Daftar Isi
Gimana sih rasanya Ramadhan yang bener-bener ngena di hati? Bukan cuma soal sahur dan buka puasa dengan makanan enak, tapi juga tentang berbagi, bersyukur, dan ngerasain kebahagiaan dari hal-hal kecil. Cerpen ini bakal ngajak kamu buat ngelihat sisi lain dari bulan suci yang mungkin selama ini nggak kepikiran. Siapin hati, ya, karena ceritanya bakal bikin kamu mikir dua kali tentang arti berbagi!
Makna Ramadhan
Ketukan Ramadhan di Pintu Hati
Di sebuah desa kecil yang asri, langit senja mulai berubah warna. Warna jingga keemasan melukis cakrawala, menyapu pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Di antara rumah-rumah beratap genting itu, seorang bocah laki-laki berusia dua belas tahun duduk di atas dipan kayu di beranda rumahnya. Kakinya bergoyang-goyang pelan, sementara tangannya sibuk menggambar garis-garis tak beraturan di lantai berdebu.
Zhafran mendesah. Ia tahu Ramadhan tinggal beberapa hari lagi, tapi entah kenapa ia merasa… malas? Ah, bukan malas. Lebih tepatnya, ia merasa bulan itu akan datang dengan beban yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya—bangun sahur yang bikin ngantuk, menahan lapar yang menyiksa, dan ibu yang selalu memaksanya ikut tarawih di masjid.
“Zhafran!” suara ibunya terdengar dari dalam rumah. “Kakekmu manggil, ayo masuk!”
Mata Zhafran berbinar. Sejak Abah Karim sakit, kakeknya jarang berbicara banyak. Biasanya hanya diam, lebih banyak tidur di ranjang kayunya yang berdecit tiap kali ia bergerak. Dengan cepat, Zhafran melompat turun dari dipan dan berlari masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar yang berbau minyak kayu putih, Abah Karim tersenyum lemah melihat cucunya datang. Wajahnya keriput, rambut putihnya terlihat semakin tipis. Ia menepuk kasur di sebelahnya, menyuruh Zhafran duduk.
“Sudah besar kamu,” kata kakeknya dengan suara serak. “Besok Ramadhan pertama tanpa nenekmu.”
Zhafran menunduk. Tahun lalu, neneknya masih ada, menyiapkan kolak pisang kesukaannya saat berbuka. Kini, hanya kenangan yang tersisa.
“Kamu suka Ramadhan?” tanya Abah Karim tiba-tiba.
Zhafran terdiam, berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Biasa aja, Bah.”
Abah Karim tertawa kecil. “Kenapa?”
Zhafran mengangkat bahu. “Capek, harus bangun sahur, nggak boleh makan, terus harus salat terus. Aku sih nggak ngerti kenapa orang-orang pada senang kalau Ramadhan datang.”
Mata tua itu menatap Zhafran lekat-lekat. Lalu, dengan suara lirih, ia berkata, “Nak, Ramadhan itu bulan istimewa. Allah kasih kesempatan buat kita ngelakuin kebaikan sebanyak-banyaknya. Pintu ampunan dibuka lebar-lebar, bahkan hal sekecil senyum aja bisa jadi pahala.”
Zhafran menelan ludah, merasa kata-kata itu menggema di dalam dadanya.
“Kamu tau nggak,” lanjut Abah Karim, “dulu waktu kecil, aku juga nggak ngerti kenapa orang-orang begitu semangat nungguin Ramadhan. Aku pikir, apa enaknya sih laper seharian? Tapi suatu hari, aku ketemu seseorang yang ngajarin aku arti sabar dan berbagi. Dari situ aku sadar, Ramadhan bukan sekadar soal nahan lapar, tapi soal belajar jadi manusia yang lebih baik.”
Zhafran mendengar dengan saksama. Kata-kata kakeknya selalu terdengar bijak, tapi kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang menohok hatinya.
“Siapa yang ngajarin, Bah?” tanyanya pelan.
Abah Karim tersenyum samar. “Seseorang yang nggak akan kamu duga. Tapi, aku ceritain nanti aja. Sekarang, kamu janji dulu sama kakek, coba jalani Ramadhan tahun ini dengan hati yang terbuka. Rasain bedanya. Siapa tahu, nanti kamu sendiri yang bakal jatuh cinta sama bulan ini.”
