Makan Siang Bersama Keluarga: Kebiasaan yang Hampir Terlupakan

Posted on

Pernah kepikiran nggak, kapan terakhir kali makan siang bareng keluarga? Bukan cuma duduk bareng sambil main HP masing-masing, tapi beneran ngobrol, ketawa, dan nikmatin waktu bareng. Nah, di rumah ini, makan siang bareng tuh udah jadi mitos. Tapi tiba-tiba, sesuatu yang tumben banget kejadian… dan dari situlah semuanya mulai berubah.

 

Makan Siang Bersama Keluarga

Meja Makan yang Terlupakan

Rumah keluarga Ramelan biasanya tenang di siang hari. Suara yang terdengar paling keras mungkin hanya detak jam dinding di ruang tamu atau gemerisik angin yang masuk dari jendela dapur. Namun, hari ini, ada yang berbeda.

Rafka baru saja pulang lebih awal dari kantor—sesuatu yang jarang ia lakukan kecuali ada alasan mendesak. Begitu membuka pintu, ia mendapati suasana rumah tidak seperti biasanya. Sepatu ibu masih ada di depan, yang berarti ibunya belum pergi ke butik. Ayah, yang biasanya sibuk di perpustakaan kota, duduk di ruang tengah sambil membaca koran. Yang lebih mengejutkan, di dapur terdengar suara Siska yang biasanya pulang sore karena les tambahan.

“Tumben banget rumah rame siang-siang,” gumam Rafka sambil melepas jas kerjanya.

Dari dapur, terdengar suara panci beradu dengan sendok. “Kak Rafka pulang cepet?” tanya Siska, kepalanya menyembul dari balik pintu dapur dengan wajah penasaran.

“Harusnya kamu yang aku tanya kayak gitu. Tumben di rumah jam segini.”

Siska mengangkat bahu. “Bu Eni nggak masuk. Jadi les dibatalin.”

Rafka mengernyit. Bu Eni adalah guru les Siska, dan setahunya, perempuan itu hampir nggak pernah izin kecuali ada alasan mendesak.

Sebelum sempat bertanya lebih jauh, langkah kaki lain terdengar mendekat. “Kok rame?” Nadia muncul dari arah tangga, mengenakan kaus longgar dan celana pendek. Penampilannya jauh dari biasanya—tidak ada riasan, tidak ada baju modis, tidak ada wangi parfum mahal.

“Kamu juga tumben di rumah jam segini,” balas Rafka.

Nadia melipat tangan di dada. “Aku lagi nggak ada kelas. Dosen pembimbing aku mendadak sakit.”

Mereka bertiga saling pandang, menyadari satu hal yang sama—ini kejadian langka.

Dari dapur, ibu keluar membawa nampan berisi lauk. “Kalau udah ngumpul gini, sekalian makan siang aja, yuk.”

“Makan siang?” Rafka mengernyit, sedikit heran. Biasanya ibu hanya memasak untuk diri sendiri dan ayah karena sisanya jarang ada di rumah.

“Kenapa? Nggak boleh?” ibu melirik tajam, setengah bercanda.

“Bukan gitu, Bu,” jawab Rafka cepat. “Cuma… tumben aja kita semua ada di rumah pas jam segini.”

Siska ikut duduk di kursi, memainkan sendoknya. “Iya, aku juga bingung. Kak Nadia biasanya nggak ada. Kak Rafka juga. Ayah malah di rumah, nggak ke perpustakaan?”

Ayah melipat korannya dan menghela napas. “Lagi ada perbaikan listrik di perpustakaan, jadi aku disuruh libur sehari.”

Nadia bersedekap. “Berarti kita semua di rumah karena kebetulan?”

Ibu tersenyum sambil menuangkan sup ke mangkuk. “Atau mungkin ini pertanda kalau kita harus makan bareng lagi.”

Mereka terdiam sebentar. Kalimat ibu terdengar sederhana, tapi menyentuh sesuatu yang sudah lama terlupakan.

“Udah lama banget ya, kita nggak makan siang bareng?” gumam Rafka pelan.

Siska mengangguk. “Dulu pas aku masih SD, tiap hari kita makan bareng. Tapi sekarang… rasanya asing aja duduk lengkap begini.”

Ayah mengusap dagunya. “Waktu berlalu, kalian tumbuh, kesibukan bertambah. Wajar kalau akhirnya jarang kumpul.”

“Tapi tetap aja, aneh sih,” ujar Nadia. “Dulu, makan bareng itu biasa. Sekarang, malah jadi sesuatu yang tumben.”

Ibu tersenyum tipis. “Makanya, mumpung bisa, ayo nikmatin.”

Mereka pun mulai makan dalam diam, menikmati suasana yang sudah lama hilang. Awalnya, terasa kaku. Tapi perlahan, kehangatan mulai muncul lagi.

Dan di tengah suapan mereka, tanpa ada yang mengatakannya, mereka semua menyadari satu hal—meja makan ini ternyata sudah terlalu lama sepi.

