Daftar Isi
Pernah ngebayangin nggak, gimana jadinya kalau seorang pangeran keren harus ngelawan penyihir licik yang berhasil nyihir ayahnya sendiri? Nah, di cerita ini, Pangeran Vaelis nggak cuma berjuang buat balikin kerajaan, tapi juga buat ngebales dendam atas kematian sang bunda ratu.
Seru, penuh intrik, dan pastinya bikin deg-degan, ini bukan sekadar cerita tentang perebutan kekuasaan—tapi tentang cinta, pengorbanan, dan sebuah mahkota yang punya makna dalam banget. Siap buat masuk ke dunia kerajaan Astrara? Let’s go!
Mahkota untuk Bunda
Cinta dan Damai di Kerajaan Astrara
Kerajaan Astrara terkenal dengan keindahan alamnya yang memesona—padang rumput hijau membentang luas, aliran sungai kristal yang jernih, dan puncak-puncak gunung yang berdiri kokoh di kejauhan. Namun, yang membuat Astrara istimewa bukan hanya pemandangannya, tetapi juga pemerintahan yang bijaksana di bawah Raja Elandor dan Ratu Seraphina. Sejak naik takhta bersama, mereka berdua membawa kerajaan ini ke masa kejayaan yang belum pernah tercapai sebelumnya. Tidak hanya kekayaan dan kemakmuran yang mereka berikan, tetapi juga cinta dan kedamaian yang menyelimuti seluruh penjuru kerajaan.
Pangeran Vaelis, anak satu-satunya, tumbuh di tengah lingkungan penuh kasih sayang. Dari kecil, ia selalu melihat kehangatan dalam hubungan orang tuanya. Sang ayah, Raja Elandor, meskipun tegas dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, selalu menunjukkan kelembutan di hadapan Ratu Seraphina. Mereka seperti dua potongan teka-teki yang saling melengkapi. Seraphina dikenal sebagai “Bunda Ratu,” bukan hanya karena kedudukannya, tetapi juga karena sifat keibuannya yang penuh perhatian terhadap seluruh kerajaan. Ia tidak memerintah dengan tangan besi, tetapi dengan hati yang memahami setiap rakyat.
Bagi Pangeran Vaelis, Bunda Ratu adalah segalanya. Setiap pagi, mereka akan berjalan di taman istana yang dipenuhi bunga-bunga mawar yang ditanam khusus oleh Ratu Seraphina sendiri. Bunda selalu mengajarinya tentang arti penting keadilan, kebaikan, dan keberanian—nilai-nilai yang kelak akan membuatnya menjadi raja yang dicintai rakyatnya.
“Vaelis, ingatlah selalu bahwa seorang raja bukan hanya penguasa, tapi pelindung bagi rakyatnya. Kerajaan ini adalah rumahmu, tapi rakyat adalah keluargamu,” nasihat Seraphina sambil tersenyum, menatap putranya dengan penuh kebanggaan.
Pangeran Vaelis, yang saat itu berusia 15 tahun, mengangguk patuh, meski di dalam hatinya ia masih terlalu muda untuk benar-benar memahami arti dari kata-kata bundanya. Baginya, saat itu, kehidupan di Astrara hanyalah hari-hari indah tanpa beban. Semua tampak sempurna. Tak ada yang bisa menggoyahkan kebahagiaan mereka.
Setiap malam, di ruang besar istana, Raja Elandor sering berkumpul dengan keluarganya untuk makan malam. Suara tawa dan obrolan hangat selalu memenuhi ruangan. Bagi siapa pun yang melihat mereka, kehidupan keluarga kerajaan tampak sempurna. Bahkan dalam pandangan rakyat, keluarga kerajaan ini adalah gambaran ideal yang mereka idam-idamkan. Setiap rakyat tahu bahwa mereka dilindungi oleh raja dan ratu yang bukan hanya memerintah, tetapi juga mencintai mereka dengan tulus.
Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang mulai menggantung di udara. Sesuatu yang tak kasat mata namun perlahan-lahan merayap masuk. Ada angin dingin yang mulai bertiup di kerajaan, membawa firasat buruk. Ratu Seraphina terkadang menatap ke jendela dengan pandangan jauh, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. Namun, ia tetap tenang, tidak pernah menunjukkan kekhawatirannya di depan keluarganya.
