Daftar Isi
Kalian pernah nggak sih, ngerasain hal yang aneh banget saat pertama kali ngeliat orang yang… kayak nggak seharusnya ada di dunia ini? Bukan, bukan alien atau apa, tapi kayak ada sesuatu yang beda, sesuatu yang nggak bisa dijelasin cuma dengan logika.
Nah, cerpen ini bakal ngajak kalian ngerasain gimana rasanya ketemu sama malaikat yang nyasar ke bumi dan ngeliat gimana hidupnya jadi bener-bener berubah gara-gara sesuatu yang lebih dari sekadar hitam dan putih. Gak percaya? Coba aja baca sampai habis, deh.
Malaikat Menjelma ke Bumi
Perintah dari Langit
Di langit yang tak tersentuh tangan manusia, di balik tabir cahaya yang berkilauan, malaikat Xezarith berdiri di hadapan Sang Cahaya Agung. Sayap-sayapnya yang putih keperakan mengepak pelan, menunggu perintah yang akan mengubah segalanya.
“Xezarith,” suara itu bergema, lembut namun penuh kuasa. “Aku ingin kamu turun ke bumi.”
Bumi? Xezarith menegakkan tubuhnya, alisnya yang nyaris tak terlihat berkedut samar. Ia adalah malaikat penjaga cahaya, tugasnya selama ini adalah memastikan bintang-bintang tetap bersinar di tempatnya. Apa hubungannya dengan dunia fana itu?
“Aku… harus turun ke sana?” tanyanya dengan nada ragu.
Sang Cahaya Agung tidak langsung menjawab. Sebaliknya, kilauan yang mengelilinginya berpendar lebih terang, lalu melembut seolah berusaha menenangkan keraguan Xezarith.
“Selama ini, kamu melihat manusia dari kejauhan,” suara itu kembali terdengar, lebih dalam. “Tapi kamu belum pernah benar-benar memahami mereka. Pergilah. Lihat mereka dari dekat, rasakan hidup mereka. Kembalilah saat kamu sudah menemukan jawabannya.”
Perintah itu tidak bisa ditolak.
Dalam sekejap, tubuh Xezarith mulai berubah. Cahaya di sayapnya perlahan meredup, kulitnya yang sebelumnya bersinar lembut kini menggelap seperti manusia biasa. Rambutnya tetap keperakan, tetapi tidak lagi memancarkan cahaya. Dan yang paling aneh—ia merasa berat. Seolah-olah gravitasi bumi mulai menariknya turun.
Seketika, Xezarith jatuh.
Langit malam terbentang luas saat ia akhirnya mendarat. Cahaya bulan menggantung tenang di atas kota yang penuh dengan lampu dan suara. Udara terasa lebih padat dibandingkan langit, dan ia bisa mencium berbagai aroma yang asing—bau asap kendaraan, makanan yang sedang dimasak, bahkan sesuatu yang ia kenali sebagai… hujan yang baru reda.
“Hei, awas!”
BRAK!
Sebuah suara keras terdengar, disusul bunyi benda jatuh. Xezarith menoleh dan mendapati seorang pria dengan motor yang hampir terguling, menatapnya dengan wajah bingung.
“Kamu dari mana sih? Tiba-tiba ada di tengah jalan!” pria itu mengomel, mencoba menegakkan motornya.
Xezarith menatapnya tanpa berkedip. “Aku… baru saja sampai.”
Pria itu memicingkan mata. “Baru sampai? Kamu ini turis atau ap—”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, matanya menangkap sesuatu yang aneh. “Eh, rambut kamu… putih?”
Xezarith hanya diam. Ia tidak paham kenapa warna rambutnya menjadi bahan perhatian.
Pria itu masih menatapnya curiga, tetapi akhirnya mendengus dan menggeleng. “Ah, terserahlah. Lain kali jangan berdiri di tengah jalan gitu, bisa mati konyol kamu!”
Xezarith hanya mengangguk pelan. Mati? Ia tidak mungkin mati. Tapi melihat bagaimana manusia begitu mudah mengkhawatirkan hal itu, ia mulai mengerti kenapa dunia ini penuh dengan ketakutan dan kehati-hatian.