Zhafran tidak langsung menjawab. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah langit yang kini mulai dipenuhi bintang-bintang kecil. Ada perasaan aneh yang muncul di dadanya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Iya, Bah,” jawabnya akhirnya. “Aku coba.”
Di luar, angin bertiup lembut, membawa aroma tanah yang baru saja disiram embun. Ramadhan tinggal menghitung hari. Entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Zhafran merasa ingin menyambutnya dengan cara yang berbeda.
Nasihat dari Seorang Kakek
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat oranye di langit desa. Di pelataran rumah, Zhafran duduk bersila di atas tikar pandan, sesekali melempar batu-batu kecil ke tanah. Suara burung-burung yang hendak kembali ke sarang mereka menggema di antara pepohonan, menambah suasana sore yang damai.
Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Abah Karim tadi malam. Entah kenapa, ucapan kakeknya itu terus menggema di kepalanya. Seseorang yang ngajarin aku arti sabar dan berbagi… Siapa orang itu? Kenapa bisa sampai mengubah cara pandang Abah Karim terhadap Ramadhan?
Zhafran menghembuskan napas panjang. “Bingung, Zhaf?”
Suara itu membuatnya menoleh. Abah Karim sudah duduk di kursi kayunya dengan tangan menggenggam tongkat. Zhafran menggaruk kepala, lalu menggeser duduknya mendekat ke kakeknya.
“Nggak bingung, cuma kepikiran aja,” jawabnya jujur.
Kakeknya tersenyum kecil. “Penasaran?”
Zhafran mengangguk.
Abah Karim menatap langit sore, seolah sedang menggali ingatan yang sudah lama tersimpan. Lalu, dengan suara pelan namun jelas, ia mulai bercerita.
“Waktu aku kecil, aku nggak beda jauh sama kamu. Ramadhan datang ya datang aja. Aku nggak ngerti kenapa orang-orang sibuk banget beribadah. Bahkan dulu, aku suka diam-diam makan di belakang rumah pas siang hari.”
Mata Zhafran melebar. “Serius, Bah?”
Abah Karim terkekeh. “Iya. Sampai suatu hari, aku ketemu sama Pak Amir.”
“Pak Amir?”
“Iya. Dulu, beliau tukang becak di kampung ini. Rumahnya kecil banget, bahkan cuma cukup buat satu dipan dan satu lemari tua. Tapi tahu nggak? Setiap kali Ramadhan, Pak Amir selalu kelihatan bahagia. Senyumnya nggak pernah luntur, meski badannya kurus karena kerja keras.”
Zhafran mendengarkan dengan saksama.
“Satu hari, aku lihat beliau berbuka puasa cuma dengan segelas air dan sepotong roti kering. Aku penasaran, jadi aku tanya, ‘Pak, kenapa cuma makan itu? Nggak lapar?’”
Abah Karim tersenyum mengenang. “Tahu nggak, apa jawaban beliau?”
Zhafran menggeleng.
“Beliau bilang, ‘Aku memang miskin, Nak. Tapi Ramadhan ini bikin aku merasa jadi orang paling kaya di dunia. Aku bisa bersyukur, aku bisa berbagi, aku bisa merasakan kebahagiaan yang nggak bisa dibeli dengan uang.’”
Zhafran terdiam. Ia tidak menyangka ada orang yang bisa berpikir seperti itu.
“Kamu tahu apa yang bikin aku malu?” lanjut Abah Karim. “Pak Amir yang nggak punya apa-apa aja bisa merasa kaya di bulan Ramadhan, sementara aku yang waktu itu masih bisa makan enak malah sembunyi-sembunyi makan siang.”
Zhafran menghela napas pelan. Rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitik hatinya.
“Dari situ aku belajar,” Abah Karim menepuk pundak cucunya. “Ramadhan itu bukan tentang lapar atau haus. Tapi tentang belajar bersyukur, belajar berbagi, dan belajar menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil.”
Zhafran menggigit bibirnya. Seumur hidupnya, ia tidak pernah benar-benar memikirkan Ramadhan dengan cara seperti itu.