“Apakah ada yang mengganggumu, Bunda?” tanya Vaelis suatu malam ketika ia melihat bundanya duduk sendirian di balkon istana, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang.
Seraphina menoleh dan tersenyum lembut. “Tidak, anakku. Hanya terkadang, seorang ratu harus mendengarkan bisikan angin dan tanda-tanda yang ada di sekitarnya.”
Vaelis, meski tak sepenuhnya mengerti, tetap percaya pada kekuatan dan kebijaksanaan bundanya. Namun, seiring waktu, ia mulai menyadari bahwa ketenangan di kerajaan Astrara mungkin takkan berlangsung selamanya.
Musim berganti, dan kerajaan tetap dalam kedamaian. Tapi entah mengapa, Raja Elandor mulai lebih sering sibuk dengan urusan kerajaan. Ia semakin jarang duduk bersama keluarganya, dan sering kali Vaelis hanya bisa melihat punggung ayahnya berjalan tergesa-gesa menuju ruang pertemuan para penasehat. Ratu Seraphina, meskipun tetap bersikap tenang, mulai terlihat sedikit lebih sering termenung.
Satu sore yang tenang, ketika Vaelis sedang berlatih dengan prajurit istana di halaman belakang, sebuah kereta megah tiba di pintu gerbang. Vaelis berhenti berlatih ketika melihat kehadiran tamu yang tak diundang itu. Dari dalam kereta turun seorang wanita dengan wajah cantik memukau. Dia mengenakan gaun mewah dengan warna merah tua, kontras dengan senyum tipis di wajahnya yang dingin.
“Siapa dia?” bisik Vaelis pada seorang pelayan di dekatnya.
“Dia Lady Eilona,” jawab pelayan itu pelan. “Wanita dari negeri seberang. Seorang bangsawan tinggi, katanya.”
Lady Eilona disambut dengan hangat di istana, namun ada sesuatu dalam cara dia berbicara dan menatap yang membuat Vaelis merasa gelisah. Di setiap gerakannya, seolah ada kekuatan tak terlihat yang mengendalikan suasana.
Ratu Seraphina juga menyadari kehadiran Eilona, namun ia tetap tenang, mengamati wanita itu dari kejauhan. Meskipun mereka belum pernah berbicara, Ratu bisa merasakan bahwa sesuatu yang kelam sedang mendekat. Lady Eilona tak hanya datang sebagai tamu, tetapi seolah membawa kekuatan gelap bersamanya.
Vaelis merasakan ada yang berubah pada ayahnya sejak kedatangan Eilona. Raja Elandor, yang sebelumnya penuh cinta pada Ratu, kini mulai sering duduk berdua dengan wanita itu. Senyum yang dulu hanya untuk Seraphina, kini jatuh pada Eilona. Dalam hatinya, Vaelis bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Tapi ia tak berani mengungkapkan kekhawatirannya.
Malam itu, Vaelis kembali menemukan bundanya berdiri di balkon, memandangi langit. Namun, kali ini wajahnya tampak lebih tegang.
“Bunda, ada sesuatu yang tidak beres, bukan?” tanya Vaelis akhirnya, tak bisa lagi menahan kegelisahannya.
Seraphina menoleh pelan, matanya yang biasanya tenang kini tampak diliputi kekhawatiran. “Kadang, hal terburuk datang dari arah yang tidak kita duga, Vaelis. Ingatlah selalu kata-kataku, dan tetaplah kuat. Tidak semua yang tampak indah itu baik, dan tidak semua yang baik itu tampak.”
Vaelis menggenggam tangan bundanya dengan erat. Dia merasa ada badai yang akan datang, tapi apa yang bisa dilakukan seorang pangeran muda selain menunggu dan bersiap?
Malam itu, bintang-bintang bersinar lebih redup dari biasanya, seolah menyembunyikan sesuatu di balik tirai malam.
