Malin Kundang Masa Kini: Kisah Sedih Seorang Anak SMA yang Menyesal Terlambat Kembali ke Ibu

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Kehilangan orang terkasih memang bukan hal mudah, apalagi bagi seorang remaja seperti Faiz. Dalam cerpen “Jejak Cinta untuk Ibu”, kita akan diajak menyelami kisah penuh emosi seorang anak SMA yang aktif dan gaul, tetapi harus berjuang menghadapi kenyataan pahit ditinggalkan ibunya.

Dengan perpaduan cerita sedih dan perjuangan yang menyentuh hati, kisah ini mengajarkan kita untuk terus melangkah maju meski dalam keterpurukan. Penasaran bagaimana Faiz menemukan kekuatan dalam cintanya kepada sang ibu? Yuk, baca ceritanya sampai habis!

 

Kisah Sedih Seorang Anak SMA yang Menyesal Terlambat Kembali ke Ibu

Dunia yang Terlalu Sibuk untuk Ibu

Namaku Faiz, dan jika kalian bertanya siapa aku di sekolah, aku pasti anak yang dikenal banyak orang. Gaul, aktif, selalu jadi pusat perhatian. Kalau ada acara di sekolah, entah itu pertandingan olahraga, acara ulang tahun, atau sekadar nongkrong di kafe, aku selalu jadi orang pertama yang diajak. Hidupku penuh dengan tawa, kebersamaan, dan kesenangan. Semua teman-temanku melihatku seperti itu seperti anak SMA yang menikmati hidup, tanpa beban. Tetapi ada satu hal yang mungkin tak mereka ketahui hal yang aku sembunyikan rapat-rapat di dalam hati.

Aku sudah lama tidak tinggal bersama ibu. Sejak aku kecil, ibu tinggal di kampung, jauh dari kota tempatku tinggal sekarang. Ayah bekerja di luar kota, dan aku lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temanku di sekolah atau di lingkungan sekitar. Jarak yang jauh antara aku dan ibu membuat aku semakin terbiasa dengan ketidakhadiran ibu di hari-hariku. Tentu, kadang aku merindukannya, tapi rasanya jauh lebih nyaman dengan teman-teman di sini, menjalani hidup yang penuh kesenangan dan perhatian.

Bagi sebagian orang, ibu adalah segalanya. Tapi untukku, ibu lebih seperti figur yang datang dan pergi. Aku masih ingat, setiap kali ibu menelepon, dia selalu menanyakan hal yang sama: “Faiz, kapan pulang ke kampung? Ibu kangen kamu.” Kadang aku hanya bisa menjawab singkat, “Nanti aja, Bu, aku sibuk.” Ketika mendengar suara ibu yang penuh harap, ada rasa bersalah sedikit, tapi aku lebih memilih untuk mengabaikan itu. Teman-temanku di kota ini lebih menarik—hidup di sini penuh warna, seru, dan pastinya nggak ada waktu untuk merasa kesepian.

Hari-hari di sekolah selalu dipenuhi dengan kegiatan yang bikin aku merasa penting. Aku anggota tim basket yang selalu jadi andalan, sering bergaul dengan banyak orang, dan sepertinya hidupku tak pernah kekurangan perhatian. Banyak orang menganggapku sebagai anak yang populer. Di luar sekolah, aku punya geng yang selalu siap diajak seru-seruan. Malam-malam sering dihabiskan dengan nongkrong, main game, atau sekadar ngobrol tanpa arah di kafe. Hidupku berjalan begitu cepat, begitu penuh kesenangan, hingga kadang aku lupa betapa pentingnya orang lain, terutama ibu.

Ada kalanya aku teringat ibu, terutama ketika mendengar teman-temanku bercerita tentang betapa pentingnya waktu bersama keluarga. Tetapi, selalu ada alasan kenapa aku lebih memilih tetap tinggal di kota. “Tunggu saja, Bu, nanti kalau sudah ada waktu, aku pulang,” sering kali itu yang aku katakan. Tetapi, semakin lama, semakin sering aku menunda.

Di sela-sela kegiatanku yang padat dengan teman-teman dan dunia yang terasa menyenangkan, aku mendengar kabar dari ayah. Dia memberitahuku bahwa ibu sedang sakit. Aku masih ingat, pagi itu ayah menelepon, suaranya terdengar sangat serius. “Faiz, ibu sakit. Aku harap kamu bisa pulang secepatnya.” Aku yang baru saja selesai latihan basket, merasa sedikit cemas, tapi perasaan itu tak cukup kuat untuk mengubah rencanaku. Aku memilih untuk tetap tinggal, karena ada pertandingan penting yang harus aku ikuti sesuatu yang menurutku lebih mendesak.

