Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa kesel banget sama seseorang, tapi entah kenapa kalau dia nggak ada, rasanya malah ada yang hilang? Nah, ini cerita tentang Aldero, cowok yang hidupnya damai tapi sayangnya diganggu terus sama Zarah, cewek yang lebih suka bikin eksperimen absurd daripada kerja bener.
Dan salah satu eksperimen terburuknya? Kopi asin. Ya, kamu nggak salah baca. KOPI. ASIN. Tapi percaya atau nggak, justru dari kopi gagal itu, ada sesuatu yang bikin hati mereka makin susah ditebak. Jadi, siap-siap ngakak dan gemes sendiri, karena cerita ini bakalan bikin lo mikir: jodoh itu kadang ada-ada aja.
Mata Cinta dan Kopi Asin
Kopi yang Menurut, Barista yang Ceroboh
Kafe kecil di sudut kota itu selalu ramai saat sore hari. Lampu-lampu gantungnya yang berwarna keemasan memancarkan cahaya hangat, sementara aroma kopi bercampur dengan suara dentingan gelas dan obrolan pelanggan. Di salah satu meja dekat jendela, Aldero duduk dengan santai, menatap ke luar sambil menunggu pesanannya datang.
Ia bukan pecinta kopi sejati, tapi kebiasaan begadang memaksanya untuk mulai akrab dengan kafein. Makanya, hampir setiap hari ia mampir ke tempat ini untuk sekadar minum dan menenangkan pikirannya setelah kerja seharian.
Tapi, hari itu tidak berjalan seperti biasanya.
Sebuah suara gaduh terdengar dari arah konter. Seorang gadis dengan celemek barista melilit di pinggangnya tampak kesulitan membawa nampan berisi kopi pesanan pelanggan. Tangan kanannya berusaha menjaga keseimbangan cangkir, sementara tangan kirinya mencoba menepis rambut yang berantakan di wajahnya.
“Ya Tuhan, tolong jangan jatuh! Jangan jatuh!” bisiknya sambil berjalan dengan langkah setengah goyah.
Beberapa pelanggan mulai memperhatikan. Aldero juga. Ia nyaris yakin bahwa kopi dalam nampan itu akan berakhir di lantai dalam hitungan detik. Tapi yang terjadi justru lebih buruk dari yang ia perkirakan.
Bukannya jatuh ke lantai, cangkir itu justru terbang… dan mendarat sempurna di pangkuannya.
BRAK!
Aroma kopi panas langsung menyeruak, meresap ke dalam celana bahan yang baru saja ia pakai hari ini. Butuh waktu beberapa detik sebelum otaknya bisa memproses kejadian itu.
“Oh. Tuhan. Aku. Maaf! Maaf, maaf, maaf!” Gadis itu membungkuk panik, tangannya bergerak-gerak seperti hendak mengusir hawa dosa yang baru saja ia perbuat.
Aldero menatap noda besar di celananya, lalu mendongak menatap si gadis. “Kamu barista di sini?”
Gadis itu mengangguk cepat. “Iya! Namaku Zarah! Dan aku… aku bisa menjelaskan!”
Aldero menghela napas. “Silakan.”
Zarah membuka mulut, lalu terdiam. Ia tampak berpikir keras, lalu akhirnya berkata, “Aku baru pertama kali kerja hari ini?”
Aldero menutup mata sesaat. “Itu bukan penjelasan, itu alibi.”
Zarah menggigit bibirnya, lalu tiba-tiba matanya berbinar seperti baru mendapat ide jenius. “Baiklah! Sebagai permintaan maaf, aku akan buatkan kopi spesial untukmu! Gratis!”
Aldero menatapnya curiga. “Kopi spesial?”
Zarah mengangguk mantap. “Percayalah. Ini bakal mengubah hidupmu!”
Aldero menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya seseorang menumpahkan sesuatu ke arahnya. Tapi ini mungkin pertama kalinya ada orang yang begitu percaya diri menawarkan ‘kompensasi’ dengan sesuatu yang terdengar mencurigakan.
Lima menit kemudian, sebuah cangkir berisi kopi hitam diletakkan di hadapannya. Warna hitamnya tampak biasa, tapi entah kenapa, ada aura misterius yang mengelilinginya.
“Ayo, coba!” Zarah menatapnya dengan penuh harap.
Aldero mengangkat cangkir itu dengan hati-hati. Mungkin ini cuma kopi hitam biasa. Mungkin ini adalah salah satu racikan spesial yang dibuat oleh tangan seorang barista berbakat—walaupun tadi dia nyaris menghancurkan reputasinya sendiri dalam waktu kurang dari satu jam kerja.
