Daftar Isi
Pernah nggak sih, ngerasa dunia ada di genggaman, terus tiba-tiba semuanya runtuh begitu aja? Banyak orang lupa diri pas lagi di atas, sibuk ngejar ini-itu, sampai nggak sadar kalau waktu terus jalan. Dan pas sadar? Terlambat. Cerita ini bukan sekadar kisah biasa, tapi tamparan keras buat siapa aja yang pernah ngerasa aku pasti bisa atur semuanya nanti. Tapi, gimana kalau nanti nggak pernah datang?
Manusia yang Lupa Diri
Bayangan yang Kian Kabur
Rafka Alistair pernah menjadi anak yang berlari di jalanan kecil, bermain dengan teman-teman di bawah pohon mangga, dan tertawa lepas tanpa beban. Dulu, rumahnya sederhana, berdinding bata dengan atap seng yang sesekali bocor jika hujan deras turun. Ibunya, seorang wanita lembut dengan tangan kasar karena terlalu sering bekerja, selalu menyambutnya dengan senyum hangat setiap kali ia pulang sekolah.
Namun, semua itu kini tinggal bayangan yang kian kabur.
Di atas kursi kulit mahal di ruang kantornya yang luas, Rafka duduk dengan jas mahal membalut tubuhnya. Tangan kanannya memegang pena Montblanc yang entah kapan terakhir kali benar-benar ia gunakan untuk menulis sendiri. Semua urusan administrasi sudah diurus sekretarisnya. Di meja kaca di depannya, ada berkas proyek baru—sebuah kompleks apartemen mewah di pusat kota yang akan menambah pundi-pundi kekayaannya.
Pintu diketuk, lalu terbuka.
“Pak, ada yang ingin bertemu,” ujar sekretarisnya, Vira, dengan nada ragu.
“Siapa?”
“Seorang pria tua… dia bilang dia ayahmu.”
Rafka menatap Vira dengan ekspresi datar. Sejenak ruangan terasa hening.
“Kamu yakin dia nggak salah alamat?”
Vira menelan ludah. “Dia bilang namanya Pak Hasan… dan dia minta waktu sebentar aja.”
Rafka menghela napas, lalu melirik jam di pergelangan tangannya. Masih ada dua pertemuan penting setelah ini, dan ia tak punya waktu untuk membahas masa lalu.
“Suruh dia pulang,” ucapnya ringan.
“Tapi, Pak—”
“Kamu nggak denger? Aku bilang suruh dia pulang.”
Vira menunduk, lalu mengangguk pelan sebelum keluar ruangan.
Di luar, seorang pria tua berdiri di lorong dengan pakaian sederhana yang kontras dengan interior mewah gedung itu. Wajahnya mulai berkeriput, rambutnya memutih, dan kedua tangannya menggenggam erat sebuah kantong plastik berisi kotak makanan yang ia bawa dari rumah.
Pak Hasan tersenyum kecil saat melihat Vira kembali. “Anakku bisa ketemu sekarang?”
Vira menatap pria tua itu dengan ragu. Hatinya terasa berat untuk menyampaikan pesan yang ia tahu akan menyakitkan.
“Maaf, Pak. Pak Rafka lagi sibuk. Mungkin lain kali.”
Sekilas, senyum Pak Hasan goyah, tapi ia segera mengangguk pelan. “Oh, ya, nggak apa-apa. Aku cuma mau kasih ini buat dia. Masih suka ayam kecap, kan?” Ia menyodorkan kantong plastik itu ke Vira.
Vira menggigit bibirnya. Ia tahu Rafka tak akan peduli dengan makanan itu. Tapi ia tak punya hati untuk menolak. Ia menerima kantong itu dan tersenyum tipis. “Saya sampaikan, Pak.”
Pak Hasan mengangguk, lalu melangkah pergi dengan langkah yang lebih berat dari saat ia datang.
Di dalam ruangan, Rafka sama sekali tak menanyakan tentang ayahnya lagi. Kotak makanan itu akhirnya tergeletak begitu saja di sudut meja Vira hingga dingin.
Malamnya, Rafka menghabiskan waktu di restoran mewah bersama para klien dan rekan bisnisnya. Di meja panjang dengan piring berlapis emas dan gelas kristal, ia duduk di tengah, tertawa dengan percaya diri.
“Saya dengar proyek apartemen kamu bakal jadi yang paling elite di kota ini,” kata salah satu pengusaha paruh baya di hadapannya.
