Daftar Isi
Hai, hidup nggak selalu sesempurna yang kita bayangin. Kadang, ada masa-masa kelam yang bikin kamu ngerasa terjebak dan nggak bisa keluar. Tapi, siapa sangka? Justru dari situlah kita bisa nemuin kekuatan yang nggak pernah kita tau sebelumnya.
Cerita kali ini tentang perjalanan seseorang yang ngalamin trauma dan perubahan hidup yang nggak mudah. Kalau kamu pernah merasa terpuruk, atau bahkan ngerasa dunia nggak lagi berpihak sama kamu, cerpen ini mungkin bisa sedikit ngasih pencerahan. Selamat baca, semoga kamu bisa nemuin sesuatu yang berguna di dalamnya!
Masa Kelamku dalam Kehidupan
Rumah Tanpa Cahaya
Hujan deras mengguyur atap rumah itu, menciptakan irama yang seharusnya menenangkan. Tapi bagi Reval, suara hujan hanyalah pengingat betapa sunyinya dunia yang ia tinggali. Cahaya lampu redup di ruang tamu, bayangan tinggi seorang pria berdiri di ambang pintu, napasnya berat, matanya merah karena alkohol.
“Apa yang kamu lakukan di situ?!” suara itu membelah keheningan, menggema seperti petir yang menyambar tepat di belakang telinga Reval.
Anak laki-laki itu berdiri kaku. Tangannya yang kurus mengepal, tapi ia tak berani menatap ke depan.
“Jawab aku kalau aku bicara, dasar bocah sialan!”
Tangan besar itu terangkat. Refleks, Reval mundur selangkah. Tapi percuma, karena detik berikutnya tamparan keras mendarat di pipinya. Panas. Perih. Tapi lebih dari itu, ia merasa kosong.
Dari balik dinding dapur, sepasang mata wanita menyaksikan kejadian itu. Bibirnya gemetar, tetapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Jari-jarinya mencengkeram erat kain bajunya, seakan ingin menghentikan tubuhnya yang bergetar.
“Aku bilang, jangan diam!” suara berat itu kembali menggema, kali ini disertai suara sesuatu terhempas ke lantai. Piring yang ada di meja ikut bergetar.
Reval menggigit bibirnya. Tubuhnya terasa kaku. Ia tidak ingin menangis. Tidak sekarang.
“Dia anakmu, Darian…” suara wanita itu akhirnya terdengar, lirih, hampir tertelan oleh gemuruh hujan di luar.
Darian, pria bertubuh besar yang berdiri di hadapan mereka, menoleh dengan mata menyala. “Anak? Anak macam apa yang tidak pernah berguna di rumah ini?!” Suaranya penuh amarah, bibirnya menyeringai sinis. “Kamu pikir aku kerja banting tulang buat siapa? Buat bocah lemah yang bahkan nggak bisa bicara dengan benar?!”
Reval menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya.
“Aku—”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tangan Darian kembali melayang. Kali ini lebih keras. Kepala Reval terantuk sisi meja, nyeri menjalar di pelipisnya, tapi tetap saja, tidak ada air mata yang jatuh.
“Apa? Apa?! Jangan berani-berani ngomong kalau nggak bisa jawab dengan benar!”
Hening.
Wanita itu—ibunya—masih berdiri di sana. Tangannya terangkat setengah, seolah ingin menghentikan, tapi ketakutan menahannya. Mata Reval bertemu dengannya. Ada sesuatu di dalam tatapan itu. Sesuatu yang selalu ada sejak dulu—penyesalan, ketidakberdayaan.
Reval ingin membenci ibunya. Ingin menjerit dan bertanya kenapa ia tidak melakukan apa pun. Tapi ia tahu jawabannya.
Rumah ini terlalu sempit untuk dilawan.
Rumah ini adalah penjara tanpa dinding.
Keesokan paginya, rumah itu sepi. Seperti biasanya, setelah badai semalam, semuanya kembali seolah tak terjadi apa-apa. Piring berserakan di lantai sudah dibersihkan, meja makan sudah rapi, dan aroma masakan pagi mulai tercium dari dapur.
Reval duduk di kursi kayu, menekan pelipisnya yang masih berdenyut. Ibunya berdiri di meja, mengaduk teh di dalam cangkirnya dengan pelan.
“Aku sudah siapkan sarapan,” katanya, suaranya hampir tak terdengar.
