Mak Ijah Mencari Hewan Peliharaan: Petualangan Lucu yang Penuh Kejutan

Posted on

Gak nyangka deh, nyari hewan peliharaan bisa jadi petualangan kocak abis! Ini cerita tentang Mak Ijah, nenek seru yang selalu aja nemuin hewan-hewan paling absurd. Dari ayam ketawa yang bikin heboh sampai makhluk aneh di hutan, dia gak pernah kehabisan akal buat bikin satu kampung ketawa ngakak. Penasaran kan gimana kelucuan dan kekonyolannya? Langsung aja baca deh, dijamin gak bakal bosen!

 

Petualangan Lucu yang Penuh Kejutan

Keinginan Mak Ijah yang Tak Terduga

Pagi itu, langit cerah membentang di atas Desa Suka Makmur, sebuah desa kecil yang dipenuhi hamparan sawah hijau dan rumah-rumah kayu yang berjajar rapi. Suasana desa selalu tenang, kadang terlalu tenang untuk Mak Ijah. Ia duduk di depan rumah panggung kecilnya, menyapu halaman sambil memandang kosong ke arah jalan setapak yang membelah desa. Angin semilir menyibakkan ujung kain sarung yang ia kenakan.

“Duh, sepi amat hidup ini,” gumam Mak Ijah sambil menyeka peluh di dahinya. Usianya memang sudah tidak muda lagi, rambutnya sudah banyak yang memutih, namun semangatnya tak pernah surut. Kalau urusan berbincang, Mak Ijah jagonya. Dia bisa mengobrol dari pagi sampai malam kalau ada lawan bicaranya, sayangnya, lawan bicaranya cuma bunga-bunga yang ia tanam di depan rumah.

Ia berdiri sejenak, melemparkan pandangan ke arah pekarangan tetangganya, Pak Joko. Di sana, Pak Joko tengah duduk-duduk santai, bermain dengan kambing peliharaannya yang gemuk dan lucu.

“Wah, enak amat Pak Joko, tiap hari bisa main sama kambing. Jadi ada temen ngobrolnya,” celoteh Mak Ijah dalam hati. Ada rasa iri kecil yang mulai tumbuh. Sudah lama Mak Ijah hidup sendirian setelah suaminya meninggal beberapa tahun lalu. Anak-anaknya sudah pada merantau, pulang pun cuma setahun sekali pas Lebaran. Sesekali memang ada tetangga yang mampir, tapi tidak setiap hari. Keseharian Mak Ijah sering diisi dengan menyapu halaman, menyiram bunga, atau sekadar duduk termenung.

Sampai akhirnya, hari itu Mak Ijah berpikir. “Kenapa ya aku nggak pelihara hewan juga? Biar ada temen di rumah.”

Mak Ijah tersenyum sendiri dengan pikirannya. Memelihara hewan peliharaan terdengar menyenangkan. Ada yang bisa diajak ngobrol, meskipun nggak bisa jawab, paling nggak ada yang bisa dia ajak jalan-jalan di sekitar rumah. Sejak ide itu muncul, hatinya langsung riang.

Mak Ijah segera masuk ke dalam rumah, mengambil sapu tangan untuk menyeka keringatnya. Di dalam, dapurnya sudah rapi, tak ada yang perlu dibereskan lagi. Akhirnya, dia duduk sebentar di bangku panjang di teras, sambil mulai merencanakan hewan apa yang akan dia pelihara.

“Hmm, kira-kira pelihara apa ya? Jangan yang biasa-biasa. Masa nenek-nenek pelihara kucing aja. Kalau mau, ya yang spesial dong,” gumamnya sambil sesekali tersenyum sendiri.

Dia mulai membayangkan berbagai hewan: kambing seperti punya Pak Joko, ayam, bebek, bahkan ada bayangan aneh soal cicak besar terlintas di kepalanya.

Namun, satu hal yang jelas di benak Mak Ijah: hewan peliharaannya harus beda dari yang lain.

