Melodi Hujan di Puncak Bukit Arum: Kisah Penuh Emosi yang Tak Terlupakan

Posted on

Siapkan hati Anda untuk terhanyut dalam Melodi Hujan di Puncak Bukit Arum: Kisah Penuh Emosi yang Tak Terlupakan, sebuah cerpen yang mengisahkan ikatan mendalam antara Damar Kirani dan Citra Puspita di desa Widasari. Dengan latar Bukit Arum yang diselimuti aroma hujan dan kenangan, cerita ini memadukan tawa, air mata, dan pelajaran hidup tentang cinta, kehilangan, dan melodi abadi yang tercipta dari persahabatan sejati. Temukan bagaimana hujan menjadi saksi bisu perjalanan emosional mereka dalam cerita yang penuh makna ini.

Melodi Hujan di Puncak Bukit Arum

Pertemuan di Tengah Hujan

Di sebuah desa kecil bernama Widasari, yang terletak di lembah subur Jawa Timur, waktu seolah berjalan lebih lambat, seperti sungai kecil yang mengalir tenang di antara bebatuan. Desa ini dikelilingi perbukitan hijau, dan di salah satu puncaknya berdiri Bukit Arum, tempat yang dikenal dengan panorama indahnya dan udara yang selalu membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di sanalah, pada suatu sore yang kelabu di awal musim hujan, aku, Damar Kirani, pertama kali bertemu dengan Citra Puspita.

Aku baru saja berusia 15 tahun, seorang remaja yang lebih suka menyendiri dengan buku-buku dan imajinasiku. Keluargaku baru pindah ke Widasari setelah ayahku, seorang fotografer alam, memutuskan untuk mencari inspirasi baru di desa ini. Aku tak terlalu senang dengan keputusan itu—aku rindu hiruk-pikuk kota, rindu perpustakaan kecil di dekat rumah lamaku, dan rindu teman-temanku yang kini hanya bisa kuhubungi lewat pesan singkat. Widasari bagiku seperti buku tua yang halamannya berdebu, penuh cerita yang tak kutahu cara membukanya.

Hari itu, langit Widasari menangis tanpa henti, seperti seorang ibu yang meratapi kepergian anaknya. Hujan turun dengan deras, menciptakan melodi gemericik yang memenuhi udara. Aku memutuskan untuk mendaki Bukit Arum, meski ibuku memperingatkan agar aku menunggu hujan reda. “Damar, nanti kamu sakit!” serunya dari dapur, tapi aku hanya tersenyum dan mengenakan mantel hujan biru tua yang sudah sedikit usang. Aku membawa buku puisi karya Chairil Anwar, yang halaman-halamannya sudah mulai menguning, dan sebuah payung kecil yang entah kenapa terasa seperti perisai bagiku.

Jalur menuju Bukit Arum licin dan berlumpur, seperti jalanan yang menolak kehadiran manusia. Kakiku terpeleset beberapa kali, tapi aku terus mendaki, terdorong oleh rasa penasaran yang bercampur dengan keinginan untuk melarikan diri dari kesunyian yang menyelimuti hatiku sejak pindah ke sini. Saat akhirnya sampai di puncak, aku disambut oleh pemandangan yang membuat napasku terhenti sejenak—kabut tipis menyelimuti bukit, seperti selimut lembut yang dipeluk oleh angin, dan di kejauhan, Widasari terlihat kecil, seperti lukisan miniatur yang diterangi lampu-lampu samar.

Aku duduk di bawah sebuah pohon besar yang daun-daunnya meneteskan air hujan seperti air mata, membuka payungku yang berderit pelan, dan mulai membaca puisi. Baris-baris Chairil mengalir seperti sungai dalam hatiku, “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang…” Tiba-tiba, sebuah suara memecah kesunyian, lembut namun jelas, seperti lonceng kecil yang berdenting di tengah badai. “Kamu suka Chairil?”

Aku menoleh, sedikit tersentak. Di depanku berdiri seorang gadis, mungkin seusia denganku, dengan rambut panjang sehitam malam yang basah kuyup oleh hujan. Matanya seperti dua bintang yang terperangkap di langit kelabu, berkilau dengan rasa ingin tahu. Dia mengenakan mantel hujan berwarna kuning cerah, tapi air hujan tetap membasahi wajahnya, membuat pipinya berkilau seperti mutiara. Namanya, seperti yang kemudian kutahu, adalah Citra Puspita.

