lalu, saat ia menolak pulang untuk ulang tahun ibunya karena sibuk dengan pekerjaan. “Kamu cuma peduli sama diri sendiri sekarang, Mbak!” bentak Galang saat itu, dan sejak itu mereka hampir tak pernah bicara lagi.

Sore itu, saat kembali ke rumah, Savira menemukan dirinya berdiri di depan kotak kayu jati yang disebut ibunya kemarin. Ia ingin membukanya, ingin tahu apa yang ditinggalkan ayahnya, tapi ada rasa takut yang menahannya. “Kalau kamu sudah siap,” kata ibunya kemarin. Tapi siap untuk apa? Savira merasa seperti berdiri di tepi jurang, antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang tak pasti.

Malam itu, saat duduk di teras bersama Nyai Sarijem, Savira akhirnya memberanikan diri bertanya tentang Galang. “Bu, Galang kapan pulang? Aku kangen dia,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara jangkrik. Nyai Sarijem menatapnya lama, lalu menghela napas. “Galang bilang dia bakal coba pulang minggu depan. Tapi… dia juga lagi cari jalan hidupnya sendiri, Lintang. Kalian berdua sama, keras kepala, tapi hatinya lembut.”

Savira tersenyum kecil, namun hatinya terasa perih. Ia tahu, untuk memperbaiki hubungannya dengan Galang, ia harus menghadapi luka-luka lama, termasuk penyesalan atas semua waktu yang ia sia-siakan. Di bawah sinar bulan, ia memandang sawah yang membentang gelap di depan rumah, mendengar bisikan angin yang seolah membawa suara ayahnya. “Jangan lupa asalmu, Lintang,” bisik kenangan itu. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Savira merasa ada setitik harapan di hatinya—harapan untuk menemukan kembali dirinya, di tanah leluhur yang selalu memanggilnya pulang.

Bayang-Bayang Kotak Jati

Hari ketiga di Desa Sumber Rejeki membawa Savira Lintang pada ritme yang mulai terasa akrab, namun tetap penuh dengan getar emosi yang tak kunjung reda. Pagi itu, ia terbangun oleh suara Nyai Sarijem yang sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela, menerangi kain batik tua yang masih tergeletak di ranjangnya. Savira memegang kain itu, jari-jarinya menelusuri motif burung merak yang sudah memudar, dan tiba-tiba ia teringat sebuah kenangan: ayahnya, Pak Suryo, pernah berkata bahwa kain itu adalah hadiah dari kakeknya, dibuat oleh tangan neneknya sendiri sebagai simbol cinta dan kesetiaan pada tanah leluhur. “Kalau kamu rindu rumah, pegang kain ini, Lintang. Dia akan bawa kamu pulang,” ujar ayahnya dulu, matanya berbinar penuh keyakinan.

Sarapan pagi itu sederhana: nasi jagung, urap sayur, dan ikan asin yang digoreng kering. Nyai Sarijem tampak ceria, bercerita tentang rencana pasar mingguan di desa tetangga, tapi Savira bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyikan ibunya. Matanya sering melirik ke arah kotak jati di sudut ruang tamu, seolah ada rahasia yang menunggu untuk diungkap. Savira ingin bertanya lagi tentang kotak itu, tapi setiap kali ia membuka mulut, ada rasa takut yang membuatnya mengurungkan niat. Apa yang ada di dalamnya? Mengapa ayahnya menyimpan sesuatu yang hanya boleh dibuka saat ia “siap”?

Setelah membantu ibunya mencuci piring di sumur belakang rumah, Savira memutuskan untuk menjelajahi desa sendirian. Ia mengenakan sandal jepit tua dan topi caping yang ditemukannya di gudang, lalu berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke sungai kecil di pinggir desa. Sungai itu, yang dulu sering ia datangi bersama Galang untuk menangkap ikan kecil atau sekadar bermain air, kini terlihat lebih sempit, airnya keruh karena musim kemarau yang panjang. Di tepi sungai, ia melihat sebuah warung bambu kecil yang dulu dikelola oleh Mbok Yem, seorang nenek yang terkenal dengan pisang gorengnya yang renyah. Warung itu kini kosong, pintunya tertutup rapat, dan papan nama di depannya sudah lapuk.

Savira duduk di tepi sungai, memandang air yang mengalir pelan. Di kejauhan, ia mendengar suara anak-anak yang sedang bermain, tawa mereka menggema seperti lonceng kecil yang membawa kenangan masa kecilnya. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun mendekatinya, membawa layang-layang dari daun pisang yang sudah robek di beberapa bagian. “Mbak, kenal Bapak Suryo, nggak?” tanya anak itu polos, matanya besar dan penuh rasa ingin tahu.

