Daftar Isi
Hidup itu kayak roda, kadang di atas, kadang kelempar ke bawah sampe rasanya pengen nyerah aja. Tapi, pernah nggak sih kepikiran… gimana kalau ternyata yang kita anggap akhir itu cuma belokan doang?
Cerita ini bukan tentang orang hebat, bukan juga tentang keajaiban instan. Ini tentang seseorang yang jatuh, gagal, hampir tenggelam… tapi tetap milih buat bangkit. Karena nyatanya, masih ada hari esok buat mereka yang nggak berhenti melangkah.
Masih Ada Hari Esok
Langkah yang Goyah
Langit di atas kota terlihat kelabu, seakan mencerminkan hati Luthfi yang penuh sesak. Angin sore bertiup pelan, membawa sisa gerimis yang baru saja reda. Halte tua di pinggir jalan menjadi saksi bisu keputusasaan yang menggantung di matanya. Tangan Luthfi terkepal di atas lutut, menahan dingin sekaligus rasa marah pada dirinya sendiri.
Ia menghela napas panjang, membiarkan kepalanya bersandar pada tiang halte yang sudah berkarat. Luthfi tidak tahu harus ke mana lagi. Tangannya masih bergetar, sisa dari kejadian beberapa jam lalu—saat nampan berisi minuman yang ia bawa jatuh dan pecah berhamburan di lantai kedai.
“Kamu terlalu ceroboh. Kami nggak butuh orang yang nggak bisa diandalkan,” suara majikannya tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Itulah kalimat yang mengakhiri pekerjaannya hari ini—dan entah sudah yang keberapa kali dalam beberapa bulan terakhir.
Hujan mulai turun lagi, rintiknya halus, nyaris tak terasa. Orang-orang lalu lalang di trotoar, sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang memperhatikan seorang pria muda yang duduk termangu di halte, terjebak dalam pikirannya sendiri.
Di seberang jalan, seorang pria tua dengan langkah tertatih mencoba mendorong gerobak kayu yang tampak sudah tua dan rapuh. Ban gerobaknya tersangkut di celah trotoar, dan ia berusaha menariknya dengan susah payah. Beberapa orang hanya melirik sekilas sebelum kembali melanjutkan langkah mereka.
Luthfi sempat ragu. Tapi kemudian, tubuhnya bergerak sendiri.
Ia melangkah cepat menyeberang jalan, tak peduli pada genangan yang membuat ujung celananya basah. Begitu sampai, ia langsung meletakkan kedua tangannya di bagian belakang gerobak dan mulai mendorongnya.
“Aku bantu, Pak,” katanya singkat.
Pria tua itu terkejut, tapi kemudian tersenyum tipis. “Terima kasih, Nak. Gerobak ini berat, sementara tubuhku sudah nggak sekuat dulu.”
Dengan satu tarikan kuat, roda gerobak akhirnya lolos dari celah trotoar. Luthfi mendorongnya sampai ke tempat yang lebih aman, di bawah atap kecil depan toko yang sudah tutup. Pria tua itu mengusap keringat di dahinya, lalu mengeluarkan sebungkus roti dari gerobaknya dan menyerahkannya pada Luthfi.
“Kamu kelihatan capek dan lapar. Makanlah,” ucapnya dengan suara lembut.
Luthfi menelan ludah. Memang, sejak pagi tadi, ia belum makan apa pun. Tapi yang membuat dadanya terasa sesak adalah kenyataan bahwa pria tua ini—yang jelas-jelas dalam kondisi sulit—masih berpikir untuk berbagi dengan orang lain.
“Aku nggak bisa nerima ini, Pak,” Luthfi menggeleng pelan.
Pria tua itu tertawa kecil. “Rezeki itu selalu ada, Nak. Jangan menolak sesuatu yang diberikan dengan ikhlas.”
Luthfi akhirnya menerima roti itu, mengucapkan terima kasih, dan mulai menggigitnya perlahan. Hangatnya roti itu seakan merembes ke dalam dadanya, menyalakan sesuatu yang hampir padam di dalam dirinya.
