Daftar Isi
Kadang, hidup itu nggak perlu ribet. Masa muda, misalnya. Banyak orang mikir kalau kamu nggak pacaran, hidup kamu bakal kosong atau nggak seru. Tapi ternyata, nggak kok. Bisa kok seru-seruan, petualangan sana-sini, dan merasakan kebahagiaan cuma dengan teman-teman.
Tanpa drama pacaran, tanpa harus ngikutin standar orang lain. Nah, cerita ini tuh buat kamu yang percaya kalau masa muda itu seharusnya dinikmati tanpa beban. Jadi, siap-siap untuk ikut jalan-jalan bareng, yuk!
Masa Muda Tak Harus Pacaran
Bukit Seruni dan Petualangan yang Tak Direncanakan
Pagi itu, jalanan kota kecil masih sepi. Matahari baru merangkak naik, meninggalkan jejak cahaya oranye di cakrawala. Udara masih dingin, membuat embun pagi menggantung di dedaunan. Tapi di trotoar dekat halte bus, empat remaja sudah berkumpul dengan ransel masing-masing.
Dandel, si pemilik ide-ide ajaib, berdiri di tepi trotoar sambil mengayunkan tasnya ke depan dan belakang. Matanya berbinar penuh rencana. Juno, yang masih setengah sadar, duduk di bangku halte dengan mata sayu, mengunyah roti dengan malas. Sementara itu, Valen dan Rega berdiri sedikit menjauh, berdebat kecil soal tujuan mereka hari ini.
“Aku bilang kita ke Bukit Seruni,” kata Dandel, suara penuh semangat.
Rega langsung mengernyit. “Bukit lagi? Baru juga minggu lalu kita ke sana.”
“Tapi minggu lalu kita nggak cobain jalur curamnya,” balas Dandel santai.
Valen menghela napas, menyilangkan tangan di dada. “Terserah sih, yang penting jangan sampai kita dikejar-kejar orang lagi.”
Juno, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. “Aku nggak lari kalau kejadian kayak kemarin terulang.”
Tiga pasang mata langsung menatapnya. Juno tetap mengunyah rotinya dengan santai, lalu menatap mereka balik. “Serius. Aku lebih baik pasrah daripada ngos-ngosan lagi.”
Dandel tertawa. “Ya udah, kalau ketangkep, kita tinggalin kamu.”
“Bagus,” Juno menangguk setuju.
Tak lama kemudian, bus yang mereka tunggu datang. Mereka naik dan langsung mengambil kursi di bagian belakang. Bus tua itu berguncang setiap melewati jalan berlubang, tapi mereka sudah terbiasa.
Valen bersandar ke jendela, menatap langit yang perlahan berubah warna. “Demi apa kita bangun pagi buat naik ke bukit lagi?”
Dandel menyeringai. “Demi kenangan, dong.”
Juno menutup mata. “Aku lebih memilih tidur siang buat kenangan.”
Rega menggeleng-geleng. “Kamu tuh, ya…”
Perjalanan ke Bukit Seruni memakan waktu sekitar satu jam. Begitu bus berhenti di pinggiran kota, mereka turun dan langsung disambut dengan pemandangan hamparan sawah luas. Di kejauhan, Bukit Seruni menjulang dengan pepohonan rimbun yang tampak menggoda sekaligus menantang.
Dandel menepuk tangan sekali. “Oke, kita langsung jalan sebelum keburu panas.”
“Aku butuh lima menit buat duduk,” sahut Juno, tapi Dandel langsung menariknya agar ikut berjalan.
Jalur awal masih mudah, berupa tanah padat yang dikelilingi ladang dan pohon-pohon pisang. Mereka berjalan santai, bercanda sepanjang jalan. Tapi begitu masuk ke hutan kecil di kaki bukit, jalannya mulai menanjak dan sedikit licin karena hujan semalam.
“Kalau terpeleset, pura-pura aja kayak sengaja,” ujar Valen sambil hati-hati melangkah.
Dandel mendahului yang lain, menaiki jalur dengan penuh percaya diri. “Ini nih, namanya petualangan!”
Juno, yang berjalan paling belakang, bergumam, “Namanya juga risiko jatuh.”
Mereka terus berjalan, bercanda, dan saling dorong sesekali. Beberapa kali, Juno hampir terpeleset, tapi entah bagaimana dia selalu berhasil bertahan. Di satu titik, Rega menemukan sebatang kayu dan mulai menggunakannya sebagai tongkat.
