Daftar Isi
Pernah gak sih, kamu merasa udah ngelakuin yang terbaik, tapi tetap aja hal-hal yang kamu inginkan gak tercapai? Kadang kita pikir minta maaf itu cukup buat perbaikin semuanya, tapi kenyataannya, gak semua kesalahan bisa diselesaikan dengan kata-kata.
Cerpen ini bakal ngingetin kamu kalau kadang, setelah banyak usaha dan harapan, kita harus siap menghadapi kenyataan yang keras. Jadi, simak yuk cerita tentang Rafka dan Arden ini, siapa tau kamu nemuin sesuatu yang relate.
Maaf Tak Lagi Cukup
Terlambat untuk Memahami
Hujan baru saja reda, menyisakan jejak basah di jalanan berbatu. Langit masih kelabu, seolah enggan mengizinkan matahari kembali bersinar sepenuhnya. Di depan sebuah kedai kopi yang tidak terlalu ramai, seorang pria berdiri diam. Ia tidak memedulikan udara dingin yang menusuk kulit atau langkah orang-orang yang sesekali menabraknya. Tangannya menggenggam ponsel erat, tapi ia bahkan tidak berani membuka pesan terakhir yang ia kirim sejak dua jam lalu.
“Arden, aku mau ketemu. Tolong kasih aku waktu sebentar aja.”
Tidak ada balasan. Tidak ada centang biru.
Rafka menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian yang entah kenapa terasa begitu berat. Dengan langkah pelan, ia mendorong pintu kaca kedai, membiarkan aroma kopi dan musik lembut menyapa indranya. Matanya langsung mencari sosok yang ia kenal terlalu baik—seseorang yang dulu selalu tersenyum setiap kali melihatnya masuk ke ruangan.
Di sudut dekat jendela, Arden duduk dengan punggung tegak. Wajahnya menghadap ke luar, menatap lalu lintas yang sibuk. Tangannya melingkari cangkir kopi yang sepertinya sudah lama dibiarkan dingin. Tidak ada ekspresi di wajahnya, tapi Rafka tahu bahwa di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang sedang dipendam.
Ragu-ragu, Rafka melangkah mendekat. Ia berhenti tepat di samping meja, berusaha mengatur napasnya yang terasa berantakan.
“Arden…”
Gadis itu tidak langsung menoleh. Ia hanya berkedip perlahan sebelum akhirnya menggeser pandangannya ke arah Rafka. Tidak ada kejutan, tidak ada emosi yang meledak—hanya tatapan tenang yang entah kenapa justru membuat Rafka semakin takut.
“Kamu datang,” Arden berkata singkat.
Rafka menelan ludah. “Aku minta waktu sebentar.”
Arden diam sejenak, lalu menghela napas pelan. Ia menyandarkan punggung ke kursi, kemudian mengangkat dagunya sedikit. “Duduklah kalau kamu mau ngomong.”
Rafka langsung menarik kursi di depannya dan duduk, meskipun perasaan gelisah masih menggelayut di dadanya. Ia menatap Arden, berusaha mencari sedikit celah di balik ketenangannya. Tapi gadis itu tetap sama—dingin, datar, dan sulit ditebak.
“Aku…” Rafka membuka mulut, tapi suara itu tersangkut di tenggorokannya.
Arden menaikkan satu alis. “Apa? Mau bilang sesuatu? Kalau iya, cepatlah. Aku nggak punya banyak waktu.”
Kalimat itu seharusnya sederhana, tapi bagi Rafka, rasanya seperti tamparan. Dulu, Arden selalu menyisihkan waktu untuknya. Tidak peduli seberapa sibuk gadis itu, ia selalu menunggu, selalu mengerti, selalu sabar. Tapi sekarang? Rafka tidak yakin ia masih memiliki tempat di kehidupan Arden.
“Aku cuma mau bilang… maaf.”
Arden tidak bereaksi. Ia hanya menatap Rafka, seolah menunggu lanjutan dari kalimatnya.
“Aku tahu aku banyak salah,” Rafka melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. “Aku tahu aku sering banget ngecewain kamu. Tapi aku nggak pernah bermaksud buat nyakitin kamu, Ren. Aku janji, aku nggak akan mengulang kesalahan yang sama.”
Arden tertawa kecil—bukan tawa yang menyenangkan, tapi lebih seperti seseorang yang sudah terlalu lelah untuk marah.
“Kamu tahu, Rafka?” katanya pelan. “Aku udah terlalu sering dengar janji itu.”
Rafka membeku di tempatnya.
