Daftar Isi
Jadi gini, guys, pernah nggak sih kalian punya impian jadi terkenal lewat hal-hal sederhana, bahkan meskipun nggak sempurna banget?
Nah, di cerita ini, ada Mbah Karmi yang mencoba jadi influencer—bukan lewat tren yang biasa, tapi dengan masakan yang bisa bikin ngakak! Gagal? Mungkin iya, tapi justru di situlah keseruannya. Jadi, siap-siap ketawa dan ikut penasaran, deh, dengan kisah Mbah Karmi yang nggak pernah nyerah ini!
Mbah Karmi Jadi Influencer
Mbah Karmi vs Teknologi
Suasana pagi di desa itu tenang. Udara segar berhembus perlahan, dan burung-burung berkicau riang di atas pohon-pohon besar yang mengelilingi rumah Mbah Karmi. Seperti biasa, Mbah Karmi sudah duduk di teras rumahnya, memegang sendok kayu, siap memulai aktivitasnya: mengaduk sambal goreng tempe yang tak pernah gagal menjadi hidangan favoritnya.
Raka, cucunya yang masih bersekolah di kota, tiba-tiba muncul dari balik pintu gerbang dengan membawa sebuah kotak kecil yang tampaknya berat. Raka berjalan tergesa-gesa, seakan membawa benda yang sangat penting.
“Mbah, Mbah! Ini aku bawa hadiah buat Mbah!” kata Raka sambil tersenyum lebar, membuka kotak itu di hadapan neneknya.
Mbah Karmi, yang tadinya asyik dengan tempe gorengnya, menoleh dengan tatapan bingung. “Hadiah opo, Le? Nggak usah repot-repot, Mbah masih oke kok tanpa hadiah-hadiah kaya gitu!”
Raka tertawa kecil, mencoba menyembunyikan rasa geli. “Mbah, ini nggak kayak hadiah biasa. Ini tuh… ponsel baru. Biar Mbah bisa video call aku kalau kangen. Nggak perlu lagi pakai teriak-teriak dari sini ke kota!”
Mbah Karmi mengerutkan dahi, mengangkat alis seolah Raka baru saja menunjukkan benda dari luar angkasa. “Ponsel? Maksudmu apa, Le? Ponsel ki opo?” tanya Mbah Karmi sambil memandangi benda itu dengan penuh kecurigaan.
Raka menghela napas. “Mbah, ini alat buat komunikasi, bisa nelpon, kirim pesan, bahkan video call. Pokoknya, semua yang Mbah butuhin ada di sini!” Raka membuka tutup ponsel itu dan menunjukkan layar yang masih gelap.
Mbah Karmi semakin bingung. “Lah, tapi ini kenapa cuman gelap? Kok gak ada suara ketok-ketoknya kayak telepon biasa?” tanyanya.
“Gini, Mbah. Jadi, ini harus dinyalain dulu baru bisa digunakan,” Raka menjelaskan sabar.
“Nah lo, kenapa mesti dinyalain? Selama ini Mbah nggak pernah pake barang yang mesti dinyalain. Takut ada api-apan.” Mbah Karmi hampir menaruh ponsel itu di atas kompor.
Raka tertawa terbahak-bahak. “Mbah, nggak ada apinya kok! Ini canggih, bisa buat video call. Kalau kangen, Mbah tinggal lihat aku di layar.”
“Layar apa? Layar ketik-ketik? Ayo, ngomong yang jelas! Mbah bingung, Le.” Mbah Karmi masih terus menggelengkan kepala. Dia merasa seperti sedang dibawa ke dunia yang sangat asing.
Raka mencoba lebih persuasif. “Mbah, nggak usah khawatir. Nanti aku ajarin. Gampang kok! Kalau Mbah udah bisa, Mbah bisa nelpon aku kapan aja. Nggak perlu lagi nyari aku dengan teriak-teriak!”
Mbah Karmi berpikir sejenak, menatap ponsel itu dengan tatapan penuh curiga, lalu akhirnya mengangguk pelan. “Oke deh, kalau ini bisa beneran nelpon kamu, Mbah mau coba.”
Raka pun mulai menekan tombol-tombol di layar ponsel itu. Mbah Karmi menyaksikan setiap gerakan cucunya dengan penuh perhatian. Sesekali dia melirik sambal goreng tempe yang masih belum selesai.