“Kayak orang tua,” komentar Valen.
“Aku nggak peduli. Yang penting aman,” balas Rega.
Dandel, yang berjalan lebih dulu, tiba-tiba berhenti. “Eh, denger nggak?”
Semua langsung diam. Di kejauhan, terdengar suara gemerisik dari dalam hutan. Angin yang bertiup pelan membuat daun-daun bergoyang, menciptakan bayangan aneh di tanah.
Juno mengangkat alis. “Jangan bilang ada babi hutan.”
Rega meneguk ludah. “Jangan bilang ada yang lebih dari babi hutan.”
Dandel malah terlihat makin bersemangat. “Kita lihat!”
Tanpa pikir panjang, dia melangkah lebih jauh ke dalam pepohonan. Valen dan Rega saling pandang sebelum akhirnya mengikuti. Juno menghela napas panjang sebelum berjalan dengan malas menyusul mereka.
Mereka melewati pohon-pohon tinggi dan ranting-ranting kecil yang berserakan di tanah. Suara gemerisik tadi sudah hilang, tapi suasana di sekitar terasa sedikit berbeda—lebih hening dari biasanya.
“Kita balik aja, yuk,” gumam Rega.
Dandel mengabaikan saran itu dan terus berjalan. Hingga akhirnya, mereka sampai di sebuah area terbuka kecil dengan sebuah batu besar di tengahnya. Dan di sana—
“Sumpah, ini beneran?” Valen membelalakkan mata.
Di depan mereka, sebuah gubuk tua berdiri dengan pintu yang setengah terbuka. Kayunya sudah lapuk, seolah telah ditinggalkan bertahun-tahun lalu.
Rega bergidik. “Nggak ada yang bilang ada gubuk di sini.”
Dandel menyeringai, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru menemukan harta karun. “Ya makanya, kita cek dulu!”
Juno mengangkat tangan. “Atau kita balik aja?”
Dandel tidak mendengarkan. Dengan langkah penuh semangat, dia maju dan mendorong pintu gubuk yang terbuka sedikit berderit.
Dan saat itu juga, terdengar suara yang membuat mereka semua menahan napas.
Seseorang—atau sesuatu—sedang ada di dalam.
Lari dari Pagar, Lari dari Pacaran
Pintu gubuk terbuka perlahan, memperlihatkan bagian dalam yang gelap dan berantakan. Bau kayu lapuk bercampur dengan udara lembap yang menusuk hidung. Mata mereka masih mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan saat terdengar suara lain dari dalam—sebuah tarikan napas panjang, lalu suara benda jatuh.
“OKE, KITA PERGI!” Rega langsung berbalik, tapi Dandel malah tertawa.
“Eh, eh, kita cek dulu, kali aja ada sesuatu yang seru,” katanya dengan semangat, melangkah masuk ke dalam.
Valen mengerang kesal, tapi tetap mengikuti. Juno mendesah panjang sebelum menyeret kakinya masuk.
Ruangan di dalam kecil, hanya ada satu meja kayu penuh debu di tengah dan beberapa kursi reyot. Dindingnya dipenuhi coretan aneh yang samar-samar terlihat di cahaya temaram. Tapi yang paling menarik perhatian mereka adalah tumpukan barang di sudut ruangan, seperti tas, botol minuman, dan jaket yang jelas masih baru.
“Oke, ini serem,” ujar Juno, matanya mengamati barang-barang itu.
“Berarti ada orang yang sering ke sini,” gumam Valen.
Dandel menendang salah satu kursi pelan, membuat debu berhamburan. “Mungkin ini markas rahasia seseorang?”
Tepat saat itu, suara langkah kaki terdengar dari luar. Cepat, berat, dan semakin dekat.
“SHIT!” bisik Rega panik. “Ada yang datang!”
Dandel langsung mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka diam. Tapi itu percuma, karena detik berikutnya Juno sudah menarik tangan Valen dan berbisik, “Kita keluar sekarang.”
Tanpa membuang waktu, mereka bergerak cepat ke arah pintu belakang, yang untungnya tidak terkunci. Begitu keluar, mereka langsung berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang.
Napas mereka memburu saat akhirnya tiba di sebuah pagar tua yang membatasi hutan. Dandel melompat lebih dulu, lalu Valen menyusul dengan sedikit panik.
“CEPATAN!” teriaknya ke Juno dan Rega yang masih di belakang.
Rega, yang terengah-engah, mengutuk sambil mencoba memanjat. Tapi sebelum dia sempat melompat turun, suara bentakan terdengar dari kejauhan.
