Masa Indah Masa Sekolah: Kisah Persahabatan, Tawa, dan Kenangan Tak Terlupakan

Posted on

Siapa sih yang nggak kangen sama masa sekolah? Tempat di mana tugas numpuk, guru galak, tapi tetep aja ketawa bareng temen-temen setiap hari. Ada aja drama, dari panik ujian mendadak sampai dihukum rame-rame gara-gara kebanyakan bercanda.

Cerita ini bakal ngebawa kamu balik ke masa-masa itu—masa di mana kebodohan jadi kenangan, hukuman jadi pelajaran, dan tawa nggak pernah absen di setiap harinya. Siap nostalgia bareng?

 

Masa Indah Masa Sekolah

Kertas Kosong dan Panik Massal

Bel sekolah berdentang nyaring, menggema di seluruh lorong seperti gong kemenangan bagi para siswa. Ruang kelas 10-B yang tadinya sunyi seketika berubah menjadi lautan kegaduhan. Ada yang mengemasi buku dengan tergesa-gesa, ada yang bersorak karena pelajaran selesai, bahkan ada yang sudah berdiri di kursi, siap melompat seperti atlet parkour.

Di tengah keributan itu, sekelompok siswa masih duduk tegang di meja mereka. Wajah mereka terlihat panik, mata melotot ke arah satu sama lain.

“Aduh, kita belum ngerjain tugas Pak Bram!” seru Nando dengan suara tercekat.

Suasana langsung berubah drastis. Semua yang tadinya riang seketika membeku. Kiara, yang sedang menggulung kertas bekas permen, berhenti bergerak. Lintang yang sibuk menulis di buku diary-nya langsung menutupnya dengan keras. Sementara Davi yang hampir berdiri, kini terduduk lagi seperti balon yang kehilangan udara.

“Tugas Pak Bram?” ulang Tio santai sambil melempar-lempar tutup botol.

“Iya, tugas yang harus dikumpulin hari ini,” Nando menjelaskan dengan nada semakin panik. “Tugas yang kalau nggak dikumpulin, kita bisa disuruh bikin ulang sampai lima kali lipat!”

Kiara menepuk jidat. “Astaga! Kenapa nggak ada yang inget?”

“Tunggu, bukannya Tio yang biasanya nyatet tugas?” Lintang bertanya dengan curiga.

Semua kepala langsung berbalik ke arah Tio, yang masih asyik membuat pesawat kertas dari sobekan kertas ujian minggu lalu. Tio menoleh perlahan, seperti baru sadar dirinya sedang disidang.

“Eh, tugas yang mana sih?” tanyanya polos.

“Tugas Matematika!” Davi nyaris berteriak.

Tio mengerutkan dahi, lalu menepuk mejanya keras. “Oh! Aku inget! Aku inget!”

Mata semua orang berbinar.

“Tapi…” lanjut Tio dengan cengiran lebar, “aku nggak nulis tugasnya.”

Hening. Hanya terdengar suara seseorang yang meneguk minuman dengan sangat dramatis di ujung kelas.

Lintang memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu membuka lagi dengan penuh penderitaan. “Jadi, kita semua nggak ada yang ngerjain tugas?”

Semua saling menatap.

“…Kayaknya iya,” jawab Kiara dengan suara pasrah.

Sekali lagi, keheningan menyelimuti meja mereka. Namun kali ini, keheningan itu dipenuhi kepanikan yang tak terucapkan.

“Terus, gimana?!” Nando mulai mencengkram kepalanya.

Davi tampak berpikir keras. “Mungkin kita bisa pura-pura sakit?”

“Aku bisa pura-pura pingsan!” seru Kiara penuh semangat.

“Kamu mau pingsan berapa lama? Pak Bram pasti bakal nyari tugas kita juga,” kata Lintang skeptis.

“Ya udah, pura-pura kehilangan tugas aja?” usul Tio.