Rafka tersenyum tipis sambil menuangkan wine ke dalam gelasnya. “Nggak elite, nggak laku,” ucapnya santai.
Orang-orang di meja itu tertawa.
Di antara gelak tawa, pelayan datang membawa hidangan utama—steak wagyu dengan saus truffle yang aromanya memenuhi ruangan.
Saat potongan steak pertama menyentuh lidahnya, entah kenapa Rafka teringat sesuatu. Sebuah rasa asing yang samar. Ayam kecap.
Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi mendadak tawanya meredup. Bayangan sosok pria tua dengan kantong plastik di tangannya kembali muncul di benaknya.
Ia menggelengkan kepala pelan, mencoba menepisnya.
“Ada apa, Raf?” tanya salah satu rekannya.
“Nggak, cuma mikir bisnis.”
Ia kembali menyuapkan steak ke mulutnya, berharap rasa mahal itu bisa menghapus jejak kenangan yang tak ia inginkan.
Namun, sesuatu terasa berbeda malam itu. Sesuatu yang bahkan tak bisa ia jelaskan.
Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, makanan yang ia telan terasa hambar.
Hati yang Terkunci
Malam semakin larut, tetapi Rafka masih duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang terang benderang. Tangannya mengetuk-ngetuk meja, mencoba fokus pada laporan keuangan yang harus ia tinjau. Namun, pikirannya berbelok ke tempat lain.
Ayam kecap.
Itu makanan kesukaannya dulu. Makanan yang selalu dimasak ibunya setiap kali ia berhasil meraih nilai bagus di sekolah. Makanan yang pernah ia santap bersama keluarganya di meja makan kayu kecil, jauh sebelum meja ini ada, jauh sebelum ia punya uang untuk membeli steak seharga jutaan rupiah.
Rafka menghela napas panjang dan menutup laptopnya. Kepalanya berdenyut, seperti ada sesuatu yang berusaha menembus pikirannya.
Ponselnya bergetar.
“Ibu”
Ia menatap layar itu selama beberapa detik, tetapi jarinya tak bergerak untuk menjawab. Hingga akhirnya, panggilan itu berhenti sendiri.
Detik berikutnya, ada notifikasi pesan masuk.
Ibu: Nak, kapan pulang?
Rafka mengunci ponselnya tanpa membalas.
Di luar, langit gelap dengan lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang tersesat. Ia berjalan menuju jendela besar ruangannya, menatap ke bawah. Jalanan masih ramai, orang-orang masih sibuk dengan urusan mereka.
Dan di antara keramaian itu, seorang pria tua berdiri di pinggir jalan. Pak Hasan.
Rafka mengepalkan tangan. Apa ayahnya masih di sini sejak siang tadi?
Ia melangkah mundur, lalu membalikkan badan. Tidak, itu bukan urusannya.
Saat ia mengambil jasnya untuk pulang, Vira muncul di pintu.
“Pak, tadi saya lupa kasih ini,” katanya, menyodorkan kantong plastik yang ia terima dari Pak Hasan tadi siang.
Rafka menatap benda itu tanpa ekspresi.
“Buang saja,” ucapnya pendek.
Vira terdiam. “Tapi, ini dari ayah kamu…”
“Aku nggak butuh,” katanya dengan nada lebih tajam. “Buang.”
Vira menggigit bibirnya. Ia tak berani membantah, meskipun hatinya terasa sesak melihat sikap bosnya. Akhirnya, ia keluar dengan membawa kantong plastik itu kembali.
Rafka melepas dasinya dengan gerakan kasar dan berjalan keluar. Namun, saat melewati tempat sampah di koridor, langkahnya terhenti. Di sana, kantong plastik itu tergeletak begitu saja.
Perlahan, ia menghela napas panjang, lalu berjalan pergi tanpa melihat ke belakang.
Beberapa hari berlalu.
Pagi itu, Rafka datang ke kantornya lebih awal. Begitu masuk ke ruangannya, Vira sudah menunggunya dengan wajah ragu.
“Ada apa?” tanyanya tanpa basa-basi.
Vira menelan ludah sebelum menjawab, “Pak… ada kabar dari rumah. Ayah kamu masuk rumah sakit.”
Rafka membeku sejenak.
“Katanya beliau jatuh di depan rumah semalam,” lanjut Vira pelan. “Sekarang dirawat di UGD.”
Rafka mengernyit. “Terus kenapa?”