Sambil berjalan menjauhi jalan raya, Xezarith memperhatikan sekelilingnya. Gedung-gedung tinggi menjulang, manusia berlalu-lalang dengan berbagai ekspresi di wajah mereka—ada yang tersenyum, ada yang murung, ada yang tampak terburu-buru. Ia mencoba meresapi semuanya, mencatat setiap detail yang ia lihat.
Namun, perutnya tiba-tiba terasa… kosong?
Ia mengernyit. Ini pertama kalinya ia merasakan sesuatu seperti ini. Malaikat tidak pernah merasa lapar. Apakah ini bagian dari menjadi manusia?
Matanya menangkap sebuah tempat kecil di sudut jalan—warung kopi sederhana dengan lampu kuning temaram. Aroma yang asing namun menggoda tercium dari sana. Tanpa pikir panjang, kakinya melangkah masuk.
Saat itu, ia tidak tahu bahwa warung kopi kecil ini akan menjadi tempat pertama di bumi yang membuatnya benar-benar memahami manusia.
Warung Kopi di Ujung Jalan
Xezarith melangkah masuk ke dalam warung kopi kecil itu. Aroma kopi yang kuat bercampur dengan asap rokok tipis dari seorang pria tua di pojok ruangan. Tempat ini jauh lebih sederhana dibandingkan gambaran tentang “tempat berkumpul” yang pernah ia lihat dari langit. Tak ada cahaya gemerlap, tak ada pilar megah seperti di kerajaan langit. Hanya kursi kayu yang sudah mulai aus, meja sederhana, dan lantai dengan beberapa noda kopi yang mengering.
Namun, ada sesuatu yang aneh di sini. Sesuatu yang… hangat.
“Eh, duduk aja kalau mau mesen,” suara seorang pria terdengar.
Xezarith menoleh ke arah sumber suara. Seorang pemuda berkaos hitam berdiri di belakang meja kasir, menatapnya sambil mengunyah permen karet. Namanya tertera di papan kecil di dadanya—”Budi.”
Xezarith menurut, menarik kursi kayu yang agak berdecit dan duduk di dekat jendela. Matanya menelusuri para pelanggan. Seorang pria berkumis sedang membaca koran sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya. Dua wanita muda tertawa kecil di sudut ruangan, sementara seorang pria bertubuh besar asyik bermain ponsel.
Lalu, pelayan tadi mendekat dengan sebuah buku menu yang sudah agak kusam. “Mau pesen apa?”
Xezarith menatap menu itu. Ada banyak kata yang asing baginya—kopi tubruk, kopi susu, teh tarik, jahe panas. Semua itu tidak ada di langit.
“Aku… mau yang kalian minum,” jawabnya akhirnya, seperti saat tadi di jalan.
Budi menaikkan sebelah alisnya. “Yang kami minum? Hmm… aku minum es kopi susu, si Udin di dapur minum jahe panas. Kamu maunya yang mana?”
Xezarith berpikir sejenak. “Jahe panas.”
Budi mengangguk santai. “Oke. Tunggu sebentar.”
Sambil menunggu, Xezarith memperhatikan manusia yang berlalu-lalang di luar. Malam semakin larut, tapi kehidupan di bumi tetap berjalan. Lampu kendaraan masih berseliweran, suara tawa dan obrolan terdengar di beberapa sudut jalan.
“Ini pesenan kamu,” suara Budi mengembalikannya ke dunia nyata.
Sebuah cangkir berisi cairan kemerahan tersaji di hadapannya. Asap tipis mengepul dari permukaannya. Xezarith meraih cangkir itu, lalu mendekatkannya ke hidung. Bau yang kuat dan agak pedas menyentuh indra penciumannya. Ia menyesap sedikit.
Matanya langsung membesar.
“Kenapa?” tanya Budi yang masih berdiri di sampingnya.
“Ini… hangat,” jawab Xezarith spontan.
Budi tertawa. “Ya iyalah, namanya juga jahe panas.”