“Faiz, nanti saja kamu pulang. Ibu kan bisa nunggu, dia pasti mengerti.” Begitu aku berpikir. Aku kembali ke teman-temanku, tertawa dan bersenang-senang, seolah-olah segala sesuatu berjalan seperti biasa. Di dalam hatiku, aku merasa sedikit tidak enak, tapi rasa itu cepat hilang begitu aku kembali tenggelam dalam kesenangan dunia pertemanan dan kesibukan sekolah.

Hari-hari berlalu, dan aku merasa semakin jauh dari ibu. Bahkan ketika ibu menelepon lagi, aku hanya memberinya jawaban yang lebih singkat, “Nanti deh, Bu, aku sibuk.” Setiap kali mendengar suara ibu di telepon, aku merasa ada yang hilang, tetapi entah kenapa, aku tetap memilih untuk tidak pulang. Teman-teman dan hidup yang seru di kota ini selalu membayangiku, dan ibu, meski selalu menghubungiku dengan kasih sayang, seolah hanya menjadi suara jauh yang semakin memudar.

Aku tidak tahu betapa besarnya rasa sakit yang akan aku rasakan nanti. Aku tidak tahu bahwa jarak yang aku ciptakan dengan ibu akan membawa penyesalan yang mendalam. Yang aku tahu hanya satu aku merasa nyaman di dunia ini, dunia yang penuh dengan kebahagiaan sementara, tanpa menyadari bahwa ada cinta yang tak ternilai yang aku abaikan begitu saja.

 

Panggilan yang Terabaikan

Hari itu, hujan turun deras, mengubah langit kota menjadi kelabu. Aku duduk di bangku ruang kelas yang tak jauh dari jendela. Suara hujan yang menenangkan seolah menyatu dengan pikiranku, tapi entah kenapa perasaan gelisah mulai datang. Aku memandangi teman-teman yang sibuk dengan tugas mereka, tertawa, dan berbicara tanpa henti. Semua tampak seperti biasa dunia yang penuh keceriaan dan kebahagiaan.

Namun, di dalam hati, ada rasa yang mengganggu. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku memandangi ponselku yang tergeletak di atas meja. Ada pesan baru dari ayah. Aku menarik napas panjang, sebelum membuka pesan itu.

“Faiz, ibu semakin parah. Ayah khawatir, kamu harus segera pulang.”

Pesan singkat itu menyentuh hatiku lebih dalam dari yang aku duga. Aku tak bisa mengelak dari kenyataan ini. Ibu yang selama ini selalu ada di ujung telepon, yang selalu mengingatkanku untuk pulang, untuk menyapa, kini sedang sakit. Dalam sekejap, perasaan bersalah itu datang menghantam, membanjiri pikiranku. Tapi sekejap pula, ada rasa ragu yang membelenggu. “Apakah aku harus pergi sekarang?” pikirku. “Ada pertandingan besar akhir pekan ini. Aku sudah berlatih keras untuk ini.”

Teman-temanku melihatku termenung. “Faiz, kenapa? Ada apa?” tanya Ardi, teman sekelasku yang selalu memperhatikanku. Aku tersenyum sedikit, tapi entah kenapa rasanya berat. “Gak apa-apa, Ardi. Cuma lagi mikirin beberapa hal,” jawabku, meskipun hatiku berontak. Aku menatap ponselku lagi. Tidak ada balasan dari ibu. Sejak awal, dia memang tidak akan pernah bisa memaksaku untuk pulang. Ibu selalu memberiku kebebasan. Aku tahu dia mengerti kalau aku sibuk.

Pikiran-pikiran itu berlomba-lomba. Aku tahu pertandingan basket akhir pekan ini sangat penting. Aku tahu teman-temanku sudah menunggu aku sebagai pemain utama. Tapi di sisi lain, ibu adalah orang yang selalu ada saat aku butuh. Setiap kali aku merasa down atau kesulitan, ibu selalu ada untuk mendengarkan, memberikan kata-kata semangat. Dia bahkan datang ke setiap acara sekolah ketika aku tampil. Namun, aku selalu menganggap itu hal yang biasa. Aku merasa akan selalu ada waktu untuk ibu nanti. Tidak kali ini, pikirku. “Pasti ada waktu setelah ini,” bisikku dalam hati.