Beberapa detik kemudian, layar ponsel Mbah Karmi menyala. Sebuah tampilan muncul di layar, dan Raka menjelaskan cara menggunakannya.
“Lihat ini, Mbah! Ini buat nelpon, ini buat kirim pesan, ini buat lihat gambar—eh, nggak, Mbah, jangan pencet yang itu!”
Terlambat! Mbah Karmi sudah terlanjur menekan ikon yang salah. Tiba-tiba, layar ponsel menampilkan sebuah video call, dan di layar itu, wajah Raka yang sedang menjelaskan dengan semangat kini berubah menjadi wajah Mbah Karmi yang sedang kebingungan.
“Le! Le! Kok ada wajahku sendiri di sini?” teriak Mbah Karmi, kaget setengah mati.
Raka hanya bisa tertawa ngakak. “Mbah, itu kan video call. Artinya, kita bisa lihat satu sama lain, nggak cuma nelpon doang.”
“Aku malah bingung, kok tiba-tiba aku bisa jadi tampil di layar ini! Ini ponsel atau layar ketik-ketik sih?!” Mbah Karmi melotot ke layar dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Biarin aja, Mbah. Toh ini cuma buat belajar. Lihat, kalau Mbah mau nelpon, tinggal klik yang ini,” Raka berkata sembari menunjukkan ikon telepon yang lebih besar.
Mbah Karmi mengangguk, tapi detik berikutnya ponsel itu terjatuh ke bawah meja. Mbah Karmi buru-buru memungutnya, namun malah terjatuh lagi dan… “Jeeennnggg!” suara keras datang dari dalam ponsel.
Raka terkejut. “Mbah, ini serius! Jangan dipukul-mukul gitu ponselnya!”
“Lha, aku kira tadi ini ponsel nyetel musik, kok suaranya keras banget! Gimana caranya, Le, ini malah bikin pusing!” Mbah Karmi mulai emosi. Raka, yang sebenarnya juga mulai bingung, hanya bisa tertawa kecil.
“Yaudah, Mbah. Nanti aku ajarin lagi. Tenang aja, kita mulai dari awal lagi, ya?”
Mbah Karmi hanya menggelengkan kepala, menatap Raka seolah cucunya itu adalah agen mata-mata yang membawa teknologi asing ke dalam rumah. “Ya udah, Le. Tapi kalo sampe aku salah pencet lagi, jangan salahkan Mbah!”
Dan begitu, dimulailah perjalanan Mbah Karmi yang penuh dengan kebingungannya terhadap teknologi yang sama sekali baru. Siapa sangka, ponsel yang semula ia anggap sebagai “bom waktu” itu malah menjadi tantangan besar yang belum selesai.
Google Bersuara, Mbah Karmi Teriak!
Hari itu, Mbah Karmi duduk di kursi goyang kesayangannya, dengan ponsel baru di tangan. Di sekelilingnya, tanaman rambat merambat di pagar, memberi nuansa hijau segar pada rumah yang selalu penuh dengan tawa dan kehangatan. Namun, yang ada di pikirannya saat ini adalah satu hal: apa lagi yang bisa Mbah Karmi pelajari dari benda aneh ini?
Raka sudah beranjak pergi ke warung untuk membeli bahan masakan, dan Mbah Karmi yang sudah diberi petunjuk oleh cucunya beberapa kali, merasa seolah sudah ahli dengan ponsel itu. Tetapi, seperti yang bisa diprediksi, beberapa detik setelah Raka pergi, Mbah Karmi kembali terjebak dalam kebingungannya.
Ponsel itu tiba-tiba mengeluarkan suara ‘beep’ yang nyaring. Mbah Karmi, yang baru saja hendak mengunyah keripik tempe, hampir terjatuh dari kursi goyangnya karena kaget.
“Mbah, kamu sudah bisa menggunakan Google?!” suara Raka terdengar dari luar rumah.
Mbah Karmi mengangguk tanpa sadar meski Raka tak bisa melihatnya. “Nggak tahu deh, Le. Tadi tiba-tiba ada suara dari ponsel, terus ada gambar cewek ngomong gitu.”
“Tuh kan, itu Google, Mbah! Coba aja tanya sesuatu.”