“HEI! KALIAN NGAPAIN DI SANA?!”
Juno langsung meloncat turun, tidak peduli dengan lututnya yang hampir menyerempet batu. Rega yang masih di atas pagar langsung panik. “Kaki gue ketahan! Astaga, tolongin gue!”
Dandel dan Valen langsung menarik tangannya, membantu menariknya turun. Begitu Rega mendarat, mereka langsung berlari lagi tanpa melihat siapa yang mengejar.
Setelah beberapa menit, mereka akhirnya tiba di jalan setapak yang lebih aman. Juno langsung menjatuhkan diri ke tanah, napasnya tersengal.
“Gila… aku nggak pernah lari secepat ini,” katanya di antara napas yang tak beraturan.
“Baguslah, kita akhirnya bisa lihat kamu olahraga,” canda Dandel, meskipun dia sendiri ngos-ngosan.
Rega masih terengah-engah. “Kita hampir ketangkep! Kalau orang tadi tau kita ke situ, kita bisa dibilang maling!”
Valen menghela napas panjang, duduk di akar pohon. “Dan kita bahkan nggak tau itu siapa.”
Semua terdiam beberapa saat, mencerna apa yang baru saja terjadi. Tapi sebelum ketegangan bisa benar-benar mereda, tiba-tiba Dandel tertawa.
“Kenapa ketawa?” tanya Juno curiga.
Dandel mengangkat bahu. “Kita nggak pernah gagal bikin drama di setiap perjalanan, ya?”
Valen memutar matanya. “Drama yang bisa bikin kita masuk berita kriminal.”
Tapi semua akhirnya ikut tertawa. Kejadian barusan seharusnya menakutkan, tapi entah kenapa, mereka malah menikmatinya.
Juno berbaring di tanah, menatap langit biru yang mulai sedikit mendung. “Kadang aku mikir, hidup tanpa pacaran tuh kayak gini. Lebih seru, lebih bebas, nggak ada drama cinta-cintaan yang bikin ribet.”
Rega mengangguk. “Iya. Kalau kita pacaran, pasti nggak bisa sembarang lari-larian kayak tadi. Bisa-bisa ada yang ngambek karena kita nggak ada kabar.”
Dandel terkekeh. “Dan kalau pacaran, mungkin kita udah duduk di kafe sekarang, bukan dikejar-kejar orang nggak dikenal.”
Valen menoleh ke mereka. “Dan kalian nggak akan punya cerita sekeren ini buat diceritain nanti.”
Semuanya terdiam sejenak, sebelum akhirnya saling pandang dan tersenyum.
Mungkin, benar kata mereka. Masa muda tak harus diisi dengan pacaran. Karena selama mereka punya satu sama lain, semua terasa cukup.
Dan tanpa mereka sadari, petualangan mereka hari ini belum benar-benar berakhir.
Bodoamat, yang Penting Bareng
Pagi yang cerah datang begitu cepat, dan matahari memancar hangat di balik pepohonan besar di sekitar kota. Hari itu, setelah petualangan yang mendebarkan kemarin, mereka memutuskan untuk kembali ke Bukit Seruni. Entah kenapa, meski sudah dikejar-kejar orang asing kemarin, rasa penasaran tetap menguat, dan dorongan untuk lebih banyak menjelajah masih menggoda.
Tapi kali ini, suasana sedikit berbeda. Mereka berempat berjalan berdampingan di jalan setapak, tertawa dan bercanda, tapi tanpa ada rasa takut yang mengintai. Bukit Seruni kini terasa seperti teman lama yang siap menyambut mereka kembali—meski ada sedikit perasaan cemas yang masih tertinggal dari kejadian kemarin.
“Udah pasti nggak ada yang ngejar kita kan?” tanya Juno, sedikit khawatir sambil melirik ke belakang.
Valen mendengus. “Ya kalau ada sih, mereka pasti udah ketinggalan jauh.”
Dandel tertawa. “Kalau ada, gue bakal kasih mereka satu drama lagi. Biar seru.”
Juno menggelengkan kepala. “Lu emang nggak bosen ya, ngasih orang drama?”
Dandel pura-pura berpikir. “Drama itu seni, Juno. Harus ada twist, harus ada plot yang nggak terduga.”
“Maksudnya, kayak kemarin?” Valen ikut menanggapi, sambil menunjuk ke atas dengan mulut sedikit menyeringai.
“Pastinya.”