Namun, aku tahu, semakin lama aku menunda, semakin dalam penyesalan itu akan datang. Aku sambil menatap layar ponselku, menunggu kata-kata dari ibu. Tapi tak ada yang datang. Hanya suara hujan yang semakin deras di luar jendela. Aku menatap jam di dinding, kemudian mengalihkan pandanganku ke teman-temanku yang sudah kembali asyik berbicara. Semua tampak begitu cerah, sementara hatiku terasa begitu gelap.

Hari itu berakhir seperti biasa. Aku tidak langsung pulang, meskipun rasanya berat. Aku masih memilih untuk tetap di sekolah, mengikuti rapat dengan teman-teman, berlatih basket, dan melakukan semua kegiatan yang biasanya aku lakukan. Aku mengabaikan pesan-pesan ayah. Aku menganggap, ibu pasti baik-baik saja, kan? Pikirku. Mungkin aku bisa menunggu sedikit lebih lama.

Namun, setiap kali hujan turun, pikiranku kembali pada ibu. Aku teringat ketika dulu, di masa kecilku, ibu selalu menungguku pulang dari sekolah, memberikan pelukan hangat dan makanan yang aku sukai. Ibu selalu ada di sampingku, mengajari aku tentang banyak hal tentang hidup, tentang kerja keras, dan tentang bagaimana mengatasi kesulitan dengan sabar. Ibu adalah orang yang selalu memberikan kebahagiaan dengan caranya yang sederhana.

Tapi sekarang, aku yang seharusnya ada di sana untuk ibu, malah memilih untuk tidak peduli. Aku merasakan jarak yang semakin jauh antara kami, jarak yang aku buat sendiri. Keputusan-keputusan kecil yang kuambil menunda untuk pulang, mengabaikan telepon dan pesan ibu semua itu kini membentuk tembok yang semakin tinggi antara kami.

Keesokan harinya, aku merasa cemas. Setiap kali aku mendengar suara ponsel berbunyi, ada rasa takut yang menggelayuti. Mungkin itu pesan dari ayah, atau mungkin kabar dari ibu. Tetapi, entah kenapa, aku mengabaikannya lagi. Aku berpikir, nanti saja setelah latihan, setelah pertandingan. Aku pikir itu adalah prioritas yang lebih penting hidupku di sini, bersama teman-teman, dengan dunia yang aku kenal.

Namun, pada malam itu, aku mendapatkan kabar yang mengubah segalanya.

“Ayah, apa benar ibu sudah tidak ada?” aku bertanya dengan nada suara yang hampir tidak keluar. Semua terasa seperti mimpi buruk. Rasanya semua hal di sekelilingku menjadi kabur. Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aku tahu aku seharusnya pulang lebih cepat, tapi aku menunda, aku terlalu sibuk dengan dunia sendiri.

Ayah hanya menjawab singkat, “Ibu sudah pergi, Faiz.” Suara ayah terdengar begitu patah, begitu hampa. Aku merasa seperti disambar petir. Dunia yang selama ini aku kenal seolah runtuh seketika. Semua yang aku anggap biasa semua waktu yang kuhabiskan tanpa peduli sekarang terasa begitu mahal.

Aku menatap ke luar jendela, dan mendengar hujan yang terus mengalir, mengingatkanku pada betapa banyak hal yang telah kutinggalkan. Aku menyesal, lebih dari apapun. Tapi apa gunanya penyesalan ini sekarang?

Di luar sana, hujan masih turun, seakan ikut merasakan kehilangan yang kurasakan.

 

Menghadapi Kehilangan yang Terlambat

Pagi itu, langit masih tampak kelabu. Hujan semalam sepertinya belum benar-benar reda. Aku duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Suasana rumah terasa sunyi, jauh dari hiruk-pikuk yang biasanya mengisi ruang ini. Ayah duduk di ujung meja, tatapannya kosong, wajahnya lelah dan letih seperti terbebani oleh sesuatu yang berat. Aku tahu dia merasa kehilangan, tapi aku juga merasa begitu. Ibu telah pergi, dan aku tidak ada di sana. Aku bahkan memilih untuk tidak peduli.