Hari itu juga, Mak Ijah mengambil keputusan. Esoknya, dia akan pergi ke toko hewan Pak Udin di ujung desa. Kata orang, di sana ada berbagai macam hewan yang dijual. Mulai dari ayam hingga kambing. Tapi Mak Ijah yakin, kalau dia cari baik-baik, pasti ada sesuatu yang unik dan menarik di sana. Siapa tahu, ada hewan yang cocok buat dia pelihara.

Malamnya, sebelum tidur, Mak Ijah sudah tak sabar. Di kamarnya yang sederhana, ia berbaring sambil membayangkan dirinya memiliki hewan peliharaan yang lucu dan menggemaskan. “Besok harus beli nih,” ujarnya sambil tersenyum.

Keesokan paginya, matahari belum tinggi, tapi Mak Ijah sudah siap. Ia mengenakan baju kebaya cokelat kesayangannya, dipadukan dengan kain batik yang membungkus rapi tubuhnya yang sudah mulai ringkih. Topi lebar yang sedikit kebesaran ia kenakan untuk melindungi diri dari sinar matahari. Senyum sumringah tak bisa lepas dari wajahnya.

Dengan langkah mantap, Mak Ijah berjalan menuju toko hewan Pak Udin. Jalannya memang agak jauh, sekitar satu kilometer dari rumahnya, tapi itu tidak jadi masalah. Bagi Mak Ijah, ini adalah misi yang penting.

Di tengah jalan, ia bertemu dengan Bu Narti, tetangga sebelah rumah. Bu Narti yang sedang menjemur pakaian langsung menyapa, “Lho, Mak Ijah mau ke mana pagi-pagi begini? Rapi amat.”

Mak Ijah tersenyum lebar, “Wah, Bu Narti, saya mau ke toko hewan. Mau cari hewan peliharaan nih, biar ada temen di rumah.”

Bu Narti tertawa kecil, “Wah, beneran Mak? Pelihara apa kira-kira?”

Mak Ijah mengangkat bahu, “Belum tahu, yang penting beda dari yang lain. Yang unik.”

“Wah, semoga dapet ya, Mak,” ujar Bu Narti sambil tersenyum.

Perjalanan pun berlanjut. Setelah beberapa saat berjalan, Mak Ijah sampai di depan toko hewan milik Pak Udin. Toko kecil itu dipenuhi suara-suara binatang dari berbagai sudut. Ada ayam yang berkokok, kambing yang mengembik, dan suara burung berkicau.

Pak Udin, yang sedang sibuk memberi makan kelinci di kandang, menyadari kehadiran Mak Ijah. “Wah, Mak Ijah! Mau cari hewan peliharaan ya?” tanya Pak Udin sambil tersenyum ramah.

Mak Ijah mengangguk antusias. “Iya, Pak Udin! Tapi saya mau yang beda, jangan yang biasa-biasa aja.”

Pak Udin menggaruk kepala, berpikir. “Hmmm, beda ya? Coba saya pikirkan dulu.” Ia berjalan menuju sudut toko, di mana ada beberapa kotak kayu yang tertutup.

“Ini nih, Mak, coba lihat,” kata Pak Udin sambil membuka sebuah kotak kecil. Di dalamnya ada seekor cicak albino. Warnanya putih bersih, dengan mata merah terang. Mak Ijah mendekatkan wajahnya, memperhatikan cicak itu dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ini cicak albino, Mak. Jarang banget ada di sini. Unik, kan?” kata Pak Udin sambil tersenyum bangga.

Mak Ijah melongo, kemudian tertawa kecil. “Pak, masa saya pelihara cicak? Ntar dikira dukun lagi. Ada yang lain nggak?”

Pak Udin ikut tertawa. “Ya sudah, kalau gitu coba ini.” Ia mengambil kura-kura kecil dari kotak lainnya. “Ini kura-kura. Memang lambat, tapi awet, Mak. Umurnya bisa panjang.”

Mak Ijah menatap kura-kura itu lama-lama, lalu menggeleng pelan. “Pak, kalau pelihara kura-kura, nanti saya malah nggak bisa jalan-jalan bareng dia. Lambat amat jalannya. Saya tua tapi belum selelet itu, Pak.”

