Lutfan dan Angin Puting Beliung: Ketika Kehidupan Berubah Dalam Sekejap

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada yang tau nggak nih yang ketika badai menghancurkan segalanya, apa yang bisa kita lakukan? Inilah kisah Lutfan, seorang anak SMA yang gaul dan aktif, yang berjuang untuk bangkit dari kehilangan orang tua.

Dalam cerita sedih ini, kita akan menyaksikan bagaimana Lutfan, meskipun menghadapi cobaan yang berat, tidak hanya mencari harapan untuk dirinya sendiri tetapi juga berusaha membantu anak-anak yang mengalami nasib serupa. Bergabunglah dalam perjalanan emosionalnya, di mana setiap langkah menuju kebangkitan adalah perjuangan yang penuh makna. Bacalah selengkapnya dan temukan inspirasi dari semangat juang Lutfan!

 

Lutfan dan Angin Puting Beliung

Hari yang Cerah Sebelum Badai

Hari itu, matahari bersinar cerah di langit biru, memancarkan kehangatan yang menyelimuti kota kecil tempat Lutfan tinggal. Suara tawa dan obrolan riang teman-temannya memenuhi halaman sekolah, menciptakan suasana penuh semangat di antara mereka. Lutfan, dengan rambut hitam berantakan dan senyum lebar yang selalu menghiasi wajahnya, adalah salah satu bintang di kelompok itu. Ia adalah anak yang gaul, aktif, dan memiliki banyak teman. Tak ada yang lebih menyenangkan bagi Lutfan selain bersosialisasi dan bercanda bersama sahabat-sahabatnya.

Setelah mengikuti pelajaran di kelas, Lutfan dan teman-temannya berkumpul di bawah pohon mangga besar yang rindang. Mereka berbagi cerita tentang rencana akhir pekan yang penuh petualangan dan bermain bola di lapangan. “Kita harus ke pantai! Pasti seru banget!” seru Riko, salah satu sahabat Lutfan, dengan mata berbinar penuh semangat. Semua setuju, termasuk Lutfan yang bersemangat mengangguk. Mereka berjanji untuk menghabiskan waktu bersama dan membuat kenangan baru.

Namun, di balik keceriaan itu, ada suara halus yang tidak bisa Lutfan abaikan. Suara itu datang dari arah langit yang terlihat aneh. Ia melirik ke atas dan melihat awan gelap mulai mengumpul di kejauhan. Dalam benaknya, Lutfan menganggap ini hanyalah cuaca biasa yang sering terjadi. “Mungkin hujan sebentar, tapi tidak masalah!” pikirnya. Dia tidak ingin mengganggu suasana hati teman-temannya.

Sore hari, saat mereka berpisah, Lutfan merasa ada yang tidak beres. Angin mulai bertiup kencang, dan awan gelap semakin mendekat. “Lutfan, kamu pulang hati-hati ya!” teriak Nia, salah satu teman perempuannya, sambil melambaikan tangan. Lutfan tersenyum dan mengangguk. Dia merasa beruntung memiliki teman-teman yang selalu peduli.

Dalam perjalanan pulang, Lutfan merasakan ketidak nyamanan. Suara angin yang berbisik dan daun-daun yang berdesir seolah-olah memperingatkannya tentang sesuatu yang akan datang. Saat sampai di rumah, Lutfan segera membereskan tasnya dan menyalakan televisi. Berita di layar menampilkan gambar-gambar mengkhawatirkan. “Waspada angin puting beliung! Badai ini diprediksi akan melanda daerah kita dalam beberapa jam ke depan!” suara pembawa berita terdengar jelas dan mengguncang hati Lutfan.

“Puting beliung?” kata Lutfan dalam hati, menyadari betapa seriusnya situasi ini. Dia segera menghubungi ibunya yang sedang bekerja. “Bu, ada berita tentang badai! Apakah kita harus siap-siap?” Suara ibunya terdengar panik. “Ya, Nak. Segera cari tempat aman dan pastikan semua barang penting sudah disimpan!” kata ibunya sebelum memutuskan untuk bisa menutup telepon.