“Tugas Matematika tuh dikumpulin bareng-bareng, Tio! Mana ada yang bisa hilang satu doang?!” Kiara balas dengan suara gemas.

Belum sempat mereka menemukan solusi, suara langkah berat terdengar dari luar kelas. Langkah yang sangat khas. Langkah yang mereka semua kenal baik.

Pak Bram.

Mata mereka membelalak bersamaan.

“Ya Tuhan, kita mati!” desis Nando.

“Diam! Aku punya ide!” Kiara buru-buru menarik selembar kertas kosong dari bukunya, lalu mencoret-coret angka secara acak.

“Tugas kilat,” gumamnya sambil menulis asal-asalan.

Lintang menatapnya dengan ngeri. “Kiara, itu nggak ada hubungannya sama tugas!”

“Tapi ada angkanya!” Kiara membela diri sambil tetap menulis.

Pak Bram sudah hampir sampai di pintu. Napas semua orang tertahan.

“Serahin aja ini. Nggak ada waktu buat nyari cara lain,” bisik Kiara.

Davi dan Tio saling pandang. Nando mengangguk cepat. Lintang memijat pelipisnya, lalu mendesah pasrah.

Pintu terbuka.

Pak Bram melangkah masuk dengan tatapan tajamnya yang khas. Semua murid langsung duduk rapi, seperti pasukan tentara yang siap inspeksi.

“Baik,” suara berat Pak Bram memenuhi ruangan. “Kumpulkan tugasnya sekarang.”

Jantung kelompok itu seolah berhenti berdetak.

Satu per satu murid maju ke depan. Kertas-kertas tugas mulai menumpuk di meja guru.

Saat giliran mereka tiba, Kiara maju lebih dulu, diikuti yang lain. Dengan tangan sedikit gemetar, dia meletakkan kertas ‘tugas’ di atas meja Pak Bram, lalu buru-buru mundur.

Pak Bram mengambil kertas itu, menatapnya sebentar, lalu menaikkan alis.

Jantung mereka mencelos.

“Kalian yakin ini tugas kalian?” tanyanya pelan, tapi nada suaranya membuat udara di sekeliling terasa lebih dingin.

Nando menelan ludah. “Y-yakin, Pak.”

Pak Bram menyipitkan mata, lalu kembali menatap kertas itu. Rasanya satu detik berubah menjadi selamanya.

“Apa ini…” Pak Bram bergumam sambil menyipitkan mata lebih tajam lagi.

Tangan Kiara mulai berkeringat. Lintang sudah siap lari keluar jendela kalau perlu.

Lalu tiba-tiba…

Pak Bram meletakkan kertas itu di atas meja. “Baiklah. Saya akan periksa nanti.”

Kelompok itu nyaris roboh saking leganya.

Namun, sebelum mereka bisa merayakan kemenangan mereka, Pak Bram menambahkan satu kalimat lagi yang membuat mereka langsung kaku di tempat.

“Tapi besok, saya akan tanyakan satu per satu tentang jawaban di tugas ini.”

Dan seketika, kepanikan kembali melanda.

 

Perang Mini di Kelas 10-B

Sejak Pak Bram keluar dari kelas, kelompok itu masih diam membeku di tempat. Udara yang tadinya terasa lebih ringan kini kembali menekan mereka. Bayangan tentang besok, saat mereka harus mempertanggungjawabkan isi tugas absurd mereka, membuat keringat dingin mengalir di punggung.

Lintang akhirnya memecah keheningan. “Jadi, kita semua setuju bakal mati besok?”

Kiara mengangguk pelan. “Iya, mati dengan terhormat sebagai pahlawan yang mencoba.”

Nando, yang sudah lunglai di kursinya, meratap, “Aku belum siap mati, aku bahkan belum nyobain makan sushi asli Jepang…”

“Aku belum nonton final drama yang aku ikutin dari dua tahun lalu,” tambah Davi dengan nada putus asa.