 

Tumben Kita Lengkap

Makanan di meja mulai berkurang, tapi piring mereka masih setengah penuh. Tidak ada yang makan terburu-buru seperti biasanya. Tidak ada yang menunduk sibuk dengan ponsel. Untuk pertama kalinya dalam entah berapa tahun, meja makan ini terasa benar-benar hidup.

“Jadi…” Rafka meletakkan sendoknya. “Kapan terakhir kali kita makan siang bareng kayak gini?”

Siska menatap langit-langit, mencoba mengingat. “Aku lupa. Mungkin waktu aku masih SD?”

“Kamu baru SMP, Sis. Berarti nggak terlalu lama,” seloroh Nadia sambil mengambil tahu goreng.

“Tetep aja lama,” balas Siska cepat. “Sekarang aku udah kelas dua. Berarti udah sekitar dua tahunan kita nggak makan siang lengkap begini.”

Rafka dan Nadia saling pandang. Dua tahun. Mereka tidak pernah benar-benar menghitung, tapi kalau dipikir-pikir, mungkin memang selama itu.

“Aku kira nggak selama itu,” gumam Rafka.

“Nggak kerasa, ya?” ujar ibu sambil tersenyum kecil.

“Nggak kerasa atau kita aja yang nggak sadar?” potong Nadia.

Suasana meja kembali sunyi sebentar. Jawaban Nadia terlalu jujur. Mereka semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Bukan hanya waktu yang berjalan tanpa disadari, tapi juga jarak di antara mereka.

“Kita terlalu sibuk,” ayah akhirnya berkata, suaranya tenang seperti biasa. “Dulu, aku selalu ngajarin kalian buat punya kebiasaan makan bareng keluarga. Tapi pada akhirnya, aku juga nggak bisa mempertahankan itu.”

“Ayah jangan ngomong kayak gitu, dong,” Siska menyela. “Ini bukan salah siapa-siapa. Semua orang punya kesibukan, kan?”

Ibu mengangguk. “Iya. Tapi, mungkin kita memang harus lebih sering kayak gini lagi.”

“Kak Rafka mau?” tanya Siska sambil melirik Rafka dengan mata berbinar.

Rafka menghela napas, menatap lauk di piringnya. “Ya, boleh aja sih.”

“Kak Nadia?” Siska beralih ke kakaknya yang lain.

Nadia mengangkat bahu. “Kalo sempet, kenapa nggak?”

Siska berseri-seri. “Berarti kita bisa makan bareng lagi lain kali?”

Ibu tertawa pelan. “Asal semesta memberi kita kesempatan lagi.”

“Jangan semesta doang, Bu. Harus kita juga yang usaha,” timpal Rafka.

Ayah mengangguk setuju. “Nah, itu yang penting.”

Mereka melanjutkan makan dengan perasaan yang entah bagaimana terasa lebih ringan. Tidak ada pembicaraan besar, tidak ada kesimpulan dramatis. Hanya kesadaran sederhana bahwa mereka masih keluarga, dan meja makan ini seharusnya tidak dibiarkan terlalu lama sepi.

 

Menyadari yang Hilang

Piring-piring di meja mulai kosong, hanya tersisa beberapa remah dan sisa kuah di mangkuk. Biasanya, setelah makan, mereka akan buru-buru kembali ke aktivitas masing-masing—Nadia ke kamarnya, Rafka sibuk dengan pekerjaannya, Siska kembali menatap layar ponselnya, dan ayah-ibu akan kembali ke kesibukan mereka. Tapi hari ini, anehnya, tidak ada yang bergerak meninggalkan meja.

Siska menopang dagu, matanya menyapu seluruh meja makan. “Kayaknya, kita nggak cuma jarang makan bareng, deh. Kita juga jarang ngobrol begini, ya?”

Nadia mengangkat alis. “Bukan jarang. Hampir nggak pernah.”

Sebuah pernyataan yang lebih tajam dari yang mereka duga. Tidak ada yang membantah, karena memang benar. Dulu, meja makan ini bukan sekadar tempat makan, tapi juga tempat mereka berbagi cerita. Sekarang? Meja ini hanya jadi furnitur, nyaris tanpa fungsi lain kecuali menampung makanan sebelum dihabiskan sendiri-sendiri.

Rafka menyandarkan punggungnya di kursi. “Aku bahkan lupa terakhir kali kita ngobrol lebih dari lima menit.”

“Kalian aja,” potong ibu sambil tersenyum tipis. “Aku dan ayah masih sering ngobrol, kok.”

Ayah mengangguk setuju. “Iya. Walaupun topiknya kebanyakan soal harga beras dan tetangga sebelah.”

Semua tertawa kecil.

“Tapi tetap aja,” Siska bersikeras. “Rasanya beda banget dibanding dulu.”

Nadia meletakkan sendoknya dan menatap adiknya. “Ya, wajar. Kita semua tumbuh. Kesibukan nambah. Nggak bisa disamain sama dulu pas kita masih kecil.”

Siska mengerucutkan bibir. “Tapi kalau kita sibuk terus, kapan bisa ngobrol kayak gini lagi?”

Pertanyaan itu membuat meja makan kembali sunyi. Tidak ada yang bisa menjawabnya dengan pasti.