“Tapi… bukan cuma hangat di mulut. Rasanya seperti menyebar ke seluruh tubuh.”
Budi memiringkan kepalanya. “Hahaha, kamu ini baru pertama kali minum jahe, ya?”
Xezarith mengangguk pelan. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan ini. Rasanya aneh. Seolah ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.
Budi masih menatapnya dengan ekspresi heran, tapi akhirnya ia hanya mengangkat bahu. “Yaudah, dinikmati aja. Oh iya, kalau mau tambah gula, di meja ada.”
Xezarith mengangguk, lalu menyesap minuman itu lagi. Ia mulai memahami sedikit tentang dunia ini—tentang bagaimana manusia menikmati hal-hal kecil seperti minuman hangat di malam hari.
Tiba-tiba, suara berisik terdengar dari pintu masuk. Dua pria masuk dengan langkah berat, salah satunya berbicara dengan suara keras.
“Kopi hitam dua. Cepat!”
Budi melirik sekilas, lalu berjalan ke dapur tanpa banyak bicara. Xezarith menatap dua pria itu. Salah satu dari mereka mengenakan jaket lusuh, wajahnya terlihat lelah. Yang satunya lagi memiliki tatapan tajam dan tangan yang terus mengetuk meja dengan tidak sabar.
Saat Xezarith terus memperhatikan, pria bertatapan tajam itu menoleh padanya.
“Apa liat-liat?” tanyanya kasar.
Xezarith tidak menjawab. Tapi ada sesuatu yang ia rasakan dari pria itu. Aura yang gelap. Sesuatu yang bergetar di udara sekitarnya, seperti… kemarahan yang hampir meledak.
“Hei, aku tanya, apa liat-liat?!” pria itu bangkit, berjalan mendekati meja Xezarith.
Semua orang di warung mendadak diam.
Xezarith tidak bergerak. Ia hanya menatap pria itu dalam-dalam. Seolah melihat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar wajah dan postur tubuhnya.
Lalu, sesuatu terjadi.
Pria itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Wajahnya yang semula marah berubah bingung. Tangannya yang mengepal perlahan mengendur.
“Kamu… siapa?” suaranya kini tidak setajam tadi.
Xezarith tetap diam. Tapi dalam hatinya, ia mulai mengerti satu hal lagi.
Manusia… punya cahaya dan kegelapan di dalam dirinya.
Dan ia baru saja melihat keduanya dari dekat.
Cahaya di Mata yang Redup
Warung kopi itu masih sunyi. Semua mata tertuju pada pria bertatapan tajam yang tadi mendekati Xezarith. Napasnya sedikit terengah, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya.
“Aku… aku kenal kamu?” suaranya melemah, berbeda jauh dari nada kasarnya tadi.
Xezarith tidak menjawab. Matanya tetap fokus pada pria itu. Ada sesuatu yang aneh di sana. Raut wajahnya penuh kebingungan, bahkan—sejenak—terselip ketakutan.
“Hei, Don, kenapa lu?” tanya temannya yang masih duduk.
Pria bernama Don itu menoleh cepat, lalu mengerjap beberapa kali. Tangannya yang semula mengepal kini perlahan terkulai di samping tubuhnya. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja keluar dari mimpi aneh.
“Enggak… enggak ada apa-apa,” gumamnya sebelum buru-buru kembali ke tempat duduknya.
Orang-orang yang tadi memperhatikan mulai melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Pelan-pelan, warung itu kembali seperti semula.
Xezarith masih menyesap jahe panasnya dengan tenang. Ada yang berubah dalam dirinya. Ini pertama kalinya ia melihat dampak langsung dari kehadirannya di dunia manusia. Pria itu, Don, sempat terpengaruh hanya dengan tatapan saja. Seolah cahaya yang selama ini ia bawa dari langit tersirat lewat matanya.
Namun, Xezarith tahu ini bukan sekadar kebetulan.
Ada sesuatu yang disembunyikan pria itu.
“Apa yang barusan terjadi?” suara Budi tiba-tiba terdengar di sampingnya.