Tio malah sibuk meniup pesawat kertasnya ke udara. “Yaelah, santai aja. Besok pagi kan masih lama, kita bisa nyari cara buat lolos sebelum Pak Bram nanya.”

Kiara menatap Tio seakan dia baru saja mengatakan bahwa langit itu hijau. “Lolos gimana? Satu-satunya cara kita lolos adalah kalau tiba-tiba ada alien yang nyulik kita malam ini.”

Tiba-tiba, secarik kertas melayang ke meja mereka. Kiara mengambilnya dengan wajah bingung, lalu membuka lipatannya. Tulisan cakar ayam khas milik Reno, si ketua kelas, memenuhi halaman.

“Diam-diam nyontek di jam pertama besok. Aku udah dapet jawabannya. Bayaranku: traktir cilok seminggu.”

Mereka semua menatap Reno, yang duduk di barisan depan sambil menyeringai puas.

Lintang menelan ludah. “Cilok seminggu? Itu bisa bikin kita bangkrut…”

“Kalian mau dipermalukan Pak Bram atau bangkrut gara-gara cilok?” bisik Reno sambil melirik mereka sekilas.

Sebelum ada yang bisa menjawab, tiba-tiba sebuah penghapus melayang ke arah kepala Tio.

Pluk!

“Woi!” Tio menoleh dengan wajah kesal.

Di sudut kelas, Raka dan gengnya sedang menahan tawa. “Pura-pura serius amat, kalian takut ya sama Pak Bram?” ejek Raka.

Davi yang sudah stress karena tugas, spontan mengambil tutup botol dari meja dan melemparnya balik. Tepat kena dahi Raka.

Plak!

Semua membeku.

Davi menelan ludah. “Eh… reflek.”

Raka diam sejenak, lalu menyeringai lebar. “Oh, perang nih?”

Dan tanpa aba-aba, serangan balasan pun terjadi. Satu per satu benda kecil mulai melayang di udara—penghapus, kertas gulung, botol kosong. Suasana kelas yang tadinya tegang langsung berubah menjadi medan pertempuran mini.

Kiara melompat ke bawah meja. “Ini perang, teman-teman!”

Nando bersembunyi di balik tasnya. “Tolong aku, aku masih pengen hidup!”

Lintang mencoba menangkis serangan dengan buku catatannya, sementara Tio justru asyik membalas tembakan dengan melipat lebih banyak pesawat kertas.

“Ayo maju, tentara!” seru Tio penuh semangat.

Davi menarik Nando ke belakang kursinya. “Kita udah kehilangan banyak pasukan! Ini taktik mundur teratur!”

“Tapi ini mejaku!” protes Nando, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena Davi sudah menduduki kursinya.

Sementara itu, Kiara merangkak ke meja Reno. “Hei, aku bakal traktir cilok sebulan kalau kamu kasih bocoran jawaban sekarang!”

Reno tertawa sinis. “Cilok sebulan? Itu namanya penyuapan kelas berat.”

“Aku nggak peduli!” Kiara mengeluh putus asa, tapi sebelum Reno bisa membalas, suara paling mengerikan di dunia terdengar dari luar.

Gedebuk!

Buku tebal mendarat di meja guru dengan bunyi yang menandakan akhir dari semua kekacauan.

Pak Bram berdiri di pintu.

Hening.

Semua yang tadinya berperang seketika diam. Penghapus, tutup botol, dan kertas yang masih melayang jatuh ke lantai dengan suara samar.

Pak Bram menghela napas panjang, menatap satu per satu murid yang jelas-jelas bersalah. “Bisa ada yang menjelaskan… ini semua?”

Mereka saling pandang. Kiara buru-buru berdiri, menyikut Tio yang masih menggenggam pesawat kertas.

“Umm… kami lagi… latihan motorik tangan, Pak?” jawab Kiara dengan suara sangat pelan.

