Daftar Isi [hide]
Melodi Jati Diri
Tersesat dalam Labirin
Damar menyandarkan punggungnya ke bangku kayu di taman kampus. Semilir angin sore menggoyangkan dedaunan di atasnya, menciptakan bayangan bergerak di trotoar batu. Mahasiswa lain berlalu-lalang, beberapa sibuk berdiskusi soal tugas, sebagian lagi tertawa bersama teman-temannya. Namun, bagi Damar, pemandangan itu terasa seperti film yang diputar tanpa suara. Ia hanya duduk di sana, terpaku pada pikirannya sendiri.
Sudah hampir tiga semester ia kuliah di jurusan Teknik Informatika, tapi semakin lama, semakin ia merasa seperti orang asing di dunia itu. Setiap hari dipenuhi dengan kode-kode yang berantakan di layar laptopnya, algoritma yang lebih sering membuatnya frustrasi daripada puas, serta kelas-kelas yang ia jalani hanya karena ‘seharusnya’ begitu. Bukannya ia benci belajar, hanya saja… semua ini terasa salah.
“Hei, Damar!” Suara seseorang membuyarkan lamunannya.
Ia menoleh dan mendapati Riani berdiri di dekatnya, membawa segelas es kopi di tangan kanan. Gadis itu mengenakan jaket oversized dan jeans longgar, rambutnya yang sebahu sedikit berantakan, menandakan hari yang cukup sibuk. Ia duduk di sebelah Damar tanpa menunggu izin.
“Kamu ngapain di sini sendirian? Lagi mikirin apaan?”
Damar menghela napas. “Biasa, tugas.”
Riani menatapnya curiga. “Tugas? Atau lagi overthinking?”
Damar hanya mengangkat bahu. Sudah lama ia mengenal Riani, dan gadis itu punya kemampuan aneh untuk membaca pikirannya tanpa perlu banyak kata.
“Jujur aja, kamu suka nggak sih kuliah di sini?” tanya Riani tiba-tiba.
Damar terdiam. Pertanyaan itu seakan menggali sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
“Aku… nggak tahu,” jawabnya akhirnya. “Maksudku, dulu aku pikir ini pilihan terbaik. Tapi makin ke sini, aku ngerasa kayak… aku cuma jalan di lorong gelap tanpa tahu ujungnya di mana.”
Riani mengaduk es kopinya dengan sedotan, menunggu Damar melanjutkan.
“Ayahku selalu bilang, teknologi itu masa depan. Jurusan ini bagus, prospek kerjanya jelas. Tapi, kenapa aku nggak pernah ngerasa cocok?”
Riani menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berkata, “Terus, kalau bukan ini, kamu maunya apa?”
Pertanyaan itu membuat Damar tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena ia tidak tahu jawabannya.
“Itu dia masalahnya, aku juga nggak tahu,” gumamnya.
Riani meneguk es kopinya pelan. “Mungkin karena kamu belum nyoba hal lain.”
Damar mengernyit. “Maksudnya?”
Riani tersenyum. “Ya, kamu kayak orang yang cuma masuk satu ruangan dan muter-muter di situ, padahal ada banyak pintu lain yang bisa dibuka. Gimana kalau coba sesuatu yang beda?”
Damar menghela napas, menatap langit yang mulai berubah warna keemasan. “Kayak apa?”
“Minggu depan ada festival seni di kampus. Aku tahu kamu nggak terlalu peduli soal gituan, tapi nggak ada salahnya nyoba, kan?”
Damar mengerutkan kening. “Festival seni? Emang apa hubungannya sama masalahku?”
“Ya nggak ada hubungan langsung,” kata Riani sambil terkekeh. “Tapi siapa tahu, kamu ketemu sesuatu yang bisa bantu kamu keluar dari labirin itu.”
Damar ingin menolak, tapi ada sesuatu dalam cara Riani berbicara yang membuatnya ragu untuk langsung bilang ‘tidak’. Lagipula, ia sendiri sudah lelah merasa tersesat.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kita lihat aja nanti.”
Riani menepuk pundaknya. “Gitu dong! Hidup itu bukan cuma tentang logika dan algoritma, Dam. Kadang, kita perlu nyasar dulu buat tahu jalan pulang.”
Damar tersenyum kecil. Ia tidak tahu apakah festival seni itu akan mengubah apa pun, tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, ia merasa sedikit lebih ringan.
Pintu ke Dunia Baru
Festival seni kampus lebih ramai dari yang Damar bayangkan. Stand-stand berjejer di sepanjang lapangan utama, menampilkan berbagai karya seni mulai dari lukisan, fotografi, hingga kerajinan tangan. Di satu sudut, ada panggung kecil tempat musisi kampus menunjukkan bakat mereka. Suara gitar akustik dan dentingan piano bergema, bercampur dengan riuh tawa dan obrolan mahasiswa yang menikmati suasana.