“Iya,” jawabku, suaraku terdengar lebih kecil dari yang kuinginkan. Aku bukan tipe yang pandai berbicara dengan orang baru, apalagi di tengah hujan yang membuatku merasa seperti aktor dalam drama melankolis.

Citra tersenyum, senyumnya hangat seperti sinar matahari yang menyelinap di sela-sela awan. “Aku juga suka. Tapi aku lebih suka dengerin hujan sambil baca puisi. Rasanya… kayak hujan ikut ngomong sama kita,” katanya sambil duduk di sampingku tanpa diminta, seolah-olah kami sudah saling kenal sejak lama. Dia mengeluarkan buku kecil dari tasnya, sebuah antologi puisi karya Sutardji Calzoum Bachri, dan mulai membaca dengan suara yang lembut, “Hujan adalah puisi yang jatuh dari langit…”

Aku terdiam, terpesona oleh caranya membaca. Suaranya seperti melodi, menyatu dengan gemericik hujan yang turun di sekitar kami. “Kamu sering ke sini?” tanyaku, mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba terasa canggung.

Citra mengangguk, matanya memandang ke arah Widasari yang diselimuti kabut. “Hampir tiap hari. Bukit ini… kayak sahabat buat aku. Dia denger semua ceritaku, meski cuma diam.” Dia tertawa kecil, suaranya seperti lonceng yang berdenting pelan. “Aku suka denger hujan di sini. Kayak dia nyanyi buat aku.”

Aku tersenyum, untuk pertama kalinya sejak pindah ke Widasari. Ada sesuatu dalam diri Citra yang membuatku merasa nyaman, seperti menemukan sebuah buku lama yang tiba-tiba membukakan cerita baru. Kami mulai berbincang, dari puisi hingga cerita-cerita kecil tentang desa ini. Citra bercerita tentang neneknya, seorang penenun kain tradisional yang dulu sering membawanya ke Bukit Arum untuk mencari inspirasi. “Nenek bilang, hujan itu doa yang turun dari langit. Makanya aku suka hujan,” katanya, matanya berbinar seperti bintang di malam cerah.

Malam itu, kami duduk di bawah pohon besar di Bukit Arum hingga hujan reda. Langit perlahan membuka tabirnya, memperlihatkan bintang-bintang yang berkelap-kelip seperti permata. Citra menunjuk salah satunya, “Itu Sirius. Bintang paling terang. Nenek bilang, bintang itu denger doa kita, asal kita nyanyi sama hujan.”

Aku tertawa, membayangkan bintang-bintang mendengarkan nyanyian kami. Untuk pertama kalinya, Widasari tidak lagi terasa asing. Citra, dengan caranya yang penuh keajaiban dan kehangatan, telah membukakan pintu dunia baru bagiku, sebuah dunia di mana hujan bukan sekadar air, melainkan puisi yang hidup.

Hari-hari berikutnya, aku dan Citra menjadi tak terpisahkan. Setiap sore, kami bertemu di Bukit Arum, kadang membaca puisi bersama, kadang hanya duduk diam mendengarkan hujan yang turun seperti air mata langit. Citra mengajariku cara membuat gelang dari daun pandan, meski jari-jariku selalu kaku dan hasilnya jauh dari rapi, membuat kami tertawa hingga perut sakit. Dia seperti angin yang bertiup lembut, membawa kehidupan pada hari-hariku yang dulu terasa hampa.

Namun, di balik senyumnya yang cerah, aku mulai merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Citra. Kadang, saat kami duduk bersama, dia akan tiba-tiba diam, memandang ke arah langit dengan tatapan kosong, seperti burung yang merindukan sayapnya. Aku ingin bertanya, tapi setiap kali aku mencoba, dia selalu mengalihkan pembicaraan dengan candaan atau cerita-cerita aneh tentang hujan dan bintang. Aku memilih untuk tidak memaksa, berpikir bahwa suatu saat dia akan terbuka.

Hingga suatu sore, ketika hujan turun lebih deras dari biasanya, kami berteduh di bawah pohon besar di Bukit Arum. Citra tiba-tiba berkata, “Damar, kalau suatu hari aku nggak bisa ke bukit ini lagi, kamu bakal tetap dengerin hujan, kan?”