Pak Bram menutup mata sejenak, seolah sedang menghitung doa untuk kesabarannya sendiri. Lalu, dengan nada yang sangat menakutkan, ia berkata, “Baik. Semua yang terlibat, tunggu saya di kelas sepulang sekolah.”

Lintang mengubur wajahnya di tangan. “Ya Tuhan, kita kena.”

Tio menelan ludah. “Jadi… yang tadi itu perang sia-sia?”

Dan tanpa perlu ada yang menjawab, semua sudah tahu jawabannya.

 

Eksekusi di Depan Kelas

Jam pelajaran terakhir akhirnya selesai, tapi tak ada satu pun dari mereka yang merasa bebas. Murid lain pulang dengan riang, sementara geng kelas 10-B yang terlibat perang mini siang tadi masih duduk kaku di bangku masing-masing.

Pak Bram berdiri di depan kelas dengan ekspresi datar. Tangannya bertumpu pada meja guru, sementara matanya menyapu mereka satu per satu.

“Baik,” katanya akhirnya, suaranya nyaris tanpa emosi. “Siapa yang mau menjelaskan duluan?”

Tak ada yang bergerak.

Davi menunduk dalam-dalam, berharap dirinya bisa menghilang. Lintang pura-pura sibuk melihat lantai, seolah ada sesuatu yang sangat menarik di sana. Kiara melirik Reno, berharap ketua kelas itu mengambil alih, tapi Reno hanya mengangkat bahu.

Pak Bram mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Baiklah. Karena tidak ada yang mau bicara, saya akan menunjuk.” Matanya berhenti di Tio. “Kamu dulu.”

Tio yang sedang menunduk langsung menegakkan tubuhnya seperti orang yang baru saja disambar petir. “Eh, saya, Pak?”

Pak Bram melipat tangan. “Ya, kamu. Jelaskan apa yang terjadi tadi siang.”

Tio melirik teman-temannya dengan putus asa, lalu berdiri perlahan. “Umm… Jadi… Kami sebenarnya hanya latihan koordinasi tangan dan kecepatan refleks, Pak.”

Kiara hampir ingin menepuk jidat. Serius, Tio? Mau pakai alasan absurd lagi?

Pak Bram mengangkat alis. “Latihan koordinasi tangan?”

Tio mengangguk penuh harap. “Iya, Pak. Jadi tadi itu kayak… simulasi kecil untuk meningkatkan ketangkasan, gitu.”

Pak Bram menatapnya lama, lalu menoleh ke Lintang. “Apa benar begitu?”

Lintang menelan ludah. “Uh… Maksudnya… Ya, Pak, semacam eksperimen sosial gitu…”

Davi ingin menangis. “Eksperimen sosial dari mana…” gumamnya pelan.

Pak Bram mendesah panjang. “Baiklah, cukup. Saya tidak peduli eksperimen sosial atau latihan refleks atau apapun itu. Fakta bahwa kelas ini berubah jadi ajang lempar-lemparan sudah cukup jelas. Jadi, kalian semua akan mendapat hukuman.”

Semua menahan napas.

“Hukuman kalian adalah,” Pak Bram melanjutkan dengan suara pelan namun mengandung ancaman terselubung, “besok pagi, kalian harus berdiri di depan kelas dan menjelaskan materi yang sudah saya berikan. Lengkap dengan contoh soal dan pembahasannya.”

Davi membeku. “P-Pak… Besok?”

Pak Bram mengangguk. “Ya. Kalau kalian masih bisa bercanda dan bermain di jam pelajaran saya, saya ingin lihat bagaimana kalian saat harus mengajar teman-teman kalian.”

Nando hampir pingsan di tempat. “Tapi Pak… Kami belum siap…”

“Itu bukan urusan saya.” Pak Bram menyilangkan tangan. “Kalian punya waktu malam ini untuk belajar. Kalau besok tidak bisa menjelaskan dengan baik, saya akan beri tambahan tugas.”

