Makam-Makam yang Digusur: Kisah Kocak Hantu-Hantu yang Ogah Pindah

Posted on

Pernah kebayang nggak kalau para hantu nggak terima makamnya digusur? Nah, di TPU Giri Tenang, hal itu beneran kejadian! Bayangin aja, kuburan udah ratusan tahun anteng, tiba-tiba ada alat berat datang buat gusur semuanya. Yang hidup panik, yang mati? Lebih panik lagi! Dari hantu emosi sampai arwah yang minta monumen, cerita ini bakal bikin kamu ngakak sekaligus merinding

 

Makam-Makam yang Digusur!

Kuburan Ini Bukan Kos-Kosan!

TPU Giri Tenang sedang dalam keadaan paling tidak tenang malam itu. Jika biasanya hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani para penghuni makam, kali ini ada suara yang jauh lebih mengganggu: deru mesin ekskavator.

Di antara deretan nisan yang berlumut, gundukan tanah tiba-tiba bergerak-gerak. Sejurus kemudian, kepala Mariam Si Meriang menyembul dari kuburnya dengan wajah panik. Rambutnya berantakan, sebagian wajahnya masih tertutup tanah.

“Bangun! Bangun! Kita digusur!” teriaknya sambil mengibaskan tangan ke udara.

Tidak ada yang langsung merespons. TPU Giri Tenang terkenal sebagai tempat peristirahatan yang cukup nyaman bagi para penghuninya. Tidak ada gangguan besar selama bertahun-tahun, kecuali sesekali ada anak-anak nakal yang main uji nyali atau orang-orang yang minta nomor togel.

Tapi kali ini berbeda. Getaran dari alat berat makin terasa. Tanah mulai bergetar, beberapa nisan bahkan sedikit miring.

Di kuburan sebelahnya, Mbah Sujiyo bergerak malas-malasan, membuka mata dengan kelopak yang hampir copot. “Halah, ribut-ribut apa sih ini? Aku masih ngantuk.”

“Ngantuk gimana, Mbah?! Kita mau didepak dari sini!” Mariam mendekat, mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Mbah Sujiyo, membuat sedikit debu beterbangan.

Dari kuburan lainnya, Ujang Pelesir ikut muncul. Ia menguap lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah lama tinggal dua. “Siapa yang berani gusur-gusur kita? Kita kan udah mati. Mau dipindahin ke mana lagi?”

Mariam menunjuk ke arah sekumpulan manusia yang berdiri di sekitar ekskavator. Mereka mengenakan helm proyek dan rompi reflektif, sesekali melihat ke layar blueprint sambil menunjuk-nunjuk ke arah makam.

“Coba lihat sendiri! Mereka datang bawa alat berat segala! Kuburan kita mau jadi perumahan!” kata Mariam dengan nada semakin naik.

Mbah Sujiyo mengerutkan dahi. “Perumahan? Di atas kuburan?”

“Iya, Mbah! Orang-orang zaman sekarang emang ada-ada aja. Udah tahu tempat ini angker, masih aja mau dibikin komplek!” ujar Ujang sambil menggeleng-geleng.

Suasana makin ramai ketika beberapa penghuni makam lainnya mulai bangkit, ada yang sambil ngulet, ada yang masih setengah sadar.

Nyai Juminten yang terkenal angker dan biasanya kalem, tiba-tiba berdiri dengan anggun di atas nisannya. Rambutnya yang panjang tergerai, matanya menyipit melihat manusia-manusia yang sibuk dengan proyeknya. “Aku baru tidur 200 tahun, tiba-tiba udah mau diusir. Hadeh… ini sih kurang ajar namanya.”

“Makanya, kita harus lakukan sesuatu!” Mariam berkata tegas.

“Tapi apa?” tanya Ujang.

“Ya ganggu mereka lah! Masa kita diem aja? Kuburan ini bukan kos-kosan! Nggak bisa seenaknya gusur terus ganti penghuni baru!”

Arwah-arwah lainnya mulai saling pandang, lalu mengangguk setuju.

Mbah Sujiyo mengangkat tangannya, memberi aba-aba. “Oke, oke! Mari kita buat perlawanan!”

Mereka mulai merapatkan barisan. Strategi perlu dibuat. Namun, karena sudah bertahun-tahun mereka hanya tidur dan sekali-kali menampakkan diri buat iseng, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana cara menggagalkan proyek besar.

“Kita teror mereka aja?” usul Mariam.