Tanpa berpikir panjang, Mbah Karmi langsung menatap layar ponselnya. Ia mulai mencari-cari tombol yang pas, lalu dengan penuh keyakinan mengetikkan, “Google, carikan Mbah resep masakan lontong sayur.”
Google, dengan sigap dan suara jelas, menjawab: “Untuk lontong sayur, Anda membutuhkan beras ketan, santan, daun pisang, dan bumbu-bumbu seperti kunyit, serai, dan daun salam.”
Mbah Karmi terperanjat mendengarnya. “Hah?! Lho, kok bisa? Google bisa ngomong?! Ini sih lebih canggih dari orang Jawa!”
“Google apa? Aku nggak tanya juga!” Mbah Karmi kaget, melongo, dan langsung menekan layar sembarangan. Tak lama, ponsel itu berbicara lagi.
“Lontong sayur adalah makanan khas yang terbuat dari beras ketan yang dibungkus daun pisang, dikukus, dan disajikan dengan kuah santan yang gurih.”
Mbah Karmi langsung teriak ke arah ponsel, “Eh, kenapa kamu tahu? Siapa yang ngomong ini? Aku belum kasih izin!”
Dari luar, Raka mendengarnya dan hanya bisa geleng-geleng. “Mbah, itu Google! Cuma alat pencarian, bukan orang! Coba tanya lagi, Mbah.”
Tapi Mbah Karmi sudah terlanjur terkejut. “Eh, Google, tahu nggak, di sini banyak kucing peliharaan? Jangan-jangan Google juga bisa tahu apa yang aku makan?”
Google langsung menjawab, “Kami tidak dapat mengetahui apa yang Anda makan tanpa izin Anda.”
Mbah Karmi semakin bingung. “Maksudnya, kok bisa tahu makanan? Aku makan apa, Google bisa tahu?! Kamu ini lebih hebat dari dukun, lho!”
Tak tahan, Mbah Karmi bertanya lagi dengan suara keras. “Google, apa makanan favoritku?”
Suaranya terdengar lantang. “Berdasarkan data yang tersedia, kami belum dapat menentukan makanan favorit Anda. Apakah Anda ingin tahu resep lain?”
Mbah Karmi melotot ke layar, memiringkan kepala, dan berbicara seperti berbicara dengan orang asing. “Loh, kok kamu malah jawabnya gitu? Apa sih, kamu ini bisa dibilang siapa? Kamu jadi-jadian apa?”
Sekitar lima menit berlalu dengan tawa dan canda dari Raka yang sedang melihat keriuhan di dalam rumah. Mbah Karmi kembali ke mode ‘penyidik’nya.
“Google, kenapa kamu bisa jawab semua yang aku tanya?”
Google: “Kami adalah asisten virtual yang bisa membantu Anda mencari informasi.”
Mbah Karmi berdiri tegak dan dengan penuh kesungguhan, memandang ponsel itu. “Jadi, kamu ini bisa tahu semua ya? Bisa jawab semua yang aku tanya?”
Raka tiba-tiba masuk dengan segelas air kelapa muda. Melihat wajah Mbah Karmi yang masih bingung, ia tidak bisa menahan tawa. “Iya, Mbah, Google bisa jawab semua pertanyaan, asal internetnya lancar!”
“Tapi kok jawabannya suka nggak masuk akal?” Mbah Karmi masih penasaran.
“Karena Google belajar dari banyak data, Mbah. Kalau Mbah tanya yang beneran, jawabannya pasti lebih akurat.”
“Ah, benar deh, Le. Kalau gitu, coba tanya Google, besok aku harus masak apa ya? Jangan-jangan Google bisa jadi koki juga.” Mbah Karmi bicara sambil pura-pura serius.
Raka langsung tertawa terbahak-bahak. “Itu kalau Mbah nanya soal makanan enak. Kalau nanya soal sawah, Google malah bingung!”
Tanpa membuang waktu, Mbah Karmi kembali mengarahkan ponselnya, “Google, besok aku harus masak apa?”
Google menjawab, “Coba masak soto ayam, dengan tambahan bahan ketumbar dan bawang goreng.”
Ternyata Mbah Karmi malah terdiam sejenak. “Gila, ini serius banget. Kayaknya aku lebih sering tanya sama Google daripada sama tetangga!”