Reval menatap nasi dan telur yang tersaji di piringnya. Ia tidak merasa lapar.
“Kepalamu masih sakit?”
Reval tidak menjawab. Ia hanya menatap ibunya.
Wanita itu menghela napas panjang. Tangannya berhenti mengaduk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menatap anaknya dengan mata yang penuh rasa bersalah.
“Aku minta maaf…”
Kata-kata itu keluar begitu lirih, begitu rapuh.
Reval tetap diam.
Permintaan maaf itu tidak berarti apa-apa. Tidak pernah berarti apa-apa.
Di luar, langit masih mendung. Entah karena sisa hujan semalam atau karena hari ini memang ditakdirkan untuk tetap kelabu.
Sekolah seharusnya menjadi tempat pelarian, tempat di mana Reval bisa melupakan sejenak kehidupan di rumah. Tapi kenyataannya, sekolah hanyalah kelanjutan dari neraka yang lain.
Duduk di sudut kelas, ia menarik napas panjang, berharap waktu berlalu lebih cepat.
“Eh, anak bisu itu lagi,” sebuah suara terdengar dari belakangnya. Suara yang sudah terlalu sering ia dengar.
Reval tidak bereaksi. Ia sudah tahu bagaimana permainan ini berjalan. Jika ia tidak merespons, mereka akan bosan.
“Hei, kamu pura-pura nggak dengar?” Anak laki-laki itu, dengan seragamnya yang rapi tapi sikapnya jauh dari itu, menyentil telinga Reval. “Kamu kira kamu siapa sih? Duduk diem aja, kayak patung.”
Reval tetap tidak bergeming.
“Heh, jawab dong. Jangan kayak mayat hidup!” Suara lain ikut menimpali. Kali ini ada tawa dari beberapa orang di sekitar mereka.
Reval mengepalkan tangannya di bawah meja. Bukan karena takut—tapi karena lelah.
“Udahlah, kasian. Mungkin dia beneran nggak bisa ngomong,” celetuk salah satu anak perempuan di sudut ruangan.
Seisi kelas kembali tertawa.
Reval mengangkat wajahnya, menatap mereka satu per satu. Tatapan kosong. Tidak ada kemarahan, tidak ada kepedulian.
Dan seperti yang ia duga, mereka akhirnya berhenti. Tidak seru jika korbannya tidak bereaksi.
Saat bel berbunyi, Reval menghela napas lega. Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke luar kelas tanpa menoleh.
Namun, baru beberapa langkah, seseorang menahan pergelangan tangannya.
Seorang gadis.
“Kenapa kamu diem aja?” tanyanya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keramaian siswa yang berhamburan keluar dari kelas.
Reval menatapnya. Mata itu… berbeda. Tidak seperti yang lain. Tidak ada ejekan, tidak ada kepura-puraan.
Tapi Reval sudah terlalu lama hidup dalam bayangan.
Ia menarik tangannya, melangkah pergi tanpa menjawab.
Ia sudah terlalu sering berharap, dan ia tahu, tidak ada gunanya lagi berharap.
Hidup sudah mengajarkan bahwa tidak ada yang benar-benar peduli. Tidak ada yang benar-benar melihat.
Tidak ada yang bisa menyelamatkannya.
Setidaknya, begitulah yang ia yakini saat itu.
Luka Yang Tak Terlihat
Hujan semalam sudah berhenti, tapi dinginnya masih terasa. Jalanan basah, menyisakan genangan kecil di beberapa tempat. Reval berjalan tanpa suara, membiarkan suara langkah kakinya tenggelam dalam riuh rendah siswa lain yang bergegas menuju kelas.
Hari ini sama seperti kemarin. Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Di lorong sekolah, tatapan kosongnya bertemu dengan seseorang. Gadis yang kemarin menahannya, yang menatapnya seolah ada sesuatu yang bisa diselamatkan dari dirinya.
Reval berpikir, apakah dia harus mengatakan sesuatu? Atau pura-pura tidak melihat?
Namun, gadis itu justru mengalihkan pandangannya lebih dulu.
Reval tersenyum miris dalam hati. Begitulah manusia. Mereka penasaran sesaat, tapi akhirnya selalu kembali ke kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada yang benar-benar peduli.