“Udah kuno. Zaman sekarang orang udah nggak takut-takut amat sama hantu,” jawab Nyai Juminten sambil berkacak pinggang.

“Tapi kalau mereka lihat aku, pasti takut,” kata Ujang sambil menyeringai.

Semua menatapnya dengan ekspresi datar. “Jangan geer, Ujang. Kamu serem aja nggak,” kata Mariam ketus.

Ujang manyun. “Ya kali aja…”

Sementara para penghuni kubur sibuk menyusun rencana, di sisi lain makam, seorang pekerja proyek yang sedang merokok mendadak merasa ada yang aneh. Angin berembus lebih dingin dari biasanya.

Lalu…

BUK!

Tangan pucat menjulur dari dalam tanah, tepat di samping kakinya!

Pekerja itu melongo sesaat, sebelum…

“YA ALLAH!! HANTU!!!”

Dengan rokok masih menempel di bibirnya, ia langsung lari terbirit-birit, helm proyeknya melayang entah ke mana.

Di belakangnya, Mariam tertawa kecil. “Baru pemanasan aja udah ada yang kabur.”

Tapi perlawanan mereka masih panjang. Pekerja proyek mungkin bisa ditakuti, tapi bagaimana dengan kepala proyeknya? Orang itu belum tentu gampang dikalahkan.

Dan malam itu, di TPU Giri Tenang yang makin tidak tenang, para penghuni makam bersiap untuk perang besar.

 

Ketika Hantu Negosiasi

Pagi datang, tapi TPU Giri Tenang tetap tak tenang. Setelah aksi kecil mereka semalam berhasil mengusir satu pekerja proyek, pagi ini situasi justru makin runyam.

Para pekerja kembali dengan jumlah lebih banyak. Bahkan, ada seorang pria berkemeja rapi dengan kacamata tebal dan wajah sok tegas berdiri di tengah-tengah mereka. Tangannya berkacak pinggang, mengamati peta proyek dengan ekspresi serius.

“Itu pasti kepala proyeknya,” bisik Mariam.

“Kita harus bertindak lebih cerdas kali ini,” Nyai Juminten menimpali.

Sementara mereka berunding, Pak Sahid—kepala proyek yang dikenal tak takut apa pun—mengangkat toa dan mulai berbicara dengan suara lantang.

“BAIK, SEMUA! HARI INI KITA MULAI PENGGUSURAN! TIDAK ADA YANG NAMANYA PENUNDAAN!”

JLEB.

Kalimat itu seperti bel alarm bagi para penghuni makam.

“Berarti, malam ini kita udah nggak punya rumah?” Ujang Pelesir menatap nisan-nisan di sekelilingnya dengan mata berkaca-kaca.

“Lah, kita kan udah mati. Rumah kita ya di mana-mana,” Mbah Sujiyo menjawab santai.

“TAPI TETEP AJA! Aku udah nyaman di sini! Masa tiap malam harus pindah-pindah kuburan? Kayak hantu kos-kosan!” Mariam protes.

Nyai Juminten menyipitkan mata. “Kalau kita nggak mau digusur, kita harus negosiasi.”

Mariam menoleh. “Negosiasi? Sama manusia?”

“Ya kali sama tuyul,” sahut Nyai Juminten.

Mbah Sujiyo mengelus jenggotnya yang transparan. “Hmm, bisa juga sih. Siapa tahu ada solusi selain digusur.”

Maka, dimulailah perundingan paling absurd sepanjang sejarah proyek perumahan.

Mbah Sujiyo mengajukan diri sebagai juru bicara. Dengan sedikit kekuatan magisnya, ia menampakkan diri di depan Pak Sahid yang masih sibuk mengatur para pekerja.

SRAAK!

Tanah bergetar sedikit, lalu muncul sosok pria tua dengan pakaian tempo dulu, wajahnya pucat, dan janggutnya melayang-layang.

Pak Sahid yang awalnya tak terganggu, tiba-tiba berhenti membaca dokumen proyeknya.

Matanya membelalak. “APAAN NIH?!”

Mbah Sujiyo tersenyum ramah. “Selamat pagi, Pak. Boleh saya bicara sebentar?”

Pak Sahid berusaha tetap tegar, meskipun kakinya sudah mulai gemetar. “S-saya nggak takut sama hantu!”

Mbah Sujiyo mengangkat tangan. “Kami datang dengan damai. Kami hanya ingin berbicara. Anda kepala proyek, kan?”