Keempatnya tertawa. Tak ada beban. Tidak ada tuntutan untuk menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar remaja yang menikmati hari-hari mereka. Tidak ada kecemasan tentang hubungan asmara atau tekanan yang biasa dirasakan oleh sebagian besar teman-teman seumuran mereka. Mereka hanya ingin menikmati hari ini—seperti mereka selalu lakukan, seperti mereka selalu tahu bahwa masa muda bukan soal pacaran, melainkan soal kebersamaan yang tak terikat.
Saat mereka tiba di kaki bukit, mereka memutuskan untuk menyusuri jalur yang lebih panjang kali ini. Jalur yang penuh dengan tanaman liar dan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, saling beradu di atas kepala mereka. Selama perjalanan, mereka berbicara banyak hal, tertawa mendengarkan cerita-cerita konyol, dan bahkan berhenti sesekali hanya untuk menikmati udara segar.
Namun, tiba-tiba Dandel berhenti di tengah jalan, mengangkat tangannya seperti memberi isyarat untuk berhenti.
“Ada apa?” tanya Rega dengan wajah bingung.
Dandel tersenyum penuh arti. “Nih, liat.”
Dengan hati-hati, dia menunjuk ke arah kiri, di bawah pohon besar. Di sana, tersembunyi dalam semak-semak, ada sebuah benda yang tampaknya sudah lama tertinggal.
“Wow, itu apa?” tanya Valen, mendekat untuk melihat lebih jelas.
Dandel tersenyum nakal. “Ada petunjuk baru buat kita.”
Dengan semangat tinggi, mereka semua mendekat. Dandel membuka semak-semak dengan hati-hati, menemukan sebuah kotak kayu kecil yang tampaknya sudah usang. Rega memandangi kotak itu dengan curiga.
“Apa itu? Kotak harta karun?”
“Dibuka aja,” jawab Dandel, tangan sudah terulur ke kotak.
Juno berdiri agak jauh, tetap tidak yakin dengan apa yang akan terjadi. “Kalau ini jebakan, gue nggak ikut tanggung jawab, ya.”
Dandel membuka kotak itu perlahan. Ternyata, di dalamnya hanya ada sebuah surat tua yang terlipat rapi. Dengan hati-hati, dia menariknya dan membacanya dengan suara keras agar semua bisa mendengar.
“Untuk siapa yang menemukannya,
Ini adalah titik pertama dari perjalanan yang lebih besar. Jalan ini tak akan mudah, namun jika kalian kuat, maka petunjuk akan selalu ada.”
Semua terdiam.
“Petunjuk?” Valen mengernyit. “Gimana kalau itu cuma sampah orang iseng?”
“Ya, itu bisa jadi sampah, atau bisa jadi petualangan baru,” Dandel menjawab sambil menyimpan surat itu kembali ke dalam kotak. “Kalian pilih yang mana?”
Mereka saling pandang, lalu Rega mengangkat bahu. “Gue sih lebih milih petualangan baru.”
Juno menghela napas. “Oke, gue ikut aja, asal kita nggak harus lari-lari lagi.”
Valen mengangguk setuju. “Setuju. Yang penting kita seru-seruan.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Tanpa tahu ke mana petunjuk ini akan membawa mereka, tanpa tahu siapa yang meninggalkan pesan tersebut, namun mereka tahu satu hal—petualangan ini akan terus berlanjut.
Hari itu, di antara kebersamaan mereka, ada sesuatu yang terasa lebih berarti daripada sekadar menghabiskan waktu. Tidak ada pacar yang perlu dikhawatirkan, tidak ada drama hubungan yang harus dihadapi, hanya sebuah persahabatan yang kuat dan sebuah petualangan yang menarik.
Mereka tahu, apa pun yang terjadi setelah ini, yang penting mereka berjalan bersama—dan itu sudah cukup untuk membuat masa muda mereka tak terlupakan.
Jejak Langkah, Jejak Kenangan
Malam mulai merayap perlahan, memeluk kota dengan gelap yang hangat. Udara semakin dingin, namun mereka berempat tetap melangkah dengan semangat di sepanjang jalan setapak menuju Bukit Seruni. Sudah hampir dua minggu sejak petualangan itu dimulai, sejak mereka menemukan surat di dalam kotak kayu yang tampaknya membawa mereka ke jalur yang lebih jauh, lebih menantang.