“Tahun ini, coba cari kebahagiaanmu di bulan Ramadhan, Zhaf,” ujar Abah Karim dengan lembut. “Siapa tahu, kamu juga bisa menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar menahan lapar.”
Zhafran menatap kakeknya, lalu mengangguk. Dalam hatinya, ada tekad baru yang perlahan tumbuh. Ramadhan kali ini, ia tidak ingin hanya sekadar melewatinya. Ia ingin merasakannya.
Makna Sebuah Piring Kosong
Ramadhan terus berjalan, dan ada sesuatu yang berubah dalam diri Zhafran. Setiap kali ia duduk di meja makan menjelang berbuka, ia teringat Pak Amir, kakeknya, dan ucapan sederhana tentang kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Malam ini, angin sepoi-sepoi berhembus lembut di teras rumah. Cahaya lampu minyak temaram menerangi halaman, di mana Zhafran duduk bersandar di tiang kayu, mengamati ibunya dan beberapa tetangga menyiapkan hidangan untuk berbuka bersama di masjid kampung.
“Dek, sini bantuin,” suara ibunya terdengar.
Zhafran segera bangkit, menghampiri meja panjang yang dipenuhi piring-piring kosong. Ia mengambil tumpukan piring dan mulai menyusunnya di atas nampan.
“Kamu semangat banget sekarang, Zhaf,” ujar Tante Rina, salah satu tetangga mereka, sambil tersenyum.
Zhafran hanya nyengir kecil. Ia memang merasa lebih bersemangat sejak percakapannya dengan Abah Karim. Setidaknya, ia ingin melakukan sesuatu yang berbeda di Ramadhan kali ini.
Namun, tiba-tiba, matanya tertuju pada sosok seorang anak laki-laki kecil yang berdiri di dekat pintu gerbang masjid. Bocah itu memakai baju lusuh, celananya kebesaran, dan wajahnya sedikit kotor. Ia menatap meja makanan dengan mata penuh harap, tetapi kakinya tetap terpaku di tempat, seolah ragu untuk mendekat.
Zhafran meletakkan piring di tangannya dan berjalan ke arah anak itu. “Hei, kamu mau masuk?” tanyanya ramah.
Anak itu mendongak, terlihat sedikit terkejut. “Aku… nggak apa-apa di sini aja,” jawabnya pelan.
“Kamu puasa?”
Anak itu mengangguk ragu.
Zhafran memperhatikan tangan kecil bocah itu yang mencengkeram ujung bajunya sendiri. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Ia mengingat kembali kisah Pak Amir—orang yang tak punya apa-apa, tetapi selalu merasa kaya di bulan Ramadhan.
Zhafran merogoh saku celananya dan menemukan uang kertas yang tadi diberikan ibunya untuk membeli es timun suri di pasar. Namun, tanpa berpikir panjang, ia meraih tangan anak itu dan meletakkan uang tersebut di telapak mungilnya.
“Nih, buat kamu beli makanan setelah tarawih nanti.”
Anak itu terdiam, matanya membesar. “Beneran?” tanyanya dengan suara lirih.
Zhafran mengangguk. “Iya. Tapi sekarang kamu ikut aku dulu buat berbuka bareng di dalam, ya?”
Bocah itu menggigit bibirnya, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Ketika adzan maghrib berkumandang, Zhafran melihat anak itu duduk di antara jamaah lain, dengan piring berisi nasi dan lauk di hadapannya. Wajahnya masih menyiratkan sedikit kebingungan, seolah belum percaya bahwa ia benar-benar ada di sana, di antara orang-orang yang menerima kehadirannya tanpa syarat.
Saat itulah, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Zhafran merasakan kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan yang tidak berasal dari kenyang setelah berbuka, bukan pula dari manisnya teh hangat yang mengalir di tenggorokannya.
Tetapi dari satu piring kosong yang kini terisi.
Dan dari satu hati kecil yang kini tersenyum.