Mereka berbincang sebentar di bawah atap toko, dengan suara hujan yang mulai deras menjadi latar belakang. Dari percakapan itu, Luthfi tahu bahwa pria tua itu bernama Pak Wiryo. Dulu, ia seorang buruh pabrik. Namun, usia yang semakin menua dan tubuh yang tak lagi sekuat dulu membuatnya harus keluar dari pekerjaannya.
“Jadi, sekarang Bapak jualan keliling setiap hari?” tanya Luthfi, mengunyah suapan terakhirnya.
Pak Wiryo mengangguk. “Iya. Memang nggak banyak yang bisa aku jual, tapi lebih baik begini daripada duduk diam menunggu belas kasihan orang lain.”
Luthfi terdiam. Kata-kata itu menamparnya. Selama ini, ia sibuk menyalahkan keadaan, menyalahkan kegagalan, bahkan menyalahkan dirinya sendiri. Tapi pria tua ini, dengan semua keterbatasannya, masih berusaha sekuat tenaga.
Pak Wiryo menatap Luthfi, seolah bisa membaca isi kepalanya. “Kamu lagi ada masalah, ya?”
Luthfi tertawa kecil, getir. “Nggak ada hari tanpa masalah, Pak.”
Pak Wiryo ikut tertawa. “Iya, memang. Tapi kamu masih muda. Harusnya lebih kuat dari aku.”
Luthfi menunduk, merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama berbulan-bulan terakhir—sebuah dorongan untuk tidak menyerah.
Hujan akhirnya mereda. Luthfi berdiri, mengibaskan air dari jaket tipisnya.
“Pak, aku boleh bantu jualan besok?” tanyanya, tanpa sadar bahwa mulutnya sudah lebih dulu berbicara sebelum pikirannya memprosesnya.
Pak Wiryo terkejut, tapi kemudian tersenyum lebar. “Tentu saja, Nak. Aku nggak akan menolak tangan tambahan.”
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Luthfi merasa langkahnya tidak lagi goyah. Ada sesuatu di dalam dirinya yang kembali menyala.
Masih ada hari esok. Masih ada kesempatan untuk bangkit.
Dan kali ini, ia akan mencoba sekali lagi.
Pertemuan di Tengah Jalan
Pagi di kota masih dingin, sisa hujan semalam menyisakan udara yang lembap. Matahari baru mulai naik ketika Luthfi sudah berdiri di depan sebuah rumah kecil di gang sempit. Temboknya sedikit mengelupas, tapi suasananya terasa hangat.
Pak Wiryo membuka pintu dengan senyum lebar. “Nak Luthfi datang pagi sekali. Sudah sarapan?”
Luthfi menggeleng. “Belum, Pak. Aku tadi langsung ke sini.”
Pak Wiryo mengangguk mengerti lalu berjalan ke dapur. Tak lama, ia kembali membawa dua piring nasi goreng sederhana dan meletakkannya di meja kayu yang mulai lapuk. “Makan dulu. Jualan butuh tenaga.”
Luthfi sempat ragu, tapi aroma nasi goreng itu membuat perutnya berontak. Dengan canggung, ia mulai makan. “Bapak selalu masak sendiri?”
Pak Wiryo tertawa kecil. “Iya. Hidup sendiri harus bisa apa aja.”
Luthfi terdiam. Ia tahu maksud dari kata-kata itu. Hidup memang tak bisa terus-menerus mengandalkan orang lain.
Setelah sarapan, mereka berdua mendorong gerobak keluar gang sempit. Jalanan masih lengang. Beberapa orang duduk di depan rumah, menikmati pagi dengan secangkir teh. Gerobak kayu itu bergerak pelan di antara gang-gang kota, menuju jalanan yang lebih ramai.
Saat mereka tiba di trotoar besar, Luthfi mulai paham betapa berat pekerjaan ini. Gerobak itu lebih berat dari yang ia kira, dan harus terus didorong sepanjang jalan sambil menawarkan dagangan. Tapi ia tidak mengeluh. Justru, ada sesuatu dalam pekerjaan ini yang membuatnya merasa lebih baik.