Penyihir Bermahkota dan Kejatuhan Ratu
Hari-hari berlalu, namun kehadiran Lady Eilona di istana semakin terasa. Ia tidak lagi menjadi tamu yang hanya datang dan pergi, melainkan sosok yang selalu ada di setiap pertemuan kerajaan. Senyum misteriusnya dan cara bicaranya yang penuh pesona membuatnya selalu mencuri perhatian. Bahkan para bangsawan yang tadinya memandangnya dengan rasa curiga, kini mulai tunduk pada pesonanya.
Namun, yang paling mengejutkan adalah perubahan Raja Elandor. Dulu, raja yang bijaksana dan penuh cinta, kini sering terlihat termenung. Senyum hangatnya perlahan memudar, digantikan dengan tatapan kosong yang hanya tertuju pada Lady Eilona. Pangeran Vaelis semakin merasa ada yang tidak beres. Ia mencoba berbicara dengan ayahnya beberapa kali, namun setiap kali ia mendekati sang raja, Raja Elandor hanya tersenyum tipis dan berkata, “Aku baik-baik saja, Vaelis. Kamu jangan terlalu khawatir.”
Tapi Vaelis tahu, ini bukanlah sikap normal ayahnya. Kecurigaannya semakin kuat ketika ia menyaksikan satu peristiwa aneh di malam hari. Suatu malam, setelah pesta kecil di istana, Vaelis memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kerajaan untuk menenangkan pikirannya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sesuatu yang tidak biasa di dekat menara istana. Di bawah cahaya bulan, ia melihat Lady Eilona berdiri di depan Raja Elandor. Eilona mengangkat tangannya, dan cahaya hijau pucat memancar dari telapak tangannya, mengelilingi kepala sang raja.
“Ayah!” Vaelis berteriak, berlari mendekat. Tapi saat itu juga, Eilona menghentikan sihirnya dan menoleh, menatap Vaelis dengan senyum penuh tipu muslihat.
“Oh, Pangeran Vaelis. Kamu terjaga malam ini?” suaranya lembut, namun ada sesuatu yang sangat menakutkan di balik kelembutannya.
Raja Elandor, yang seharusnya tersadar dari pengaruh sihir, hanya menatap kosong ke arah putranya. “Vaelis, apa yang kau lakukan di sini? Pergilah ke kamar.”
“Ayah, ada apa denganmu?” tanya Vaelis, suaranya penuh kecemasan. “Ada yang aneh dengan Lady Eilona.”
Namun, Raja Elandor menggelengkan kepalanya. “Eilona adalah tamu kita, Vaelis. Tunjukkan rasa hormatmu. Jangan membuat masalah.”
Vaelis merasa ada yang tidak beres, tapi ia juga tahu bahwa tak ada gunanya berdebat dengan ayahnya dalam keadaan seperti itu. Ia menahan amarahnya dan mundur, namun di dalam hatinya, tekadnya semakin kuat. Ada sesuatu yang jahat di sini, dan ia harus mencari tahu kebenarannya.
Keesokan harinya, Ratu Seraphina akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia tahu bahwa Lady Eilona bukan sekadar bangsawan biasa. Ada sesuatu yang lebih kelam di balik wajah cantik wanita itu. Tanpa sepengetahuan siapapun, Seraphina mulai menyelidiki asal-usul Lady Eilona. Ia berbicara dengan para penasehat dan orang-orang kepercayaan di seluruh kerajaan, berharap menemukan petunjuk tentang siapa sebenarnya wanita ini.
Sampai suatu malam, Seraphina menemukan jawabannya. Lady Eilona ternyata bukan bangsawan dari negeri seberang seperti yang selama ini dikatakan. Dia adalah penyihir dari Lembah Arkhara, tempat yang dikenal dengan ilmu hitam dan sihir gelapnya. Penyihir ini telah datang untuk merebut takhta kerajaan Astrara, dan ia menggunakan sihirnya untuk mengendalikan Raja Elandor.
Ratu Seraphina segera menemui Raja Elandor di kamarnya. “Elandor, kau harus mendengarkan aku,” katanya dengan tegas, namun suaranya dipenuhi rasa cemas. “Wanita itu—Lady Eilona—bukan siapa yang kita pikirkan. Dia penyihir, dan dia telah menyihirmu!”