Pak Udin menghela napas. “Wah, kalau gitu saya nggak tahu lagi deh, Mak. Semua hewan yang saya punya di sini ya begini. Biasa-biasa aja.”

Mak Ijah tersenyum kecut. “Makasih ya, Pak Udin. Nanti saya pikirin lagi deh.”

Dengan langkah pelan, Mak Ijah pun meninggalkan toko Pak Udin, sambil berpikir keras. Ia tahu hewan peliharaan yang tepat pasti ada di luar sana, tapi yang mana?

Belum menyerah, Mak Ijah pun bertekad. Esok harinya, dia akan mencoba mencari sendiri di hutan dekat ladang. Siapa tahu ada hewan liar yang menarik perhatiannya di sana.

 

Toko Hewan dan Cicak Albino

Pagi-pagi buta, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, tapi Mak Ijah sudah bangun dan bersiap. Setelah kemarin kecewa pulang dari toko Pak Udin tanpa hewan peliharaan, semangatnya tidak luntur. Kali ini, ia punya rencana baru. Bukannya ke toko hewan lagi, Mak Ijah akan menjelajah hutan kecil di pinggiran desa. Katanya, di sana sering ditemukan hewan-hewan liar yang unik. Siapa tahu nasibnya lebih baik kali ini.

“Siapa tau ada yang cocok buat dipelihara di sana,” ucapnya sambil mengikat tali sandal anyaman yang dipakainya. Mak Ijah mengenakan baju yang lebih santai kali ini, dengan topi lebar yang sudah agak kusam. Ia membawa keranjang bambu yang biasanya digunakan untuk memetik sayuran. Siapa tahu ada hewan yang mau ikut pulang dengannya.

Setelah sarapan seadanya—sepiring nasi goreng yang dimasak cepat—Mak Ijah langsung berangkat. Hutan kecil itu tidak terlalu jauh dari desanya, hanya butuh waktu sekitar setengah jam berjalan kaki. Namun, jalannya lumayan terjal karena harus melewati beberapa bukit kecil.

“Jalan ke hutan aja kayak mau piknik,” gumamnya sambil terus melangkah dengan semangat. Dalam perjalanan, sesekali ia bertemu dengan para petani yang berangkat ke sawah. Mereka tersenyum dan menyapa Mak Ijah, sudah tahu kebiasaannya yang sering melakukan hal-hal “tidak biasa” untuk wanita seusianya.

Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Pak Kumis, salah satu petani senior di desa yang terkenal sering berburu. Mak Ijah menyapanya, “Pak Kumis, apa kabar? Lagi mau ke hutan juga ya?”

Pak Kumis, yang sedang mengikat bambu di punggungnya, tersenyum lebar. “Lho, Mak Ijah! Wah, pagi-pagi udah semangat jalan-jalan? Mau ke mana?”

“Saya mau cari hewan peliharaan, Pak. Ke hutan, siapa tau ada yang lucu buat dibawa pulang.”

Pak Kumis tertawa kecil, menepuk bahunya yang kekar. “Wah, Mak Ijah ini semangat terus ya. Hati-hati aja di hutan, siapa tau ketemu ular atau biawak. Kalau nemu biawak sih, bagus, bisa dipelihara!” katanya bercanda.

Mak Ijah menggeleng sambil tertawa. “Aduh, Pak, kalau biawak mah bukan buat dipelihara, tapi buat lari!”

Setelah ngobrol sebentar, mereka pun berpisah, Mak Ijah melanjutkan perjalanannya menuju hutan. Semakin jauh masuk ke dalam, pepohonan mulai rapat dan suara-suara binatang kecil seperti burung dan serangga mulai terdengar. Angin berdesir lembut, membawa bau khas hutan yang segar. Mak Ijah menarik napas panjang, merasa tenang.

Setelah beberapa lama, Mak Ijah sampai di sebuah lapangan kecil yang sering dipakai warga desa untuk mencari kayu bakar. Tempat ini lumayan terbuka, dengan beberapa pohon besar yang menaungi dari teriknya matahari.