Pak Wiryo sesekali menyapa orang-orang, menawarkan roti dengan suara yang tenang namun penuh semangat. Beberapa pembeli datang, dan Luthfi mulai ikut membantu. Awalnya kaku, tapi lama-lama ia mulai terbiasa.
Di sebuah persimpangan, seorang anak kecil menarik-narik lengan ibunya, menunjuk ke arah gerobak mereka. “Bu, aku mau roti itu!”
Ibunya tersenyum lalu menghampiri mereka. “Berapa harganya, Pak?”
Pak Wiryo tersenyum ramah. “Seribu lima ratus, Bu.”
Sang ibu merogoh dompetnya, lalu mengeluarkan lembaran lima ribuan. “Ambil dua, Pak.”
Pak Wiryo menerima uang itu dan memberikan dua roti dengan hati-hati. Tapi sebelum sang ibu pergi, ia tiba-tiba menoleh ke arah Luthfi.
“Kamu bukannya yang kerja di kedai kopi dekat kampus?” tanyanya sambil menatap Luthfi dengan dahi berkerut.
Luthfi tercekat. Ia mengenali wanita itu. Dulu, ia sering melihatnya datang ke kedai.
Sebelum ia sempat menjawab, wanita itu tersenyum simpul. “Aku ingat. Kamu yang—”
Luthfi buru-buru memotong. “Iya, Bu, tapi sekarang aku sudah nggak kerja di sana lagi.”
Wanita itu mengangguk pelan. “Oh, maaf. Aku nggak bermaksud mengingatkan sesuatu yang buruk.”
Luthfi menggeleng cepat. “Nggak apa-apa.”
Wanita itu tersenyum, lalu pergi bersama anaknya. Tapi rasa tak nyaman masih tertinggal di dada Luthfi.
Pak Wiryo menatapnya sekilas, lalu berdeham. “Kenapa? Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Luthfi menghela napas. “Aku cuma… agak malu.”
Pak Wiryo mengangkat alis. “Malu?”
Luthfi menunduk, mengusap tengkuknya. “Iya, Pak. Dulu aku kerja di tempat yang lebih… enak. Sekarang malah jualan di jalanan.”
Pak Wiryo tertawa pelan. “Luthfi, hidup itu naik turun. Yang penting bukan di mana kamu sekarang, tapi ke mana kamu mau melangkah.”
Luthfi terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi menamparnya.
Hari itu berlalu dengan pelajaran yang lebih dari sekadar berjualan. Luthfi belajar menghadapi orang-orang dengan beragam ekspresi—ada yang ramah, ada yang sinis, ada yang tidak peduli. Tapi ia tetap bertahan.
Menjelang sore, mereka duduk di bangku taman kecil, menikmati angin yang berembus pelan.
Pak Wiryo meneguk air dari botol plastiknya, lalu menatap Luthfi dengan mata penuh makna. “Nak, kamu punya rencana apa ke depan?”
Luthfi mengangkat bahu. “Aku belum tahu, Pak. Yang jelas, aku nggak mau menyerah.”
Pak Wiryo tersenyum puas. “Bagus. Berarti kamu sudah selangkah lebih maju dari kemarin.”
Luthfi menatap langit yang mulai menguning. Hari ini, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa sedikit lebih ringan.
Masih ada hari esok. Dan ia siap melangkah lagi.
Langkah Kecil Menuju Harapan
Senja menggantung di langit, menyisakan semburat jingga di antara gedung-gedung tua kota. Luthfi menurunkan gerobak roti dari trotoar ke gang sempit tempat Pak Wiryo tinggal. Napasnya berat, tapi ada rasa puas dalam kelelahan yang ia rasakan. Hari ini lebih baik dari kemarin.
Pak Wiryo duduk di bangku kayu di depan rumahnya, mengusap keringat dari lehernya. “Hari ini cukup bagus, kan?” tanyanya sambil tersenyum.
Luthfi mengangguk. “Iya, Pak. Nggak nyangka jualan roti bisa seseru ini.”