Ia melangkah masuk ke kelas dan duduk di tempatnya, dekat jendela. Dari sini, ia bisa melihat langit yang masih kelabu. Hari ini akan menjadi hari yang panjang.
Istirahat pertama.
Reval tetap duduk di bangkunya, sementara siswa lain keluar untuk makan atau sekadar mengobrol. Seperti biasa, ia tidak tertarik untuk ikut dalam kebisingan mereka.
Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda.
“Aku boleh duduk di sini?”
Suara itu lagi.
Reval menoleh. Gadis itu berdiri di sampingnya, satu tangan memegang botol minum, tangan lainnya menekan roti dalam plastik transparan.
Reval tidak menjawab, tapi ia juga tidak menolak. Gadis itu menarik kursi dan duduk, mengeluarkan roti dari plastiknya.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan.
“Kamu nggak lapar?” tanya gadis itu akhirnya, matanya melirik piring kosong di meja Reval.
Reval menggeleng.
Gadis itu menggigit rotinya pelan, lalu berujar, “Nama aku Nayla.”
Tidak ada respons.
“Harusnya ini bagian di mana kamu bilang nama kamu siapa,” lanjutnya dengan nada bercanda, meski senyumnya terasa samar.
Reval tetap diam.
Nayla tidak tampak tersinggung. Ia hanya menghela napas kecil, lalu menatap lurus ke depan. “Aku lihat kamu kemarin. Pas mereka ngerjain kamu di kelas.”
Reval menggerakkan jarinya, mengetuk meja dengan pelan. Sebuah kebiasaan yang ia lakukan saat mulai merasa tidak nyaman.
Nayla melanjutkan. “Kenapa kamu diem aja?”
Reval menoleh, menatap gadis itu dengan ekspresi datar. Tapi jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang mengusik.
“Apa gunanya?” akhirnya ia menjawab, suaranya lebih serak dari yang ia kira.
Nayla menatapnya lama, lalu mengangkat bahu. “Nggak tahu. Mungkin kalau kamu lawan, mereka bakal berhenti.”
Reval tertawa kecil, tanpa suara. “Atau makin menjadi.”
Nayla menggigit bibirnya. “Mungkin. Tapi, setidaknya kamu nggak bakal terus-terusan jadi sasaran.”
Reval mengalihkan tatapannya keluar jendela. Di luar sana, burung-burung kecil bertengger di dahan pohon, menggigil dalam udara pagi yang dingin.
“Udah biasa,” gumamnya.
Nayla terdiam.
Beberapa saat kemudian, bel berbunyi, menandakan istirahat telah usai. Nayla berdiri, meremas plastik bekas rotinya sebelum membuangnya ke tempat sampah.
“Sampai nanti, Reval.”
Reval menoleh cepat, sedikit terkejut. Ia tidak ingat pernah menyebut namanya.
Tapi Nayla sudah berjalan pergi, meninggalkan tanda tanya di benaknya.
Hari-hari berikutnya, Nayla tetap datang.
Terkadang, ia membawa dua kotak susu dan meletakkan salah satunya di meja Reval tanpa bicara. Di lain waktu, ia hanya duduk diam, menggambar sesuatu di buku catatannya.
Dan anehnya, Reval mulai terbiasa dengan kehadirannya.
Namun, kebersamaan itu tak bertahan lama.
Pada suatu siang, di sudut lapangan sekolah, sekelompok anak laki-laki berdiri mengelilingi sesuatu—atau seseorang.
Reval tidak tertarik. Sampai ia mendengar sebuah suara.
“Kenapa kamu ngurusin dia?”
Itu suara Rico. Salah satu anak yang paling sering mengganggunya.
“Lagian, kasihan amat ya. Kamu sama dia kayak dua orang buangan,” suara lain menimpali, diikuti tawa mengejek.
Reval berhenti berjalan.
Di tengah lingkaran itu, Nayla berdiri dengan kepala sedikit tertunduk.
Ia tidak meronta. Tidak membalas.
Hanya berdiri diam, seperti yang selalu Reval lakukan.
“Hei, Reval!” Rico menoleh ke arahnya, menyeringai. “Lihat, pacar kamu nih! Kalian cocok banget, sama-sama aneh!”
Tawa semakin keras.
Reval mengepalkan tangannya. Ada sesuatu yang mendidih di dalam dirinya, sesuatu yang selama ini ia tekan dalam-dalam.