Pak Sahid menelan ludah. “I-iya…”

Beberapa pekerja proyek mulai berlari menjauh, meninggalkan bos mereka sendirian menghadapi hantu sepuh ini.

“Begini, Pak,” lanjut Mbah Sujiyo. “Kami ini sudah lama tinggal di sini. Makam ini bukan hanya tempat bagi kami, tapi juga sejarah. Apa tidak ada cara lain selain menggusur kami?”

Pak Sahid mengatur napasnya. “T-tapi ini proyek pemerintah, Pak Hantu. Saya hanya menjalankan tugas!”

Mariam tiba-tiba menampakkan diri di samping Mbah Sujiyo, membuat Pak Sahid hampir pingsan. “Dengar, Pak. Kami bukan anti pembangunan. Kami cuma minta dipindahkan dengan layak. Jangan main gusur aja!”

Pak Sahid mulai berpikir. “Maksud kalian… gimana?”

Mariam tersenyum miring. “Kami punya beberapa syarat.”

Pak Sahid, yang sudah tak bisa berpikir logis lagi karena berbicara dengan arwah, menghela napas. “Baiklah, sebutkan syarat kalian.”

Nyai Juminten maju, melambaikan tangannya yang setengah tembus pandang. “Syarat pertama: Pindahkan kami ke lahan yang tenang, bukan di samping pasar atau di bawah tower sutet. Hantu juga butuh privasi.”

“Syarat kedua,” lanjut Ujang Pelesir, “Kami nggak mau dikubur dekat jalan raya. Udah cukup serem lihat manusia nyetir motor ugal-ugalan, jangan tambah horor lagi dengan kuburan di pinggir jalan.”

Pak Sahid mencatat semua itu di kertasnya dengan ekspresi absurd.

“Syarat ketiga,” Mbah Sujiyo menambahkan, “Buatkan monumen untuk mengenang TPU Giri Tenang. Jangan sampai orang lupa kalau tempat ini dulu adalah rumah kami.”

Pak Sahid menatap daftar itu dengan ekspresi frustasi. Lalu, dengan pasrah, ia mengangguk.

“Baiklah. Saya akan bicara dengan atasan saya… dan pemerintah setempat. Kalau mereka setuju, saya akan pastikan kalian mendapatkan tempat yang layak.”

Para hantu saling berpandangan.

“Kita berhasil?” bisik Ujang.

“Kayaknya iya,” jawab Mariam.

Mbah Sujiyo tersenyum puas. “Oke, kita kasih waktu dia beberapa hari. Tapi kalau dia bohong…”

Pak Sahid langsung menegakkan punggung. “T-tidak! Saya pasti menepati janji! T-tolong jangan ganggu saya, ya?”

Nyai Juminten tersenyum misterius. “Tentu… asal kamu nggak coba-coba melanggar kesepakatan.”

Mariam menyeringai. “Betul. Kalau kamu bohong, kami bakal datang ke kantormu… mungkin pas kamu lagi lembur sendirian.”

Pak Sahid langsung mengangguk cepat. “I-iya, saya mengerti! Saya nggak akan bohong!”

Para arwah TPU Giri Tenang akhirnya merasa sedikit tenang. Mereka telah mengamankan masa depan mereka—setidaknya untuk sementara.

Tapi apakah manusia akan menepati janji mereka?

Atau para hantu harus turun tangan lagi?

 

Patung Tiga Serangkai

Beberapa hari telah berlalu sejak perundingan antara arwah TPU Giri Tenang dan kepala proyek, Pak Sahid. Para hantu menunggu dengan penuh harap, meski tetap waspada.

Mbah Sujiyo duduk di atas nisannya sendiri, melamun. “Kira-kira manusia beneran bakal tepati janji nggak, ya?”

Mariam nyender di batu nisan sebelahnya, wajahnya curiga. “Aku sih pesimis. Udah tahu kan manusia kayak apa? Janji tinggal janji, ujung-ujungnya kita tetap digusur.”

Nyai Juminten mengibaskan selendangnya. “Kita lihat aja dulu. Kalau Pak Sahid bohong, kita bikin dia menyesal seumur hidup.”

Ujang Pelesir tiba-tiba datang sambil berteriak, “WOY, MEREKA DATANG LAGI! ADA ORANG PEMERINTAH!”

Para hantu langsung bersiaga.