Kiara mendengus pelan. “Jadi kita dikeroyok tugas dari dua sisi, ya?”

Pak Bram menepuk mejanya. “Baik. Kalian boleh pulang sekarang. Dan jangan harap saya lupa soal ini besok.”

Tak perlu dikatakan dua kali. Mereka semua langsung bangkit dan berjalan menuju pintu seperti sekelompok prajurit yang baru kembali dari medan perang dengan kekalahan telak. Begitu sampai di luar kelas, mereka menatap satu sama lain dengan pasrah.

Nando mengusap wajahnya. “Aku harus bilang ke ibu buat siapin makanan enak. Aku butuh energi buat belajar semalam suntuk.”

Lintang mendesah. “Aku harus belajar materi yang aku bahkan nggak ngerti. Ini namanya neraka dunia.”

Tio menepuk bahu Davi. “Kamu kan lumayan pintar, Dav. Bisa bantu kita?”

Davi menghela napas lelah. “Aku aja nggak ngerti semua materinya. Tapi ya udahlah, kita harus kerja sama kalau mau selamat.”

Kiara menatap mereka satu per satu, lalu menyeringai kecil. “Baiklah. Kalau kita harus dihukum, kita hadapi bareng-bareng.”

Nando memekik lemah. “Aku tetap merasa ini nggak adil…”

“Setidaknya kita nggak sendirian,” tambah Reno.

Dengan perasaan campur aduk, mereka akhirnya berpisah menuju rumah masing-masing, bersiap menghadapi malam panjang penuh belajar. Esok hari akan menjadi ujian sesungguhnya, bukan hanya tentang pelajaran, tapi juga tentang bagaimana mereka bisa menyelamatkan harga diri di depan seluruh kelas.

 

Hari Penghakiman

Pagi itu, udara di kelas 10-B terasa lebih berat dari biasanya. Murid-murid lain bercengkerama seperti biasa, tapi ada sekelompok siswa yang wajahnya lebih pucat dari lembaran ujian matematika.

Kiara duduk di bangkunya, menatap buku catatan dengan pandangan kosong. “Aku udah baca semua materinya, tapi otakku kayak nolak buat nyimpen.”

Nando, yang sudah menyerah sejak semalam, meletakkan kepalanya di meja. “Mau pingsan sekarang atau nanti aja pas di depan kelas?”

Davi, yang paling banyak menyerap materi, mencoba menenangkan teman-temannya. “Kita kan udah latihan semalam. Harusnya masih ada yang nyangkut di otak.”

Lintang menguap panjang. “Kalau ada yang nyangkut, kenapa aku masih ngerasa kosong?”

Sementara mereka panik dalam diam, pintu kelas tiba-tiba terbuka. Pak Bram masuk dengan langkah tenang dan aura yang bikin jantung mereka makin berdebar. “Baik. Seperti yang sudah kita sepakati kemarin, sekarang kalian maju.”

Tak ada yang berani bergerak.

Pak Bram menaikkan satu alis. “Harus saya panggil satu-satu?”

Kiara buru-buru bangkit, menyeret Tio bersamanya. “Ayo, ayo, kita selesaikan ini.”

Satu per satu, mereka maju ke depan. Reno yang ditunjuk pertama kali mengambil kapur dengan tangan gemetar. Dia menuliskan judul materi di papan, lalu menoleh ke teman-temannya.

“Jadi, ehm… Seperti yang kita tahu, ini adalah bab yang… sangat penting.”

Pak Bram menghela napas. “Langsung ke materinya, Reno.”

Reno mengangguk cepat, lalu mulai menjelaskan. Meski sedikit gugup, dia berhasil melewati bagiannya dengan baik.

Tapi begitu giliran Nando, segalanya mulai kacau.

Nando berdiri di depan kelas, menatap papan kosong seperti itu adalah naskah ujian hidup dan matinya. Tangan yang memegang kapur gemetar. “Oke… Jadi, ehm… Bab ini menjelaskan tentang…”

Hening.