Aku tertawa, mengira dia bercanda. “Mau ke mana? Jadi bintang di langit?”

Tapi dia tidak tertawa. Matanya memandangku dengan serius, seperti langit yang akan runtuh. “Cuma… janji aja, ya. Jangan lupain melodi hujan, jangan lupain cerita kita.”

Aku mengangguk, meski ada perasaan aneh yang merayap di dadaku, seperti kabut yang perlahan menyelimuti bukit. “Janji,” kataku, tanpa tahu bahwa kata-kata itu akan menjadi awal dari sebuah perjalanan yang penuh dengan tawa, air mata, dan kenangan yang tak pernah pudar.

Rahasia di Balik Tetesan Hujan

Musim hujan di Widasari berlangsung seperti simfoni yang tak pernah usai, dengan tetesan air yang bagaikan nada-nada lembut yang dimainkan oleh langit. Setiap sore, setelah membantu ibu menyapu halaman rumah atau ayah merapikan peralatan fotografinya, aku, Damar Kirani, bergegas ke Bukit Arum, tempat yang kini menjadi lebih dari sekadar puncak berbatu bagiku. Di sana, Citra Puspita selalu menunggu, seperti bunga yang mekar di tengah badai, membawa kehangatan di tengah udara dingin yang menusuk tulang.

Hari itu, tanggal 5 Juni 2025, pukul 03:45 sore WIB, langit Widasari kembali menangis, tapi hujannya lebih lembut, seperti bisikan seorang sahabat yang penuh kasih sayang. Aku mendaki bukit dengan mantel hujan biru tua yang sudah mulai robek di ujungnya, membawa buku puisi dan sebatang pensil untuk mencatat ide-ide yang sering muncul saat aku bersama Citra. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi rerumputan liar menyapa hidungku, dan di kejauhan, aku melihat Citra duduk di bawah pohon besar, memandang langit dengan tatapan yang seolah-olah mencoba menangkap rahasia hujan.

“Damar, kamu datang!” serunya saat aku mendekat, suaranya lembut seperti desau angin yang menyelinap di sela-sela daun. Dia mengenakan mantel kuningnya yang cerah, tapi rambutnya tetap basah, seperti sutra hitam yang berkilau di bawah tetesan air. Di tangannya, dia memegang sehelai kain tenun kecil berwarna merah tua, pola bunga-bunga kecil menghiasinya seperti lukisan alam.

“Iya, maaf telat. Tadi ayah minta bantu beresin kamera,” kataku sambil duduk di sampingnya, membuka payung kecilku yang berderit seperti nyanyian tua. “Itu kain apa?”

Citra tersenyum, tapi ada bayang-bayang kesedihan di matanya, seperti awan kecil yang melintas di langit cerah. “Ini kain tenun buatan nenek,” katanya, jari-jarinya mengelus pola bunga itu dengan lembut, seolah-olah sedang menyapa kenangan. “Nenekku dulu sering bikin kain kayak gini. Dia bilang, setiap jahitan itu kayak doa, dan kalau kita pake kain ini, doa-doa itu bakal ikut kita ke mana pun kita pergi.”

Aku memandang kain itu, terpesona oleh detailnya yang halus. “Nenekmu pasti orang yang hebat,” kataku, mencoba membaca ekspresinya yang kini terlihat lebih muram.

Citra mengangguk, tapi suaranya tiba-tiba bergetar, seperti daun yang gemetar diterpa angin kencang. “Dia… nggak ada lagi, Damar. Dua tahun lalu, nenekku pergi. Dia sakit lama, batuk-batuk terus, sampai akhirnya tubuhnya nggak kuat lagi. Dokter bilang itu kanker paru-paru, tapi aku nggak ngerti apa itu. Aku cuma tahu… aku kehilangan orang yang paling sayang sama aku.”

Aku terdiam, merasakan hati seperti ditusuk oleh duri-duri kecil yang tak terlihat. Aku ingin berkata sesuatu, tapi kata-kata terasa seperti burung yang terperangkap di tenggorokanku. Citra melanjutkan, matanya kini berkaca-kaca, seperti danau kecil yang menampung air hujan. “Nenek suka bawa aku ke sini, ke Bukit Arum. Dia bilang, hujan itu temen kita, Damar. Dia nyanyi buat kita, nyanyi buat orang-orang yang kita sayang, meski mereka udah nggak ada.”