Namun, perjalanan mereka kali ini terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa cemas yang membayangi. Semua terasa ringan, seperti tidak ada halangan yang cukup berarti. Malam itu, bukan petunjuk baru yang mereka cari, tapi lebih kepada kenangan yang mulai terukir di setiap langkah mereka. Mereka tidak lagi merasa terikat pada sebuah tujuan, karena kebersamaan dan petualangan itu sendiri sudah cukup untuk menjadikan masa muda mereka berarti.
“Semuanya sudah hampir berakhir, ya?” tanya Valen sambil berjalan di samping Dandel, menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang gemerlapan.
Dandel tidak langsung menjawab. Matanya tertuju pada jalan yang terus terbentang, pada langkah-langkah mereka yang semakin jauh dari keramaian dan lebih dekat dengan kedamaian. “Nggak tahu, tapi aku rasa kita belum selesai, Valen.”
Juno yang berjalan di depan memutar badan, mengangkat tangan dengan riang. “Kalau kita selesai, berarti kita nggak bisa cerita lagi, dong? Masa muda kita nggak bisa dipeluk dalam sebuah cerita kalau kita berhenti.”
Rega yang berjalan paling belakang menghela napas. “Tapi kita kan nggak bisa selamanya jadi anak-anak, Juno. Ada waktunya kita harus berhenti bermain.”
Juno menoleh, sedikit tertawa. “Kenapa harus berhenti? Kita kan udah buktikan kalau kita bisa seru tanpa harus pacaran atau ngikutin tren orang lain.”
Senyuman kecil terukir di wajah Valen. “Betul, kita nggak butuh semua itu. Selama kita masih ada, semuanya terasa cukup.”
Mereka berhenti sejenak di sebuah tepi jalan, di mana ada sebuah batu besar yang bisa mereka duduki. Malam itu, suasana semakin tenang, dan mereka hanya mendengarkan suara alam yang meresap perlahan. Dandel menarik napas panjang, matanya terpejam sejenak, meresapi ketenangan.
“Kadang aku mikir,” katanya pelan, “kita cuma perlu waktu ini. Masa muda kita nggak butuh pacar, nggak butuh drama, yang penting kita bisa saling mendukung, saling menemani, dan menikmati hari demi hari. Sesederhana itu.”
Juno mengangguk setuju. “Iya, kan? Kadang orang mikir kita nggak lengkap kalau nggak pacaran. Tapi kita? Kita nggak pernah merasa kurang.”
Mereka tertawa, mengingat betapa seringnya orang-orang sekitar mereka menganggap hidup mereka kosong hanya karena tidak ada hubungan asmara yang terlibat. Tapi yang mereka tahu, mereka lebih dari cukup. Keempatnya duduk bersama di atas batu itu, hanya menikmati malam yang indah dan tenang.
“Ini bukan akhir, kan?” tanya Rega, matanya menyentuh langit yang luas.
“Ini bukan akhir,” jawab Dandel tegas. “Kita masih muda, dan selama kita ada bersama, semua akan terus berjalan. Tak ada yang perlu kita takutkan.”
Malam itu, mereka tidak mencari petunjuk lagi, tidak mencari drama baru. Mereka hanya menikmati momen itu, momen yang begitu berharga, yang tidak akan pernah terulang.
Pada akhirnya, apa yang mereka tahu adalah ini: masa muda bukan tentang berlari mengejar sesuatu, bukan tentang menjadi apa yang orang lain inginkan, dan pasti bukan tentang pacaran. Masa muda adalah tentang kebebasan, tentang teman-teman yang selalu ada, dan tentang langkah yang tidak pernah berhenti berjalan, menapaki jalan yang mungkin tidak diketahui, tetapi selalu penuh dengan arti.
Dan mereka tahu, suatu hari nanti, saat mereka mengingat perjalanan ini, mereka akan tersenyum. Karena mereka tahu—tak ada yang lebih berharga selain kenangan itu.
Sebuah kenangan masa muda yang tak akan pernah terlupakan, yang tidak terikat pada apa pun, selain kebersamaan.
Intinya, masa muda itu bukan soal siapa pacarmu atau seberapa keren hubunganmu di mata orang lain. Yang penting, kamu punya teman yang selalu ada, yang bisa diajak seru-seruan tanpa drama, dan menikmati setiap detiknya.
Tanpa harus khawatir apa kata orang atau ngejar-ngejar standar sosial. So, enjoy the ride, be yourself, dan jangan takut untuk menikmati hidup seutuhnya. Karena di ujungnya, yang paling penting adalah kenangan yang kamu ciptakan bersama teman-teman terbaikmu.