Pak Bram menunggu dengan sabar. Teman-temannya menatapnya penuh harap.

Nando menghela napas panjang. “Tentang sesuatu yang… sangat penting.”

Lintang yang duduk di bangku langsung menepuk jidat.

Pak Bram menyilangkan tangan. “Saya harap sesuatu yang sangat penting itu ada di dalam otakmu, Nando.”

Tio tertawa pelan, tapi langsung meredamnya saat Pak Bram melirik tajam.

Nando menelan ludah, lalu menoleh ke Davi dengan tatapan meminta tolong. Davi mengisyaratkan sesuatu dengan tangannya, tapi Nando tetap tak menangkap maksudnya.

Kiara akhirnya tak tahan. “Nando, ini soal konsep dasar vektor! Kamu nggak bisa lupa bagian awalnya!”

Nando langsung terbelalak. “Oh iya! Jadi konsep dasar vektor itu…”

Ia pun mulai menjelaskan, meskipun terbata-bata.

Lalu, satu per satu, mereka maju ke depan. Beberapa ada yang menjelaskan dengan lancar, beberapa hampir pingsan di tengah jalan. Saat giliran Lintang, dia malah terbatuk sebelum mulai berbicara, dan saat menjelaskan, kalimatnya campur aduk.

Pak Bram akhirnya mengangkat tangan. “Baik, cukup. Saya sudah melihat usaha kalian.”

Mereka semua menahan napas.

Pak Bram menatap mereka satu per satu, lalu menghela napas. “Jujur saja, kalian bukan pengajar yang baik. Beberapa dari kalian lebih terlihat seperti stand-up comedian.”

Nando langsung menoleh ke Tio, yang sejak tadi menahan tawa sepanjang presentasi.

“Tapi saya juga bisa melihat kalian berusaha,” lanjut Pak Bram. “Jadi, saya tidak akan memberi tugas tambahan.”

Mereka langsung menghembuskan napas lega.

“Namun,” Pak Bram melanjutkan dengan nada tegas, “saya harap kejadian kemarin tidak terulang. Lain kali, kalau mau bermain, jangan di jam pelajaran saya.”

Semua mengangguk cepat.

Saat mereka kembali ke bangku masing-masing, perasaan lega bercampur lelah memenuhi tubuh mereka.

Kiara tersenyum kecil. “Kurasa ini adalah salah satu pengalaman sekolah yang nggak bakal kita lupain.”

Davi tertawa kecil. “Iya. Walaupun neraka, setidaknya kita ngalamin bareng-bareng.”

Lintang menyenggol Nando. “Lain kali kalau kena hukuman, jangan sampai jadi stand-up comedy lagi, ya.”

Nando mendengus. “Aku gugup, oke?”

Tio terkekeh. “Kalau gitu, kita harus siapin satu sesi latihan presentasi tiap minggu. Biar nggak kayak kemarin lagi.”

Mereka semua tertawa.

Hari itu, meskipun penuh ketegangan dan rasa takut, tetap menjadi bagian dari cerita yang akan mereka kenang di masa depan. Masa-masa sekolah memang penuh tantangan, tapi selama mereka melewatinya bersama, semuanya terasa lebih ringan dan lebih menyenangkan.

 

Sekolah emang nggak selalu mulus. Ada momen males, ada momen panik, ada juga momen nyesel karena nggak belajar. Tapi yang bikin semuanya berharga adalah mereka—temen-temen yang selalu ada buat ketawa, nyontek bareng (ups!), dan berbagi keapesan hidup.

Mungkin kita udah lulus, tapi kenangan masa sekolah bakal tetep hidup di kepala. Jadi, kalau suatu hari nanti kangen, inget aja… masa indah itu nggak akan pernah hilang, cuma berubah jadi cerita yang bakal kita ceritain sambil ketawa-tawa.

Leave a Reply