Daftar Isi
Merindukan kampung halaman? Cerpen Melaju di Antara Rindu: Perjalanan Pulang Kampung yang Mengoyak Hati mengajak Anda menyelami kisah Vionara Kinasih, seorang perempuan yang kembali ke Sukamendala setelah dua tahun terjebak hiruk-pikuk Jakarta. Penuh dengan emosi mendalam, cerita ini menggambarkan perjuangan, kerinduan, dan ikatan keluarga yang tak lekang oleh waktu. Dari aroma tanah basah hingga pelukan hangat ibunya, cerpen ini menghadirkan pengalaman pulang kampung yang begitu nyata dan menyentuh hati. Siapkah Anda terhanyut dalam perjalanan emosional yang sarat makna ini?
Melaju di Antara Rindu
Aroma Tanah yang Memanggil
Langit Jakarta pagi itu kelabu, seolah mencerminkan hati Vionara Kinasih yang sedang bergolak. Di sudut kamar kontrakannya yang sempit di bilangan Kuningan, ia duduk di tepi ranjang, menatap koper tua berwarna cokelat yang sudah lusuh di sudut ruangan. Koper itu, peninggalan mendiang ayahnya, selalu setia menemaninya setiap kali ia pulang ke kampung halamannya di sebuah desa kecil bernama Sukamendala, di pelosok Jawa Tengah. Namun, kali ini, perjalanan pulang itu terasa berbeda—ada beban tak kasat mata yang menggantung di dadanya, seolah-olah udara di sekitarnya lebih berat dari biasanya.
Vionara, atau yang biasa dipanggil Viona oleh teman-temannya, adalah seorang perempuan berusia 29 tahun dengan rambut panjang bergelombang yang selalu diikat asal-asalan. Matanya yang cokelat tua menyimpan cerita-cerita yang tak pernah ia bagi, bahkan kepada sahabat terdekatnya. Ia bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan kecil di Jakarta, sebuah pekerjaan yang ia sukai meski sering membuatnya lembur hingga larut malam. Di balik meja kerjanya yang penuh tumpukan naskah, ia sering melamun, mengenang aroma tanah basah di sawah Sukamendala, suara ayam berkokok di pagi hari, dan tawa ibunya yang hangat saat mereka duduk bersama di beranda rumah kayu.
Namun, sudah dua tahun sejak terakhir kali Viona pulang. Kehidupan di Jakarta, dengan segala hiruk-pikuk dan tagihan yang tak pernah berhenti, membuatnya terjebak dalam rutinitas yang melelahkan. Setiap kali ia berniat pulang, selalu ada alasan untuk menunda: deadline proyek, rapat mendadak, atau sekadar kelelahan yang membuatnya tak punya tenaga untuk menempuh perjalanan delapan jam ke desa. Tapi, seminggu lalu, sebuah telepon dari ibunya, Nyai Sarijem, mengubah segalanya.
“Viona, kapan kamu pulang? Ibu kangen. Adikmu, Sukma, juga tanya-tanya terus soal kamu,” ujar ibunya dengan suara yang lembut namun penuh kerinduan. Di ujung telepon, Viona bisa mendengar nada yang berbeda—ada getar yang tak biasa, seperti ibunya sedang menyembunyikan sesuatu. “Kampung lagi sepi, Nak. Rumah ini rasanya kosong tanpa kamu.”
Ucapan itu mengguncang Viona. Ia tahu ibunya bukan tipe orang yang suka mengeluh atau memaksa. Nyai Sarijem adalah perempuan tangguh yang membesarkan Viona dan adiknya, Sukma Ardana, sendirian setelah ayah mereka, Pak Sutarman, meninggal dalam kecelakaan kerja di proyek pembangunan bendungan sepuluh tahun lalu. Mendengar nada rapuh di suara ibunya, Viona merasa seperti ditampar. Ia langsung memesan tiket bus malam untuk akhir pekan ini, tanpa berpikir panjang.
Kini, di pagi yang kelabu itu, Viona menyeret koper tua itu ke pintu. Ia memeriksa isi tasnya sekali lagi: pakaian untuk tiga hari, sebotol air mineral, camilan, dan sebuah buku puisi karya Sapardi Djoko Damono yang selalu ia bawa saat bepergian. Di sudut tas, ia memasukkan sebuah kotak kecil berisi gelang perak sederhana—hadiah untuk ibunya yang ia beli dari tabungannya. Gelang itu tak mahal, tapi Viona tahu ibunya akan menghargai apa pun yang diberikan anaknya.
Perjalanan menuju terminal bus di Kampung Rambutan terasa seperti ritual yang sudah lama terlupakan. Viona naik ojek online, memeluk tas ranselnya erat-erat sambil menatap jalanan Jakarta yang macet. Bau asap knalpot bercampur dengan aroma kopi dari warung pinggir jalan. Di tengah kebisingan kota, pikirannya melayang ke Sukamendala. Ia membayangkan jalanan tanah yang berdebu di musim kemarau, pohon kelapa yang menjulang di tepi sawah, dan suara aliran sungai kecil yang mengalir di belakang rumahnya. Tapi di balik bayangan indah itu, ada perasaan cemas yang tak bisa ia tepis. Ada apa dengan ibunya? Mengapa suaranya terdengar begitu rapuh?