Lutfan bergegas berlari ke luar, merasakan angin yang semakin kencang, seolah-olah ingin menariknya pergi. Dia berlari ke rumah tetangganya yang lebih besar dan lebih aman. Teman-temannya pun terlihat berlarian mencari perlindungan. Kecemasan mulai merayapi hati Lutfan. Dia mengumpulkan semua temannya di rumah tetangga tersebut, berharap semuanya baik-baik saja.

Namun, saat mereka semua berkumpul, langit semakin gelap dan suara gemuruh mulai terdengar. Lutfan berusaha menenangkan teman-temannya yang terlihat panik. “Tenang, guys! Kita pasti bisa melalui ini bersama-sama!” teriaknya dengan suara penuh keyakinan, meskipun hatinya bergetar ketakutan.

Satu detik, dua detik, Lutfan merasakan atmosfer berubah dengan sangat cepat. Angin semakin kencang, diikuti suara seperti teriakan dari jauh. Dia tidak pernah merasakan ketegangan seperti itu sebelumnya. Dalam sekejap, suasana cerah yang mereka nikmati siang tadi berubah menjadi malam kelam yang mengerikan.

Sebelum mereka sempat menyadari, angin puting beliung datang menerjang dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Lutfan dan teman-temannya terpaksa berpegangan satu sama lain, berharap dan berdoa agar badai ini segera berlalu. Namun, di dalam hati Lutfan, ia tahu bahwa hari yang cerah ini akan dikenang sebagai hari yang mengubah segalanya. Dan dari situ, perjuangan baru akan dimulai, membawa mereka ke dalam perjalanan yang penuh dengan harapan dan kehilangan.

 

Dentuman yang Mengubah Segalanya

Dentuman mengerikan itu mengguncang rumah tetangga tempat Lutfan dan teman-temannya bersembunyi. Suara angin menggelegar seakan menggenggam seluruh dunia dalam cengkeramannya. Lutfan memejamkan matanya sejenak, berdoa agar semuanya baik-baik saja. “Kita akan baik-baik saja,” bisiknya kepada dirinya sendiri, meskipun hati kecilnya meragukan.

Angin puting beliung melibas semua yang ada di jalannya, suara berderak dari atap, ranting-ranting pohon yang patah, dan kaca yang pecah memenuhi telinga mereka. Dalam kegelapan yang semakin menyelimuti, Lutfan merasakan kekhawatiran dan ketidakpastian. Teman-temannya berpegangan satu sama lain, ketakutan tampak jelas di wajah mereka. Ia bisa merasakan sebuah detak jantungnya yang kini semakin cepat.

Lutfan mencoba mengalihkan perhatian teman-temannya. “Ayo, kita nyanyi lagu favorit kita!” teriaknya. Suaranya berusaha tetap ceria meskipun dalam keadaan mencekam. Teman-temannya mengikuti, menyanyikan lagu-lagu ceria dengan suara parau, namun dalam hati mereka semua tahu bahwa ini bukan saat yang baik untuk bersenang-senang.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dentuman keras terakhir membuat semuanya terdiam. Angin mereda seolah lelah setelah mengamuk. Suasana hening, namun ketegangan masih terasa. “Apakah kita sudah aman?” tanya Riko dengan nada ragu. Lutfan hanya bisa mengangguk. Dia juga tidak yakin.

Mereka mulai berani mengintip keluar, dan pandangan mereka terperangkap pada pemandangan yang mengerikan. Pohon-pohon tumbang, atap-atap rumah yang hancur, dan jalanan dipenuhi puing-puing. “Apa yang terjadi?” lirih Nia, air matanya mengalir di pipi. Lutfan menundukkan kepala, menahan air mata yang ingin jatuh. “Ini… ini mengerikan,” gumamnya.

Dengan langkah hati-hati, mereka keluar dari tempat persembunyian mereka. Hati Lutfan berdebar, dan rasa takut menghantuinya. “Kita harus memastikan semuanya baik-baik saja,” katanya sambil berusaha menguatkan diri dan teman-temannya. Ketika mereka berjalan menuju rumah Lutfan, suasana sunyi membuatnya merasa tidak nyaman. Dia merasa seolah-olah sesuatu yang semakin buruk telah terjadi.