Raka yang sedang duduk di kursi sebelahnya hanya bisa geleng-geleng kepala. “Mbah, itu memang canggih. Tapi inget, kalau udah bisa masak soto ayam, jangan lupa ajak-ajak aku, ya!”
Mbah Karmi tersenyum tipis. “Ya, Le. Tapi kalau sotonya gagal, jangan salahkan Mbah karena kamu udah ngajarin Google lebih canggih daripada tukang masak!”
Di luar, angin berhembus pelan, dan di dalam rumah, suasana semakin hangat dengan tawa dan kebingungannya. Ponsel itu memang membuka dunia baru bagi Mbah Karmi, dunia yang penuh dengan suara dan informasi yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Tapi satu hal yang pasti: Mbah Karmi sudah mulai merasa ponsel ini bukan hanya alat, tapi teman yang bisa membuat hidupnya lebih seru—meski kadang bikin kepala pusing.
Mbah Karmi Jadi Influencer, Tapi Gagal Total
Keesokan harinya, suasana di rumah Mbah Karmi tampak lebih cerah dari biasanya. Mbah Karmi duduk di kursi goyang sambil memegang ponsel kesayangannya. Kini, setelah berkenalan dengan Google, ia merasa seolah-olah menjadi ahli teknologi. Walaupun kadang kebingungannya muncul lagi, dia merasa dunia ini lebih seru dan penuh kejutan.
Raka, yang baru pulang dari beli sayur, datang dengan senyum lebar. “Mbah, gimana? Tadi tanya-tanya Google lagi?”
Mbah Karmi nyengir lebar dan langsung mengangguk. “Tanya sih tanya, tapi… kali ini aku nggak tanya soal masakan, Le. Aku mau jadi terkenal kayak selebgram gitu.”
Raka terbelalak. “Hah? Mbah, jadi influencer? Kamu serius?”
“Serius! Google kan bilang, kalau mau terkenal, harus mulai dari sesuatu yang ‘viral’, kan? Nah, aku pikir-pikir, aku ini kan punya banyak ilmu soal masakan. Jadi aku mulai deh posting foto-foto makanan, terus video masak, biar banyak orang yang lihat.”
Raka mendelik, terdiam sejenak. “Tapi, Mbah… pernah nggak mikir, kalau foto makanan Mbah bisa viral, nanti malah jadi masalah? Kayak, misalnya, banyak orang malah bingung, ‘Ini masakannya beneran enak nggak, sih?'”
Mbah Karmi nyengir lagi. “Ah, Le, percayalah, kadang orang suka yang aneh-aneh. Misalnya kayak kemarin, aku coba masak lontong sayur yang… yaa… gimana ya, namanya juga eksperimen. Jadi aku foto terus aku upload.”
Raka mendengus. “Mbah, itu foto lontong sayur kamu? Gimana bisa viral kalau fotonya blur gitu? Plus, sambelnya malah keluar dari piring!”
Mbah Karmi langsung tertawa terbahak-bahak, merasa bahwa kali ini Raka ngomong dengan nada yang nggak biasa. “Iya, Le! Gue baru tahu, ternyata foto blur gitu bisa bikin orang ngomongin! Siapa tahu ada yang penasaran! Ini baru awal, nanti pasti jadi lebih oke, kok!”
Dengan percaya diri, Mbah Karmi mulai menyiapkan kamera ponsel di atas meja makan. “Aku kasih lihat ya, Le, nih! Hari ini aku mau masak martabak telor, terus aku posting, nanti pasti rame.”
Raka mendekat, geleng-geleng kepala. “Mbah, kamu tahu nggak, martabak telor itu harus pakai tepung terigu, bukan malah tepung singkong?”
Mbah Karmi mengangkat bahu. “Ah, Le, biar aja. Yang penting buat konten kan!”
Beberapa menit kemudian, di dapur, Mbah Karmi mulai menyiapkan bahan-bahan. Ia memasukkan tepung singkong, telur, dan bahan lainnya dengan gaya yang sedikit acak-acakan. Tangan kiri memegang ponsel yang siap merekam, sementara tangan kanan sibuk mencampurkan adonan martabak yang sudah hampir mirip dengan bubur.
“Le! Kamu harus lihat ini! Aku pasti jadi viral!” serunya sambil tertawa.