Sesampainya di terminal, Viona disambut oleh hiruk-pikuk yang khas: suara klakson bus, teriakan calo yang menawarkan tiket, dan aroma keringat bercampur asap rokok. Ia menemukan bus malamnya, sebuah bus tua dengan cat biru pudar yang bertuliskan “Sukamendala Ekspres” di sisinya. Sopir bus, seorang pria paruh baya bernama Pak Mulyono, menyapanya dengan senyum lebar. “Lama nggak pulang, Mbak Viona? Ibu sama Sukma sehat, kan?” tanyanya sambil membantu mengangkat koper ke bagasi.
Viona tersenyum tipis. “Sehat, Pak. Tapi saya kangen banget sama mereka.” Ia tak ingin bercerita lebih banyak, takut emosinya meluap di depan orang lain. Ia naik ke bus dan memilih kursi di dekat jendela. Di saku jaketnya, ia meraba ponselnya, berharap ada pesan dari ibunya, tapi layar ponsel tetap kosong.
Saat bus mulai melaju meninggalkan terminal, matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan semburat oranye yang memudar. Viona menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi Jakarta perlahan digantikan oleh hamparan sawah dan pohon-pohon kelapa di pinggir jalan tol. Bunyi mesin bus yang berderit-derit bercampur dengan lagu dangdut lawas yang diputar sopir, menciptakan suasana yang anehnya menenangkan. Viona memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan.
Ia teringat masa kecilnya di Sukamendala. Setiap sore, ia dan Sukma akan berlari ke sawah untuk mengejar capung, kaki mereka penuh lumpur dan tawa mereka menggema di udara. Ibu mereka akan memanggil dari beranda, “Viona, Sukma, masuk! Makan malam sudah siap!” Mereka akan pulang dengan wajah kotor tapi bahagia, duduk di lantai kayu sambil menyantap nasi hangat dengan sambal terasi dan ikan asin. Ayah mereka, yang saat itu masih ada, akan menceritakan kisah-kisah lucu tentang masa mudanya, membuat Viona dan Sukma tergelak sampai perut mereka sakit.
Namun, kenangan itu selalu diakhiri oleh bayang-bayang kematian ayahnya. Viona masih ingat hari itu dengan jelas: ia berusia 19 tahun, baru saja lulus SMA, ketika kabar duka datang. Truk yang membawa material bendungan terguling, menimpa ayahnya. Nyai Sarijem tak menangis di depan anak-anaknya, tapi Viona tahu ibunya menangis diam-diam di malam hari, saat ia kira semua orang sudah tidur. Sejak itu, Viona berjanji akan bekerja keras untuk membuat ibunya bangga, meski itu berarti ia harus meninggalkan Sukamendala dan merantau ke Jakarta.
Kini, di dalam bus yang bergoyang pelan, Viona merasa air matanya mulai menggenang. Ia cepat-cepat mengusap matanya, tak ingin penumpang lain melihat. Di sebelahnya, seorang ibu muda sedang menimang anaknya yang rewel, berusaha menenangkannya dengan nyanyian pelan. Viona teringat ibunya lagi. Nyai Sarijem selalu bernyanyi untuknya dan Sukma saat mereka kecil, lagu-lagu daerah yang sederhana namun penuh makna. “Ibu, tunggu aku, ya,” gumam Viona dalam hati, seolah ibunya bisa mendengarnya dari ratusan kilometer jauhnya.
Malam semakin larut, dan bus terus melaju melewati kota-kota kecil yang mulai sepi. Lampu-lampu jalanan berkedip di kejauhan, seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Viona membuka buku puisinya, mencoba mengalihkan pikiran. Ia membaca baris-baris Sapardi: “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.” Puisi itu membuat hatinya semakin perih. Ia ingin pulang, ingin memeluk ibunya, ingin meminta maaf karena terlalu lama menunda kepulangan. Tapi di lubuk hatinya, ia takut—takut menemukan sesuatu yang tak ingin ia hadapi.
Bus berhenti sejenak di sebuah rest area di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Viona turun untuk membeli segelas teh hangat, berharap kehangatannya bisa meredakan kegelisahan di dadanya. Di kejauhan, ia melihat bintang-bintang bertaburan di langit, begitu jernih, begitu berbeda dari langit Jakarta yang selalu tertutup polusi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencium aroma tanah dan rumput yang basah oleh embun malam. “Sukamendala, aku datang,” bisiknya pada angin.
Perjalanan masih panjang, dan Viona tahu, apa pun yang menantinya di kampung, akan mengubah hidupnya. Ia kembali ke bus, memeluk tasnya, dan menatap keluar jendela, siap menghadapi apa yang akan datang—atau setidaknya, berusaha untuk siap.