Sesampainya di rumah, pemandangan yang mereka lihat membuat hati Lutfan hancur. Rumahnya, tempat di mana ia tumbuh dan bermain, kini hancur berantakan. Dinding yang dulunya sangat kuat sekarang sudah terpapar, dan barang-barang di dalamnya sudah berserakan, terhempas oleh badai. “Ibu!” teriak Lutfan tanpa sadar. Ketakutan mulai menyelimuti jiwanya. Ia berlari ke dalam, mencari-cari sosok ibunya.

“Bu! Di mana kamu?” Lutfan berteriak, suaranya menggema dalam kekacauan. Teman-temannya mengikuti, membantu mencari. Hati mereka dipenuhi kekhawatiran. Nia mengusap air matanya, sementara Riko berusaha menenangkan semua orang. “Tenang, kita pasti bisa menemukannya,” ujarnya meski ia sendiri terlihat panik.

Lutfan berlari ke setiap ruangan, meraba puing-puing yang ada, dan berdoa dalam hati agar ibunya selamat. Namun, setiap langkah yang diambilnya semakin membuatnya terperangkap dalam ketakutan. Hatinya terasa semakin berat, dan rasa sakit mulai menyebar di dadanya. Seolah-olah seluruh dunia terhempas bersamanya.

Akhirnya, setelah mencari dalam kegelapan dan kebisingan, Lutfan menemukan ibunya terbaring di sudut ruangan. Ia langsung berlari menghampiri, hatinya bergetar. “Ibu! Ibu!” teriaknya dengan suara penuh kepanikan. Ibunya membuka matanya, tetapi wajahnya pucat dan kesakitan. “Lutfan…,” suara ibunya lirih, penuh kekhawatiran.

“Bu, kamu di mana? Kita harus keluar dari sini!” Lutfan berusaha membantu ibunya berdiri, tetapi kakinya tidak kuat. Ia merasakan air mata jatuh di pipinya. “Kita tidak bisa tinggal di sini, Bu!” desaknya, berusaha menguatkan ibunya yang terlihat sangat lemah.

Dengan segenap kekuatan, Lutfan mengangkat ibunya dan berusaha membawa keluar. Teman-temannya segera membantu, meskipun mereka juga ketakutan. Mereka melangkah keluar dari rumah yang telah menjadi puing-puing, hati mereka dipenuhi rasa cemas dan sedih. Lutfan melihat sekeliling, dan melihat kerusakan di mana-mana. Hal ini bukan hanya tentang rumahnya, tetapi juga tentang harapan dan kenangan yang kini hancur.

Ketika mereka sampai di luar, Lutfan melihat wajah-wajah yang sama terkejut dan bingung seperti mereka. Tidak hanya dia yang kehilangan segalanya, banyak keluarga lain juga. Dalam kesedihan yang mendalam, Lutfan menyadari bahwa badai bukan hanya menghancurkan fisik, tetapi juga semangat dan harapan mereka.

Lutfan berusaha menenangkan ibunya dan teman-temannya. “Kita akan bangkit lagi, Bu. Kita akan membangun semuanya kembali!” ucapnya dengan keyakinan, meskipun hatinya merasa sangat berat. Dalam hati, ia berjanji untuk tidak menyerah. Meski hari ini terasa sangat kelam, dia tahu bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Bersama teman-temannya, dia akan berjuang untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan.

 

Kebangkitan di Tengah Kesedihan

Hari-hari setelah bencana itu berlalu dalam kesedihan yang mendalam. Lutfan tidak bisa menghapus gambaran mengerikan dari ingatannya ruang tamu yang hancur, barang-barang yang berserakan, dan wajah ibunya yang penuh rasa sakit. Meski dunia di luar mulai terlihat kembali normal, bagi Lutfan, segalanya terasa suram. Ia kehilangan bukan hanya rumah, tetapi juga kehangatan dan kenyamanan yang biasanya menyelimuti kehidupannya.