Savira tersentak, jantungnya seperti terhenti sejenak. “Kenal. Dia… bapakku. Kamu siapa?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

“Aku Jalu, anaknya Pak Tarmo. Bapak bilang, dulu Bapak Suryo yang ajarin dia bikin layang-layang kayak gini,” ujar Jalu sambil mengangkat layang-layangnya dengan bangga. “Bapak Suryo baik banget, katanya. Dia suka cerita tentang bintang sama tanah.”

Savira tersenyum, tapi hatinya terasa perih. Ia teringat ayahnya yang selalu punya cara untuk membuat orang merasa istimewa, entah itu dengan ceritanya tentang konstelasi bintang atau caranya mengajak anak-anak desa membuat layang-layang. “Iya, Bapak memang suka cerita,” jawab Savira pelan, lalu membantu Jalu memperbaiki layang-layangnya dengan seutas tali rami yang ia temukan di saku celananya.

Saat kembali ke rumah, Savira merasa ada beban baru di hatinya. Pertemuan dengan Jalu mengingatkannya betapa besar pengaruh ayahnya di desa ini, dan betapa kecil ia merasa dibandingkan warisan itu. Ia ingin menjadi seperti ayahnya—seseorang yang memberi tanpa pamrih, yang mencintai tanah leluhur dengan sepenuh hati—tapi ia juga merasa terjebak dalam kegagalan dan ketidakpastian hidupnya sendiri.

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam dan langit berwarna jingga, Savira akhirnya memberanikan diri untuk mendekati kotak jati itu. Nyai Sarijem sedang pergi ke rumah tetangga, meninggalkan rumah dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara jangkrik yang mulai bernyanyi. Savira duduk di lantai kayu, kotak itu di depannya. Ukiran burung merak di permukaannya terasa hidup di bawah sentuhan jarinya, seolah menyimpan cerita yang tak pernah ia dengar. Dengan tangan gemetar, ia membuka kunci kecil di sisi kotak, yang ternyata tidak terkunci sama sekali.

Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku catatan tua dengan sampul kulit yang sudah retak-retak, beberapa lembar foto keluarga yang sudah menguning, dan sebuah gelang perak kecil dengan liontin berbentuk bintang. Savira mengambil gelang itu, merasakan dinginnya logam di telapak tangannya. Di liontin itu, ada ukiran kecil bertuliskan “Lintang & Galang.” Air matanya jatuh lagi, kali ini bukan karena sedih, tapi karena gelombang rindu yang tak bisa ia bendung. Gelang itu adalah hadiah dari ayahnya untuk ulang tahunnya yang ke-10, yang ia pikir telah hilang bertahun-tahun lalu.

Ia membuka buku catatan itu, dan di halaman pertama, ia menemukan tulisan tangan ayahnya yang khas, sedikit miring tapi penuh tenaga: “Untuk Lintang dan Galang, anak-anakku yang selalu jadi bintang di hatiku. Kalau kalian membaca ini, artinya kalian sudah pulang. Dan pulang bukan cuma ke desa, tapi ke hati kalian sendiri.” Savira menahan napas, membaca setiap kata dengan hati-hati. Buku itu berisi catatan harian ayahnya, cerita tentang mimpinya untuk desa, tentang harapannya agar anak-anaknya tak pernah melupakan akar mereka, dan tentang penyesalannya karena merasa tak cukup memberi waktu untuk mereka.

Setiap halaman terasa seperti percakapan dengan ayahnya, seolah ia masih hidup, berbicara langsung kepadanya. Ada satu bagian yang membuat Savira terdiam lama: “Lintang, kamu keras kepala, tapi itu karena kamu punya api di hatimu. Jangan takut gagal, Nak. Kegagalan itu cuma jalan buat pulang ke dirimu sendiri.” Ia menutup buku itu, dadanya sesak. Ayahnya seolah tahu bahwa suatu hari ia akan tersesat, dan buku ini adalah peta yang ia tinggalkan untuk membawanya kembali.

Malam itu, saat Nyai Sarijem kembali, Savira tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Bu, kenapa Ibu nggak bilang soal buku ini dari dulu?” suaranya penuh emosi, campuran marah dan sedih.

Nyai Sarijem duduk di sampingnya, mengelus rambut Savira seperti saat ia masih kecil. “Bapakmu bilang, kamu harus pulang dengan hati yang siap, Lintang. Kalau Ibu kasih buku itu saat kamu masih di Jakarta, kamu mungkin nggak akan ngerti. Sekarang, kamu di sini, di rumah. Dan Bapakmu tahu, tanah ini bakal ngomong sama kamu.”