Pak Wiryo terkekeh. “Kalau dikerjakan dengan hati, semua pekerjaan bisa terasa lebih ringan.”
Luthfi menatap gerobak yang sudah kosong. Roti mereka hampir habis terjual hari ini, dan itu pencapaian kecil yang cukup membanggakan. Tapi di balik itu semua, ada hal yang masih mengganjal di hatinya.
Ia menatap Pak Wiryo ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Pak… boleh aku tahu kenapa Bapak memilih jualan roti seperti ini?”
Pak Wiryo terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Matanya menerawang, seolah sedang menggali kembali kenangan yang sudah lama terkubur.
“Dulu aku punya usaha kecil-kecilan, Luthfi. Warung makan sederhana di dekat stasiun. Nggak besar, tapi cukup buat bertahan hidup.”
Luthfi mendengarkan dengan seksama.
“Tapi suatu hari, ada kebakaran. Warungku habis. Nggak ada yang tersisa.”
Luthfi mengerutkan kening. “Bapak nggak coba bangun lagi?”
Pak Wiryo tersenyum tipis. “Aku coba. Tapi modal nggak ada. Tabungan sudah habis buat bayar utang. Akhirnya, aku mulai dari nol lagi. Jualan roti keliling seperti ini.”
Luthfi terdiam. Ia bisa melihat ada luka lama di mata Pak Wiryo. Tapi meskipun begitu, pria tua itu tetap tersenyum.
“Kehilangan itu biasa, Nak. Yang luar biasa adalah kalau kamu masih bisa bangkit setelahnya.”
Kata-kata itu menghantam hati Luthfi. Ia mengingat bagaimana dirinya dulu menyerah begitu saja setelah dipecat. Merasa hidupnya sudah berakhir hanya karena kehilangan satu pekerjaan. Tapi di depannya, ada seseorang yang kehilangan segalanya—dan masih berdiri tegak.
Pak Wiryo menepuk bahu Luthfi pelan. “Kamu harus mulai berpikir, Luthfi. Hidup ini nggak bisa cuma berjalan tanpa arah. Kamu mau ke mana setelah ini?”
Luthfi menggigit bibirnya, merenung. Dulu ia punya banyak impian, tapi semuanya terasa terlalu jauh sekarang.
“Aku nggak tahu, Pak…” suaranya lirih.
Pak Wiryo terkekeh. “Itu lebih baik daripada nggak mau berpikir sama sekali.”
Luthfi menatap langit yang mulai gelap. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya. Sesuatu yang sudah lama ia lupakan—keinginan untuk mencoba lagi.
Esok paginya, Luthfi sudah bangun lebih awal dari biasanya. Ia berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya, menatap dirinya sendiri. Matanya tak lagi kosong seperti beberapa minggu lalu. Ada sinar kecil yang mulai muncul.
Dengan langkah lebih mantap, ia berangkat ke rumah Pak Wiryo. Hari ini, ia ingin melakukan lebih dari sekadar membantu jualan roti. Ia ingin belajar.
Ketika Pak Wiryo melihatnya datang, pria tua itu tersenyum lebar. “Kamu terlihat berbeda hari ini.”
Luthfi tersenyum kecil. “Aku mau serius, Pak. Aku nggak mau jalan tanpa arah lagi.”
Pak Wiryo menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk puas. “Bagus. Kalau begitu, ayo kita mulai.”
Dan hari itu, untuk pertama kalinya, Luthfi tak hanya sekadar membantu. Ia mulai mencatat, menghitung modal dan keuntungan, memperhatikan cara Pak Wiryo berbicara dengan pelanggan, dan yang paling penting—ia mulai belajar bagaimana menghadapi hidup dengan kepala tegak.
Di tengah hiruk-pikuk kota, di antara roti yang dijual dengan harga murah, Luthfi menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar pekerjaan. Ia menemukan harapan.
Masih ada hari esok. Dan kali ini, ia siap untuk menyambutnya.