Raka, yang sudah berdiri di pintu dapur dengan gelengan kepala, berkata, “Mbah, nanti kamu malah dicemooh, lho. Jangan sampai deh.”
Tetapi Mbah Karmi sudah terlanjur semangat. Ia menaruh adonan yang hampir tumpah ke atas wajan, lalu mulai menambah bumbu dengan percaya diri. “Sabar, Le. Aku udah ngerti apa yang harus dilakuin! Kalau ini viral, pasti aku jadi terkenal!”
Beberapa menit kemudian, martabak yang sedang dimasak malah mengeluarkan asap tebal dan bau yang… cukup kuat. Raka yang dari tadi hanya melihat dengan cemas mulai menepuk dahi.
“Aduh, Mbah, itu kenapa martabaknya malah gosong?!” Raka berlari ke dapur, namun Mbah Karmi sudah lebih dulu tertawa terbahak-bahak.
“Jangan khawatir, Le! Nanti pasti banyak yang suka! Gue kira, kalau pakai bahan yang beda-beda, malah jadi lebih unik!”
Namun, begitu Mbah Karmi mengangkat martabak itu dan memotret dengan antusias, hasilnya bukan seperti yang ia harapkan. Foto itu, meski terang, malah membuat martabak itu terlihat seperti gumpalan hitam berbentuk aneh.
Raka hanya bisa menghela napas. “Mbah, aku rasa ini bukan viral yang kamu cari.”
Mbah Karmi pun duduk di kursi goyang lagi, menghela napas panjang. “Yaudahlah, Le. Kalau nggak viral, berarti nggak cukup aneh. Tapi lihat nanti, ya, siapa tahu ada yang suka.”
Tak lama, Mbah Karmi mendapati ponselnya berdering. Ternyata, ada satu komentar masuk.
“Wah, ini martabak ala Mbah Karmi! Penuh dengan karakter!”
Mbah Karmi terkejut. “Wah, ada yang suka juga! Tuh kan, Le, orang kan suka yang beda!”
Raka hanya menggelengkan kepala, nyaris tersedak karena menahan tawa. “Iya, Mbah. Itu pasti yang suka juga bingung, antara terharu atau takut!”
Namun, Mbah Karmi tak peduli. Baginya, ini adalah langkah pertama untuk menjadi seorang influencer sejati—meskipun martabak telor gosong dan adonan yang hampir meledak. Dalam hatinya, ia merasa sudah memenangkan tantangan besar: menguasai dunia maya, meski dengan cara yang tidak biasa.
Bab 4: Siapa Bilang Gagal Itu Gagal?
Hari itu, Mbah Karmi duduk santai di teras sambil memandangi layar ponselnya. Meski martabak gosongnya tak viral seperti yang diharapkan, ia merasa agak bangga dengan pencapaian satu komentar positif yang diterimanya. “Lihat, Le, aku udah punya penggemar pertama!” kata Mbah Karmi dengan senyum lebar.
Raka yang baru saja kembali dari pasar, melangkah mendekat sambil mengangkat tas belanjaannya. Ia tak bisa menahan tawa. “Iya, Mbah, penggemar pertama kamu yang bingung mau komen apa. Bisa jadi mereka cuma kasihan.”
Mbah Karmi cuma mengangkat bahu. “Apapun itu, namanya juga usaha. Kita nggak boleh nyerah kalau baru sekali gagal.”
“Tapi Mbah, kenapa kamu nggak coba masak yang lebih simpel aja dulu? Nggak usah langsung pakai eksperimen yang ekstrim,” Raka menyarankan dengan nada yang tetap penuh cemas.
Namun, Mbah Karmi sudah punya rencana besar di kepalanya. “Oh nggak, Le! Aku udah baca di Google lagi, katanya untuk jadi terkenal itu harus konsisten. Jadi, aku bakal masak lagi hari ini, tapi kali ini… aku mau masak rendang!”
Raka terdiam, berpikir sejenak. “Rendang? Mbah, aku rasa kamu harus coba masak nasi goreng dulu deh, baru yang berat-berat.”
“Apa sih, Le? Rendang itu kan makanan prestisius, harus dicoba! Lagian, kalau gagal, ya nggak apa-apa. Yang penting ada effort,” jawab Mbah Karmi dengan nada penuh semangat.