Namun, Raja Elandor hanya tertawa pelan, senyum dingin terpampang di wajahnya. “Seraphina, kau selalu terlalu cemas. Eilona telah menjadi bagian dari kerajaan ini. Kau harus belajar menerima kehadirannya.”
Seraphina tidak percaya pada apa yang ia dengar. Ini bukan suaminya yang berbicara. Ini adalah suara seorang pria yang telah dikendalikan sihir. Dalam keputusasaan, Seraphina memutuskan untuk menghadapi Eilona secara langsung.
Malam itu, Ratu Seraphina memanggil Lady Eilona ke ruang singgasana. Ruangan itu tampak sunyi, hanya diterangi oleh obor-obor yang redup. Seraphina berdiri tegak di tengah ruangan, dengan pandangan yang penuh determinasi.
“Lady Eilona,” Seraphina memulai, “aku tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Eilona hanya tersenyum, mendekat dengan langkah anggun. “Oh, benarkah? Apa yang kau tahu, Bunda Ratu?”
“Kau penyihir. Kau telah menyihir Raja Elandor dan berusaha mengambil alih kerajaan ini. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Namun, alih-alih terkejut, Eilona hanya tertawa kecil, tawa yang penuh ejekan. “Oh, Seraphina. Kau terlalu lemah untuk menghentikanku. Lihatlah dirimu, begitu yakin bahwa cinta dan kebaikan bisa menyelamatkan segalanya. Dunia tidak sesederhana itu.”
Dengan cepat, sebelum Seraphina bisa bereaksi, Eilona mengangkat tangannya, dan dari telapak tangannya keluar kabut hitam yang tebal. Seraphina berusaha melawan dengan kekuatannya, namun sihir hitam Eilona jauh lebih kuat. Dalam hitungan detik, kabut hitam itu menyelimuti tubuh Seraphina, mencekik hidupnya.
Ratu Seraphina jatuh ke lantai, matanya terbuka lebar dengan rasa sakit dan ketakutan. Napasnya terhenti, dan dalam sekejap, kehidupan meninggalkan tubuhnya. Mahkota yang selalu ia kenakan tergelincir dari kepalanya, berguling di lantai batu marmer, sebelum berhenti di kaki Lady Eilona.
Dengan senyum puas, Eilona mengambil mahkota itu dan mengenakannya di kepalanya. “Sekarang, kerajaan ini milikku,” katanya dengan nada penuh kemenangan.
Berita kematian Ratu Seraphina mengguncang seluruh istana, terutama Pangeran Vaelis. Saat ia mendengar kabar bahwa ibunya telah tiada, hatinya seolah hancur berkeping-keping. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa wanita yang selama ini menjadi pelindung dan cahaya hidupnya kini telah diambil darinya.
Namun, penderitaannya belum berakhir. Tak lama setelah itu, Raja Elandor, yang sepenuhnya di bawah kendali Eilona, memerintahkan pengusiran Pangeran Vaelis dari istana. “Kau tak punya tempat lagi di sini,” kata sang raja dengan dingin, seolah-olah Vaelis bukanlah darah dagingnya sendiri.
Vaelis berdiri terdiam di depan ayahnya, merasa seperti ditusuk dari belakang. “Ayah, apa kau tidak melihat apa yang telah dilakukan wanita itu? Bunda telah tiada, dan sekarang kau membuangku?”
Namun, Raja Elandor tak bergeming. “Eilona adalah ratu baru kerajaan ini. Kau harus menghormati keputusannya. Pergilah, Vaelis.”
Dengan hati yang penuh kemarahan dan kesedihan, Vaelis meninggalkan istana yang selama ini menjadi rumahnya. Ia diasingkan ke pinggiran kerajaan, dibuang dari kehidupannya sebagai pangeran. Tapi di dalam hatinya, api dendam mulai menyala. Ia bersumpah bahwa suatu hari ia akan kembali. Ia akan membalaskan dendam ibunya dan merebut kembali mahkota yang seharusnya menjadi milik Bunda Ratu.
Dan dari tempat pengasingannya, Vaelis mulai merencanakan semuanya.