“Kamu bilang ini terakhir kali, tapi selalu ada lagi. Selalu ada alasan. Selalu ada penjelasan yang katanya masuk akal. Aku harus menunggu, harus mengerti, harus memaklumi, seakan-akan aku nggak punya batas kesabaran,” Arden menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “dan aku bodoh karena dulu aku percaya.”
Rafka menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa kali ini berbeda, bahwa kali ini ia benar-benar serius. Tapi bagaimana Arden bisa percaya? Berapa kali ia sudah mengulang kata-kata yang sama?
“Aku nggak tahu harus gimana lagi supaya kamu percaya.”
Arden menatapnya, matanya basah tapi tidak ada air mata yang jatuh. “Mungkin bukan aku yang harus percaya, tapi kamu yang harus membuktikan.”
Rafka menunduk, merasa dadanya semakin sesak.
“Tapi kamu tahu yang lebih parah dari itu, Rafka?” Arden melanjutkan, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan.
“Apa?”
“Aku nggak yakin aku masih peduli.”
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rafka merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar kehilangan—yaitu disadari bahwa seseorang yang dulu mencintainya… kini sudah hampir tidak peduli lagi.
Hujan kembali turun di luar jendela, menimbulkan suara rintik-rintik lembut yang menggantikan keheningan di antara mereka. Tapi tidak ada yang berbicara.
Tidak ada lagi yang bisa dikatakan.
Janji yang Terlalu Sering Terucap
Cangkir kopi di meja Arden masih penuh. Tidak tersentuh sejak tadi, bahkan uap panasnya sudah lama menghilang. Rafka juga tidak menyentuh apa pun sejak ia duduk di sini. Hanya ada keheningan yang menggantung di antara mereka, sementara hujan di luar semakin deras, mengetuk jendela dengan irama yang kacau.
Arden menatap ke luar, matanya kosong. Rafka tidak tahan dengan diamnya.
“Kamu nggak bisa ngomong kayak gitu, Ren,” suaranya akhirnya terdengar. “Aku tahu aku banyak salah, tapi jangan bilang kamu udah nggak peduli.”
Arden masih tidak menoleh. “Kenapa? Kamu takut?”
Rafka mengerjap, tidak menyangka dengan respons itu.
Arden menghela napas, akhirnya menatapnya. “Aku dulu juga takut, Rafka. Takut kamu beneran pergi, takut hubungan kita nggak bisa diselamatkan, takut aku cuma berjuang sendirian. Tapi sekarang? Aku nggak tahu lagi. Mungkin aku udah terlalu capek buat takut.”
Kata-katanya tajam, seperti pisau yang menggores sesuatu di dalam dada Rafka.
“Aku masih mau berusaha, Ren,” Rafka berkata dengan suara pelan. “Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Arden menatapnya lekat-lekat, ekspresinya sulit ditebak. Seolah ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan di tenggorokannya.
“Jangan bilang kayak gitu, Raf,” suaranya terdengar lebih lelah dari sebelumnya.
“Tapi itu yang aku rasain.”
Arden tersenyum miris. “Kalau kamu beneran takut kehilangan aku, kamu nggak akan ngulangin kesalahan yang sama.”
Rafka menelan ludah.
“Aku—”
“Udah cukup,” Arden memotong, suaranya sedikit bergetar. “Aku udah dengar semua alasan, semua janji. Aku udah habis-habisan percaya sama kamu. Tapi ternyata, buat kamu, aku cuma seseorang yang selalu bisa nunggu.”
Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia tidak menangis.
“Kamu selalu bilang nggak akan ngulangin lagi,” lanjut Arden, suaranya lebih pelan. “Tapi kamu selalu ngelakuin hal yang sama. Aku berusaha buat nggak pergi, buat tetap ada. Tapi aku manusia, Raf. Aku capek nunggu sesuatu yang nggak pasti. Aku capek berharap orang yang aku percaya bakal berubah, tapi kenyataannya tetap sama.”
Rafka menunduk, jemarinya mengepal di atas meja.
“Aku berubah,” katanya, nyaris seperti bisikan. “Aku beneran mau berubah.”
Arden mengerutkan kening. “Terus kenapa kamu baru sadar sekarang?”
Pertanyaan itu menghantam Rafka seperti pukulan telak.
Ia tidak bisa menjawab. Karena kenyataannya, Arden benar.
Selama ini, Arden selalu ada. Selalu menunggu, selalu memberi kesempatan. Dan selama ini, Rafka selalu mengira gadis itu akan tetap ada. Ia tidak pernah berpikir bahwa Arden bisa sampai di titik di mana ia lelah.
Sekarang, semua penyesalan itu datang terlambat.
“Aku nggak tahu,” Rafka akhirnya menjawab, jujur. “Mungkin karena aku pikir kamu nggak bakal beneran pergi.”