Setelah beberapa jam berlalu, Mbah Karmi sudah mengeluarkan segala bahan yang diperlukan untuk membuat rendang. Ia bahkan memakai jas apron yang tertulis “Chef Karmi”—hasil dari kreativitasnya yang tanpa batas. Namun, di balik semangat itu, ada sesuatu yang mulai terasa sedikit aneh.
“Le, ini kenapa dagingnya jadi keras gini ya?” keluh Mbah Karmi sambil mengaduk rendangnya yang terlihat lebih mirip potongan daging bakar ketimbang rendang yang lembut.
Raka mengernyit. “Mbah, itu daging apa batu?”
Mbah Karmi terdiam sejenak, lalu tertawa. “Ya udahlah, namanya juga usaha. Coba aja kamu cek di Instagram, pasti ada yang suka dengan rendang ala Mbah Karmi.”
Raka cuma bisa geleng-geleng kepala. “Aku yakin ada yang suka, tapi mungkin karena kasihan lagi.”
Setelah selesai memasak, Mbah Karmi dengan percaya diri mengangkat ponselnya dan mulai merekam video. “Halo, semuanya! Kali ini aku mau coba resep rendang, tapi… siapa tahu bisa jadi lebih keren dari yang biasa, ya?”
Raka menatap dengan perasaan campur aduk. “Mbah, beneran deh, kamu nggak capek jadi influencer?” tanya Raka, setengah khawatir, setengah geli.
Mbah Karmi malah tertawa keras. “Capek? Le, aku justru merasa hidup ini jadi lebih berwarna! Lihat nanti, deh. Orang-orang akan tahu siapa Mbah Karmi!”
Ia kemudian menambahkan sedikit bumbu rahasia yang menurutnya akan membawa rasa rendang menjadi lebih spesial—meski sebenarnya bumbu itu lebih mirip campuran kecap manis dan sambel kacang. Tapi, Mbah Karmi sudah merasa yakin bahwa rendang buatannya ini akan mencuri perhatian.
Akhirnya, ia mengupload video masak rendangnya dengan caption: “Resep Rendang Mbah Karmi: Tidak Biasa, Tapi Penuh Cinta!”
Tak lama, ponselnya kembali berdering. Kali ini, ada beberapa komentar masuk. Mbah Karmi membuka dengan antusias.
“Ini rendang atau batu kali?”
“Haha, kalau ini rendang, aku masak apa ya? Paling nggak, nggak perlu takut gigi rusak!”
Dan yang paling mengejutkan, ada satu komentar yang muncul di atas semua komentar yang lain: “Rendang ala Mbah Karmi, bikin ketawa ngakak tapi juga penasaran. Mau coba, deh!”
Mbah Karmi tersenyum lebar dan menunjukkan komentar itu ke Raka. “Lihat, Le! Ada yang penasaran! Ini baru langkah awal jadi influencer! Udah deh, Mbah Karmi mulai jadi legenda!”
Raka hanya bisa tertawa sambil mengusap wajahnya. “Mbah, kamu sih… memang unik banget. Tapi jangan khawatir, nanti kamu jadi terkenal di dunia maya, pasti!”
Mbah Karmi kemudian duduk kembali di kursi goyang, puas dengan langkah-langkah kecil yang sudah ia ambil. “Suka atau nggak suka, yang penting aku tetap jadi diriku. Lagian, siapa bilang gagal itu beneran gagal?”
Raka tertawa melihat tekad Mbah Karmi yang tak pernah surut. “Kalau kamu terus seperti ini, Mbah, pasti suatu hari orang-orang bakal mulai cari tahu soal kamu, kok.”
Mbah Karmi hanya tertawa senang. “Ya, siapa tahu. Dunia ini penuh kejutan, Le. Yang penting, kita nggak pernah berhenti berusaha.”
Dan begitulah, perjalanan Mbah Karmi sebagai seorang influencer dimulai—dengan rendang yang keras dan komentar yang lebih lucu daripada masakannya.
Tapi bagi Mbah Karmi, itulah bagian dari keseruan hidupnya. Tanpa disadari, ia sudah menemukan cara untuk tetap bahagia dan memberi warna baru di dunia maya, meski dengan cara yang tak biasa.