Rafka menatap Siska sebentar, lalu menghela napas. “Ya… kita yang harus nyari waktu. Nggak bisa nunggu kebetulan kayak hari ini terus.”

Ibu tersenyum puas. “Akhirnya ada yang bilang juga.”

Siska tersenyum lebar. “Jadi mulai sekarang kita bakal sering makan bareng lagi?”

Ayah menyesap teh hangatnya sebelum menjawab, “Bisa dicoba, selama semua mau usaha.”

Nadia menghela napas dramatis. “Baiklah, baiklah. Aku bakal nyisihin waktu kalau kalian pada mau juga.”

Rafka mengangguk pelan. “Aku juga.”

Siska bersorak kecil, jelas senang dengan jawaban kakak-kakaknya.

Ibu tersenyum puas, sementara ayah hanya menggeleng kecil. “Lihat aja nanti, apakah rencana ini bisa bertahan lebih dari seminggu.”

Mereka tertawa lagi.

Dan tanpa ada yang mengatakannya, mereka semua menyadari satu hal—yang selama ini hilang bukan hanya kebiasaan makan bersama, tapi juga kehangatan yang dulu pernah ada.

 

Janji di Meja Makan

Matahari mulai condong ke barat, menyisakan sinar keemasan yang menembus jendela dapur. Piring-piring sudah bersih, hanya tersisa beberapa gelas dan mangkuk yang belum dipindahkan ke wastafel. Tapi tak ada yang beranjak. Tidak ada yang buru-buru pergi seperti biasanya.

Rafka mengetuk-ketukkan jarinya di meja, lalu menoleh ke Siska. “Jadi, gimana nih? Kalau kita mau beneran makan bareng lagi, harus ada aturan. Biar nggak cuma niat doang terus ujung-ujungnya lupa.”

Siska mengangguk antusias. “Setuju! Harus ada kesepakatan.”

Nadia memutar matanya. “Halah, sok serius amat. Tinggal makan bareng doang kok ribet.”

“Aku serius, Kak!” Siska menatapnya tajam. “Kalau nggak gitu, pasti bakal gagal lagi!”

Ibu tertawa kecil. “Baiklah, Siska. Jadi, aturan pertama?”

Siska mengetuk dagunya, berpikir keras. “Hmm… minimal seminggu sekali kita harus makan bareng. Nggak harus selalu siang, bisa malam juga.”

Nadia mengangkat bahu. “Fine.”

“Terus, semua harus dateng kecuali bener-bener ada halangan penting,” tambah Rafka.

“Dan nggak boleh sibuk sama ponsel,” lanjut ibu.

Siska bersorak kecil. “Nah! Itu bagus banget!”

“Tapi gimana kalau ada yang nggak datang tanpa alasan jelas?” Nadia menantang dengan tatapan skeptis.

“Harus dihukum,” jawab Siska tegas.

Ayah yang dari tadi hanya mendengarkan, akhirnya bersuara. “Hukumannya apa?”

Siska menyeringai lebar. “Yang bolos harus bayarin makanan buat kita semua minggu depannya!”

Semua terdiam sesaat sebelum akhirnya tertawa bersamaan.

“Ini sih jebakan biar kamu sering makan enak gratis, ya?” tuduh Rafka pura-pura kesal.

“Enggak, dong!” Siska tertawa. “Aku cuma pengen kita beneran ngelakuin ini!”

Ayah menghela napas, menatap wajah-wajah anaknya satu per satu. “Baiklah, kita buat kesepakatan ini. Tapi ingat, bukan cuma soal makan bareng, ya. Yang lebih penting adalah waktu yang kita habiskan bersama.”

Nadia tersenyum tipis. “Bener juga.”

Ibu menatap mereka dengan penuh rasa bangga. “Kalau gitu, kita mulai minggu depan?”

Siska bertepuk tangan kecil. “Setuju!”

Rafka dan Nadia saling pandang sebentar sebelum akhirnya ikut mengangguk.

Ayah tersenyum, lalu bangkit sambil membawa gelasnya. “Baiklah, aku setuju. Tapi sekarang, ada yang mau bantu beresin meja?”

Hening.

Siska pura-pura menunduk melihat lantai, Nadia pura-pura mengecek kuku, dan Rafka berpura-pura tidak mendengar.

Ibu tertawa geli. “Jangan pura-pura nggak denger, ya. Ayo, bantu beresin.”

Dengan beberapa gerutuan kecil dan tawa, akhirnya mereka bangkit dan mulai membereskan meja makan. Tidak ada yang menyadari bahwa sesuatu telah berubah di rumah ini. Sesuatu yang lebih hangat.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, meja makan ini akan kembali menjadi tempat yang lebih dari sekadar tempat makan.

 

Kadang, yang kita kira cuma sekadar makan siang ternyata lebih dari itu. Bukan cuma soal kenyang, tapi soal ngobrol, bercanda, dan merasa punya tempat buat pulang. Dan siapa sangka, dari satu makan siang yang tumben banget kejadian, mereka akhirnya sadar… rumah ini bukan cuma tempat tinggal, tapi juga tempat buat bareng-bareng.

Leave a Reply