Arden terdiam. Ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan—entah itu sakit, kecewa, atau sekadar rasa muak.
“Kamu salah,” katanya lirih. “Aku memang pergi, Raf. Aku udah pergi.”
Dan kali ini, bukan hanya Rafka yang merasa dadanya hancur. Karena ketika Arden mengucapkan itu, ia juga merasa sakit yang sama.
Tapi ia tahu, rasa sakit ini adalah sesuatu yang harus ia terima.
Karena tidak peduli berapa kali Rafka meminta maaf, tidak peduli berapa kali ia berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, beberapa hal memang sudah terlambat untuk diperbaiki.
Hujan semakin deras. Tapi di antara mereka, tidak ada lagi yang tersisa untuk dikatakan.
Kepergian yang Tidak Pernah Mudah
Arden menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah keluar dari kafe. Hujan masih turun, lebih deras dari sebelumnya, membuat udara terasa semakin dingin. Butiran air segera menyentuh kulitnya, membasahi rambut dan ujung jaketnya.
Langkahnya cepat, seolah ingin segera menjauh. Tapi setiap kali ia melangkah lebih jauh, sesuatu di dalam dirinya terasa berat—seakan-akan ada bagian dari dirinya yang tertinggal di meja itu, di depan seseorang yang sudah terlalu sering mengecewakannya.
Di belakangnya, Rafka tidak bergerak. Ia masih duduk di kursinya, menatap kosong ke arah cangkir kopi yang tidak pernah disentuh oleh Arden.
“Ren…” suaranya terdengar lemah, hampir tenggelam oleh suara hujan.
Arden berhenti, tapi ia tidak menoleh.
Rafka tahu, ini saatnya ia melakukan sesuatu. Ini saatnya ia mengejar, memohon, melakukan hal-hal yang selama ini selalu ia abaikan. Tapi tubuhnya tidak bisa bergerak.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rafka sadar bahwa kali ini bukan hanya Arden yang harus percaya padanya. Tapi dirinya sendiri pun tidak yakin kalau ia bisa berubah.
Tapi, menyerah begitu saja?
Tidak.
Ia tidak bisa membiarkan Arden pergi begitu saja. Tidak kali ini.
Dengan cepat, Rafka bangkit dan menyusulnya. Langkahnya tergesa-gesa, menerobos hujan, mendekat ke arah sosok yang masih berdiri diam di bawah lampu jalanan.
“Arden!”
Gadis itu tetap tidak menoleh.
“Arden, kumohon…” Rafka berhenti tepat di belakangnya. Napasnya memburu, entah karena berlari atau karena perasaan panik yang semakin kuat.
Arden akhirnya menoleh. Tatapannya datar, tidak ada amarah, tidak ada kesedihan yang berlebihan. Hanya lelah.
“Jangan pergi,” suara Rafka nyaris putus.
Arden mengerutkan kening. “Aku udah bilang, Raf. Aku pergi bukan karena aku benci kamu. Aku pergi karena aku harus.”
“Aku bisa berubah,” Rafka mencoba lagi, meskipun suaranya tidak sekuat yang ia harapkan.
Arden menatapnya lama. “Berapa kali kamu udah bilang itu?”
Rafka terdiam. Ia tidak punya jawaban yang cukup baik.
“Aku nggak bisa terus berharap kamu bakal berubah, Raf. Aku udah habis-habisan percaya, tapi setiap kali aku berharap, aku selalu kecewa.”
“Kali ini beda,” Rafka berusaha meyakinkan. “Aku tahu aku salah. Aku janji aku nggak akan mengulangin lagi.”
Arden tersenyum kecil. Tapi bukan senyum yang penuh harapan, melainkan senyum seseorang yang sudah terlalu sering mendengar hal yang sama.
“Kamu tahu, Raf?” katanya pelan. “Permintaan maaf itu cuma berarti kalau orangnya beneran nggak ngulangin kesalahan yang sama.”
Seketika, kata-kata itu menampar Rafka lebih keras daripada apa pun.
Dulu, Arden adalah seseorang yang akan melakukan apa saja agar mereka tetap bersama. Seseorang yang akan memaafkan, memberi kesempatan, bertahan bahkan ketika semuanya terasa sulit.
Tapi gadis itu tidak bisa selamanya menjadi orang yang bertahan sendirian.
Arden menunduk, menatap jalanan basah di bawahnya. “Aku nggak bilang aku benci kamu, Raf. Aku nggak bilang aku nggak peduli lagi. Tapi aku capek.”
Rafka menatapnya, hatinya terasa sesak. “Jadi… ini udah benar-benar selesai?”