Ia menatap Nayla. Gadis itu tetap diam, matanya kosong.
Dan untuk pertama kalinya, Reval merasa takut.
Bukan takut pada Rico. Bukan takut pada tamparan, pukulan, atau hinaan.
Tapi takut karena ia melihat dirinya sendiri dalam diri Nayla.
Takut karena ia tahu betapa sakitnya perasaan itu.
Dan takut karena, meski ia ingin melakukan sesuatu…
…ia tidak tahu bagaimana cara melawan.
Bayangan Di Cermin
Hampir dua minggu berlalu sejak kejadian itu, tapi bayangan kejadian di lapangan sekolah itu masih menggantung di kepala Reval. Setiap kali ia menutup matanya, ia melihat Nayla berdiri di tengah lingkaran, tak melakukan apa-apa, hanya menerima saja.
Kejadian itu meninggalkan bekas yang lebih dalam dari yang ia kira. Reval tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah yang merayap masuk ke dalam hatinya. Setiap kali ia memandang Nayla di kelas, ia merasa seperti penonton dalam drama yang seharusnya berperan lebih besar, tetapi memilih untuk diam.
Tapi Nayla tidak tampak membutuhkan pertolongannya. Dia tetap duduk di meja dengan santai, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru tanpa ada raut wajah cemas, tanpa keluhan. Itu yang membuat Reval lebih bingung.
Kenapa gadis itu tampak begitu tenang?
Namun, ada sesuatu dalam diri Reval yang semakin merasa terikat pada dirinya. Setiap kali melihatnya, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan. Rasa yang menggelitik di dadanya, yang terasa seperti keinginan untuk melindungi. Atau lebih tepatnya, rasa ingin menebus sesuatu—sesuatu yang belum ia ketahui.
Pulang sekolah, Reval memilih untuk berjalan kaki, tak ingin buru-buru sampai rumah. Ia butuh waktu untuk merenung. Di sepanjang jalan, pikirannya hanya berputar pada Nayla, pada apa yang ia saksikan di lapangan.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu yang tak biasa. Di depan sebuah kafe kecil yang sering ia lewati, tampak Nayla sedang duduk di luar, sendirian. Tangannya memegang secangkir kopi panas, namun tatapannya kosong. Ada sesuatu yang berbeda hari itu—sesuatu yang tidak pernah Reval lihat sebelumnya.
Ia mendekat tanpa suara, mencoba untuk tidak mengganggu. Namun Nayla segera menyadari keberadaannya.
“Reval,” suara Nayla terdengar lebih berat dari biasanya.
Reval terkejut, tak tahu harus berkata apa. Nayla tersenyum samar, meski tidak ada kebahagiaan di dalamnya.
“Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nayla pelan, menatap ke arah Reval dengan tatapan yang sulit dipahami.
Reval mengangkat bahu, merasa canggung. “Aku hanya lewat.”
Nayla mengangguk pelan, lalu kembali menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan melewatinya tanpa memberi perhatian.
“Aku sering melihat kamu sendiri,” lanjut Nayla tanpa berpaling. “Kenapa kamu selalu sendiri?”
Itu pertanyaan yang tidak pernah Reval duga dari Nayla. Ia biasanya lebih suka diam dan membiarkan orang lain berbicara. Namun kali ini, ia merasa terjebak dalam satu momen yang sulit untuk dihindari.
“Karena aku lebih nyaman begitu,” jawab Reval pelan, lalu menambah, “Lebih mudah untuk tidak terikat dengan siapapun.”
Nayla diam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Tapi kamu takut, kan?”
Reval menatapnya, bingung dengan kata-kata itu. “Takut?”
“Takut kalau kamu benar-benar sendirian,” jawab Nayla tanpa menoleh. “Takut kalau apa yang kamu sembunyikan akan keluar. Takut kalau kamu nggak bisa kontrol semua itu.”
Reval merasa darahnya berhenti sejenak. Ada yang salah dalam kata-kata Nayla. Tapi ia tidak bisa menolaknya. Ada sesuatu yang menggetarkan di dalam dirinya, sesuatu yang menghubungkannya dengan gadis ini—sesuatu yang mungkin hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua.
“Tapi aku nggak ingin tahu apa yang kamu sembunyikan,” lanjut Nayla, lalu tersenyum pelan. “Aku nggak perlu tahu, Reval.”