Savira memeluk ibunya erat, air matanya membasahi kebaya Nyai Sarijem. Ia merasa seperti menemukan potongan dirinya yang hilang, tapi juga tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Ada Galang, adiknya, yang masih harus ia temui. Ada luka-luka lama yang harus ia sembuhkan. Dan di bawah sinar bulan yang menerangi desa, Savira merasa tanah leluhur ini mulai berbisik, menceritakan rahasia-rahasia yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Harmoni di Bawah Bintang

Pagi di Desa Sumber Rejeki menyapa Savira Lintang dengan lembut, seolah alam sendiri ingin memeluknya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jendela kayu, membentuk pola-pola lembut di lantai tanah rumah ibunya. Di tangannya, gelang perak dengan liontin bintang yang ditemukan dalam kotak jati terasa hangat, seolah menyimpan sisa-sisa kehidupan ayahnya. Buku catatan Pak Suryo masih terbuka di halaman terakhir yang ia baca semalam, di mana ayahnya menulis: “Lintang, Galang, tanah ini adalah rumah kalian. Tapi rumah sejati ada di hati kalian. Jangan biarkan jarak memisahkan kalian, seperti bintang-bintang yang selalu terhubung meski di langit yang luas.” Kalimat itu terngiang di kepalanya, seperti melodi yang tak pernah selesai.

Hari itu adalah hari pasar mingguan, dan Nyai Sarijem bersikeras mengajak Savira untuk ikut. “Kamu perlu lihat desa ini hidup, Lintang. Bukan cuma kenangan, tapi juga masa depannya,” kata ibunya sambil mengikat kain batik di pinggangnya. Savira mengangguk, meski hatinya masih berat dengan beban penemuan kemarin. Ia mengenakan gelang perak itu di pergelangan tangannya, merasa seperti membawa ayahnya bersamanya.

Pasar desa tetangga ramai dengan suara tawar-menawar, aroma rempah yang bercampur dengan bau ikan segar, dan warna-warni kain yang dijajakan di lapak-lapak sederhana. Savira berjalan di samping ibunya, mengamati wajah-wajah yang sebagian masih ia kenali: Mbok Sari yang menjual sayuran, Pak Minto dengan gerobak pisang gorengnya, dan anak-anak yang berlarian dengan layang-layang daun pisang, mirip seperti Jalu yang ia temui kemarin. Di tengah keramaian, Savira merasa ada kehangatan yang tak pernah ia temukan di Jakarta—kehangatan yang sederhana, namun penuh makna.

Tiba-tiba, di ujung pasar, Savira melihat sosok yang membuat jantungnya berdegup kencang. Seorang pria muda dengan jaket cokelat tua, rambut sedikit acak-acakan, berdiri di dekat lapak penjual ayam. Itu Galang Wicaksana, adiknya. Ia tampak lebih kurus dari yang Savira ingat, dengan garis-garis lelah di wajahnya yang masih muda. Savira ingin berlari mendekat, tapi kakinya terasa seperti terpaku di tanah. Kenangan pertengkaran mereka dua tahun lalu kembali menghantam: suara Galang yang penuh kekecewaan, “Kamu cuma peduli sama diri sendiri sekarang, Mbak!” dan caranya sendiri yang membentak balik, terlalu sibuk dengan dunia barunya di kota.

Nyai Sarijem, yang memperhatikan tatapan Savira, menyentuh lengannya lembut. “Pergi, Lintang. Kalian perlu bicara,” bisiknya. Savira menarik napas dalam, lalu melangkah menuju Galang, setiap langkah terasa seperti menyeberangi jurang yang telah memisahkan mereka selama ini.

“Galang,” panggil Savira pelan saat ia mendekat. Adiknya menoleh, matanya membelalak sejenak sebelum berubah menjadi ekspresi yang sulit dibaca—campuran kaget, senang, dan mungkin juga luka lama. “Mbak? Kapan pulang?” tanyanya, suaranya datar tapi ada getar di dalamnya.

“Dua hari lalu,” jawab Savira, mencoba tersenyum. “Aku… kangen kamu.”

Galang memandangnya lama, seolah menimbang kata-kata itu. “Kangen? Dua tahun nggak pulang, nggak telepon, cuma pesan pendek pas Lebaran, itu kangen?” Nada suaranya tajam, tapi matanya berkaca-kaca, mengkhianati perasaan sebenarnya.

Savira menunduk, merasakan tusukan di hatinya. “Aku salah, Lang. Aku terlalu sibuk sama hidupku di Jakarta, sampai lupa yang penting. Maafin aku, ya?” Suaranya parau, dan tanpa sadar, ia memegang gelang di pergelangannya, mencari kekuatan dari kenangan ayah mereka.