Damar berjalan di samping Riani, matanya menyapu keramaian dengan sedikit canggung. Ia tidak terbiasa berada di lingkungan seperti ini. Festival seni bukan tempat yang biasanya ia datangi, dan sejak awal, ia ragu apakah ini bisa membantunya keluar dari kebingungannya.
“Kamu lihat-lihat aja dulu,” kata Riani sambil meliriknya. “Siapa tahu ada yang menarik.”
Damar mengangguk, meskipun masih belum yakin apa yang harus ia cari.
Mereka melewati stand lukisan, di mana beberapa mahasiswa sedang sibuk menjelaskan makna karya mereka kepada pengunjung. Salah satu lukisan menarik perhatian Damar—sebuah kanvas besar yang menggambarkan sosok manusia berjalan di labirin, dengan cahaya samar di kejauhan. Ia tersenyum miris. Rasanya seperti melihat representasi dirinya sendiri.
“Bagus, kan?” suara seseorang menyapanya.
Damar menoleh. Seorang mahasiswa dengan kaus bertuliskan Art is Freedom berdiri di sampingnya. “Ini lukisan gue,” lanjutnya. “Namanya Finding the Way. Tentang seseorang yang berusaha mencari jalan keluar dari kebingungan.”
Damar terdiam sesaat. “Kayak aku banget,” gumamnya tanpa sadar.
Seniman itu tertawa kecil. “Berarti kamu lagi dalam fase itu?”
“Kayaknya sih,” jawab Damar, masih menatap lukisan itu.
“Kebanyakan orang pernah ngerasain hal yang sama,” kata seniman itu santai. “Cuma masalahnya, nggak semua berani nyari jalannya sendiri.”
Damar tidak langsung menjawab, tapi kata-kata itu menempel di pikirannya saat ia melanjutkan langkah bersama Riani.
Mereka akhirnya sampai di depan panggung kecil yang tadi sempat Damar dengar dari kejauhan. Seorang mahasiswa dengan rambut gondrong sedang bermain gitar, menyanyikan lagu berbahasa Inggris dengan suara merdu yang mengalun lembut. Penonton terdiam, larut dalam melodi yang dimainkan.
Tanpa sadar, jantung Damar berdebar.
Bukan karena penyanyinya, bukan karena lirik lagunya, tapi karena sesuatu di dalam dirinya yang tiba-tiba terasa familiar. Ada getaran aneh yang perlahan muncul dari dalam hatinya, sesuatu yang sudah lama ia lupakan.
“Kamu suka musik?” tanya Riani, memperhatikan ekspresi Damar yang berubah.
Damar mengangguk pelan. “Dulu aku sering main gitar,” katanya lirih. “Tapi udah lama banget nggak nyentuh alat musik.”
“Kenapa berhenti?”
Damar menghela napas. “Karena katanya musik itu cuma hobi. Bukan sesuatu yang bisa dijadiin masa depan.”
Riani menatapnya dengan ekspresi serius. “Dan kamu percaya gitu aja?”
Damar diam.
Di atas panggung, si musisi menyelesaikan lagunya dengan petikan gitar terakhir, disambut tepuk tangan meriah dari penonton. Ia tersenyum lebar, matanya berbinar seolah dunia ini miliknya.
Damar menatap pemandangan itu, merasakan sesuatu bergemuruh dalam dadanya.
Mungkin, sudah waktunya ia membuka satu pintu lagi.
Senar yang Berbicara
Damar duduk di tepi tempat tidurnya, menatap benda yang kini ada di pangkuannya—gitar akustik tua dengan beberapa goresan di bodinya. Ia mengusap permukaannya perlahan, seakan sedang menyentuh kenangan yang lama terkubur.
Suaranya masih melekat di kepalanya—suara gitar dari festival seni, suara tepuk tangan penonton, suara Riani yang bertanya, “Dan kamu percaya gitu aja?”
Ia menarik napas dalam, lalu menekan senar dengan jemarinya yang sudah lama kaku. Suara yang keluar sedikit sumbang, tapi ada sesuatu dalam nada itu yang terasa… benar. Seakan sebagian dirinya yang hilang selama ini akhirnya kembali berbicara.
Beberapa hari setelah festival, Damar mulai menggali kembali kecintaannya pada musik. Ia menonton ulang video-video lama di ponselnya—rekaman saat ia masih SMA, bermain gitar di kamar, menyanyikan lagu-lagu kesukaannya. Ia bahkan menemukan video saat ia ikut lomba akustik di sekolah dulu, sesuatu yang dulu terasa begitu menyenangkan.
Tapi, seiring dengan kenangan itu, muncul juga ketakutan lama.
Dulu, ketika ia bilang ingin serius di musik, ayahnya hanya tertawa kecil. “Main gitar boleh, tapi ingat, itu cuma buat hiburan. Masa depan kamu ada di hal yang lebih pasti.”