Api Dendam yang Membara
Di sudut kerajaan yang jauh dari istana megah yang pernah menjadi rumahnya, Pangeran Vaelis mengasingkan diri. Kehidupan yang dulu penuh dengan kemewahan, tawa, dan cinta kini berganti dengan kesunyian dan kegetiran. Ia hidup sederhana, berbaur dengan penduduk desa yang tak mengenalinya sebagai putra mahkota yang dulu dihormati. Waktu seolah berjalan lambat, tapi di dalam hatinya, dendam tumbuh semakin kuat, menyelimuti setiap sudut pikirannya.
Setiap malam, bayangan wajah Bunda Ratu, Seraphina, terus menghantui tidurnya. Wajah ibunya yang lembut kini terukir dalam ingatannya sebagai lambang dari penderitaan dan rasa sakit. Dia tidak hanya kehilangan ibu, tapi juga kehilangan masa depannya sebagai pewaris takhta. Yang paling menyakitkan, ia harus melihat ayahnya—Raja Elandor—berubah menjadi bayangan dirinya sendiri, dikuasai sepenuhnya oleh penyihir yang licik, Lady Eilona.
Vaelis memegang cincin ibunya yang telah ia bawa bersamanya saat meninggalkan istana. Setiap kali ia merasakan lelah atau hampir putus asa, ia akan melihat cincin itu, mengingatkan dirinya akan janji yang telah ia buat: bahwa suatu hari ia akan kembali dan merebut apa yang seharusnya menjadi miliknya.
Tapi dendam saja tidak cukup. Vaelis tahu, untuk melawan Eilona dan sihirnya, ia butuh lebih dari sekadar tekad. Dia butuh kekuatan—kekuatan yang bisa melampaui sihir gelap yang menguasai istana. Dengan bantuan beberapa teman yang setia, Vaelis mulai mencari jalan keluar. Ia mendengar bisik-bisik tentang seorang penyihir tua bernama Zarkon yang tinggal di hutan belantara di perbatasan kerajaan. Konon, Zarkon adalah satu-satunya penyihir yang berhasil bertahan dari serangan Eilona bertahun-tahun lalu, dan kekuatannya bahkan bisa menandingi sihir hitam Eilona.
Tanpa ragu, Vaelis memutuskan untuk menemui penyihir tersebut. Malam itu, ia berangkat, menembus hutan lebat yang dipenuhi kabut dan bayang-bayang. Perjalanan itu penuh bahaya, tapi dendamnya yang membara membuatnya tak gentar. Ia harus menemui Zarkon.
Di tengah hutan yang sunyi, Vaelis akhirnya tiba di sebuah gubuk tua yang terbuat dari batu. Gubuk itu tampak tak terurus, ditutupi oleh lumut dan tumbuhan liar, namun ada aura magis yang memancar dari sekelilingnya. Pintu gubuk terbuka perlahan seolah sudah menunggu kedatangan sang pangeran. Vaelis masuk ke dalam, dan di sana, di depan perapian yang menyala redup, duduk seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan mata yang penuh kebijaksanaan.
“Sudah lama aku menunggu kedatanganmu, Pangeran Vaelis,” suara Zarkon terdengar serak namun berwibawa. “Dendam yang kau bawa ke mari begitu kuat hingga bisa kurasakan dari kejauhan.”
Vaelis langsung berlutut di hadapan penyihir tua itu, suaranya penuh harap dan keteguhan. “Aku butuh bantuanmu, Zarkon. Kerajaanku telah direbut oleh Lady Eilona, seorang penyihir yang membunuh ibuku dan menguasai ayahku. Aku ingin mengambil kembali takhtaku dan menghancurkan Eilona.”
Zarkon mengamati Vaelis dengan tatapan tajam. “Dendam adalah pedang bermata dua, anak muda. Jika kau tak berhati-hati, ia bisa menghancurkanmu sebelum kau mencapai tujuanmu. Namun, aku tahu hatimu penuh tekad.”
Penyihir tua itu berdiri dan berjalan menuju sebuah rak tua yang dipenuhi dengan buku-buku sihir kuno dan botol-botol berisi ramuan misterius. “Untuk mengalahkan Eilona, kau harus memahami satu hal: kekuatan sejati tidak berasal dari dendam, melainkan dari cinta dan keadilan. Tapi aku tahu, jalanmu tidak akan mudah. Eilona adalah penyihir yang sangat kuat, tapi dia tidak tak terkalahkan. Aku bisa memberimu sesuatu yang bisa membantumu.”