Jalan yang Berliku
Bus “Sukamendala Ekspres” terus melaju di tengah kegelapan malam, meninggalkan rest area dengan deru mesin yang berderit pelan. Vionara Kinasih duduk di kursi dekat jendela, menatap bayangan pohon-pohon kelapa yang berlalu cepat di luar, seolah-olah mereka sedang berlari menjauh dari sesuatu. Cahaya lampu jalanan sesekali menyelinap masuk, menerangi wajahnya yang penuh kerinduan bercampur kecemasan. Teh hangat yang ia beli di rest area sudah mulai dingin di tangannya, tapi ia tetap memegang gelas plastik itu erat-erat, seolah mencari pegangan di tengah gelombang emosi yang tak kunjung reda.
Perjalanan malam itu terasa seperti perjalanan menembus waktu. Setiap kilometer yang dilalui membawa Viona lebih dekat ke Sukamendala, namun juga semakin menyeretnya ke dalam labirin kenangan. Ia teringat masa-masa setelah kematian ayahnya, ketika ia dan ibunya, Nyai Sarijem, harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Sukma Ardana, adiknya yang saat itu masih berusia sembilan tahun, sering kali tak mengerti mengapa ayah mereka tak pernah kembali. “Kapan Bapak pulang, Mbak?” tanyanya berulang-ulang, dengan mata polos yang membuat hati Viona perih. Viona tak pernah tahu bagaimana menjawab tanpa menyakiti adiknya, jadi ia hanya memeluk Sukma erat-erat, berharap pelukannya bisa menggantikan kata-kata.
Kini, Sukma sudah berusia 19 tahun, seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi kecil di kota tetangga, Purwokerto. Dari cerita-cerita singkat ibunya di telepon, Viona tahu Sukma tumbuh menjadi gadis yang cerdas namun keras kepala, penuh semangat tapi sering kali terlalu impulsif. Viona sering merasa bersalah karena tak bisa berada di sisi Sukma selama masa remajanya yang penuh gejolak. Jakarta, dengan segala tuntutannya, telah mencuri begitu banyak waktu darinya—waktu yang seharusnya ia habiskan bersama keluarganya.
Bus tiba-tiba melambat, mengeluarkan suara desis keras saat sopir, Pak Mulyono, menginjak rem. Viona tersentak dari lamunannya. Di depan, lampu-lampu mobil berkedip-kedip, menandakan kemacetan. “Ada apa, Pak?” tanya seorang penumpang dari baris belakang, suaranya penuh rasa penasaran bercampur jengkel. Pak Mulyono mengintip dari jendela sopir, lalu menghela napas. “Kayaknya ada pohon tumbang di depan, Mas. Jalan ke arah Brebes ini memang rawan kalau malam gini,” jawabnya dengan nada tenang, tapi Viona bisa melihat kerutan di dahinya.
Viona memandang keluar jendela, mencoba melihat apa yang terjadi. Di kejauhan, ia bisa melihat siluet beberapa orang berdiri di pinggir jalan, memegang senter yang sinarnya menyapu-nyapu kegelapan. Pohon besar yang tumbang tampak seperti raksasa yang rebah, cabang-cabangnya menutupi separuh jalan. Angin malam bertiup kencang, membawa aroma tanah basah dan daun-daun kering yang berderit di aspal. Viona merasa jantungan di dadanya semakin cepat. Ia tak suka menunggu, apalagi di tengah malam di jalan yang asing. Tapi lebih dari itu, ia takut perjalanan ini akan tertunda lebih lama, menjauhkannya dari ibunya yang sedang menunggu.
Untuk mengalihkan pikiran, Viona mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ia menemukan sebuah foto lama: ia, Sukma, dan Nyai Sarijem duduk di beranda rumah kayu mereka di Sukamendala. Foto itu diambil tiga tahun lalu, saat Viona terakhir kali pulang untuk Lebaran. Dalam foto itu, ibunya tersenyum lebar, wajahnya yang sudah mulai keriput tetap memancarkan kehangatan. Sukma, dengan rambut pendek dan kaus oblong yang kebesaran, memamerkan giginya yang sedikit ompong sambil memeluk Viona. Viona sendiri tampak canggung, tapi matanya berbinar, bahagia bisa berada di rumah.
Melihat foto itu, Viona merasa air matanya kembali menggenang. Ia buru-buru mengusap matanya dengan lengan jaketnya, tak ingin penumpang lain memperhatikan. Di sebelahnya, ibu muda yang tadi menimang anaknya kini tertidur, anaknya meringkuk di pangkuannya dengan napas pelan. Viona iri pada ketenangan mereka. Pikirannya terus berputar, dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab: Mengapa ibunya terdengar begitu rapuh di telepon? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan darinya? Dan Sukma—apakah adiknya baik-baik saja?