Hari-hari setelah kepergian ibu berlalu begitu lambat. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Setiap kali aku melihat foto-foto ibu, ada perasaan menyesal yang datang begitu kuat. Seharusnya aku pulang lebih cepat. Seharusnya aku mendengarkan ayah. Tetapi kenyataannya, aku justru terjebak dalam dunia yang tidak pernah memberiku waktu untuk berhenti sejenak dan melihat ke belakang.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana ibu selalu memanggilku dengan lembut, menyebut namaku dengan penuh kasih sayang. “Faiz, jangan lupa makan siang nanti,” katanya setiap pagi sebelum aku berangkat ke sekolah. Ibu selalu tahu kapan aku merasa lelah atau stres. Bahkan di tengah rutinitas yang sibuk, dia selalu membuat waktu untukku. Sekarang, aku tidak bisa lagi mendengar suaranya. Aku tidak bisa lagi merasakannya. Dan itu menyakitkan lebih dari yang bisa kuungkapkan.

Ayah hanya bisa menghibur dengan kata-kata yang sulit kuterima. “Ibu sudah di tempat yang lebih baik, Faiz. Kita harus kuat. Kamu harus kuat.” Tapi aku merasa seolah-olah seluruh duniamu runtuh begitu saja. Apa gunanya menjadi kuat, jika kehilangan orang yang paling berarti dalam hidup ini?

Pada hari ketiga setelah pemakaman ibu, aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Aku tidak tahu mengapa. Mungkin karena aku merasa tidak bisa menghadapi kenyataan di rumah, atau mungkin karena aku merasa teman-teman di sekolah bisa memberiku sedikit pelarian. Tapi begitu aku melangkah masuk ke sekolah, semuanya terasa berbeda. Semua tampak biasa, tidak ada yang berubah. Teman-temanku menyapaku dengan ceria, seperti biasa, tapi ada jarak yang terasa begitu jelas antara aku dan mereka. Mereka tidak tahu apa yang sedang aku hadapi. Mereka tidak tahu betapa hancurnya aku, betapa kosongnya hati ini.

Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Aku tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan mereka tentang ibu, tentang kehilangan ini. Semua terasa begitu jauh, seperti aku sedang berada di dunia yang berbeda, terperangkap dalam kenangan yang tidak bisa kuubah. Aku melihat Ardi, sahabatku yang selalu ada untukku, menghampiriku. “Faiz, lo gak apa-apa, kan? Kita kan teman. Kalau ada yang lo mau bicarain, gue siap dengerin,” katanya, sambil meletakkan tangan di bahuku. Aku menatapnya, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Kata-kata itu seperti tercekat di tenggorokan. Aku hanya bisa mengangguk, walaupun hatiku merasa begitu berat.

Hari-hari berlalu dengan perlahan. Aku mencoba untuk kembali ke rutinitas, tapi selalu ada perasaan kosong yang mengisi setiap hariku. Aku tidak bisa berhenti berpikir tentang ibu. Aku merasa malu, menyesal karena tidak ada di sampingnya di saat-saat terakhirnya. Setiap kali aku menatap cermin, aku bertanya pada diri sendiri, “Apa yang telah aku lakukan?” Aku telah mengecewakan ibu dengan tidak pulang saat dia sangat membutuhkan aku. Aku telah terlalu sibuk dengan dunia yang kuanggap lebih penting, dan kini aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku kehilangan ibu untuk selamanya.

Suatu hari, aku memutuskan untuk pergi ke makam ibu. Aku tidak memberitahu siapa pun. Aku ingin sendiri. Aku ingin merasakan apa yang selama ini aku hindari. Ketika aku berdiri di depan makam ibu, ada perasaan cemas dan takut yang menyelimuti diriku. “Ibu, maafkan aku,” bisikku dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku terlalu egois. Aku menyesal.”

Aku berdiri di sana cukup lama, mencoba meresapi setiap detik. Hujan kecil turun perlahan, seakan langit pun ikut menangis. Aku merasa sendirian, tetapi pada saat yang sama, aku merasa ada ikatan yang tidak terputuskan dengan ibu, meskipun dia sudah tiada. Aku menyadari satu hal yang sangat penting: kehilangan itu tidak bisa dihindari. Waktu akan terus berjalan, dan aku harus belajar menerima kenyataan.

Namun, di balik penyesalan yang mendalam, ada secercah harapan. Aku tahu ibu tidak ingin aku terpuruk. Aku tahu dia selalu ingin aku kuat, tidak hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang aku cintai. Aku harus kembali bangkit, karena ibu akan selalu ada di hatiku. Dia akan selalu menjadi bagian dari diriku, meskipun fisiknya tidak ada lagi.