Zarkon mengambil sebuah botol kecil yang berisi cairan berwarna keemasan dan menyerahkannya kepada Vaelis. “Ini adalah ramuan pelindung yang akan melindungimu dari sihir hitam Eilona. Tapi ingat, ramuan ini hanya bisa digunakan sekali. Setelah itu, kau harus mengandalkan kekuatanmu sendiri.”
Vaelis menerima botol itu dengan penuh hormat. “Terima kasih, Zarkon. Aku tidak akan menyia-nyiakan bantuanmu.”
Penyihir tua itu menatap Vaelis dengan serius. “Satu hal lagi, Pangeran. Kau harus menyadari bahwa untuk mengalahkan Eilona, kau juga harus menghadapi ayahmu. Apakah kau siap menghadapi kemungkinan terburuk?”
Kata-kata Zarkon itu menusuk hati Vaelis. Ia tahu betul apa yang dimaksud oleh penyihir tua itu. Meski Raja Elandor telah berada di bawah kendali sihir Eilona, dia tetaplah ayah Vaelis. Namun, Vaelis sudah tidak punya pilihan lain. Ia harus merebut kembali kerajaan ini, walaupun itu berarti harus berhadapan dengan darah dagingnya sendiri.
“Aku sudah siap,” jawab Vaelis dengan suara penuh kepastian.
Zarkon mengangguk. “Kalau begitu, pergilah. Waktu kita tidak banyak.”
Setelah meninggalkan gubuk Zarkon, Vaelis melanjutkan perjalanannya menuju istana. Perasaan tegang dan antusias bercampur dalam dadanya. Langkah demi langkah yang ia ambil di jalan menuju kerajaan adalah langkah yang mendekatkan dirinya pada takdirnya. Dalam hati, ia mempersiapkan segala kemungkinan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi saat ia kembali ke istana. Ia hanya bisa berharap bahwa kekuatan yang ia kumpulkan cukup untuk mengalahkan Eilona dan menyelamatkan ayahnya.
Di tengah perjalanan, Vaelis berhenti di sebuah bukit yang menghadap langsung ke istana Astrara. Pemandangan istana dari kejauhan mengingatkan Vaelis pada semua kenangan indah masa kecilnya—masa-masa ketika ia dan ayahnya sering bermain di taman istana, saat sang bunda masih hidup dan kerajaan itu penuh dengan tawa dan kegembiraan.
Kini, istana itu tampak suram, diselimuti aura kegelapan yang terasa bahkan dari jarak yang begitu jauh. Lampu-lampu yang dulu bersinar terang kini tampak redup, seolah mencerminkan kondisi kerajaan yang sedang berada di bawah cengkeraman sihir hitam.
“Ini saatnya,” gumam Vaelis pada dirinya sendiri. Ia mengencangkan pegangan pada gagang pedangnya dan melangkah maju dengan penuh tekad.
Sementara itu, di dalam istana, Lady Eilona yang kini telah menjadi ratu baru berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengenakan mahkota yang dulu milik Ratu Seraphina, tersenyum dengan puas pada pantulan dirinya. Kini, dia memiliki segalanya—kekuasaan, takhta, dan kendali penuh atas kerajaan.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa Pangeran Vaelis belum mati. Dia bisa merasakan energi dendam yang semakin mendekat. Eilona tidak takut, tapi dia tahu bahwa Vaelis bukanlah ancaman yang bisa diabaikan begitu saja. Ia berencana untuk menghentikan pangeran itu sebelum dia sempat mencapai istana.
Dengan satu sapuan tangan, Lady Eilona membuka portal sihir di depannya. “Aku akan menunggu kedatanganmu, Pangeran Vaelis,” katanya dengan senyum licik. “Dan saat itu tiba, aku akan pastikan kau tidak akan pernah mengganggu kerajaanku lagi.”
Sementara itu, Raja Elandor yang terperangkap dalam kendali sihir, berjalan seperti boneka yang kehilangan jiwanya, tidak menyadari bahwa anaknya sedang dalam perjalanan untuk menyelamatkan kerajaan dan juga dirinya.