Dari kejauhan, tampak Pak Sahid datang bersama beberapa orang berseragam, salah satunya seorang pria botak dengan perut buncit dan dasi miring yang kelihatan seperti pejabat lokal.

Pejabat itu berdeham dan berbicara dengan suara berat. “Setelah mempertimbangkan aspirasi warga—eh, maksud saya, arwah warga makam, kami memutuskan untuk memberikan lokasi pemindahan yang lebih layak.”

Mbah Sujiyo menyipitkan mata. “Mana lokasinya?”

Pak Sahid mengeluarkan peta, menunjukkan sebuah tanah lapang di pinggir desa. “Ini lokasinya. Jauh dari jalan raya, nggak dekat pasar, dan sesuai permintaan kalian… nggak ada tower sutet.”

Para hantu saling pandang.

Mariam melipat tangan. “Hmm… lumayan.”

Ujang Pelesir menyeringai. “Tapi kita minta monumen, loh! Jangan lupa!”

Pak Sahid dan pejabat itu saling menatap, lalu pejabat itu tersenyum. “Oh iya! Kami sudah memikirkan hal itu. Kami akan membuat patung di lokasi lama TPU Giri Tenang untuk mengenang sejarah tempat ini.”

“Patung?” Nyai Juminten mengangkat alis.

“Betul!” Pejabat itu menyeringai bangga. “Kami akan membangun patung tiga orang tua berjanggut panjang, duduk berjejer, dengan tulisan ‘Makam Bersejarah TPU Giri Tenang’ di bawahnya!”

Mbah Sujiyo langsung batuk. “Apa?! TIGA ORANG TUA?! Kok cuma tiga?! Hantu di sini ada banyak, Pak!”

Pak Sahid tampak canggung. “Eh… soalnya anggaran cuma cukup buat tiga patung…”

Mariam berkacak pinggang. “Terus, yang dipatungin siapa?”

Pejabat itu tersenyum lebar. “Tentu saja, sesuai saran Pak Sahid, kami akan membuat patung dari arwah yang paling terkenal di makam ini! Mbah Sujiyo, Nyai Juminten, dan… Ujang Pelesir!”

Ujang langsung melonjak kegirangan. “AKU MASUK DAFTAR?!”

Sementara Mariam ternganga. “Lah?! Aku mana?!”

Pak Sahid menelan ludah. “E-emm… ini, Mariam, patung itu berdasarkan sejarah. Kamu kan… meninggalnya masih baru, jadi belum masuk tokoh legenda TPU Giri Tenang…”

Mariam mendelik. “OH JADI GITU?! MENTANG-MENTANG AKU MUDA, AKU DITENDANG?!”

Pejabat itu mengangkat tangan. “Bukan begitu, Nona Hantu, tapi—”

Mariam mendekat dengan tatapan membara. “Aku harusnya dapat patung juga! Kalau nggak, aku bakal gentayangan tiap malam di kantor pemerintahan kalian!”

Pejabat itu langsung panik. “B-bentar! Kami bisa atur ulang! Kami buat empat patung, gimana?!”

Mariam tersenyum puas. “Bagus! Begitu dong.”

Pak Sahid menepuk dahinya. “Aduh, anggaran bisa jebol ini…”

Setelah diskusi panjang, akhirnya disepakati bahwa akan ada empat patung di lokasi lama TPU Giri Tenang: Mbah Sujiyo, Nyai Juminten, Ujang Pelesir, dan Mariam.

Para hantu akhirnya sedikit lega. Mereka memang harus pindah, tapi setidaknya mereka mendapatkan lokasi yang layak dan akan selalu dikenang.

Mbah Sujiyo menghela napas. “Ya sudah. Kalau begitu, kita akan pergi dengan tenang…”

Namun, sebelum semua beres, tiba-tiba…

DOR!!

Sebuah suara ledakan kecil terdengar dari dekat tenda pekerja proyek.

Dan tiba-tiba… sesuatu yang aneh mulai terjadi.

 

Kejutan Terakhir TPU Giri Tenang

Suara ledakan kecil itu membuat semua orang—hidup maupun mati—melompat kaget. Debu mengepul dari area dekat tenda pekerja proyek. Pak Sahid dan pejabat pemerintah langsung panik.

“Apa-apaan ini?!” Pak Sahid berseru sambil menutupi wajahnya dari debu.

Para hantu TPU Giri Tenang juga mendekat, curiga.