“Hmmm, kira-kira hewan apa yang ada di sini ya?” Mak Ijah mulai celingak-celinguk, mencari tanda-tanda kehidupan.

Tiba-tiba, di tengah lamunannya, ia mendengar suara gemerisik dari balik semak-semak di depannya. Mak Ijah langsung waspada. “Jangan-jangan ini biawak, beneran kaya kata Pak Kumis tadi,” pikirnya agak gugup. Namun, dengan keberanian yang entah datang dari mana, Mak Ijah mendekati sumber suara.

Pelan-pelan, ia mendekati semak-semak itu. Tapi alih-alih biawak, ternyata yang muncul adalah seekor ayam berbulu putih bersih dengan sedikit warna keemasan di ujung bulunya. Ayam itu tampak jinak, hanya berdiri dan menatap Mak Ijah dengan kepala sedikit miring.

Mak Ijah mematung sejenak, menatap ayam itu. “Wah, ayam kampung kok bersih banget bulunya ya?” gumamnya. Namun yang paling aneh, ayam itu tidak mengeluarkan suara kokokan biasa seperti ayam pada umumnya. Bukannya berkokok, ayam itu malah membuat suara yang… berbeda.

Ayam itu tertawa.

Ya, bukan kokok, tapi tertawa! Suara cekikikan yang persis seperti manusia kecil sedang tertawa.

Mak Ijah melongo, menutup mulutnya sendiri karena kaget. “Apa-apaan ini? Ayam ketawa?!”

Ia mendekat lebih dekat lagi, memperhatikan ayam itu dengan seksama. Ayam tersebut mengeluarkan lagi suara tawanya, kali ini lebih keras, seolah-olah mengejek. “Kaa… ka… ka!” Ayam itu seperti tidak berhenti ketawa, membuat Mak Ijah semakin bingung. Tapi, bukannya takut, Mak Ijah malah tertawa sendiri.

“Wah, kalo ayamnya begini, dijual di pasar bisa laku keras! Jadi hiburan warga!” katanya sambil mencoba meraih ayam tersebut.

Namun ayam itu gesit. Begitu Mak Ijah mencoba menangkapnya, si ayam langsung berlari ke sana ke mari, masih tertawa sepanjang jalan. Mak Ijah berusaha mengejar, tapi ayam itu terlalu lincah. Walau sudah mulai tua, Mak Ijah tetap pantang menyerah. Ia mengejar si ayam sambil tertawa juga, entah karena lucu atau karena kelelahan.

Akhirnya, setelah lari-lari kecil selama beberapa menit, Mak Ijah berhasil menjebak ayam itu di sudut antara dua pohon. Dengan hati-hati, ia meraih ayam itu dan memasukkannya ke dalam keranjang yang dibawanya.

“Hah, akhirnya dapet juga! Kamu lucu banget ya, ayam. Bisa ketawa! Aku pelihara kamu aja di rumah,” kata Mak Ijah sambil tersenyum puas. Ayam itu masih sesekali mengeluarkan suara cekikikan di dalam keranjang, membuat Mak Ijah merasa telah menemukan sesuatu yang benar-benar unik.

Sambil membawa pulang ayam tertawanya, Mak Ijah terus tersenyum lebar. “Bener kata Pak Kumis, di hutan ini ada aja yang aneh-aneh. Tapi ini yang paling aneh dan paling seru!” pikirnya.

Di perjalanan pulang, Mak Ijah bertemu dengan beberapa tetangga yang heran melihat keranjangnya yang tampak bergerak-gerak. “Bawa apa, Mak Ijah?” tanya Bu Siti, tetangga yang biasa pulang dari pasar pada jam segitu.

Mak Ijah dengan bangga menjawab, “Ini hewan peliharaan baru saya, Bu. Ayam ketawa! Unik, kan?”

Bu Siti melongo. “Ayam ketawa? Beneran ketawa? Jangan ngada-ngada, Mak,” katanya setengah tidak percaya.

Mak Ijah hanya terkikik, “Nanti kalau saya sudah sampai rumah, saya kasih dengar. Tunggu aja ya, Bu Siti!”