Saat aku beranjak pergi dari makam, aku merasa sedikit lebih ringan. Masih ada duka yang menyelubungi, tapi aku tahu sekarang aku harus melangkah maju. Ibu mengajarkanku banyak hal, dan salah satunya adalah untuk selalu kuat, meski dalam keadaan tersulit sekalipun. Aku tidak bisa terus mengasihani diri sendiri. Aku harus menjadi lebih baik, lebih kuat, untuk mengenang ibu dengan cara yang paling baik.

Kembali ke rumah, aku merasa lebih siap untuk menghadapi kenyataan. Ayah sudah menunggu di ruang tamu. Dia memandangku dengan tatapan yang penuh pengertian. “Kamu sudah pergi ke makam ibu, kan?” tanyanya pelan. Aku mengangguk, dan kali ini, aku bisa merasakan kehangatan yang tak pernah hilang di dalam hati.

“Ibu akan selalu ada di sini, Faiz,” ayah melanjutkan, sambil menunjuk ke arah dadanya, tepat di atas hatinya. “Kita harus terus melanjutkan hidup ini, untuk ibu, dan untuk kita sendiri.”

Aku menatap ayah, dan meskipun hatiku masih terasa berat, aku merasa lebih siap untuk menghadapinya. Kehilangan itu memang tidak mudah, tetapi aku akan terus berusaha. Untuk ibu. Untuk ayah. Untuk diriku.

 

Melangkah Maju, Memperbaiki Segalanya

Malam itu, aku duduk di kamar, menatap dinding yang dipenuhi poster band kesukaanku. Biasanya, suasana ini memberiku kenyamanan. Tapi kini, hanya ada hampa. Aku memikirkan ibu, makamnya, dan penyesalan yang terus menggerogoti hati. Namun, di sela-sela kehampaan itu, ada percikan kecil keberanian yang mulai tumbuh. Aku tidak bisa terus-menerus terpuruk. Ibu pasti ingin aku melanjutkan hidup dengan baik. Aku harus memperbaiki diriku, bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri dan untuk ibu.

Keesokan harinya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Biasanya, alarmku berdering beberapa kali sebelum aku bangun, tapi kali ini, aku bahkan tidak butuh alarm. Ayah menatapku dengan raut terkejut ketika aku menyapanya di dapur. “Tumben pagi-pagi sudah bangun,” katanya sambil tersenyum kecil. Aku hanya mengangguk dan menjawab singkat, “Aku ingin mencoba jadi lebih baik, Yah.”

Ayah tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya menghangat. Seolah-olah dia tahu bahwa aku sedang berusaha mengatasi badai di dalam diriku.

Berjuang Menata Hidup
Di sekolah, aku mulai memperbaiki hubungan yang selama ini terasa renggang. Aku meminta maaf kepada Ardi, sahabatku, karena selama ini menutup diri darinya. Dia hanya tersenyum dan berkata, “Lo nggak perlu minta maaf, Faiz. Gue ngerti kok. Gue tahu lo lagi butuh waktu.” Kata-katanya sederhana, tapi penuh makna. Aku merasa beruntung memiliki sahabat seperti dia.

Aku juga mulai menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman-teman di kelas. Awalnya, mereka tampak ragu mendekatiku, mungkin takut menyentuh luka yang masih basah. Tapi perlahan, aku membuka diri. Kami tertawa lagi, berbagi cerita seperti dulu. Aku menyadari, hidupku tidak sepenuhnya hancur. Masih ada orang-orang yang peduli, masih ada hal-hal yang bisa aku syukuri.

Namun, perjuangan terbesarku adalah menghadapi rasa bersalah kepada ibu. Aku ingin melakukan sesuatu yang bisa membuatnya bangga, meski dia sudah tidak ada. Aku ingat betapa ibu selalu bangga dengan keahlianku dalam melukis. Dulu, aku sering membuat sketsa wajahnya diam-diam. Tapi sejak aku terlalu sibuk dengan pergaulanku, aku meninggalkan hobiku itu.