Aku memegang tangannya, merasakan dinginnya jari-jarinya yang sedikit gemetar. “Citra… aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi… aku yakin nenekmu dengerin hujan bareng kamu, dari langit.”

Citra tersenyum tipis, tapi air mata akhirnya jatuh, seperti mutiara yang lepas dari talinya. “Aku cuma… kangen dia, Damar. Kangen denger cerita-ceritanya, kangen lihat dia tenun kain, kangen denger dia bilang, ‘Citra, kamu bunga yang bakal mekar di mana aja’.” Dia menunduk, menyeka air matanya dengan ujung mantelnya. “Makanya aku suka ke sini, biar rasanya nenek masih ada, nyanyi bareng hujan.”

Aku memeluknya, membiarkan hujan di sekitar kami menjadi saksi bisu atas kesedihan yang dia bagi. Di bawah pohon besar itu, di tengah melodi hujan yang lembut, aku merasakan beban yang selama ini Citra pikul sendirian, seperti seorang musafir yang membawa dunia di pundaknya. Aku tak bisa membayangkan kehilangan seseorang yang begitu berarti, tapi aku tahu aku ingin ada untuk Citra, seperti dia telah menjadi sinar mentari di hari-hari kelabuku.

Setelah beberapa saat, hujan mulai reda, meninggalkan udara yang segar dan aroma tanah yang lebih kuat. Kami keluar dari bawah pohon dan duduk di atas rumput basah, memandang langit yang kini mulai memperlihatkan secercah bintang. Citra menunjuk salah satu bintang yang berkelap-kelip, “Itu Sirius. Nenek bilang, dia bakal jadi bintang itu, biar aku nggak lupa sama dia.”

Aku tersenyum, meski hatiku masih terasa berat. “Kalau dia bintang, aku yakin dia dengerin kita nyanyi sekarang,” kataku, mencoba menghibur.

Citra tertawa kecil, suara yang kini terdengar lebih ringan, seperti angin yang kembali bertiup lembut. “Kamu lucu, Damar. Makanya aku suka ngajak kamu ke sini.”

Hari-hari setelah itu, persahabatan kami semakin erat. Citra mulai lebih terbuka, meski kadang aku masih melihat bayang-bayang kesedihan di matanya, seperti awan kecil yang tak pernah benar-benar pergi. Kami menghabiskan waktu dengan petualangan kecil—membuat perahu kertas dari daun untuk dihanyutkan di genangan air hujan, mengumpulkan bunga liar yang tumbuh di sela-sela bukit, atau sekadar duduk diam mendengarkan hujan yang turun seperti puisi yang tak pernah selesai. Tapi di balik semua tawa dan cerita, aku tahu ada luka yang masih belum sembuh di hati Citra.

Suatu sore, saat kami sedang membuat gelang dari daun pandan di bawah pohon besar, Citra tiba-tiba berkata, “Damar, kalau suatu hari aku nggak bisa dengerin hujan bareng kamu, kamu bakal nyanyi buat aku sama nenek, kan?”

Pertanyaan itu kembali membuatku merasa tak nyaman, seperti ada kabut dingin yang merayap di punggungku. “Jangan ngomong gitu, Citra. Kamu nggak ke mana-mana. Kita masih harus dengerin hujan bareng, bikin gelang yang lebih rapi, nyanyi buat bintang-bintang!”

Dia tersenyum, tapi senyumnya seperti langit sebelum badai—penuh rahasia yang tak terucapkan. “Iya, nyanyi buat bintang,” katanya pelan, lalu kembali fokus pada gelang yang sedang dia buat.

Aku tidak tahu saat itu, bahwa kata-kata Citra bukan sekadar candaan. Ada rahasia lain yang masih dia simpan, sebuah rahasia yang akan mengubah segalanya, dan membuatku belajar arti sebenarnya dari persahabatan, kehilangan, dan melodi hujan yang abadi.