Mata Reval melebar. “Kenapa?”
Nayla mengangkat bahu dengan santai, seperti itu hal yang biasa. “Karena aku tahu, semua orang punya cerita sendiri. Semua orang punya cara untuk melawan. Kita hanya butuh waktu untuk memahaminya.”
Reval mematung, mencoba mencerna kata-kata itu. Dia merasa seperti terlempar jauh ke dalam sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ada sesuatu dalam cara Nayla berbicara yang terasa sangat dekat—meskipun mereka terpisah oleh sekat yang sangat besar.
Tiba-tiba, sebuah suara menginterupsi mereka.
“Eh, Nayla!”
Dua orang laki-laki mendekat, salah satunya adalah Rico. Melihat keduanya, Reval merasa ketegangan yang sempat ada di antara mereka mulai menguap.
“Kenapa kamu di sini sendirian? Bukannya hari ini kamu udah ada janji sama temen-temenmu?” tanya Rico dengan nada mengejek, seolah tidak peduli dengan keberadaan Reval yang berdiri di sebelah Nayla.
Nayla hanya tersenyum dingin, tidak menjawab.
“Ayo, kamu nggak usah sendirian gitu. Udah, ikut kita aja.” Laki-laki satunya mulai memaksa.
Reval merasa sedikit cemas, meski tidak tahu kenapa. Ia ingin berkata sesuatu, tapi ia terlalu terdiam.
“Aku nggak perlu ikut kalian,” jawab Nayla dengan tenang, matanya menatap kosong ke depan. “Aku hanya butuh waktu sendiri.”
Rico tertawa kecil, sambil mengajak temannya pergi. “Ya sudah, kalau kamu mau sendirian.”
Setelah mereka pergi, Reval berdiri dalam diam. Ada sesuatu yang melawan dirinya untuk tidak ikut campur, untuk tidak bertanya lebih jauh. Tapi ada juga perasaan lain yang meronta, perasaan yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang Nayla.
“Kenapa kamu nggak kabur aja?” tanya Reval akhirnya, setelah cukup lama menahan perasaan di dadanya.
Nayla menoleh ke arah Reval, sejenak merenung. “Karena… nggak ada yang perlu aku kaburkan, Reval. Kadang, kita harus belajar untuk menghadapi itu.”
Reval terdiam.
Di dalam dirinya, ada dua dunia yang bergejolak—satu dunia yang ingin terus menghindar, dan satu dunia yang entah kenapa, ingin mendekat dan membantu. Namun, ia tahu…
Dunia yang pertama lebih familiar.
Namun dunia yang kedua…
Itulah dunia yang membuatnya takut.
Menemukan Diri Sendiri
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menenangkan di dalam diri Reval. Setelah beberapa minggu dipenuhi dengan keraguan dan perasaan yang membebani, ia akhirnya memutuskan untuk melakukan apa yang ia rasa benar. Keputusannya kali ini bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Nayla, gadis yang seolah bisa membaca setiap sudut hatinya tanpa pernah bertanya.
Reval sudah lama merasa terperangkap dalam kehidupannya yang monoton. Menjauh dari dunia yang penuh keramaian, bersembunyi di balik dinding-dinding yang ia bangun sendiri, namun pada akhirnya ia tahu—semakin lama ia menahan semuanya, semakin ia merasa semakin terisolasi. Tak ada lagi yang tersisa selain bayang-bayang yang terus mengganggu setiap langkahnya.
Hari itu, ia berjanji pada dirinya sendiri.
Mungkin ini adalah saatnya untuk tidak lagi takut.
Langkah kaki Reval membawanya kembali ke kafe kecil tempat ia pertama kali melihat Nayla sendirian. Ia merasa aneh, seperti seseorang yang sedang mencari jawaban di tempat yang tepat—tempat yang pernah ia hindari, tempat yang di dalamnya ada kejujuran yang tidak ia miliki sebelumnya.
Ketika ia sampai, ia melihat Nayla sudah duduk di meja yang sama, hanya kali ini dengan buku catatan yang terbuka di depannya. Wajahnya tampak lebih cerah dari sebelumnya, meski masih ada jejak kelelahan di matanya.
Reval berhenti beberapa langkah sebelum akhirnya melangkah lebih dekat.
“Aku kira kamu nggak akan datang,” suara Nayla terdengar ringan, namun ada sedikit nada kecewa yang menggelitik di sana.