Matahari Esok yang Baru
Hari itu, hujan turun pelan, membasahi jalanan kota. Tapi tak seperti biasanya, Luthfi tak merasa mendung di dalam hatinya. Gerobak roti Pak Wiryo kini berdiri lebih tegap, dengan roda yang baru ia ganti. Payung yang dulunya sobek kini sudah ia jahit dengan rapi. Hal kecil, tapi berarti.
Sudah dua bulan sejak ia pertama kali membantu Pak Wiryo. Kini, ia bukan sekadar membantu, melainkan benar-benar menjalankan usaha ini bersama. Dan ada satu hal yang berbeda hari ini.
“Kamu yakin mau coba?” tanya Pak Wiryo sambil mengelap tangan dengan lap kering.
Luthfi mengangguk mantap. “Aku harus mulai melangkah, Pak.”
Di tangannya, ada secarik kertas bertuliskan alamat sebuah toko roti kecil. Tiga hari yang lalu, ia menemukan lowongan sebagai pekerja magang di sana. Bukan gaji besar yang ia cari, tapi ilmu.
“Pak, aku nggak akan ninggalin ini semua. Aku cuma mau belajar lebih banyak, supaya nanti aku bisa bikin usaha sendiri.”
Pak Wiryo tersenyum bangga. “Itu keputusan yang bagus, Luthfi. Aku selalu bilang, kalau mau maju, kita harus terus belajar.”
Luthfi menatap pria tua itu, lalu menunduk hormat. “Terima kasih, Pak. Kalau bukan karena Bapak, aku mungkin masih jadi orang yang menyerah pada hidup.”
Pak Wiryo menepuk pundaknya. “Aku cuma bantu menyalakan lampunya, Nak. Kamu sendiri yang memilih untuk berjalan di bawah cahaya itu.”
Hari pertama bekerja di toko roti tak mudah. Luthfi harus beradaptasi dengan lingkungan baru, belajar membuat adonan dari awal, memahami cara memanggang dengan benar. Berkali-kali ia melakukan kesalahan, berkali-kali ia dimarahi. Tapi ia tak mundur.
Di malam hari, sepulang dari toko, ia masih membantu Pak Wiryo berjualan. Meski lelah, ada kepuasan yang ia rasakan.
Luthfi tak pernah mengira bahwa hidup yang dulu ia anggap sudah berakhir ternyata baru saja dimulai.
Dua tahun kemudian…
Pagi itu, matahari bersinar terang. Di sebuah gang kecil, berdiri toko roti mungil dengan papan bertuliskan “Luthfi’s Bakery”.
Di dalamnya, wangi roti yang baru matang menguar, menyambut pelanggan pertama yang datang.
Luthfi berdiri di balik etalase, mengenakan apron bersih, tangannya masih berbalut tepung. Matanya berbinar saat melihat Pak Wiryo memasuki tokonya.
“Selamat datang, Pak Wiryo,” katanya dengan senyum lebar.
Pria tua itu terkekeh, melihat sekeliling. “Jadi ini hasil kerja kerasmu?”
Luthfi mengangguk. “Kalau bukan karena Bapak, aku nggak akan sampai di sini.”
Pak Wiryo menepuk bahunya, bangga. “Kamu yang membuat keputusan untuk bangkit, Luthfi. Aku hanya memberi sedikit dorongan.”
Mereka tertawa bersama.
Dari seorang pria yang dulu kehilangan segalanya, kini Luthfi telah menemukan jalannya sendiri.
Karena di dunia ini, tak peduli seberapa banyak kegagalan yang datang, masih ada hari esok. Dan esok adalah kesempatan baru untuk mencoba lagi.
Hidup emang keras, tapi selama masih ada hari esok, selalu ada kesempatan buat mulai lagi. Gagal? Wajar. Terpuruk? Bisa jadi bagian dari proses. Tapi kalau berhenti? Itu yang bikin beneran kalah.
Jadi, apapun yang lagi kamu hadapi sekarang, ingat satu hal—selama matahari masih terbit, kamu punya satu hari lagi buat mencoba. Dan siapa tahu, esok justru jadi awal dari sesuatu yang lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan.