Xezarith menoleh. Pelayan warung kopi itu menatapnya dengan ekspresi penuh selidik, seakan sedang mencoba menghubungkan benang merah yang tidak bisa ia lihat.
“Apa maksudmu?” Xezarith balas bertanya.
Budi duduk di kursi seberang. “Don itu preman sekitar sini. Udah sering bikin rusuh. Tapi barusan, dia kayak kena hipnotis atau semacamnya. Itu gara-gara kamu, kan?”
Xezarith terdiam sejenak. Ia menimbang-nimbang jawaban apa yang seharusnya ia berikan. Sebagai malaikat, ia tidak boleh sembarangan mengungkapkan identitasnya.
Namun, firasatnya berkata bahwa Budi bukan orang biasa.
“Aku hanya melihat,” jawabnya akhirnya.
Budi mengerutkan kening. “Melihat?”
Xezarith mengangguk. “Manusia punya cahaya dan kegelapan di dalam dirinya. Terkadang, mereka lupa bahwa ada cahaya di dalam diri mereka sendiri.”
Budi terdiam. Kata-kata itu jelas tidak masuk akal, tapi entah kenapa ia tidak bisa menyangkalnya.
Sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, suara gaduh dari meja Don kembali mencuri perhatian mereka.
“Kenapa lu kayak orang linglung, Don?” suara temannya terdengar.
Don menatap kosong ke meja, kedua tangannya terkepal. Lalu, tiba-tiba, ia bangkit dari kursinya dan berjalan cepat ke luar warung tanpa mengatakan apa-apa.
Temannya mengumpat, lalu bergegas menyusulnya.
Xezarith menghela napas. Ia tahu, pertemuannya dengan Don belum selesai.
“Budi,” panggilnya pelan.
“Hmm?”
“Apa kau tahu ke mana pria itu akan pergi?”
Budi memandangnya heran. “Kenapa kamu nanya itu?”
Xezarith tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap langit malam di luar jendela. Ada sesuatu yang ia rasakan, sesuatu yang berdenyut pelan di udara.
Ia tahu, Don sedang menuju tempat yang tidak seharusnya.
Dan ia harus mengikutinya.
Jalan Terang di Tengah Kegelapan
Langit malam semakin gelap, bintang-bintang tersembunyi di balik awan yang menggelayuti. Di jalan yang basah, Xezarith melangkah dengan cepat, mengikuti jejak langkah Don yang semakin menjauh. Suara langkahnya nyaris tak terdengar, namun hatinya bergemuruh. Ada sesuatu yang kuat memanggilnya—sesuatu yang menghubungkannya dengan dunia ini.
Don, yang berjalan tergesa-gesa di depan, tampaknya tidak menyadari kehadirannya. Ia berjalan lurus, matanya kosong. Seakan tak ada tujuan, seakan kegelapan itu menariknya semakin dalam. Xezarith tahu, ia tidak bisa membiarkan pria itu terjerumus lebih jauh.
Di sudut jalan, sebuah bangunan tua terlihat. Lampunya remang-remang, nyaris mati. Pintu kayunya yang usang terbuka, seolah mengundang siapa saja yang melintas.
Don berhenti di depan pintu itu. Ia menatapnya dalam-dalam, seakan berjuang dengan pikirannya.
Xezarith berhenti di ujung jalan, beberapa langkah di belakangnya. Ia tahu, ini adalah saat yang tepat.
“Don!” suara Xezarith memecah keheningan malam.
Pria itu terkejut, menoleh dengan mata yang masih kosong. “Kamu… kamu lagi?”
Xezarith melangkah maju dengan tenang. “Kenapa kamu datang ke sini? Apa yang sedang kamu cari?”
Don tersenyum pahit, senyum yang penuh dengan keputusasaan. “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kucari. Hidup ini hanya… hitam.”
Xezarith menghela napas panjang. “Kegelapan itu bukan segalanya, Don. Kamu memiliki cahaya. Cahaya yang bisa menyinari jalanmu.”
Don tertawa kecil, tetapi tawanya penuh dengan kebingungan dan kepedihan. “Cahaya? Tidak ada yang tersisa dari itu. Semua sudah habis. Aku hanya… hanya bagian dari dunia ini yang hancur.”