Ia menyesap sedikit.
Lalu, dunia seakan berhenti.
Kopi itu… asin.
Seperti air laut yang direbus dengan niat jahat.
Aldero tersedak, meletakkan cangkir dengan kasar di meja. “Apa ini?! Kamu bikin kopi atau sup garam?!”
Zarah menepuk tangannya bangga. “Kopi asin!” katanya dengan senyum lebar. “Katanya, kalau dua orang minum kopi asin bersama, mereka akan berjodoh!”
Aldero nyaris menjatuhkan cangkir itu. “Siapa yang bilang?”
Zarah berkedip polos. “Aku barusan.”
Aldero menatapnya lama. Lalu, dengan gerakan pelan, ia mengusap wajahnya seakan mencoba menghapus kenyataan yang baru saja terjadi.
“Kamu tahu nggak, aku bisa melaporkan ini ke polisi sebagai usaha percobaan pembunuhan?”
Zarah cemberut. “Ya ampun, kamu ini nggak romantis banget, sih! Di drama-drama, kalau cewek bikin kopi aneh buat cowok, cowoknya tuh malah jatuh cinta, tahu?”
Aldero mendengus. “Kalau dramanya berdasarkan kisah nyata, cowoknya udah masuk UGD.”
Zarah tertawa kecil, tapi ada kilatan sesuatu di matanya—sesuatu yang sulit dideskripsikan. Seperti bintang kecil yang menari di tengah gelap, hangat dan penuh cahaya.
“Kamu tau nggak, mungkin ini takdir,” katanya ringan.
Aldero memandangnya dengan ekspresi tak percaya. “Takdir?”
Zarah mengangguk. “Mata cinta dan kopi asin. Kita punya cerita yang unik, kan?”
Aldero menghela napas panjang. Hari itu dimulai dengan niatnya menikmati kopi dengan tenang. Tapi entah kenapa, sekarang ia malah berhadapan dengan seorang barista ceroboh yang percaya bahwa kopi asin bisa menjodohkan orang.
Dan yang lebih anehnya lagi…
Untuk alasan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti, ia tidak benar-benar keberatan dengan semua itu.
Percobaan Pembunuhan Pakai Kopi
Aldero menatap cangkir kopi asin di depannya dengan ekspresi penuh kehati-hatian. Seperti seseorang yang baru saja selamat dari bencana dan tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.
“Jadi, gimana rasanya?” tanya Zarah, masih dengan senyum penuh harap.
Aldero mendongak, menatap gadis itu dengan tatapan datar. “Kayak minum air laut waktu liburan di pantai.”
Zarah terkekeh, tapi kemudian wajahnya berubah serius. “Oke, oke. Aku ngerti. Berarti kurang pas, ya?”
“Kurang pas?” Aldero mengulang, nyaris tertawa. “Zarah, itu tuh bukan kopi. Itu eksperimen gagal yang seharusnya dikarantina sebelum mencelakakan umat manusia.”
Zarah menghela napas panjang, lalu menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Gini, aku kan baru mulai kerja di sini. Aku belum terlalu paham urusan kopi.”
“Ya, jelas.”
“Tapi aku berusaha!” lanjut Zarah dengan nada protes. “Dan kopi asin itu, meskipun… yah, aneh, tetap punya filosofi mendalam!”
Aldero mengangkat alis. “Filosofi macam apa?”
Zarah bersandar ke kursi dan menatap jendela dengan ekspresi sok filosofis. “Di dunia ini, kadang kita berharap sesuatu yang manis, tapi malah dapat yang asin. Kayak kamu, mungkin tadi berharap dapat kopi enak, tapi malah dapat kopi nggak jelas. Itu hidup, Aldero. Nggak semua yang kita inginkan selalu berjalan sesuai rencana.”
Aldero mengerjapkan mata, lalu mengangguk pelan. “Hmm, masuk akal juga.”
Zarah tersenyum lebar.
“Tapi itu tetap nggak menjelaskan kenapa kamu pengen meracuni aku.”
Zarah mendengus. “Bukan meracuni, bego. Aku kan bilang tadi, ini eksperimen!”
“Eksperimen yang bisa bikin aku pingsan.”
“Kalau kamu pingsan, aku tinggal telepon ambulans.”
Aldero menatapnya tanpa ekspresi. “Zarah, tolong jangan jadi barista lagi. Coba cari kerjaan lain, deh.”