Bayang Hujan yang Memudar

Musim hujan di Widasari kini memasuki puncaknya, seperti sebuah simfoni yang semakin bergema, membawa tetesan air yang bagaikan mutiara jatuh dari langit kelabu. Pagi itu, 5 Juni 2025, pukul 10:51 WIB, hujan turun dengan lembut, menciptakan pola-pola air di jendela kamarku, seperti lukisan abstrak yang terus berubah. Aku, Damar Kirani, bangun dengan perasaan campur aduk—ada kehangatan dari persahabatan yang kini kuhadapi bersama Citra Puspita, tapi juga bayang-bayang gelisah yang terus menari di sudut hatiku sejak dia menyebutkan kata-kata aneh tentang “tidak bisa mendengar hujan lagi.”

Setelah membantu ibu menyapu halaman yang basah dan ayah memeriksa peralatan kameranya yang mulai berkarat akibat kelembapan, aku bergegas ke Bukit Arum. Aku membawa mantel hujan biru tua yang sudah robek di pinggirnya, buku puisi yang kini penuh coretan-catatan, dan sebotol teh hangat yang ibu masukkan ke tas kainku. Jalur menuju bukit licin, seperti tangga kristal yang digerogoti waktu, tapi aku sudah terbiasa, langkahku mantap meski sesekali tergelincir oleh lumpur.

Citra sudah ada di puncak, duduk di bawah pohon besar yang daun-daunnya meneteskan air seperti air mata yang tak pernah habis. Dia mengenakan mantel kuningnya yang kini tampak kusam, dan di tangannya ada kain tenun merah tua yang selalu dia bawa. Wajahnya pucat, seperti bulan yang tersembunyi di balik awan tebal, dan matanya terlihat lelah, seolah-olah dia membawa beban yang tak terucapkan. “Damar, kamu datang,” katanya dengan suara yang lemah, seperti angin yang hampir hilang di tengah badai.

Aku duduk di sampingnya, membuka payung kecilku yang berderit seperti nyanyian tua, dan menatapnya dengan cemas. “Citra, kamu baik-baik aja? Kayaknya kamu capek banget,” kataku, mencoba membaca ekspresinya yang kini seperti buku tertutup dengan halaman yang sobek.

Dia tersenyum tipis, tapi senyumnya seperti bunga yang layu di tepi musim. “Iya, cuma… kurang tidur. Tadi malam hujan deras, aku nggak bisa tidur, terus mikir nenek.” Dia berhenti sejenak, jari-jarinya mengelus kain tenun itu dengan lembut, seolah-olah mencari kehangatan dari masa lalu. “Damar, aku mau bilang sesuatu, tapi… aku takut.”

Hatiku berdegup kencang, seperti drum yang dipukul di tengah malam sunyi. “Bilang apa? Citra, kamu tahu aku selalu dengerin kamu,” kataku, memegang tangannya yang dingin seperti es yang tersisa di musim dingin.

Citra menarik napas dalam, matanya memandang ke arah langit yang masih menangis. “Aku… sakit, Damar. Udah lama, sejak nenek pergi. Dokter bilang aku punya penyakit jantung. Awalnya cuma sesekali napas pendek, tapi sekarang… aku sering pingsan, sering lelet jalannya. Mereka bilang, aku butuh operasi, tapi keluargaku nggak punya uang cukup. Aku… takut aku nggak bisa ke Bukit Arum lagi.”

Dunia seolah berhenti berputar, seperti piringan hitam yang tiba-tiba terhenti di tengah lagu. Aku menatapnya, tak percaya, air mataku mulai menggenang seperti danau yang tergenang hujan. “Citra… kenapa nggak bilang dari awal? Kamu nggak boleh nyerah! Kita cari cara, kita minta tolong—”

Dia menggelengkan kepala, tangannya menekan tanganku dengan lemah, seperti burung yang kehilangan sayapnya. “Aku nggak mau kamu sedih, Damar. Aku pengen kita tetap kayak gini—dengerin hujan, baca puisi, ketawa bareng. Aku takut kalau aku bilang, kamu bakal lihat aku cuma sebagai orang sakit, bukan Citra yang suka nyanyi sama hujan.”

Aku memeluknya erat, membiarkan air mataku jatuh bercampur dengan tetesan hujan di mantelnya. “Kamu nggak cuma itu buat aku, Citra. Kamu sahabatku, dan aku nggak mau kehilangan kamu. Kita harus cari cara, kita harus ke dokter bareng!” Suaraku bergetar, seperti dawai gitar yang dipetik dengan tangan gemetar.