“Aku datang,” jawab Reval, sedikit gugup, tapi ia merasa itu adalah kata-kata yang tepat.
Nayla mengangkat alis, lalu tersenyum pelan. “Jadi, kamu berubah pikiran?”
Reval mengangguk pelan. “Aku kira aku harus mulai menghadapi kenyataan. Aku nggak bisa terus bersembunyi dari semuanya.”
Nayla menutup bukunya dan menatapnya dengan tatapan yang penuh arti. “Kadang kita takut untuk menghadapi kenyataan, karena kenyataan itu bisa lebih keras daripada yang kita bayangkan.”
“Aku tahu,” jawab Reval dengan suara lebih rendah, seakan-akan berusaha mencerna kata-kata Nayla. “Tapi aku nggak bisa terus hidup seperti ini. Aku nggak bisa menahan semuanya sendirian.”
“Lalu, kenapa kamu menunggu terlalu lama?” tanya Nayla dengan lembut, menatap Reval langsung.
Itu adalah pertanyaan yang membuat Reval terdiam. Kenapa ia menunggu begitu lama? Kenapa ia memilih untuk melangkah mundur dari kesempatan yang ada? Ia menyesalinya sekarang.
“Aku takut kehilangan semuanya,” jawabnya akhirnya, nada suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut, kalau aku terlalu dekat, aku akan kehilangan diriku sendiri.”
Nayla menarik napas panjang, lalu meluruskan tubuhnya. “Terkadang, kita harus kehilangan sesuatu untuk bisa menemukan diri kita yang sebenarnya.”
Reval merasa dadanya sedikit sesak mendengar kata-kata itu. Ia tahu apa yang dimaksud oleh Nayla. Itu adalah sebuah kenyataan yang sulit diterima, tetapi juga perlu. Kehilangan itu adalah bagian dari proses untuk menuju pada sesuatu yang lebih baik.
“Lalu… apa yang harus aku lakukan?” tanya Reval, merasa kehilangan arah.
Nayla memandangnya dengan penuh pengertian. “Jangan lari dari dirimu sendiri. Jangan biarkan rasa takut itu menghalangi jalanmu. Kalau kamu ingin berubah, kamu harus mulai dengan menghadapi apa yang ada dalam dirimu. Jangan terus sembunyi dari kebenaran.”
Reval merasa ada suatu perubahan dalam dirinya. Begitu lama ia bersembunyi, begitu lama ia menutup mata terhadap hal-hal yang harus ia terima. Dan sekarang, ia tahu—tidak ada jalan lain selain untuk menghadapi kenyataan itu.
“Apakah kamu akan membantuku?” tanyanya, mata Reval mencari harapan yang tak pernah ia temukan sebelumnya.
Nayla mengangguk, meski tidak ada janji yang terucap. “Aku tidak bisa mengubah semuanya, Reval. Tapi aku bisa berjalan bersama kamu, kalau itu yang kamu inginkan.”
Dan saat itu juga, sesuatu di dalam hati Reval terasa berubah. Ada rasa lega yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, seolah beban yang selama ini ia bawa di dalam hidupnya perlahan mulai terangkat. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan baru. Perjalanan yang penuh ketidakpastian, tapi juga penuh dengan harapan.
Hari itu, mereka duduk bersama—tidak banyak bicara, hanya berbagi keheningan yang penuh makna. Reval tahu, ia masih memiliki banyak hal yang harus diperbaiki dalam hidupnya. Masih banyak hal yang harus ia hadapi. Namun, satu hal yang ia yakini—ia tidak perlu lagi menghadapinya sendirian.
Semuanya baru saja dimulai.
Yup, hidup emang nggak selalu mulus, tapi dari setiap langkah yang sulit, kita bisa belajar banyak. Mungkin nggak langsung jadi sempurna, tapi kita semua punya kesempatan buat berubah, kan? Cerpen ini cuma sebagian kecil dari perjalanan panjang seseorang yang berusaha bangkit dari masa kelamnya.
Semoga kamu bisa ngerasa ada sesuatu yang nempel di hati, dan siapa tau, itu bisa jadi titik balik kamu juga. Thanks udah baca sampai akhir, semoga cerita ini ngasih sedikit inspirasi buat kalian yang butuh dorongan buat ngadepin hidup.