Vira mengerjap, seakan tak percaya dengan tanggapannya. “Pak… itu ayah kamu…”
“Aku sibuk,” potongnya dingin. “Kalau ada yang perlu ditandatangani, taruh saja di mejaku.”
Vira menggigit bibir, hatinya sakit melihat betapa dinginnya Rafka. Tanpa kata lain, ia pergi meninggalkan ruangan itu.
Rafka menarik napas dalam, lalu membuka laptopnya. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, angka-angka di layar tidak lagi menarik perhatiannya.
Satu jam kemudian, tanpa menyadari apa yang ia lakukan, Rafka sudah berada di depan rumah sakit.
Ia masuk dengan langkah cepat, mencari ruangan ayahnya. Begitu sampai di depan pintu, ia terhenti.
Dari celah pintu yang terbuka sedikit, ia melihat ibunya duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ayahnya yang lemah.
“Hasan… kamu harus kuat,” suara ibunya terdengar bergetar. “Rafka pasti datang…”
Rafka mengepalkan tangan. Ada sesuatu yang menyesak di dadanya, sesuatu yang tidak ingin ia akui.
Namun, alih-alih masuk, ia berbalik dan pergi.
Hatinya masih terkunci.
Gema Kesepian
Udara dingin dini hari menusuk kulit. Rafka duduk di dalam mobilnya, mesin masih menyala, tetapi ia belum juga bergerak. Jari-jarinya mencengkeram kemudi, tatapannya kosong ke jalanan yang sepi.
Rumah sakit sudah ia tinggalkan beberapa menit lalu, tapi ada sesuatu yang tertinggal di sana—sesuatu yang berdenyut pelan dalam hatinya, sesuatu yang ingin ia abaikan tetapi terus menghantuinya.
Bayangan ibunya yang menggenggam tangan ayahnya masih jelas di kepalanya.
“Rafka pasti datang…”
Tapi ia tidak masuk. Ia pergi begitu saja.
Bunyi notifikasi di ponselnya membuatnya tersadar. Ia melirik ke layar.
Vira: Pak, tadi ibu kamu telepon saya. Ayah kamu masih belum sadar. Kalau sempat, pulanglah.
Tangannya terangkat, hendak mengetik balasan, tetapi akhirnya ia melempar ponsel ke kursi sebelah.
Tidak. Ia tidak ingin kembali.
Di dalam rumah sakit, seorang wanita duduk diam di samping ranjang pasien. Tangannya masih menggenggam tangan lelaki tua yang terbaring dengan selang infus di lengan. Matanya yang sembab menatap suaminya dengan penuh harap.
“Tolong sadar, Pak…” suaranya bergetar. “Aku sudah telepon Rafka. Dia pasti datang…”
Tapi lelaki itu tetap diam, dadanya naik turun perlahan.
Seorang dokter masuk dan menghampiri. “Bu, suami Anda mengalami tekanan darah rendah yang cukup serius. Dia butuh istirahat total. Kalau ada keluarga lain yang bisa menemani—”
“Iya, anak saya pasti datang,” potongnya cepat.
Dokter hanya mengangguk, lalu melanjutkan pemeriksaan.
Di dalam hatinya, ia terus berdoa, berharap putranya akan segera muncul.
Pagi harinya, Rafka tiba di kantornya dengan wajah lelah. Matanya merah karena kurang tidur. Saat melangkah menuju ruangannya, Vira sudah berdiri di depan pintu dengan ekspresi ragu.
“Ada apa lagi?” tanyanya dingin.
Vira menggigit bibir, lalu mengulurkan sesuatu. “Ini, Pak. Surat dari rumah sakit.”
Rafka meraihnya dan membaca cepat. Matanya mengerut saat melihat beberapa kata kunci.
“Kondisi kritis…”
“Bisa mengalami koma…”
Ia menggenggam kertas itu erat-erat. “Ini maksudnya apa?”
Vira menatapnya dengan penuh iba. “Ayah kamu butuh kamu di sana, Pak.”
“Dia pasti baik-baik saja,” Rafka berkata cepat, lalu melempar surat itu ke meja. “Aku ada meeting penting sebentar lagi.”
Vira tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap bosnya dengan tatapan kecewa, lalu berbalik dan pergi.
Saat ruangan itu kembali sunyi, Rafka menyandarkan punggungnya ke kursi. Dadanya terasa berat.