Kemacetan akhirnya berakhir setelah hampir satu jam. Pak Mulyono mengumumkan dengan suara lega bahwa jalan sudah dibersihkan, dan bus kembali melaju. Viona menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia membuka buku puisinya lagi, berharap kata-kata Sapardi bisa menenangkan hatinya. Ia membaca sebuah bait yang pernah ia tandai dengan pulpen: “Hujan turun di pagi hari, dan aku ingin kau ada di sini, di sampingku, di antara rindu yang tak pernah usai.” Puisi itu seperti menikam dadanya, mengingatkannya pada pagi-pagi di Sukamendala ketika ia dan ibunya duduk di beranda, menikmati hujan sambil minum teh pahit.
Tiba-tiba, bus berhenti lagi, kali ini di sebuah pom bensin kecil di pinggir jalan. “Istirahat sepuluh menit, ya!” seru Pak Mulyono. Beberapa penumpang turun, sebagian untuk ke kamar mandi, sebagian lagi untuk membeli camilan. Viona memutuskan untuk tetap di dalam bus, tapi ia mengeluarkan kotak kecil dari tasnya—kotak berisi gelang perak untuk ibunya. Ia membuka kotak itu dan menatap gelang sederhana itu, yang diukir dengan motif bunga melati kecil. “Semoga Ibu suka,” gumamnya, meski ia tahu ibunya akan menyukai apa pun yang ia berikan, bahkan jika itu hanya sehelai daun dari Jakarta.
Saat bus kembali melaju, Viona merasa kantuk mulai menyergap. Ia memejamkan mata, membiarkan goyangan bus meninabobokkannya. Dalam tidurnya, ia bermimpi tentang Sukamendala. Ia melihat dirinya berlari di pematang sawah, tangannya memegang tangan Sukma yang masih kecil. Di kejauhan, ibunya berdiri di beranda, melambai dengan senyum lebar. Tapi tiba-tiba, langit menjadi gelap, dan wajah ibunya memudar, seolah ditelan kabut. Viona tersentak bangun, napasnya tersengal. Ia melihat ke luar jendela—langit masih gelap, tapi di kejauhan, ia bisa melihat siluet pegunungan yang mulai muncul, tanda bahwa mereka sudah mendekati Jawa Tengah.
Ponselnya bergetar, mengagetkannya. Sebuah pesan dari Sukma masuk: “Mbak, kamu sudah di mana? Ibu tadi malam batuk-batuk, tapi dia bilang nggak apa-apa. Cepet pulang, ya.” Viona merasa jantungan di dadanya berhenti sejenak. Batuk-batuk? Ibunya memang punya riwayat asma ringan, tapi Viona tak ingat ibunya pernah batuk parah. Ia buru-buru membalas: “Mbak sudah dekat, Sukma. Ibu baik-baik saja, kan? Ceritain dong.” Tapi pesan itu tak kunjung dibalas, membuat kecemasan Viona semakin membesar.
Ia menatap keluar jendela lagi, mencoba menenangkan diri dengan pemandangan sawah yang mulai terlihat di bawah cahaya fajar. Matahari mulai muncul di cakrawala, mewarnai langit dengan semburat merah muda dan jingga. Viona teringat ucapan ayahnya dulu: “Kalau matahari terbit di Sukamendala, itu tanda Tuhan lagi nyanyi buat kita.” Kenangan itu membuatnya tersenyum kecil, tapi senyum itu cepat memudar ketika ia teringat pesan Sukma.
Bus akhirnya memasuki wilayah Banyumas, dan Viona tahu perjalanan tinggal beberapa jam lagi. Ia mulai melihat pemandangan yang familier: pohon-pohon jati di pinggir jalan, warung-warung kecil dengan atap seng, dan anak-anak desa yang berlarian menuju sekolah dengan seragam putih-merah. Bau tanah basah semakin kuat, seolah menyambutnya pulang. Tapi di balik keindahan itu, Viona merasa ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang akan mengguncang dunianya begitu ia tiba di Sukamendala.
Ia memejamkan mata lagi, berdoa dalam hati agar ibunya baik-baik saja, agar Sukma tak menyimpan kabar buruk, agar perjalanan ini membawa kebahagiaan, bukan luka baru. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu: pulang kampung kali ini tak akan semudah yang ia harapkan.
Tiba di Ambang Kenangan
Cahaya fajar mulai merangkak di cakrawala, menyapu sawah-sawah yang membentang di sisi jalan dengan warna emas lembut. Bus “Sukamendala Ekspres” kini melaju lebih pelan, melewati jalan-jalan desa yang berkelok, di mana aspalnya mulai retak dan dipenuhi tambalan. Vionara Kinasih menatap keluar jendela, dadanya sesak oleh campuran rindu dan kecemasan yang semakin kuat. Pesan dari Sukma tentang ibunya yang batuk-batuk masih terngiang di kepalanya, seperti lonceng kecil yang berdentang tanpa henti. Ia mencoba membalas pesan itu lagi, tapi sinyal di daerah ini lelet, dan layar ponselnya hanya menunjukkan ikon “pesan tertunda”. Viona menghela napas, memasukkan ponsel kembali ke saku jaketnya, dan mencoba fokus pada pemandangan di luar.