Bu Siti menggelengkan kepala, merasa bingung tapi penasaran. Mak Ijah melanjutkan perjalanan dengan riang. Ayam ketawa ini pasti akan jadi sensasi di kampungnya!

Namun, di tengah-tengah kegembiraannya, Mak Ijah masih belum sadar, kalau ayam ketawanya ini akan membawa cerita yang jauh lebih seru dari yang ia bayangkan.

 

Rahasia di Balik Tawa Ayam

Pagi berikutnya, setelah beristirahat cukup panjang akibat lari-lari mengejar ayam ketawa, Mak Ijah bangun dengan penuh semangat. Hari ini adalah hari yang sangat dinantikannya—ia akan memperkenalkan ayam barunya kepada warga desa. “Biar pada tahu, hewan peliharaanku ini unik dan nggak biasa!” gumamnya sambil tersenyum lebar di depan cermin, mengikat tali jilbabnya dengan rapi.

Setelah sarapan, Mak Ijah langsung mengeluarkan ayam ketawanya dari kandang yang ia buat sementara dari keranjang bambu di halaman belakang. “Nah, sini kamu, ketawa yang keras ya, biar mereka percaya!” katanya pada ayam itu, seolah ayam itu mengerti. Si ayam hanya menatap Mak Ijah dengan ekspresi datar, tapi sekali lagi, saat ia membuka paruhnya, suara cekikikan yang khas itu terdengar.

Mak Ijah tertawa kecil. “Aduh, kamu ini lucu banget, nggak ada bosannya dengerin tawamu.”

Setelah bersiap-siap, Mak Ijah membawa ayam ketawanya ke lapangan desa, tempat biasa warga berkumpul. Hari itu, kebetulan ada acara bazar kecil yang diadakan oleh ibu-ibu PKK, jadi cukup ramai orang di sana. Mak Ijah sudah membayangkan bagaimana warga desa akan terkejut dan tertawa mendengar ayam yang bisa ketawa.

Di lapangan, sudah banyak orang yang mulai berjualan dan berbincang-bincang. Begitu melihat kedatangan Mak Ijah dengan ayamnya, Bu Siti, yang kemarin bertemu dengannya di jalan, langsung menyapa.

“Eh, Mak Ijah! Jadi beneran nih ayam ketawanya? Tunjukin dong, penasaran aku,” kata Bu Siti dengan senyum lebar, disambut dengan beberapa ibu lain yang langsung mendekat.

Mak Ijah, dengan penuh rasa bangga, membuka keranjang bambunya dan mengeluarkan ayam itu. “Nih, ayam ketawaku! Dengerin ya.” Ia menunggu si ayam mengeluarkan suara ketawa khasnya.

Tapi anehnya, ayam itu diam saja. Warga yang berkumpul mulai menatap heran. Bu Siti mengangkat alis, setengah bingung. “Mana ketawanya, Mak?”

Mak Ijah menatap ayam itu dengan sedikit kesal, “Ayo, ketawa, kok diem aja?” Ia mengelus kepala ayam itu, berharap bisa merangsang tawa khasnya, tapi ayam itu tetap bungkam. Hanya mata kecilnya yang berkedip-kedip, seolah-olah sedang menikmati pertunjukan sendiri.

“Wah, jangan-jangan ayam ini cuma ngibulin aja, Mak,” kata Pak Kumis yang kebetulan lewat sambil tertawa kecil. “Mana ada ayam ketawa?”

Mak Ijah mulai gelisah. “Sabar, sabar, dia ini emang pemalu.” Tapi tetap saja, si ayam hanya diam. Situasi mulai terasa canggung, dan beberapa warga mulai tersenyum kecil, mencoba menahan tawa karena merasa Mak Ijah sedang bercanda.

Namun, tiba-tiba suara cekikikan itu terdengar lagi—tapi bukan dari ayam! Semua orang menoleh ke arah suara itu, yang datang dari belakang sebuah pohon besar tak jauh dari lapangan.