Zarah mendekatkan wajahnya ke arah Aldero dan menyipitkan mata. “Oh? Jadi kamu nyuruh aku berhenti kerja di sini?”
Aldero mengangkat bahu. “Demi keselamatan pelanggan lain, iya.”
Zarah terdiam sebentar, lalu tiba-tiba menghela napas panjang. “Baiklah…” katanya dengan nada muram.
Aldero menatapnya curiga. “Baiklah apa?”
“Aku berhenti.”
Aldero membelalakkan mata. “Hah?”
Zarah mengangkat kedua bahunya. “Iya, aku berhenti. Kamu benar. Aku nggak berbakat jadi barista. Aku ceroboh, nggak bisa bawa nampan dengan baik, apalagi bikin kopi. Aku nggak mau bikin pelanggan lain kena musibah.”
Aldero menatapnya dengan ekspresi bingung. “Kamu serius?”
Zarah mengangguk, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang dimarahi. Ia berdiri, melepas celemeknya dengan dramatis, lalu menatap Aldero dengan sorot mata penuh emosi. “Terima kasih, Aldero. Kamu udah membuka mataku.”
Sebelum Aldero bisa mengatakan apa pun, Zarah berbalik dan berjalan ke arah dapur.
“Tunggu, aku nggak maksud gitu…” kata Aldero, tapi Zarah sudah menghilang di balik pintu dapur.
Aldero mendesah, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Oke, mungkin dia memang agak keterlaluan tadi. Tapi bukan berarti Zarah harus benar-benar berhenti, kan?
“Cowok itu jahat banget.”
Aldero menoleh dan melihat seorang pelanggan perempuan yang duduk tak jauh darinya sedang menggeleng-gelengkan kepala sambil menatapnya dengan tatapan kasihan.
“Eh?”
“Kamu tahu nggak, dia itu udah kerja keras buat nyari kerja. Tapi sekarang kamu malah bikin dia resign.”
Aldero mengerutkan kening. “Lho, kok aku yang disalahin?”
Pelanggan itu mendengus. “Ya jelas! Kamu tega banget ngomong kayak gitu sama cewek manis dan ceria kayak Zarah.”
Aldero mendesah panjang. Oke, mungkin dia memang bukan orang paling baik di dunia ini, tapi dia juga nggak sampai hati bikin seseorang kehilangan pekerjaannya.
Setelah berpikir beberapa saat, ia akhirnya berdiri dan berjalan ke dapur.
“Zarah!” panggilnya.
Zarah sedang berdiri di dekat mesin kopi, tampaknya berbicara dengan manajer kafe. Saat Aldero masuk, ia langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. “Eh, kamu ngapain ke sini?”
Aldero berjalan mendekat. “Dengar, aku nggak bermaksud serius tadi. Aku cuma bercanda.”
Zarah menyilangkan tangan di dada. “Jadi kamu mau bilang kalau aku masih boleh kerja di sini?”
Aldero mengangguk. “Ya. Selama kamu nggak bikin kopi asin lagi.”
Zarah tertawa kecil. “Baiklah. Aku janji nggak bikin kopi asin lagi. Tapi aku punya syarat.”
Aldero menyipitkan mata. “Syarat?”
Zarah tersenyum penuh kemenangan. “Kamu harus datang ke sini setiap hari dan jadi pelanggan tetapku.”
Aldero melongo. “Kenapa?”
“Karena aku butuh orang buat nyoba eksperimen-eksperimen baruku!”
Aldero menatapnya tanpa ekspresi. Lalu, setelah beberapa detik, ia tertawa kecil dan menggelengkan kepala.
“Hah… aku bakal nyesel setengah mati, ya?”
Zarah mengedip nakal. “Mungkin.”
Dan, entah bagaimana, Aldero tahu kalau kehidupannya nggak bakal tenang lagi setelah ini.
Teori Jodoh Versi Zarah
“Kamu percaya jodoh?”
Aldero menyesap kopinya—untungnya, kali ini tanpa kejutan rasa asin—lalu melirik Zarah yang sedang duduk di hadapannya dengan mata berbinar.
“Jodoh?” ulang Aldero malas. “Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”
Zarah menopang dagu dengan kedua tangan. “Nggak tau, sih. Aku cuma kepikiran aja.”
Aldero mengangkat bahu. “Ya, kalau ada, ya ada. Kalau nggak ada, ya udah.”
Zarah mendecak. “Kamu tuh nggak romantis banget, ya?”
“Memangnya kamu romantis?” tanya Aldero balik.