Pemandangan desa-desa kecil di Banyumas yang mereka lewati membawa Viona kembali ke masa kecilnya. Ia melihat seorang petani tua mengayuh sepeda onthel, membawa seikat pisang di boncengannya, dan tiba-tiba teringat bagaimana ayahnya dulu sering membawa pulang pisang raja dari pasar untuknya dan Sukma. “Ini pisangnya raja, jadi kalian harus makan kayak putri raja,” candanya sambil tertawa, suaranya yang dalam dan hangat masih terngiang di telinga Viona. Kenangan itu terasa begitu hidup, namun juga menyakitkan, seperti luka lama yang tiba-tiba terbuka lagi.
Bus akhirnya memasuki Sukamendala, desa kecil yang terletak di kaki bukit dengan sawah-sawah hijau yang mengelilinginya seperti pelukan alam. Viona merasa jantungan di dadanya semakin kencang. Di kejauhan, ia bisa melihat menara masjid tua yang berdiri di tengah desa, cat hijaunya sudah memudar, tapi tetap gagah seperti penjaga waktu. Jalanan tanah mulai menggantikan aspal, dan bus bergoyang pelan saat melewati lubang-lubang kecil. Bau tanah basah bercampur dengan aroma bunga melati dari pekarangan rumah-rumah warga menyelinap masuk melalui jendela bus, membuat Viona merasa seperti benar-benar pulang.
“Terminal Sukamendala, lima menit lagi!” seru Pak Mulyono dari kursi sopir, suaranya menggema di dalam bus yang kini hanya diisi separuh penumpang. Beberapa orang sudah turun di kota-kota sebelumnya, dan kini hanya tersisa mereka yang benar-benar menuju desa terpencil ini. Viona menarik koper tuanya dari bawah kursi, memeriksa tas ranselnya sekali lagi untuk memastikan gelang perak untuk ibunya masih ada. Ia meraba kotak kecil itu, jari-jarinya mengelus permukaan beludru kotak itu, seolah mencari ketenangan dari benda sederhana itu.
Ketika bus akhirnya berhenti di terminal kecil Sukamendala—yang sebenarnya hanya sebuah lapangan tanah dengan atap seng sederhana—Viona merasa napasnya tersendat. Ia turun dari bus, kakinya menyentuh tanah desa yang berdebu, dan sejenak ia berdiri diam, menyerap pemandangan di sekitarnya. Terminal itu masih sama seperti yang ia ingat: beberapa warung kecil berjejer di pinggir, menjual gorengan dan kopi sachet, sementara anak-anak desa bermain kejar-kejaran di dekat tumpukan karung beras. Bau asap kayu bakar dari warung-warung itu bercampur dengan aroma tanah, menciptakan perasaan nostalgia yang begitu kuat hingga Viona merasa air matanya hampir tumpah.
“Viona!” suara nyaring yang penuh semangat memecah lamunannya. Ia menoleh dan melihat Sukma Ardana, adiknya, berlari kecil ke arahnya. Sukma kini jauh berbeda dari gadis kecil ompong di foto tiga tahun lalu. Rambutnya kini panjang dan diikat rapi, tubuhnya lebih tinggi, dan wajahnya memancarkan energi muda yang sedikit liar. Tapi matanya—mata cokelat tua yang sama seperti Viona—masih menyimpan kelembutan yang sama. Sukma memeluk Viona erat, begitu erat hingga Viona hampir kehilangan napas.
“Mbak, akhirnya datang juga! Dua tahun, lho, Mbak nggak pulang! Ibu udah nanya-nanya tiap hari,” kata Sukma, suaranya bercampur tawa dan nada menggoda, tapi ada sedikit getar yang membuat Viona curiga. Ia melepaskan pelukan dan menatap wajah adiknya, mencari tanda-tanda apa pun yang bisa menjelaskan pesan tentang ibunya yang batuk-batuk.
“Sukma, Ibu baik-baik saja, kan?” tanya Viona, suaranya pelan tapi penuh urgensi. Ia memperhatikan wajah Sukma, yang tiba-tiba menghindari pandangannya, menatap ke arah koper di tanah seolah mencari alasan untuk tidak menjawab langsung.
“Ibu… ya, baik-baik saja, Mbak. Cuma batuk biasa. Kamu tahu kan, musim hujan gini, asma Ibu suka kambuh,” jawab Sukma, tapi nada suaranya terdengar dipaksakan, seperti ia sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Viona ingin bertanya lebih lanjut, tapi Sukma sudah menarik tangannya. “Ayo, cepet, Ibu nunggu di rumah. Aku bawa sepeda motor, biar cepet sampai.”