Malam itu, aku membuka kembali buku sketsa yang sudah lama terabaikan. Jarinya sudah berdebu, dan halaman-halamannya mulai menguning. Tapi aku menemukan gambar-gambar lama yang pernah kubuat. Gambar ibu, ayah, bahkan gambar rumah kecil kami yang selalu jadi tempat terhangat. Tanpa sadar, aku menangis. Air mataku jatuh ke atas kertas, membasahi beberapa gambar. “Maafkan aku, Bu,” bisikku, meski aku tahu dia tidak bisa mendengar. Tapi, entah bagaimana, aku merasa dia memaafkanku.

Meninggalkan Jejak untuk Ibu
Aku memutuskan untuk mengikuti kompetisi seni yang diadakan sekolahku. Ini adalah langkah besar bagiku. Bukan hanya karena aku ingin membuktikan sesuatu, tapi karena aku ingin membuat karya yang benar-benar bermakna. Aku ingin membuat lukisan yang menceritakan ibu, tentang bagaimana dia adalah cahaya dalam hidupku, bahkan di saat tergelapku.

Selama berminggu-minggu, aku menghabiskan waktu untuk melukis. Aku mencoba menuangkan semua perasaan yang selama ini terpendam. Setiap goresan kuas di kanvas adalah ungkapan cintaku pada ibu. Aku melukis sosoknya sedang berdiri di bawah pohon besar, dengan senyum lembut yang selalu kurindukan. Di sekelilingnya, ada cahaya hangat yang membuat siapa pun yang melihat merasa nyaman.

Di hari perlombaan, aku merasa gugup. Aku tidak tahu apakah lukisanku cukup bagus. Tapi aku tidak peduli. Bagianku adalah menyampaikan rasa cinta dan kehilangan itu lewat karya. Ketika namaku dipanggil sebagai salah satu pemenang, aku merasa tidak percaya. Semua orang bertepuk tangan, termasuk ayah yang ikut hadir. Tapi bagiku, itu bukan soal kemenangan. Itu soal mengabadikan cinta ibu, agar dia tahu betapa aku mencintainya, meski aku pernah melupakan.

Kembali ke Akar
Setelah perlombaan, aku mulai rutin mengunjungi makam ibu. Bukan karena rasa bersalah lagi, tapi karena aku merasa dekat dengannya di sana. Aku menceritakan tentang keseharianku, tentang ayah, tentang teman-temanku. Aku bahkan bercerita tentang lukisan yang kubuat untuknya. Aku tahu dia tidak bisa mendengar, tapi aku yakin, di suatu tempat, dia tersenyum mendengar ceritaku.

Ayah juga tampak lebih kuat sekarang. Kami sering duduk bersama di malam hari, berbicara tentang ibu. Ternyata, dia juga menyimpan rasa kehilangan yang begitu dalam, tapi memilih untuk terlihat tegar demi aku. “Ibu kamu adalah wanita terhebat, Faiz,” katanya suatu malam. “Dan aku yakin dia sangat bangga sama kamu.” Kata-kata itu seperti pelukan hangat yang kubutuhkan.

Melangkah Maju dengan Cinta
Aku tahu, hidup tidak akan pernah sama lagi. Kehilangan ibu adalah luka yang tidak akan hilang. Tapi aku belajar bahwa luka itu tidak harus menghalangiku untuk melangkah maju. Justru, luka itu bisa menjadi pengingat akan cinta yang mendalam.

Kini, setiap langkah yang kuambil, setiap keputusan yang kubuat, aku selalu berpikir tentang ibu. Apa yang akan dia katakan? Apakah dia akan bangga? Dan dengan cara itu, aku merasa dia selalu bersamaku, mendampingiku dalam perjalanan hidup ini.

Hidup adalah tentang melanjutkan, meski hati terasa berat. Tapi aku percaya, selama cinta itu ada, tidak ada yang benar-benar hilang. Ibu adalah bagian dari diriku, dan aku akan terus melangkah dengan membawa cintanya, sampai akhir nanti.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerpen “Jejak Cinta untuk Ibu” mengingatkan kita bahwa kasih sayang seorang anak kepada ibunya tidak mengenal batas waktu dan keadaan. Kisah Faiz yang berjuang melawan rasa bersalah dan kehilangan mampu membuka mata kita tentang pentingnya memanfaatkan waktu bersama orang yang kita cintai. Semoga cerita ini memberikan inspirasi untuk selalu menghargai keluarga, karena mereka adalah harta yang paling berharga dalam hidup kita. Jangan lupa, ceritakan pelajaran yang kamu dapat dari cerita ini ke orang terdekatmu ya!

Leave a Reply