Zarah tersenyum misterius. “Jelas! Aku punya teori soal jodoh.”
Aldero memutar bola mata. “Pasti ini bakal aneh.”
Zarah mengabaikan komentar itu dan langsung menjelaskan dengan penuh semangat, “Jadi, menurutku, jodoh itu adalah orang yang sering bikin kita kesel, tapi anehnya kita tetap nggak bisa jauh-jauh dari dia.”
Aldero menaikkan alis. “Jadi, kalau ada orang yang tiap hari nyebelin, terus aku nggak bisa jauh-jauh dari dia, itu berarti dia jodohku?”
Zarah mengangguk yakin. “Iya! Misalnya, nih, kayak kita.”
Aldero hampir tersedak kopinya. “Hah?”
Zarah terkekeh melihat ekspresinya. “Coba pikir. Kamu sering banget kesal sama aku, kan?”
“Ya, jelas.”
“Tapi tetep aja kamu datang ke sini tiap hari.”
Aldero membuka mulut untuk membantah, tapi lalu menyadari sesuatu. Sejak kejadian kopi asin itu, dia memang datang ke kafe ini setiap hari. Awalnya, niatnya cuma memastikan Zarah nggak mencelakai pelanggan lain dengan eksperimen gilanya, tapi entah kenapa, lama-lama dia justru mulai terbiasa nongkrong di sini.
Zarah menyenggol lengannya. “Tuh, bener, kan?”
Aldero mendengus. “Nggak berarti kamu jodohku.”
Zarah mengangkat bahu. “Ya, nggak harus aku juga, sih. Tapi kalau kamu sering ketemu seseorang, terus nggak bisa nggak kepikiran dia, itu bisa jadi pertanda kalau dia jodohmu.”
Aldero menyipitkan mata. “Jadi kalau aku sering kepikiran utang, berarti utang adalah jodohku?”
Zarah langsung melempar tisu ke wajahnya. “Aldero, serius dikit napa!”
Aldero tertawa kecil dan menggelengkan kepala. “Teorimu absurd, Zar.”
Zarah merengut. “Huh, kamu aja yang nggak peka.”
“Peka sama apa?”
Zarah menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum kecil. “Nggak apa-apa.”
Aldero mengerutkan kening, merasa ada sesuatu di balik senyum itu. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, tiba-tiba seorang pelanggan memanggil Zarah dari meja lain.
“Zarah! Pesananku kok belum datang?”
Zarah menoleh panik. “Eh, iya, bentar!”
Dia langsung berdiri dan berlari kecil ke arah meja pelanggan. Tapi karena kebiasaannya yang ceroboh, dia tersandung kaki kursi dan hampir jatuh. Untungnya, Aldero refleks meraih lengannya sebelum dia mencium lantai.
Zarah terkesiap dan menatap Aldero yang masih memegang lengannya. “Oh, wow. Kamu cepat juga, ya.”
Aldero menghela napas dan melepas tangannya. “Aku udah kebal sama kebodohanmu.”
Zarah terkikik. “Cie, mulai perhatian.”
Aldero memutar bola mata. “Udah sana kerja.”
Zarah tertawa dan akhirnya pergi ke meja pelanggan, meninggalkan Aldero yang masih memikirkan teori jodoh aneh tadi.
Saat dia kembali menyesap kopinya, tanpa sadar dia mendengar suara hatinya sendiri bertanya, Kenapa aku masih di sini, ya?
Dan itu, tentu saja, adalah pertanyaan yang belum bisa dia jawab.
Antara Kopi dan Hati yang Nggak Bisa Ditebak
Hari ini, Aldero merasa ada yang aneh.
Sejak dia duduk di meja favoritnya di kafe, Zarah belum juga datang mengganggunya. Biasanya, cewek itu sudah nyelonong entah dari mana, membawa teori nyeleneh atau eksperimen aneh yang selalu sukses bikin Aldero kesal. Tapi sekarang? Kosong.
Kopi di cangkirnya sudah tinggal setengah, tapi Zarah masih belum muncul.
Aldero melirik ke arah kasir, tempat Zarah biasanya berdiri. Tapi yang ada di sana hanya seorang barista lain.
Di dalam hati, dia merutuk. Kenapa juga dia jadi nyariin Zarah?
“Mas Aldero?”
Suara barista itu membuat Aldero menoleh. “Iya?”
“Zarah tadi titip pesan buat Mas.”
Alis Aldero mengernyit. “Pesan?”