Cahaya di Penghujung Ramadhan
Ramadhan hampir berakhir. Malam-malam terakhirnya terasa lebih syahdu, lebih bermakna. Masjid semakin ramai oleh orang-orang yang menghidupkan ibadah, anak-anak kecil mulai terbiasa menahan lapar hingga maghrib, dan bagi Zhafran, Ramadhan kali ini terasa berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Setelah berbuka di masjid beberapa hari lalu, ia mulai lebih sering membantu di dapur umum, berbagi makanan dengan mereka yang membutuhkan, dan lebih banyak mendengarkan cerita-cerita dari orang-orang tua di kampung. Ada sesuatu yang menghangatkan hatinya setiap kali melihat senyum di wajah mereka.
Namun, malam ini, ada satu hal yang membuatnya sedikit gelisah.
Ia belum lagi melihat anak kecil yang ia ajak berbuka tempo hari.
Sore tadi, saat ia berjalan di sekitar pasar kampung, ia mencoba mencari bocah itu di gang-gang sempit, berharap bisa bertemu lagi dengannya sebelum Ramadhan berakhir. Tapi nihil.
Saat tarawih di masjid, pikirannya masih dipenuhi rasa penasaran. Ke mana anak itu? Apakah ia baik-baik saja?
Setelah salam terakhir selesai diucapkan imam, Zhafran keluar dari masjid lebih dulu. Langkahnya terhenti ketika melihat seorang lelaki tua yang duduk di bawah pohon dekat pagar masjid. Di sampingnya, ada bocah kecil yang ia cari.
“Hah, itu dia…” gumam Zhafran.
Tanpa pikir panjang, ia berjalan mendekat. “Hei!”
Bocah itu menoleh, matanya berbinar. “Kakak!”
Lelaki tua di sampingnya juga ikut menoleh. Wajahnya keriput, rambutnya memutih seluruhnya, tetapi matanya menyiratkan kelembutan.
“Ini cucuku,” ujar lelaki tua itu, sebelum Zhafran sempat bertanya. “Namanya Fadil.”
Zhafran mengangguk, lalu berjongkok di depan Fadil. “Aku cari kamu dari kemarin, lho. Kamu ke mana aja?”
Fadil menunduk, menggigit bibirnya. “Aku dan Kakek nggak punya rumah tetap. Kadang di sini, kadang di sana…”
Zhafran tercekat. Hatinya mencelos.
Kakek Fadil tersenyum tipis. “Kami nggak punya banyak, Nak. Tapi Alhamdulillah, kami masih bisa menjalani Ramadhan dengan hati yang lapang.”
Zhafran terdiam. Ia merasa kecil di hadapan lelaki tua dan cucunya yang menjalani hidup dengan penuh ketabahan.
Ia merogoh sakunya, berharap masih ada sesuatu yang bisa ia berikan. Tapi yang ia temukan hanya beberapa lembar uang receh.
Kakek Fadil menggeleng, seolah membaca pikirannya. “Kami sudah cukup senang dengan apa yang ada, Nak. Terima kasih sudah peduli pada cucuku.”
Zhafran menatap Fadil, lalu tersenyum. “Kalau gitu, besok kalian ikut aku ke rumah, ya? Buka puasa terakhir sebelum Lebaran bareng kami.”
Mata Fadil membulat. “Boleh, Kak?”
Zhafran mengangguk mantap. “Boleh banget.”
Fadil tertawa kecil, lalu mengangguk penuh semangat.
Di malam yang hangat itu, Zhafran sadar bahwa Ramadhan bukan hanya tentang berpuasa atau berbuka dengan makanan yang enak. Lebih dari itu, Ramadhan adalah tentang berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membutuhkan, tentang menemukan makna syukur dalam hal-hal kecil.
Dan pada akhirnya, Ramadhan tahun ini telah mengajarkannya bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kita punya, tetapi seberapa ikhlas kita berbagi.
Langit malam bersih, bintang-bintang bersinar terang, seolah ikut tersenyum menyaksikan ketulusan yang tumbuh di hati seorang pemuda.
Ramadhan itu bukan cuma tentang siapa yang kuat nahan lapar dan haus, tapi juga siapa yang paling banyak berbagi dan bersyukur. Kadang, kebahagiaan bukan soal seberapa banyak yang kita punya, tapi seberapa tulus kita kasih ke orang lain. Jadi, gimana? Udah siap buat ngerasain Ramadhan yang lebih bermakna tahun ini?