Damar masih ingat bagaimana semangatnya perlahan redup setelah mendengar itu. Sejak saat itu, ia meyakinkan dirinya bahwa musik memang hanya sekadar hobi—sesuatu yang menyenangkan, tapi tidak cukup penting untuk dikejar.
Namun kini, di kamar kosnya yang sunyi, ia mulai meragukan semua yang pernah ia yakini.
“Kamu serius banget, Dam,” kata Riani saat mereka duduk di kantin kampus, melihat Damar sibuk mencari-cari tutorial musik di ponselnya.
Damar mengangkat bahu. “Aku lagi coba nginget-inget lagi. Udah lama banget nggak main.”
Riani tersenyum. “Jadi, kamu akhirnya sadar kalau ini sesuatu yang penting buat kamu?”
Damar menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, tapi aku juga nggak tahu harus gimana. Aku nggak mungkin ninggalin kuliah, tapi di sisi lain aku juga ngerasa harus ngelakuin ini.”
Riani menopang dagunya. “Ya, siapa bilang kamu harus milih salah satu? Kamu bisa jalanin dua-duanya.”
Damar mengerutkan kening. “Maksudnya?”
“Kuliah tetap lanjut, tapi musik juga kamu seriusin. Gabung ke komunitas, mulai bikin karya. Bukannya sekarang gampang banget buat upload lagu sendiri di internet?”
Damar terdiam. Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya. Selama ini, ia menganggap bahwa memilih satu jalan berarti meninggalkan yang lain. Tapi… bagaimana kalau memang ada cara untuk menjalani keduanya?
Beberapa minggu setelahnya, Damar mulai lebih serius. Ia bergabung dengan komunitas musik kampus setelah Riani menyeretnya ke salah satu pertemuan mereka. Awalnya ia merasa canggung, tapi begitu ia mulai bermain gitar bersama mereka, ia menyadari satu hal—ini adalah pertama kalinya dalam waktu yang lama ia merasa benar-benar hidup.
Malam itu, di kamar kosnya, ia merekam dirinya sendiri memainkan lagu pertamanya setelah bertahun-tahun. Dengan suara yang masih sedikit ragu, ia menyanyikan bait pertama, membiarkan senar-senar gitar berbicara untuknya.
Dan saat lagu itu selesai, untuk pertama kalinya, ia merasa telah menemukan sesuatu yang benar-benar miliknya.
Melodi Jati Diri
Damar berdiri di belakang panggung kecil di sudut kampus, jantungnya berdebar kencang. Tangannya menggenggam erat gitar yang sejak beberapa minggu terakhir menjadi teman setianya. Ia bisa mendengar suara penonton di luar, sebagian besar mahasiswa yang datang hanya untuk bersenang-senang, sebagian lagi mungkin benar-benar penasaran dengan penampilannya malam ini.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
“Gimana? Udah siap?” Riani muncul dari samping, menepuk pundaknya dengan senyum penuh dukungan.
Damar menatapnya dengan ekspresi setengah gugup, setengah bersemangat. “Kayaknya sih, nggak ada pilihan lain.”
Riani tertawa. “Ya udah, jangan dipikirin. Rasain aja momennya.”
Damar mengangguk, lalu melangkah ke atas panggung. Cahaya lampu menyorot ke arahnya, menyilaukan sejenak, tapi kemudian ia melihat wajah-wajah di depannya. Ada yang sibuk ngobrol, ada yang menunggu, ada juga yang langsung fokus saat melihatnya duduk di depan mikrofon.
Ia menyesuaikan posisi gitarnya, lalu berbicara ke mikrofon dengan suara yang lebih stabil dari yang ia kira.
“Halo semuanya. Ini pertama kalinya aku main di depan banyak orang lagi setelah bertahun-tahun. Aku nggak tahu ini bakal bagus atau nggak, tapi… ya, aku harap kalian suka.”
Beberapa orang bertepuk tangan kecil, memberi semangat.
Damar tersenyum tipis, lalu mulai memetik senar gitarnya.
Lagu yang ia mainkan bukan lagu orang lain. Ini lagu yang ia tulis sendiri—tentang kebingungan, tentang pencarian, tentang tersesat dan akhirnya menemukan jalan pulang. Ia menulisnya dalam beberapa malam tanpa tidur, membiarkan semua perasaan yang selama ini terpendam mengalir menjadi melodi.
Dan saat ia menyanyikannya, ia merasa seperti semua kepingan dirinya yang selama ini tercerai-berai akhirnya menyatu.
Ketika lagu berakhir, suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya tepuk tangan menggema. Beberapa orang bersiul, beberapa lagi berteriak memberi semangat.
Damar menatap mereka, lalu menoleh ke samping panggung, di mana Riani berdiri dengan senyum bangga.
Saat itu, Damar sadar—ia tidak lagi tersesat.
Ia telah menemukan jalannya.