Mahkota untuk Bunda
Langkah Pangeran Vaelis semakin cepat ketika ia mendekati gerbang istana Astrara. Di bawah sinar bulan yang redup, ia menyelinap melalui jalur rahasia yang hanya ia dan beberapa orang kepercayaan yang tahu. Jalur itu dulu digunakan oleh Ratu Seraphina saat ingin menikmati waktu tenang di luar istana. Kini, jalur itu menjadi saksi bagi Vaelis yang bersiap merebut kembali kerajaan yang telah dikhianati.
Ketika akhirnya sampai di dalam tembok istana, Vaelis berhenti sejenak. Napasnya tersengal, namun hatinya tetap tegar. Dengan gagang pedang di tangannya, ia tahu ini adalah titik akhir dari semua penderitaan yang ia alami. Namun, sebelum ia melangkah lebih jauh, sebuah suara yang dalam dan penuh kekuatan terdengar di kegelapan.
“Vaelis,” suara itu bergema, dingin dan penuh sihir.
Lady Eilona telah menunggunya. Ia berdiri di tengah aula utama, tersenyum dingin dengan mata penuh tipu daya. Di sebelahnya, Raja Elandor tampak seperti boneka, tak berdaya dan tanpa kehidupan. Di atas kepala Eilona, mahkota Ratu Seraphina bersinar samar di bawah cahaya lilin.
“Kau benar-benar kembali, Pangeran,” kata Eilona, suaranya tenang namun mematikan. “Tapi sungguh sia-sia. Kau tidak akan pernah bisa menang melawan kekuatanku. Ayahmu sekarang milikku, dan mahkota ini—kerajaan ini—juga milikku.”
Vaelis menggertakkan giginya, kemarahan yang selama ini ia tahan mulai memuncak. “Kau salah, Eilona. Kerajaan ini milik keluargaku. Kau mungkin bisa mengendalikan ayahku, tapi kau tidak akan pernah bisa menguasai aku. Dan sekarang, aku di sini untuk mengakhiri semua ini.”
Lady Eilona terkekeh. “Kau terlalu percaya diri, Pangeran. Apakah kau pikir kekuatan kecil yang kau dapatkan dari penyihir tua itu cukup untuk mengalahkanku?”
Vaelis tidak membalas. Ia hanya menggenggam pedangnya lebih erat, mengingatkan dirinya pada semua hal yang telah ia pelajari dari Zarkon. Dengan hati-hati, ia meraih botol kecil berisi ramuan pelindung yang diberikan oleh Zarkon dan meneguknya. Dalam sekejap, tubuhnya terasa lebih ringan, dan aura magis mengelilinginya, melindungi dirinya dari sihir hitam Eilona.
Eilona melihat tindakan itu dengan senyum sinis, tapi kemudian wajahnya berubah serius. Dia bisa merasakan perubahan kekuatan dalam diri Vaelis. Penyihir itu mulai merapal mantra, udara di sekitarnya berubah dingin, dan bayangan-bayangan mulai berputar di sekitar aula. Dengan satu lambaian tangan, Eilona mengirimkan gelombang energi hitam ke arah Vaelis, berusaha menghancurkannya dalam satu serangan.
Namun, ramuan pelindung itu bekerja. Energi hitam yang dahsyat itu seolah terpantul dari tubuh Vaelis, dan dengan satu ayunan pedangnya, Vaelis memecahkan mantra yang dilemparkan Eilona. Sihir itu berhamburan ke udara, terhisap ke dalam bayangan-bayangan di sekitar mereka.
Lady Eilona tersentak kaget. Untuk pertama kalinya, dia melihat ketakutan di mata sang penyihir. “Kau berani menantangku?” teriak Eilona, kali ini suaranya penuh kemarahan. Dengan tangan yang gemetar, ia mulai merapal mantra lain, jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Tapi Vaelis tidak memberinya kesempatan. Dengan gerakan cepat, ia menerjang maju. Pedangnya berkilat di bawah cahaya lilin, menembus kabut sihir yang terus diciptakan Eilona. Dalam satu gerakan, ia berhasil menebas tongkat sihir yang digunakan Eilona untuk mengendalikan kekuatannya.