“Siapa yang ketawa?” tanya Bu Siti, kaget. Warga yang lain ikut memutar kepala, mencari-cari asal suara. Mak Ijah mengerutkan dahi. “Itu… mirip suara ayamku, tapi kok dari sana?”

Sebelum ada yang bisa mengerti apa yang sedang terjadi, dari balik pohon muncul seorang laki-laki tinggi kurus dengan pakaian sederhana, rambut acak-acakan, dan membawa sebuah kantong kain besar. Pria itu menyeringai sambil berjalan mendekat, matanya menatap ayam Mak Ijah dengan penuh minat.

“Mak Ijah, lama tidak bertemu!” Pria itu tertawa keras. Suaranya… persis seperti tawa ayam ketawa yang Mak Ijah bawa. Warga desa mulai berbisik-bisik. Ada yang kenal pria itu, ada juga yang terlihat kebingungan.

Mak Ijah terbelalak kaget. “Kang Eman?! Kamu dari mana aja? Kok suaramu sama persis kayak tawa ayamku?”

Kang Eman, yang ternyata adalah tetangga lama yang dulu pindah ke kota, menjawab dengan nada bercanda, “Aduh, Mak, itu kan trik aja. Ayammu itu sebenarnya nggak bisa ketawa, tapi aku yang ketawa tiap kamu deketin! Waktu aku di balik semak-semak kemarin, aku lagi iseng aja main di hutan, dan ternyata kamu bawa-bawa ayam itu, jadi aku ikutan ketawa dari jauh!”

Mak Ijah langsung menepuk dahinya. “Astaga! Jadi ayam ini nggak bisa ketawa?! Ini semua ulahmu, Kang?”

Kang Eman tertawa lagi, kali ini lebih keras, sambil mengusap perutnya. “Hahaha, iya, Mak Ijah. Maaf ya, nggak tahan liat ekspresi mukamu kemarin waktu ngejar-ngejar ayam itu!”

Warga desa yang berkumpul langsung ikut tertawa, mereka semua mulai paham bahwa ayam ketawa ini hanyalah hasil lelucon iseng Kang Eman. Bu Siti sampai memegangi perutnya karena tertawa terlalu keras. “Waduh, Mak Ijah, kamu ditipu Kang Eman, rupanya! Kasian banget, ayam biasa kok dikira spesial.”

Mak Ijah, yang semula kesal, akhirnya ikut tersenyum kecil. “Ya ampun, Kang Eman. Bisa-bisanya kamu ngerjain orang tua kayak aku! Tapi ya sudahlah, setidaknya aku nggak bawa pulang hewan aneh-aneh. Ayam ini lumayan buat dipelihara di rumah.”

Kang Eman masih tertawa kecil sambil menggeleng. “Maaf, Mak. Tapi seru juga kan, ada cerita buat diomongin di desa. Ayam ketawa, hahaha!”

Seiring dengan suara tawa yang makin ramai, warga desa satu per satu kembali ke aktivitas mereka. Mak Ijah, sambil tersenyum, menepuk-nepuk kepala ayamnya. Yah, meskipun kamu nggak bisa ketawa, tetap aja kamu lucu. Biar aja mereka ketawa, aku juga nggak rugi kok.”

Dalam perjalanan pulang, Mak Ijah kembali merenung. Meskipun ia sempat merasa malu karena ulah Kang Eman, setidaknya sekarang ia punya ayam baru untuk dipelihara. Ayam itu memang tidak bisa ketawa seperti yang ia kira, tapi hewan itu tetap memberikan cerita yang menghibur untuk seluruh desa.

Namun, sebelum ia benar-benar pulang, ada suara kecil yang menggelitik hatinya—apakah mungkin ada hewan lain di luar sana yang lebih unik? Hatinya kembali dipenuhi rasa penasaran. Sambil berjalan, Mak Ijah tersenyum sendiri.

“Siapa tahu ada hewan lain yang lebih aneh di hutan,” bisiknya, siap untuk petualangan berikutnya.