Barista itu mengeluarkan secarik kertas dari balik meja dan menyerahkannya. Aldero membukanya dengan perasaan aneh.
Aldero, aku izin nggak masuk hari ini.
Oh iya, aku udah mikirin teori jodohku lagi. Aku punya kesimpulan baru.
Jodoh itu bukan cuma soal sering ketemu atau bikin kesel. Tapi juga soal siapa yang, meskipun kita dorong menjauh, tetap ada di situ.
Aku penasaran, kalau aku pergi hari ini… kamu bakal nyari aku, nggak?—Zarah
Aldero membaca tulisan itu berulang kali.
Lalu dia mengembuskan napas panjang. “Cewek ini… ada-ada aja.”
Tapi di balik itu, dia sadar kalau ada sesuatu yang terasa janggal.
Kafe ini, hari ini, rasanya terlalu sepi tanpa suara Zarah.
Tanpa pikir panjang, dia berdiri, memasukkan kertas itu ke saku jaketnya, dan berjalan keluar kafe.
Aldero akhirnya menemukan Zarah di taman kota, duduk sendirian di bangku kayu sambil menyesap segelas kopi dari tempat lain.
“Berani-beraninya kamu minum kopi dari tempat lain,” komentar Aldero saat dia mendekat.
Zarah tersentak, lalu terkekeh. “Oh, wow. Kamu nyariin aku?”
Aldero hanya mendecak dan duduk di sampingnya. “Kenapa nggak masuk kerja?”
Zarah mengangkat bahu. “Mau uji teori jodohku.”
Aldero melipat tangan di dada. “Dan hasilnya?”
Zarah menatapnya lama. “Kamu yang kasih tahu aku.”
Aldero menghela napas dan memejamkan mata sejenak. Lalu dia tersenyum kecil.
“Aku nggak ngerti teori jodohmu, Zar.”
Zarah tertawa kecil. “Wajar, otak kamu kan lebih ke arah logika.”
“Tapi…” Aldero membuka matanya dan menoleh ke arahnya. “Aku tahu satu hal.”
Zarah mengangkat alis. “Apa?”
Aldero menepuk-nepuk sakunya yang berisi kertas tadi. “Meskipun kamu aneh, sering bikin kesel, dan banyak ngomong, aku tetap nyariin kamu.”
Zarah membeku sejenak.
“Jadi?” tanyanya, suaranya sedikit lebih pelan.
Aldero menatap lurus ke depan. “Jadi, mungkin teori jodohmu ada benarnya.”
Zarah menatapnya dengan mata berbinar, lalu terkekeh. “Ya ampun, Aldero. Kalau mau bilang suka, bilang aja.”
Aldero memutar bola mata. “Nggak usah ge-er.”
Zarah tertawa keras. “Kamu tuh gengsi banget, ya!”
Aldero ikut tersenyum. “Mungkin.”
Zarah menyesap kopinya lagi, lalu menoleh padanya. “Mau coba?”
Aldero menatap gelas kopi di tangan Zarah dengan curiga. “Kamu apain kopi ini?”
Zarah terkekeh. “Nggak ada apa-apa, kok.”
Aldero mengambil gelas itu dan menyesap sedikit.
Lalu dia langsung meludah. “Zarah! Ini asin lagi!”
Zarah tertawa terbahak-bahak sampai nyaris jatuh dari bangku. “Ampun, Aldero! Wajah kamu kocak banget!”
Aldero menatapnya dengan kesal. “Aku beneran nggak ngerti kenapa aku nyariin kamu tadi.”
Zarah menyenggol lengannya dengan senyum jahil. “Karena jodoh itu nggak bisa ditebak, Aldero.”
Aldero menghela napas panjang, tapi sudut bibirnya ikut terangkat.
Mungkin, untuk pertama kalinya, dia mulai berpikir kalau kopi asin ini… nggak sepenuhnya buruk.
Jadi begitulah, dari segelas kopi asin yang awalnya bikin trauma, ternyata malah jadi awal dari sesuatu yang… ya, bisa dibilang ajaib. Aldero yang tadinya cuma pengen hidup tenang, sekarang malah terjebak dalam pusaran teori-teori jodoh absurdnya Zarah.
Dan Zarah? Dia cuma senyum puas, karena tahu kalau cowok yang selalu ngeyel ini akhirnya paham sesuatu. Kadang, cinta itu nggak selalu soal momen manis kayak di film. Kadang, cinta itu… ya, sesederhana nyariin seseorang yang nyebelin kalau dia tiba-tiba nggak ada.