Galang menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Aku juga kangen, Mbak. Tapi… aku nggak tahu caranya balik ke dulu lagi.” Ia menunjuk ke arah gelang itu. “Itu dari Bapak, ya? Aku ingat waktu kita bikin dia marah karena berebut gelang itu.” Senyum kecil muncul di wajahnya, dan untuk pertama kalinya, Savira merasa ada celah di dinding yang telah memisahkan mereka.

Mereka akhirnya duduk di bawah pohon beringin besar di pinggir pasar, berbagi sebungkus pisang goreng yang masih hangat. Galang bercerita tentang hidupnya sebagai guru di kota kecil, tentang anak-anak didiknya yang penuh semangat tapi kekurangan fasilitas, dan tentang mimpinya untuk membangun perpustakaan kecil di desa. Savira mendengarkan, terkejut menyadari betapa miripnya mimpi Galang dengan visi ayah mereka. Ia lalu menceritakan tentang kegagalannya di Jakarta, tentang kehilangan pekerjaan, dan tentang buku catatan ayahnya yang ia temukan.

“Aku baca buku itu semalam, Lang,” kata Savira, suaranya lembut. “Bapak nulis tentang kita, tentang desa ini. Dia bilang kita harus jaga ikatan kita, kayak bintang-bintang di langit. Aku ngerasa… aku udah nyia-nyiain waktu kita.”

Galang menatapnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya—sebuah foto kecil yang sudah lusuh, gambar mereka berdua kecil, berdiri di sawah dengan ayah mereka yang tersenyum lebar. “Aku bawa ini kemana-mana, Mbak. Biar ingat rumah. Tapi aku juga takut, takut kita nggak bisa balik ke yang dulu.”

Savira memegang tangan adiknya, air matanya jatuh. “Kita nggak perlu balik ke dulu, Lang. Kita bikin yang baru, tapi bareng-bareng. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”

Malam itu, setelah kembali ke rumah, Savira dan Galang duduk bersama Nyai Sarijem di teras. Mereka membaca sisa halaman buku catatan Pak Suryo, tertawa saat menemukan cerita tentang keisengan mereka kecil, dan menangis saat membaca harapan ayah mereka untuk desa ini. Di halaman terakhir, ada sebuah sketsa kasar: sebuah rumah baca di tepi sawah, dengan tulisan “Untuk Sumber Rejeki, dari Suryo untuk anak-anakku.” Di bawahnya, ada catatan kecil: “Lintang, Galang, lanjutkan mimpi ini kalau kalian bisa. Desa ini butuh kalian.”

Savira dan Galang saling pandang, dan tanpa kata-kata, mereka tahu apa yang harus dilakukan. Malam itu, di bawah langit penuh bintang, mereka berjanji untuk memulai sesuatu bersama—sebuah rumah baca, seperti yang diimpikan ayah mereka. Savira merasa, untuk pertama kalinya, ia tak lagi tersesat. Tanah leluhur ini telah memanggilnya pulang, bukan hanya ke desa, tapi ke dirinya sendiri, ke keluarganya, dan ke mimpi yang kini menjadi milik mereka bersama.

Bulan purnama bersinar terang di atas Desa Sumber Rejeki, dan di tengah suara jangkrik dan angin malam, Savira mendengar melodi itu lagi—melodi pulang yang ayahnya nyanyikan dulu. Kali ini, melodi itu terasa lengkap, karena ia tak lagi berjalan sendirian. Dengan Galang di sisinya, Nyai Sarijem yang tersenyum di dekatnya, dan semangat ayahnya yang hidup di hati mereka, Savira tahu bahwa perjalanan ini adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang akan membuat bintang-bintang di langit Sumber Rejeki bersinar lebih terang.

Melodi Pulang: Kisah Perjalanan Hati ke Kampung Halaman bukan hanya sekadar cerita, tetapi juga cerminan dari kerinduan akan akar dan cinta keluarga yang tak pernah pudar. Melalui perjalanan Savira dan Galang, kita diajak untuk merenungi pentingnya menjaga ikatan dengan tanah leluhur dan orang-orang tersayang. Cerpen ini adalah pengingat bahwa, di mana pun kita berada, rumah sejati selalu ada di hati. Jangan lewatkan kisah ini yang akan meninggalkan jejak emosi mendalam di hati Anda!

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Melodi Pulang: Kisah Perjalanan Hati ke Kampung Halaman. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk merenungi makna pulang dan menghargai setiap momen bersama keluarga. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk selalu membawa “rumah” di hati Anda ke mana pun perjalanan membawa!

Leave a Reply