 

Petualangan Terakhir Mak Ijah

Setelah kejadian dengan ayam ketawa palsu dan lelucon Kang Eman yang membuat seluruh desa tertawa, Mak Ijah kembali menjalani hari-harinya dengan tenang. Namun, diam-diam, rasa penasaran dalam dirinya belum sepenuhnya hilang. Ia mulai berpikir bahwa di luar sana pasti masih ada hewan-hewan yang lebih unik, lebih menarik, dan pastinya benar-benar spesial—bukan sekadar hasil lelucon tetangga iseng seperti Kang Eman.

Suatu sore, ketika matahari mulai turun dan udara terasa sejuk, Mak Ijah duduk di teras rumahnya sambil menyeruput teh hangat. Matanya tertuju pada ayam peliharaannya yang berkeliaran di halaman, pecking at the ground tanpa rasa khawatir sedikit pun. “Ayam ini baik-baik saja, tapi kalau bisa nemuin yang lebih keren, kenapa nggak?” pikirnya sambil tersenyum kecil.

Saat itulah seorang anak muda yang dikenal sebagai Tukul, salah satu pemuda desa yang sering menjelajahi hutan untuk mencari kayu bakar, tiba-tiba menghampiri rumah Mak Ijah dengan wajah penuh semangat. “Mak Ijah! Ada kabar buat Mak nih!” serunya sambil terengah-engah.

Mak Ijah bangkit dari kursinya, menatap Tukul dengan alis terangkat. “Apa kabar apa? Jangan bikin kaget, Tukul.”

Tukul mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan, “Di hutan belakang desa, tadi aku lihat hewan yang nggak biasa, Mak! Warnanya cerah, bentuknya aneh, dan… kayaknya sih belum pernah ada yang lihat di sini!”

Mata Mak Ijah langsung berbinar. Ia sudah lama ingin mencari hewan peliharaan yang benar-benar unik, dan sekarang kesempatannya datang. “Beneran, Tukul? Di mana tepatnya kamu lihat hewan itu?” tanyanya penuh antusias.

Tukul mengangguk dengan semangat. “Aku lihat di dekat sungai kecil di hutan sana, Mak. Tapi tadi aku nggak berani deketin, soalnya hewan itu kelihatan agak besar dan… ya, agak aneh aja gitu.”

Tanpa pikir panjang, Mak Ijah langsung mengambil keranjang bambu miliknya dan memakai caping kesayangannya. “Tunggu di sini ya, ayam-ayam. Emak mau cari teman baru buat kalian,” katanya pada ayam-ayam di halamannya. Tukul yang melihatnya langsung terheran-heran.

“Mak, serius mau ke hutan sekarang? Udah sore lho. Mending besok aja.”

Tapi Mak Ijah tak menggubris peringatan itu. “Ah, nggak apa-apa. Nggak ada kata terlalu sore buat petualangan. Lagian, siapa tahu besok hewannya udah nggak ada. Kamu ikut apa nggak?”

Dengan sedikit ragu, Tukul akhirnya ikut menemani Mak Ijah ke hutan. Mereka berdua berjalan menuju sungai kecil yang diceritakan Tukul, melewati pepohonan tinggi yang mulai tampak gelap karena matahari semakin rendah. Meski sedikit menyeramkan, Mak Ijah tampak tak gentar sama sekali. Justru, ia merasa lebih bersemangat.

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya mereka tiba di pinggir sungai kecil. “Di sini, Mak! Di sinilah aku lihat hewannya tadi,” Tukul menunjuk ke arah semak-semak di seberang sungai.

Mak Ijah memicingkan matanya, berusaha melihat dengan jelas. “Mana? Aku nggak lihat apa-apa.”

Namun, seketika dari balik semak itu terdengar suara aneh, seperti gumaman rendah yang tak biasa. Tukul mundur selangkah, sedikit waspada. “Mak, hati-hati. Suara itu nggak kedengeran kayak suara hewan biasa.”