Citra tersenyum, tapi ada ketenangan aneh di matanya, seperti langit yang menerima badai. “Aku janji, Damar. Aku bakal coba. Tapi… kalau aku nggak bisa, kamu harus janji ke sini, nyanyi buat aku sama nenek. Janji?”

Aku mengangguk, meski hatiku menolak kenyataan itu dengan sekuat tenaga. “Janji,” bisikku, sambil menahan isak tangis yang mengguncang dadaku.

Hari-hari setelah pengakuan Citra terasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh. Aku masih bertemu dengannya setiap sore di Bukit Arum, tapi kini aku lebih peka pada setiap detail—caranya tersenyum meski napasnya tersengal, caranya tetap berusaha bercanda meski wajahnya pucat, dan caranya memandang hujan dengan penuh cinta, seolah-olah itu adalah teman terakhirnya. Kami masih membaca puisi, membuat gelang daun pandan, dan mendengarkan melodi hujan, tapi ada bayang-bayang yang mengikuti kami, seperti awan hitam yang tak pernah benar-benar pergi.

Suatu malam, saat hujan turun dengan lembut, kami duduk di bawah pohon besar, dan Citra menyerahkan sesuatu padaku—kain tenun merah tua yang selalu dia bawa. “Ini buat kamu,” katanya, suaranya lemah tapi penuh kehangatan. “Supaya kamu inget, nenek sama aku selalu ada di hujan, di Bukit Arum.”

Aku memegang kain itu, merasakan tekstur kasar yang penuh cerita, dan aku tahu bahwa apa pun yang terjadi, Citra telah meninggalkan jejak di hidupku yang tak akan pernah pudar. Tapi di dalam hati, aku berdoa, memohon pada hujan dan bintang-bintang yang dia cintai, agar Citra diberi waktu lebih lama, agar persahabatan kami tak berakhir di sini, agar melodi hujan terus bergema untuk kami berdua.

Hujan yang Tak Lagi Bernyanyi

Waktu di Widasari seolah menjadi musuh yang tak terlihat, berlalu dengan cepat seperti air hujan yang mengalir di sela-sela bebatuan Bukit Arum. Pagi itu, tanggal 5 Juni 2025, pukul 10:54 WIB, langit kembali menangis, tapi hujannya lebih deras, seperti jeritan langit yang tak bisa ditahan. Aku, Damar Kirani, berdiri di beranda rumah, memandangi tetesan air yang jatuh seperti air mata yang tak pernah usai, hatiku terasa hampa. Sejak Citra Puspita mengaku tentang penyakit jantungnya, setiap hari terasa seperti menari di tepi jurang—penuh harap, tapi juga ketakutan yang merayap seperti kabut dingin.

Citra semakin lemah. Dia tak lagi bisa mendaki Bukit Arum dengan langkah ringan seperti dulu. Aku sering mengunjunginya di rumahnya, sebuah bangunan kayu sederhana dengan atap seng yang berderit setiap kali hujan turun. Ibunya, seorang wanita dengan wajah penuh kerut namun penuh kelembutan, selalu menyambutku dengan teh hangat dan senyum yang dipaksakan. “Citra seneng banget kalau kamu dateng, Damar,” katanya suatu hari, tapi matanya berkaca-kaca, seperti danau yang menahan banjir.

Aku masuk ke kamar kecil Citra, di mana dia berbaring di ranjang sederhana, tubuhnya tertutup selimut tua yang ibunya jahit. Wajahnya pucat, seperti bulan yang kehilangan cahayanya, dan napasnya pendek, seperti angin yang tersesat di lorong sempit. Di sampingnya, kain tenun merah tua yang dia berikan padaku terletak rapi, seperti simbol kenangan yang tak pernah pudar. “Damar,” bisiknya saat aku duduk di sampingnya, suaranya lelet seperti daun yang jatuh perlahan di musim gugur. “Hujan… nyanyi应用

Aku memegang tangannya yang dingin, merasakan getaran kecil di jari-jarinya. “Aku denger, Damar,” katanya, matanya yang dulu berkilau seperti bintang kini redup, seperti lampu yang akan padam. “Hujan… nyanyi hari ini.”