Viona mengangguk, meski kecemasan di dadanya tak kunjung reda. Ia mengikuti Sukma ke sebuah motor tua berwarna merah yang terparkir di pinggir terminal. Koper tuanya diikat di belakang, dan Viona duduk di boncengan, memeluk pinggang Sukma erat-erat saat motor mulai melaju. Angin pagi yang sejuk menerpa wajahnya, membawa aroma sawah dan sungai yang begitu familiar. Jalanan tanah yang mereka lewati penuh lubang, membuat motor bergoyang-goyang, tapi Sukma mengendarainya dengan lincah, seperti sudah hafal setiap tikungan dan tanjakan.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Sukma berceloteh tentang kehidupan di desa: tetangga baru yang pindah dari kota, panen padi yang lumayan baik tahun ini, dan festival kuda lumping yang baru saja digelar di balai desa. Viona mendengarkan, tapi pikirannya terus melayang ke ibunya. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia benar-benar berbicara panjang dengan Nyai Sarijem. Telepon-telepon mereka selama ini selalu singkat, penuh basa-basi tentang kesehatan dan cuaca, seolah keduanya takut menyentuh topik yang lebih dalam.
Rumah kayu keluarga mereka akhirnya terlihat di kejauhan, berdiri sederhana di tepi sawah dengan atap genteng yang mulai ditumbuhi lumut. Pekarangan depannya dipenuhi tanaman-tanaman yang dirawat Nyai Sarijem: pohon cabai, bunga melati, dan beberapa pot kemangi yang baunya tercium dari jauh. Viona merasa jantungan di dadanya semakin kencang saat Sukma memarkir motor di halaman. Ia turun, kakinya terasa lemas, seolah tanah di bawahnya bisa menelannya kapan saja.
“Ibu!” panggil Sukma sambil berlari ke beranda. Viona mengikuti di belakang, menyeret koper tuanya dengan tangan yang sedikit gemetar. Di beranda, Nyai Sarijem berdiri, memegang tiang kayu untuk menopang tubuhnya. Wajahnya yang dulu penuh semangat kini terlihat lebih kurus, kulitnya sedikit pucat, dan rambutnya yang mulai memutih diikat asal-asalan. Tapi matanya—mata yang selalu penuh kehangatan—masih sama, dan saat ia melihat Viona, senyum lebar menyebar di wajahnya.
“Viona, Nak…” suara Nyai Sarijem lembut, tapi ada nada serak yang membuat hati Viona mencelos. Ia berlari ke arah ibunya, memeluknya erat, mencium aroma minyak kayu putih yang selalu melekat pada tubuh ibunya. Pelukan itu terasa seperti pulang, tapi juga seperti perpisahan. Viona merasa tubuh ibunya lebih ringkih dari yang ia ingat, tulang-tulangnya terasa rapuh di bawah kain kebaya sederhana yang ia kenakan.
“Ibu, kangen…” kata Viona, suaranya tercekat. Ia ingin mengatakan lebih banyak, ingin meminta maaf karena terlalu lama tak pulang, ingin bertanya tentang batuk yang disebutkan Sukma, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Nyai Sarijem hanya mengelus punggungnya, seperti dulu saat Viona masih kecil dan menangis karena kehilangan mainannya.
“Masuk dulu, Nak. Ibu sudah masak opor ayam kesukaanmu,” kata Nyai Sarijem, suaranya penuh kehangatan tapi juga lelah. Viona menatap wajah ibunya, mencari petunjuk tentang apa yang disembunyikan, tapi ibunya hanya tersenyum dan menarik tangannya masuk ke dalam rumah.
Di dalam, aroma opor ayam dan nasi hangat memenuhi udara. Meja kayu tua di ruang makan dipenuhi hidangan sederhana: opor ayam, sambal terasi, dan lalapan kolplay yang masih segar dari kebun. Viona merasa air liurnya tertelan, tapi di saat yang sama, ia merasa ada sesuatu yang salah. Rumah itu terasa terlalu sepi, terlalu hening, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin diucapkan.
Saat mereka duduk untuk makan, Viona memperhatikan ibunya dengan saksama. Gerakan Nyai Sarijem lambat, tangannya sedikit gemetar saat menyendok nasi. Sukma, yang biasanya ceria, juga terlihat lebih pendiam, sesekali melirik ibunya dengan tatapan khawatir. Viona ingin bertanya, ingin memecah keheningan itu, tapi ia takut jawaban yang akan ia dengar. Maka ia hanya makan dalam diam, mencoba menikmati rasa opor yang begitu familiar, tapi entah kenapa terasa pahit di lidahnya.
Malam itu, setelah makan, Viona duduk di beranda bersama ibunya, memandang sawah yang kini diselimuti kegelapan. Nyai Sarijem memegang tangannya, jari-jarinya yang kasar terasa hangat di telapak Viona. “Viona, Ibu senang kamu pulang,” katanya pelan. “Tapi… ada sesuatu yang Ibu harus ceritakan.”
Viona merasa dunia di sekitarnya berhenti berputar. Ia menatap ibunya, matanya penuh pertanyaan, tapi ia tak sanggup berkata apa-apa. Di kejauhan, suara jangkrik mulai terdengar, mengisi keheningan malam yang terasa semakin berat.