Tapi Mak Ijah, dengan rasa penasarannya yang membuncah, justru melangkah maju. Ia mendekat ke semak-semak dan pelan-pelan menyingkap daunnya. Dan di sana, di tengah semak-semak yang agak lebat, ada seekor makhluk kecil berwarna kuning cerah dengan pola garis-garis di tubuhnya. Matanya bulat besar dan kakinya pendek, hampir terlihat seperti campuran antara marmut dan tupai, tapi lebih aneh lagi.

Mak Ijah tertegun sejenak. “Ya ampun, ini… hewan apa, ya?”

Makhluk itu menatap Mak Ijah sejenak, lalu mengeluarkan suara yang mirip dengan suara kucing yang marah, tapi lebih nyaring dan aneh. “Nyaaak!” bunyinya, seolah memperingatkan Mak Ijah agar tidak mendekat lebih jauh.

Tukul yang berdiri beberapa meter di belakang, mendekat perlahan-lahan. “Mak, itu… aman nggak ya? Jangan-jangan berbahaya.”

Namun, Mak Ijah tidak merasa takut sedikit pun. Sebaliknya, ia merasa tertarik. “Hewan ini kecil, nggak mungkin berbahaya. Mungkin dia cuma kaget lihat kita. Ayo, kita bawa pulang aja!”

Dengan hati-hati, Mak Ijah mengeluarkan keranjang bambunya dan perlahan menundukkannya ke arah makhluk itu. Hewan aneh itu mengeluarkan suara protes lagi, tapi kali ini lebih pelan, dan sebelum Tukul bisa mengatakan apa-apa, Mak Ijah sudah berhasil memasukkannya ke dalam keranjang.

“Lihat, Tukul! Aku dapet peliharaan baru!” seru Mak Ijah penuh kemenangan. Tukul menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, takjub dengan keberanian dan kekerasan hati Mak Ijah.

“Mak, beneran ini mau dipelihara? Hewan macam apa ini, nggak jelas,” kata Tukul, masih agak bingung.

Mak Ijah hanya tertawa kecil. “Kita belum tahu ini apa, tapi itu justru yang bikin seru! Yang penting, ini bener-bener hewan unik. Nanti kita tanyakan aja ke orang-orang desa, siapa tahu ada yang tau jenisnya. Kalau nggak ada yang tau, berarti ini hewan paling langka di desa kita!” katanya penuh percaya diri.

Setelah memastikan keranjangnya aman, mereka berdua berjalan pulang dengan riang. Sepanjang jalan, Mak Ijah terus menatap makhluk itu dengan penuh kekaguman. Meskipun aneh, ia merasa hewan ini adalah jawaban atas pencariannya selama ini.

Sesampainya di rumah, warga desa yang melihat Mak Ijah membawa keranjang lagi langsung penasaran. “Mak Ijah, bawa hewan baru lagi?” tanya Bu Siti sambil menengok ke arah keranjang.

Mak Ijah tersenyum bangga. “Iya, ini hewan spesial. Nanti kita lihat apakah dia bisa kasih kejutan seperti yang dulu.”

Dan memang benar, hewan itu membawa kejutan. Tidak lama setelah tinggal di rumah Mak Ijah, makhluk aneh itu mulai dikenal di seluruh desa. Bukan karena tawa seperti ayam sebelumnya, tapi karena tingkah lakunya yang lucu dan perilakunya yang sering membuat orang-orang tertawa—terutama ketika ia mencoba memanjat pohon dan selalu jatuh dengan cara yang konyol.

Warga desa akhirnya paham bahwa meskipun Mak Ijah sering kali membawa pulang hewan-hewan yang tidak biasa, setiap hewan selalu membawa keceriaan bagi mereka. Dan meskipun pencarian Mak Ijah mungkin belum selesai, satu hal yang pasti: petualangannya selalu penuh tawa dan keunikan.

 

Jadi, gitu deh serunya Mak Ijah dalam nyari hewan peliharaan! Dari ayam ketawa yang bikin semua orang heboh sampai makhluk aneh yang bikin ngakak, pokoknya hidup di desa jadi makin rame! Siapa sangka nyari hewan peliharaan bisa se-konyol ini? Stay tuned, ya, untuk petualangan seru berikutnya! Sampai jumpa!

Leave a Reply