Mbah Sujiyo mengerutkan kening. “Ada yang nggak beres. Aku merasakan sesuatu yang aneh…”

Dari dalam kepulan debu, muncul sosok berlumuran tanah, rambut panjang kusut, dan wajah yang lebih menyeramkan dari Ujang Pelesir saat habis bangun tidur. Sosok itu mengangkat tangan dan berteriak, “AKU JUGA MAU PATUNG!!”

Semua orang dan arwah di sana langsung mundur dengan ekspresi ngeri.

Nyai Juminten melotot. “SIAPA TUH?!”

Mariam menyipitkan mata, lalu wajahnya berubah kaget. “Ya ampun… ITU MBAH JOKO! DIA KUBURAN PALING DALAM DI SUDUT TPU!”

Pak Sahid menatap sosok itu dengan ketakutan. “T-tunggu… maksudmu dia juga hantu?!”

Mbah Joko mengibaskan debu dari bajunya, lalu menatap tajam ke arah para hantu lainnya. “Aku udah 200 tahun lebih di sini! Masa aku nggak dapet patung?! Kalian baru mati kemarin sore udah minta monumen!”

Ujang Pelesir mendekat dengan ekspresi geli. “Mbah, selama ini ke mana aja? Kok nggak ikut rapat-rapat?”

“Aku baru bangun, dasar bocah! Udah lama tidur nyenyak, eh, tiba-tiba ada suara gaduh. Pas aku bangun, malah dengar kalian bikin monumen buat diri sendiri!” Mbah Joko meratap. “Aku juga mau dikenal, dong!”

Mariam berkacak pinggang. “Loh, tapi kita udah sepakat cuma empat patung!”

Pejabat pemerintah mengangguk cepat. “B-betul! Anggaran udah pas!”

Mbah Joko menatap tajam, lalu mendadak ia mulai melayang dan berputar-putar di udara sambil mengeluarkan suara mendengung yang menakutkan. Lampu-lampu tenda proyek mulai berkedip-kedip.

“Aku mau patung…” Suaranya menggema. “Kalau nggak… aku akan GENTAYANGAN SELAMANYA DI SELURUH KOTA!”

Pak Sahid dan pejabat itu langsung saling berpandangan dengan wajah pucat. Mereka sudah hampir pingsan menghadapi hantu-hantu sebelumnya, apalagi yang satu ini.

Pejabat itu langsung berteriak, “BAIK! KAMI TAMBAH SATU PATUNG LAGI! JADI LIMA! JANGAN GENTAYANGAN!”

Mbah Joko berhenti melayang, menurunkan tangannya, dan tersenyum puas. “Nah, gitu dong! Manusia harus adil!”

Pak Sahid menghela napas panjang. “Aduh… ini proyek apa horor reality show sih?”

Akhirnya, dengan perasaan campur aduk, semua pihak sepakat bahwa akan ada lima patung di lokasi lama TPU Giri Tenang. Para pekerja proyek kembali bekerja dengan harapan tak ada lagi hantu lain yang mendadak bangkit dan minta patung.

Setelah berhari-hari penuh drama, proyek pemindahan makam akhirnya selesai. Para arwah resmi pindah ke lokasi baru yang lebih nyaman, jauh dari kebisingan kota. Monumen di TPU lama pun didirikan, dengan lima patung berdiri gagah di tengahnya.

Hari peresmian tiba. Warga kota datang untuk melihat monumen tersebut. Ada yang membaca sejarahnya, ada yang sekadar foto-foto, dan ada juga yang… merasa sesuatu yang aneh.

Seorang bocah kecil menarik tangan ibunya. “Bu, patungnya kedip!”

Sang ibu tertawa. “Ah, kamu ini ada-ada aja…”

Tapi kalau diperhatikan baik-baik… patung-patung itu memang tampak tersenyum sedikit lebih lebar setiap malam.

Dan kalau seseorang berani mendekat saat sepi, kadang mereka bisa mendengar suara lirih…

“Akhirnya kami dikenang…”

 

Akhirnya, proyek pemindahan makam selesai, para hantu pindah ke rumah baru, dan manusia bisa napas lega. Tapi ya gitu… monumen di TPU lama masih menyimpan misteri. Kadang patung-patung itu senyum sedikit lebih lebar, kadang ada suara bisikan malam-malam. Jadi, kalau kamu lagi jalan-jalan ke bekas TPU Giri Tenang dan tiba-tiba ada yang nyapa, saran aja nih… pura-pura nggak denger aja.

Leave a Reply