Pelukan di Ujung Rindu
Malam di Sukamendala terasa seperti lukisan yang hidup, dengan suara jangkrik yang berdendang dan aroma tanah basah yang menyelinap di sela-sela angin sejuk. Vionara Kinasih duduk di beranda rumah kayu, tangannya masih digenggam erat oleh Nyai Sarijem, ibunya, yang baru saja mengucapkan kalimat yang membuat dunia Viona terhenti: “Ada sesuatu yang Ibu harus ceritakan.” Cahaya lampu minyak di beranda memantulkan bayangan mereka di dinding kayu, menciptakan siluet yang bergoyang pelan, seolah menari dalam keheningan yang penuh tekanan. Viona menahan napas, matanya terkunci pada wajah ibunya, mencari keberanian untuk mendengar apa yang akan diucapkan.
Nyai Sarijem menarik napas dalam-dalam, suaranya serak namun penuh tekad. “Viona, Nak, Ibu… Ibu sudah lama nggak cerita ke kamu soal kesehatan Ibu. Batuk ini… bukan cuma asma biasa. Dokter di puskesmas bilang Ibu kena infeksi paru-paru. Sudah beberapa bulan, tapi Ibu nggak mau kamu khawatir. Makanya Ibu cuma bilang kangen, biar kamu pulang.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk dada Viona. Ia merasa napasnya tersendat, seolah udara di sekitarnya tiba-tiba menghilang. “Infeksi paru-paru? Ibu… kenapa nggak bilang dari dulu? Berapa lama Ibu sembunyikan ini?” Suaranya gemetar, bercampur antara marah dan sedih. Ia memandang wajah ibunya, yang kini terlihat semakin rapuh di bawah cahaya lampu minyak. Kerutan di wajah Nyai Sarijem seolah menceritakan perjuangan yang tak pernah ia ungkapkan, dan Viona merasa bersalah karena tak menyadari itu lebih cepat.
“Ibu nggak mau kamu tinggalkan pekerjaanmu di Jakarta, Nak. Kamu kan sedang berjuang buat masa depanmu. Ibu cuma ingin lihat kamu bahagia,” jawab Nyai Sarijem, suaranya lembut tapi penuh beban. Ia mengelus tangan Viona, jari-jarinya yang kasar terasa hangat, namun juga lemah. “Tapi sekarang kamu sudah di sini, Ibu lega. Ibu cuma ingin kita bersama lagi, seperti dulu.”
Viona tak bisa menahan air matanya lagi. Ia memeluk ibunya erat, menangis tersedu di pundaknya, mencium aroma minyak kayu putih yang selalu melekat pada Nyai Sarijem. “Ibu, kenapa Ibu selalu mikirin aku? Aku yang salah, Ibu. Aku nggak pulang selama dua tahun. Aku terlalu sibuk sama hidupku sendiri,” katanya, suaranya tercekat oleh isakan. Ia merasa seperti anak kecil lagi, yang hanya bisa menangis di pelukan ibunya saat dunia terasa terlalu berat.
Sukma Ardana, yang selama ini berdiam di ambang pintu, akhirnya masuk ke beranda. Matanya merah, tapi ia berusaha tersenyum. “Mbak, jangan salahkan diri sendiri. Ibu juga nggak mau aku ceritain apa-apa ke kamu. Aku cuma bisa ngingetin Ibu minum obat sama bawa ke dokter kalau batuknya parah,” katanya, suaranya penuh penyesalan. Sukma duduk di samping Viona, memegang tangan ibunya yang lain, dan ketiganya duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara jangkrik dan angin malam.
Malam itu, mereka berbicara panjang, mungkin untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun. Nyai Sarijem menceritakan bagaimana ia mulai merasa lelah sejak setahun lalu, bagaimana batuknya semakin sering, dan bagaimana ia menolak dirawat di rumah sakit karena tak ingin membebani anak-anaknya. Viona mendengarkan dengan hati yang hancur, setiap kata ibunya seperti menambah beban di dadanya. Tapi di sela-sela cerita itu, ada tawa kecil saat Sukma menceritakan keisengannya mencuri cabai dari kebun tetangga, atau saat Nyai Sarijem mengenang bagaimana Viona kecil selalu memaksa ikut ke sawah meski akhirnya tertidur di punggungnya.
Pagi harinya, Viona terbangun di ranjang tua di kamarnya yang kecil. Aroma kayu jati dan kain sarung yang baru dicuci memenuhi udara, membawa kenangan masa kecilnya kembali. Ia mendengar suara ayam berkokok dan langkah pelan ibunya di dapur, diikuti oleh aroma kopi tubruk yang sedang diseduh. Viona bangkit, berjalan ke dapur, dan melihat Nyai Sarijem sedang mengaduk kopi di cangkir-cangkir tua yang sudah sedikit retak. Sukma masih tertidur di kamar sebelah, dengkuran pelannya terdengar samar.