Di luar jendela, matahari pagi bersinar terang. Tapi bagi Rafka, dunia justru terasa semakin gelap.
Malamnya, saat akhirnya ia pulang ke apartemennya, Rafka melempar jasnya ke sofa dan langsung menuju dapur. Ia membuka kulkas, mencari sesuatu untuk dimakan.
Tangannya berhenti saat melihat sesuatu di sana.
Sebungkus ayam kecap.
Ia terdiam.
Tanpa sadar, matanya terasa panas. Ia menelan ludah, mencoba mengabaikan emosi yang tiba-tiba muncul.
Tapi itu sulit.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa kosong.
Dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya…
Apakah semua ini sepadan?
Bayangan yang Pergi
Hujan turun perlahan, menciptakan genangan kecil di jalanan. Rafka berdiri di depan rumah sakit, memandangi pintu masuk dengan ragu. Di tangannya, ponselnya masih terbuka pada pesan terakhir dari Vira.
Vira: Pak, ini mungkin kesempatan terakhir.
Ia menghela napas, lalu akhirnya melangkah masuk. Hatinya berdebar, ada sesuatu yang terasa menghimpit dadanya.
Di dalam ruangan, ibunya duduk diam di samping ranjang, tangannya masih menggenggam tangan suaminya yang semakin kurus. Suara mesin medis berbunyi pelan, mengisi keheningan yang menyayat hati.
Rafka menelan ludah. “Bu…”
Ibunya menoleh, matanya berkaca-kaca. Ia mencoba tersenyum, tetapi wajahnya terlalu lelah. “Kamu datang…”
Langkah Rafka melambat saat ia mendekat. Ia menatap ayahnya yang terbaring dengan napas yang berat. Ada selang oksigen di hidungnya, dadanya naik turun dengan ritme lemah.
“Ayah…” suaranya nyaris tak terdengar.
Ibunya menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada kelegaan, ada kepedihan, dan ada sesuatu yang lain—sesuatu yang menusuk hati Rafka.
“Kamu… terlambat, Nak,” suara ibunya serak.
Rafka membeku.
Tiba-tiba, suara mesin berubah. Bunyi panjang yang menusuk telinga terdengar.
Jantungnya serasa berhenti.
Dokter dan perawat buru-buru masuk. Mereka mendorong Rafka dan ibunya ke samping, lalu mulai bekerja dengan cepat.
“Tolong bertahan, Pak…” suara ibunya bergetar.
Tapi tubuh ayahnya tetap diam.
Bunyi mesin akhirnya berhenti.
Dan dunia Rafka runtuh.
Pemakaman berlangsung keesokan harinya. Langit mendung, tanah basah oleh hujan semalam. Rafka berdiri di antara pelayat, menatap nisan ayahnya yang baru dipasang.
Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar.
Di sebelahnya, ibunya terisak pelan.
Seseorang menepuk pundaknya. “Turut berduka, Pak,” suara Vira pelan.
Rafka hanya mengangguk.
Saat semua orang pergi, ia masih berdiri di sana.
Ia memandangi nisan itu lama, lalu berbisik, “Maaf…”
Tapi ia tahu, kata itu sudah tak ada artinya lagi.
Beberapa minggu kemudian, Rafka duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke luar jendela.
Ada banyak berkas di mejanya. Proyek-proyek baru. Meeting yang harus ia hadiri.
Tapi untuk pertama kalinya, semua itu terasa kosong.
Pintu terbuka, Vira masuk dengan ragu. “Pak, ada meeting siang ini. Saya sudah siapkan semuanya.”
Rafka menghela napas. “Batalkan.”
Vira terkejut. “Maaf?”
“Aku mau pulang.”
Ia berdiri, mengambil jasnya, dan berjalan keluar tanpa menoleh.
Langkahnya mantap, tapi hatinya masih berat.
Ia tahu, penyesalan akan selalu ada.
Tapi untuk pertama kalinya, ia ingin memperbaiki apa yang tersisa.
Sebelum semuanya benar-benar hilang.
Hidup tuh kayak pasir di tangan. Makin digenggam erat, makin cepet jatuh. Kadang, kita baru sadar berharganya sesuatu pas udah hilang. Tapi penyesalan? Nggak bakal bisa ngubah apa pun. Jadi, sebelum semuanya terlambat, coba tanya ke diri sendiri—beneran udah kasih waktu buat yang paling penting, atau masih sibuk ngejar hal yang ujung-ujungnya bakal bikin nyesel?