Arden menghela napas, matanya berkabut. “Aku nggak tahu, Raf. Aku cuma tahu kalau saat ini… aku nggak bisa terus berada di tempat yang sama, berharap hal yang sama, tapi akhirnya tetap terluka dengan cara yang sama.”
Suasana di antara mereka hening. Hanya suara hujan yang menemani, menyapu jalanan dengan irama yang sendu.
Rafka merasa dadanya begitu berat.
Arden akhirnya melangkah mundur, lalu berbalik. “Jaga diri kamu baik-baik, Raf.”
Dan kali ini, ia benar-benar pergi.
Rafka tidak mengejarnya lagi. Tidak ada gunanya lagi memanggil namanya, memohon atau berjanji. Karena di titik ini, ia tahu satu hal yang pasti:
Beberapa kesalahan memang tidak bisa diperbaiki hanya dengan kata maaf.
Maaf yang Tak Lagi Cukup
Rafka masih berdiri di tempatnya, membiarkan hujan terus mengguyur tubuhnya. Dingin meresap ke dalam kulit, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil—melainkan kenyataan bahwa Arden benar-benar pergi.
Bukan hanya pergi dalam arti fisik, tapi pergi dari hidupnya.
Dan kali ini, Rafka tahu tidak ada lagi jalan untuk mengembalikannya.
Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana. Beberapa orang yang melintas sempat menatapnya heran, beberapa pengendara menurunkan kaca mobilnya sejenak, mungkin mengira ia sedang menunggu seseorang. Tapi Rafka hanya berdiri diam, menatap ke kejauhan, berharap keajaiban terjadi.
Namun, tidak ada keajaiban. Tidak ada Arden yang kembali berlari ke arahnya, memaafkannya seperti dulu. Tidak ada lagi kesempatan kedua, ketiga, atau keempat.
Yang tersisa hanyalah penyesalan.
Hari-hari berlalu, tapi bayangan Arden tidak pernah benar-benar hilang.
Rafka mencoba menghubunginya, tapi pesan-pesannya tidak pernah dibalas. Panggilannya selalu berakhir di kotak suara. Bahkan media sosial Arden seakan ikut bungkam, tidak ada unggahan baru, tidak ada tanda-tanda keberadaannya.
Satu-satunya yang tersisa hanyalah kenangan.
Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada kemarahan atau kebencian.
Suatu hari, Rafka akhirnya menemukan keberanian untuk datang ke tempat yang selama ini selalu ia hindari—apartemen Arden.
Ia tidak berharap banyak. Ia hanya ingin melihatnya, bahkan jika itu hanya dari kejauhan.
Tapi saat sampai di sana, ia justru disambut oleh pemandangan yang tidak ia duga.
Pintu apartemen itu terbuka, dan seseorang yang bukan Arden berdiri di ambang pintu.
Seorang pria.
Pria itu bukan orang asing. Rafka mengenalnya—bukan secara personal, tapi cukup untuk tahu siapa dia.
Rio.
Teman lama Arden. Seseorang yang dulu pernah Rafka abaikan keberadaannya karena ia terlalu yakin bahwa Arden hanya akan memilihnya.
Tapi sekarang?
Melihat pria itu berdiri di sana, dengan kaus longgar dan rambut sedikit berantakan seolah baru bangun tidur, Rafka langsung tahu.
Arden sudah benar-benar melepaskan dirinya.
Dan kali ini, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubahnya.
Malam itu, Rafka duduk sendirian di kamarnya, menatap layar ponselnya yang penuh dengan pesan tak berbalas.
Ia ingin marah, tapi kepada siapa?
Ia ingin menyalahkan keadaan, tapi ia tahu ini bukan salah siapa-siapa.
Ia ingin memutar waktu, tapi hidup tidak pernah semudah itu.
Jadi yang bisa ia lakukan hanyalah menerima.
Menerima bahwa beberapa kesalahan memang tidak bisa diperbaiki hanya dengan kata “maaf”.
Menerima bahwa ketika seseorang sudah cukup lelah, ia tidak akan menunggu lagi.
Dan menerima bahwa kali ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar kehilangan Arden.
Bukan karena orang lain.
Tapi karena dirinya sendiri.
Mungkin ini yang namanya hidup, ya. Kadang kita berjuang keras buat sesuatu yang kita anggap penting, tapi pada akhirnya kita belajar kalau ada hal-hal yang emang gak bisa dipaksain.
Rafka dan Arden mungkin gak akan pernah ketemu lagi, tapi siapa tahu, kita semua bisa belajar buat lebih berhati-hati dalam bertindak. Kalau kamu pernah merasa kayak Rafka, jangan sedih, karena kamu gak sendiri. Kalau kamu bisa maafin orang lain, semoga suatu saat nanti kamu juga bisa maafin dirimu sendiri.