“Ibu, biar aku yang bikin kopinya,” kata Viona, mencoba mengambil alih. Tapi Nyai Sarijem menggeleng, tersenyum tipis. “Biarkan Ibu yang buat, Nak. Ini mungkin salah satu hal terakhir yang masih bisa Ibu lakukan buat kalian.” Kata-kata itu membuat Viona terdiam, tapi ia tak ingin menangis lagi. Ia ingin kuat, setidaknya untuk hari ini.
Hari itu, Viona dan Sukma memutuskan untuk membawa Nyai Sarijem ke dokter di puskesmas desa. Di bawah terik matahari Sukamendala, mereka menaiki motor tua Sukma, dengan Nyai Sarijem duduk di tengah, memeluk pinggang Viona. Perjalanan ke puskesmas melewati sawah-sawah yang berkilau di bawah sinar matahari, dengan burung-burung kecil beterbangan di atas padi yang mulai menguning. Viona merasa seperti kembali ke masa kecil, ketika ia dan ibunya sering berjalan bersama ke pasar, berbagi cerita kecil tentang apa saja.
Di puskesmas, dokter yang memeriksa Nyai Sarijem, seorang pria muda bernama dr. Bayu, menjelaskan bahwa infeksi paru-parunya cukup serius, tapi masih bisa diobati dengan pengawasan ketat dan obat-obatan yang tepat. “Ibu harus istirahat total, minum obat teratur, dan hindari asap atau debu,” kata dr. Bayu dengan nada serius tapi penuh harapan. Viona mencatat setiap kata dokter dengan cermat, berjanji dalam hati untuk memastikan ibunya patuh pada pengobatan.
Sepulang dari puskesmas, Viona mengeluarkan kotak kecil dari tasnya dan memberikan gelang perak itu kepada ibunya. “Ini buat Ibu. Maaf cuma sederhana, tapi aku beli dari hati,” katanya, suaranya pelan. Nyai Sarijem membuka kotak itu, matanya berbinar saat melihat gelang dengan ukiran bunga melati. “Viona, ini indah sekali. Ibu akan pakai setiap hari,” katanya, lalu memeluk Viona erat. Sukma, yang menyaksikan dari samping, ikut memeluk mereka, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Viona merasa keluarganya utuh kembali.
Malam terakhir sebelum Viona kembali ke Jakarta, mereka duduk bersama di beranda, menikmati angin malam yang sejuk. Viona memutuskan untuk mengambil cuti panjang dari pekerjaannya, berencana untuk sering pulang ke Sukamendala demi memastikan ibunya pulih. Sukma, dengan semangat mudanya, berjanji akan membantu mengurus ibu dan bahkan mengusulkan untuk membuat kebun kecil di belakang rumah sebagai terapi. Nyai Sarijem hanya tersenyum, matanya penuh syukur, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang.
Saat fajar menyingsing, Viona berdiri di depan rumah, koper tuanya sudah siap di sampingnya. Sukma akan mengantarnya ke terminal, tapi sebelum pergi, Viona memeluk ibunya sekali lagi, kali ini lebih lama, seolah tak ingin melepaskan. “Ibu, aku akan sering pulang. Janji. Ibu harus sembuh, ya,” katanya, suaranya penuh tekad. Nyai Sarijem mengangguk, mengelus pipi Viona. “Ibu tahu kamu sibuk, Nak. Tapi setiap kamu pulang, rumah ini hidup lagi.”
Di motor menuju terminal, Viona menatap sawah-sawah Sukamendala yang diterangi matahari pagi. Ia merasa hatinya penuh—penuh rindu, penuh penyesalan, tapi juga penuh harapan. Perjalanan pulang kampung ini telah mengubahnya. Ia tak lagi ingin terjebak dalam hiruk-pikuk Jakarta yang membuatnya lupa pada keluarganya. Ia ingin menjadi anak yang lebih baik, kakak yang lebih hadir, dan manusia yang lebih utuh.
Saat bus “Sukamendala Ekspres” melaju meninggalkan desa, Viona menatap keluar jendela, melihat siluet Sukamendala yang perlahan memudar. Di tangannya, ia memegang buku puisinya, terbuka di halaman yang sama yang ia baca di perjalanan menuju kampung: “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…” Kali ini, ia tersenyum kecil, tahu bahwa cinta sederhana itu ada di pelukan ibunya, tawa Sukma, dan aroma tanah Sukamendala yang akan selalu memanggilnya pulang.
Cerpen Melaju di Antara Rindu bukan sekadar kisah pulang kampung, melainkan cerminan betapa berharganya ikatan keluarga dan kenangan di tempat kita berasal. Kisah Vionara mengajarkan bahwa di tengah kesibukan hidup, pulang ke kampung halaman adalah cara untuk menemukan kembali makna cinta dan kebersamaan. Jangan lewatkan cerpen ini untuk menginspirasi Anda merajut kembali hubungan dengan akar budaya dan keluarga Anda sendiri.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Melaju di Antara Rindu. Semoga cerita ini menggugah hati Anda untuk menghargai setiap momen bersama keluarga dan kenangan di kampung halaman. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk selalu membawa rindu dalam setiap langkah perjalanan Anda!