Aku tersenyum, meski hatiku terasa seperti disayat. “Iya, Citra. Dia nyanyi buat kita,” kataku, mencoba menghibur, tapi air mataku sudah menggenang, seperti hujan yang turun di luar.

Citra tersenyum tipis, senyumnya seperti bunga yang layu namun tetap indah. “Aku… nggak takut, Damar. Aku bakal denger hujan bareng nenek… di langit. Tapi… janji, ya, nyanyi buat aku… di Bukit Arum.” Napasnya tersengal, dan aku tahu waktu kami hampir habis.

Aku mengangguk, air mata akhirnya jatuh, seperti sungai yang meluap. “Janji, Citra. Aku janji,” bisikku, memeluk tangannya erat, seolah-olah aku bisa menahan waktu dengan pelukanku.

Malam itu, pukul 22:17 WIB, Citra pergi dengan tenang, seperti daun yang akhirnya lepas dari dahan, terbawa angin malam yang dingin. Ibunya menangis dalam diam, dan aku hanya bisa berdiri di samping ranjangnya, memandangi wajahnya yang damai, seperti bidadari yang kembali ke langit.

Hari-hari setelah kepergian Citra terasa seperti malam tanpa bintang. Widasari yang dulu hidup dengan melodi hujan kini terasa hampa, seperti sebuah lagu yang kehilangan nadanya. Aku berhenti ke Bukit Arum untuk sementara, karena setiap langkah di sana terasa seperti pisau yang menusuk dadaku. Tapi suatu malam, ketika bulan purnama menerangi desa dengan cahaya perak, aku mengambil kain tenun merah tua itu dan berjalan ke Bukit Arum.

Jalur menuju puncak bukit terasa lebih berat dari biasanya, seperti membawa dunia di pundakku. Hujan turun lembut, seperti bisikan terakhir dari langit, dan aku duduk di bawah pohon besar, tempat kami biasa berteduh. Aku memandang langit, mencari Sirius, bintang yang Citra bilang akan mendengar doa kami. Dengan suara yang gemetar, aku mulai bernyanyi—lagu sederhana yang pernah kami nyanyikan bersama, tentang hujan yang jatuh seperti puisi. Air mataku bercampur dengan tetesan hujan, tapi aku terus bernyanyi, merasa hujan menjawab dengan melodi yang lembut, seolah-olah Citra dan neneknya mendengarkan dari langit.

Aku menggenggam kain tenun itu, merasakan setiap jahitan yang penuh doa, dan aku tahu bahwa meski Citra telah pergi, melodi hujan akan selalu membawa kenangannya kembali padaku. Bukit Arum, dengan pohon besar dan aroma tanah basahnya, menjadi saksi abadi atas persahabatan kami—persahabatan yang penuh tawa, air mata, dan cinta yang tak pernah padam, seperti bintang yang tetap bersinar meski langit telah gelap.

Hingga kini, setiap kali aku merasa kehilangan arah, aku kembali ke Bukit Arum. Aku membawa kain tenun merah tua, buku puisi yang penuh coretan, dan kenangan tentang sahabat yang mengajariku bahwa hidup adalah tentang mendengarkan melodi hujan, bahkan di tengah badai. Citra Puspita kini menjadi bagian dari langit, dan aku, Damar Kirani, akan terus bernyanyi untuknya, di bawah hujan Widasari yang tak pernah benar-benar berhenti.

Melodi Hujan di Puncak Bukit Arum adalah sebuah mahakarya emosional yang mengajarkan kita untuk menghargai setiap tetes hujan dan kenangan bersama orang tersayang, karena di dalamnya tersimpan melodi abadi yang tak pernah padam. Kisah Damar dan Citra akan terus bergema di hati pembaca, mengingatkan bahwa persahabatan sejati mampu melampaui waktu, seperti hujan yang selalu kembali menyapa bumi. Jangan lewatkan cerpen ini untuk merasakan kehangatan dan kedalaman emosi yang ditawarkannya.

Terima kasih telah menyelami kisah penuh emosi ini bersama kami! Semoga cerita Damar dan Citra menginspirasi Anda untuk mendengarkan melodi hujan dalam hidup Anda sendiri. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan teruslah mencari cerita-cerita yang menyentuh jiwa!

Leave a Reply