Xezarith mendekat, berani untuk melangkah lebih jauh. “Jangan percaya pada kata-kata itu. Setiap manusia memiliki potensi untuk berubah. Cahaya itu ada, bahkan di tempat yang paling gelap sekalipun.”
“Cahaya… itu hanya mitos,” jawab Don dengan suara parau.
“Cahaya itu adalah pilihan,” jawab Xezarith lembut. “Kamu memilih untuk melihat kegelapan, tapi kamu juga bisa memilih untuk melihat cahaya yang ada di sekitarmu. Itu ada di dalam diri kamu, Don.”
Don menunduk, seolah kata-kata itu menggerogoti pikirannya. “Aku… aku tidak tahu apakah aku bisa berubah.”
Xezarith tersenyum, matanya penuh empati. “Kamu tidak perlu tahu semuanya sekarang. Yang penting, kamu mulai melihat dan membuka matamu. Cahaya itu akan muncul dengan sendirinya ketika kamu siap menerimanya.”
Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar. Budi muncul di ujung jalan, mendekat dengan cemas. “Don, lu ngapain di sini? Ayo balik, lu udah cukup rusuh di sini.”
Don menatap temannya, lalu menoleh lagi pada Xezarith. Untuk pertama kalinya malam itu, ada sesuatu yang berubah di matanya. Sebuah sinar, yang mungkin mulai muncul dari kegelapan.
“Budi,” Don berkata pelan. “Aku… aku mau mencoba. Aku ingin coba… untuk berubah.”
Budi terdiam, terkejut. “Apa maksud lu?”
Don mengangkat kepala, tatapannya jauh lebih tajam daripada sebelumnya. “Aku mau berhenti dari semua ini. Aku mau berhenti jadi orang yang nggak tahu arah.”
Xezarith mengangguk pelan, seolah mengerti apa yang sedang terjadi. Perubahan itu memang tidak mudah, tapi malam ini Don telah mengambil langkah pertama.
“Baik, kita pergi,” kata Budi, namun suaranya kini terdengar lebih lembut.
Xezarith menatap mereka, lalu melangkah mundur perlahan. Saat itu, ia merasa ada sesuatu yang hilang, namun juga ada sesuatu yang baru. Cahaya yang Don temukan, meskipun masih samar, telah memberi secercah harapan.
Saat kedua pria itu berjalan pergi, Xezarith berdiri di tengah jalan. Ia melihat mereka melangkah dengan lebih ringan, lebih teguh. Seperti ada beban yang perlahan lepas dari bahu mereka.
“Ini belum berakhir, Don,” bisik Xezarith, lebih pada dirinya sendiri. “Perjalananmu baru saja dimulai.”
Langit malam mulai terang. Sebuah bintang jatuh di kejauhan, menciptakan garis cahaya yang melintas di angkasa. Xezarith tersenyum. Misinya di dunia ini, untuk memberi cahaya pada kegelapan, bukan hanya tentang apa yang bisa dia lakukan. Ini adalah tentang membuka jalan bagi manusia untuk menemukan cahaya mereka sendiri.
Dan seperti itu, malaikat yang menjelma ke bumi, dengan segala kebijaksanaan dari langit, melangkah pergi. Dengan satu tujuan—untuk terus menyalakan cahaya, dalam dunia yang kadang terlupakan.
Jadi gitu deh, kadang hidup kita memang butuh sedikit cahaya buat nunjukin jalan, kan? Dan meskipun dunia ini kadang kayak penuh dengan kegelapan, selalu ada kesempatan buat berubah. Don, si preman itu, mungkin baru mulai nyadar kalau ada harapan buat masa depan yang lebih cerah.
Mungkin, kita juga bisa. Semoga cerpen ini bisa sedikit bikin kalian mikir, kalau ternyata cahaya itu nggak cuma ada di langit, tapi ada di dalam diri kita masing-masing. Jangan lupa, jalan buat berubah itu nggak pernah terlalu jauh!