Eilona menjerit saat tongkat itu hancur berkeping-keping di tangannya. Sihir yang selama ini melindungi dirinya dan mengendalikan Raja Elandor mulai pudar. “Tidak! Ini tidak mungkin!” Eilona berteriak, mencoba merapal mantra terakhir untuk melarikan diri. Namun sebelum ia sempat melakukannya, Vaelis sudah berada di hadapannya, pedang terangkat tinggi.
“Dengan nama Bunda dan demi kerajaan ini,” gumam Vaelis, “aku mengakhirimu.”
Dengan satu tebasan terakhir, pedang Vaelis menembus hati Lady Eilona. Penyihir itu terjatuh, tubuhnya mulai hancur menjadi debu hitam yang terbang ke udara, lenyap bersama kegelapan yang selama ini menyelimutinya.
Saat Eilona menghilang, suasana di istana mulai berubah. Cahaya kembali bersinar dari dinding-dinding, dan aura kelam yang menyelimuti kerajaan mulai memudar. Raja Elandor jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal saat mantra yang selama ini menguasainya runtuh. Kesadarannya perlahan kembali, tapi tatapan matanya kosong, seolah baru tersadar dari mimpi buruk yang panjang.
“Vaelis…” Raja Elandor memanggil putranya, suaranya lemah dan penuh penyesalan.
Vaelis berdiri diam, memandang ayahnya dengan perasaan campur aduk. Ia ingin berlari dan memeluk ayahnya, tapi rasa sakit akibat pengkhianatan masih terlalu kuat. “Ayah… ini sudah berakhir,” kata Vaelis, suaranya dingin namun tegas.
Raja Elandor menunduk, air mata jatuh di pipinya. “Aku telah melakukan kesalahan besar… Aku telah kehilangan segalanya, termasuk ibumu…”
Tanpa berkata banyak, Vaelis berjalan menuju takhta, di mana mahkota Ratu Seraphina masih tergeletak. Mahkota itu—yang pernah menjadi simbol keadilan, cinta, dan kebijaksanaan—sekarang berada di tangan Vaelis. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya, menghapus sisa-sisa sihir kotor yang melekat padanya, dan membawa mahkota itu ke ruang kenangan yang terletak di bagian tertinggi istana.
Di sana, sebuah lukisan besar Ratu Seraphina tergantung, menghadap ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan seluruh kerajaan Astrara. Vaelis berhenti di depan lukisan itu, menatap wajah ibunya yang penuh cinta dan ketegasan.
Dengan penuh kehormatan, ia meletakkan mahkota tersebut di sebuah alas di depan lukisan itu, simbol pengorbanan dan cinta sejati ibunya. Mata Vaelis berkaca-kaca, tapi ia tetap berdiri tegar.
“Aku berhasil, Bunda,” bisiknya. “Kerajaan ini kembali milik kita. Aku janji, aku akan menjaga Astrara seperti yang pernah kau lakukan.”
Ia menatap keluar jendela, melihat matahari yang mulai terbit di ufuk timur, seolah-olah alam pun merayakan kembalinya cahaya di kerajaan Astrara.
Vaelis tahu, perjalanannya belum selesai. Kerajaan ini akan membutuhkan waktu untuk pulih, dan begitu pula hatinya. Namun, untuk pertama kalinya sejak kehilangan bundanya, ia merasakan ketenangan. Kerajaan yang ia cintai kembali berada di tangannya, dan mahkota Bunda Ratu kembali berada di tempat yang seharusnya.
Jadi gitu, guys, perjalanan Pangeran Vaelis buat balikin mahkota dan kerajaannya nggak gampang, tapi akhirnya dia berhasil dengan segala pengorbanan dan tekadnya. Mahkota Bunda Ratu kembali ke tempat yang layak, dan kerajaan Astrara bebas dari kegelapan.
Tapi ya, seperti hidup, nggak ada kemenangan tanpa luka, kan? Semua perjuangan Vaelis ini ngingetin kita kalau cinta, keadilan, dan warisan yang kita jaga itu lebih berharga dari apa pun. Siapa sangka, mahkota kecil itu nyimpen makna segede ini. Keren, ya?