Sejak hari bencana itu, Lutfan dan ibunya terpaksa tinggal di rumah neneknya. Meskipun neneknya berusaha untuk membuat mereka merasa diterima, Lutfan merindukan rumahnya sendiri, tempat di mana dia tumbuh besar. Dia merasa terasing, seperti burung yang kehilangan sarangnya. Di sekolah, teman-temannya berusaha menghiburnya, tetapi hatinya tetap terasa hampa. “Lutfan, ayo main bola setelah sekolah!” ajak Riko, berharap bisa mengalihkan perhatiannya. Namun, Lutfan hanya tersenyum lemah. “Nanti ya, Riko. Aku capek.”

Setiap malam, Lutfan terbangun dengan mimpi buruk gelombang angin yang mengamuk dan suara dentuman yang memekakkan telinga. Ia terbangun dengan jantung berdebar, merasa terjebak dalam kenangan kelam. Malam-malam itu menjadi saksi kesedihannya. Meskipun ibunya berusaha menghiburnya, Lutfan merasakan berat di dalam dadanya. “Kenapa ini harus terjadi, Bu?” tanyanya suatu malam, ketika mereka sedang duduk bersama di ruang tamu neneknya.

“Iya, Nak. Ini memang sangat berat, tetapi kita masih punya satu sama lain. Kita harus kuat,” jawab ibunya dengan suara bergetar. Namun, Lutfan merasakan kepedihan dalam kata-katanya. Tidak ada yang bisa menggantikan rumah mereka.

Suatu sore, saat Lutfan duduk di sudut lapangan sekolah, dia melihat anak-anak lain bermain dengan ceria. Mereka tertawa dan bersenang-senang, sementara Lutfan hanya bisa mengamati dari jauh. Rasa cemburu dan kesedihan menyelimuti dirinya. Mengapa mereka bisa begitu bahagia sementara dia merasa seperti terjebak dalam kegelapan? Tiba-tiba, Nia datang dan duduk di sampingnya. “Kenapa kamu di sini sendirian, Lutfan?” tanyanya.

“Gak tahu, Nia. Rasanya semua orang baik-baik saja, tapi aku… aku merasa kehilangan segalanya,” jawab Lutfan dengan jujur. Air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku rindu rumahku, rindu semuanya.”

Nia mengangguk, memahami rasa sakit yang dialami Lutfan. “Aku tahu ini sulit, tetapi kamu tidak sendirian. Kami semua ada di sini untukmu,” ucapnya lembut. Satu kalimat sederhana itu mengingatkan Lutfan bahwa, meskipun rumahnya hancur, persahabatan dan cinta tetap ada di sekelilingnya.

Mendengar kata-kata Nia, Lutfan merasa sedikit terhibur. Namun, di dalam hati, dia masih merasakan ketidakpastian. Pada malam hari, dia memutuskan untuk menuliskan perasaannya di sebuah buku catatan kecil yang sering dia gunakan. Dia mulai menuangkan segala yang dirasakannya—rindu, kesedihan, harapan. Menulis membuatnya merasa lebih baik, seolah-olah ia bisa melepaskan beban yang ada di hatinya.

Hari-hari berlalu, dan pelan-pelan Lutfan mulai beradaptasi dengan kehidupannya yang baru. Ia kembali ke sekolah dengan semangat untuk berusaha lebih baik, meskipun hatinya masih menyimpan duka. Dia bergabung kembali dengan teman-temannya dalam kegiatan ekstrakurikuler dan mulai aktif dalam komunitas di sekolah. Dia merasa ada harapan baru saat melihat teman-temannya saling mendukung satu sama lain.

Suatu hari, di kelas seni, mereka diberikan tugas untuk membuat mural tentang kebangkitan setelah bencana. Lutfan merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya. Dia meminta izin kepada guru untuk menggambar sesuatu yang berhubungan dengan apa yang dia alami. “Saya ingin menggambar tentang harapan, tentang bangkit dari kegelapan,” ucapnya.

Saat menggambar, semua kenangan buruk tentang badai dan kehancuran mulai muncul, tetapi ia berusaha menyalurkannya menjadi sesuatu yang positif. Dia menggambar langit cerah dengan matahari bersinar, anak-anak bermain di taman, dan pohon-pohon yang tumbuh subur. Di tengah mural, ia menambahkan gambar dirinya dan ibunya, tersenyum di antara semua keceriaan. Mural ini menjadi simbol harapan bagi Lutfan dan teman-temannya.

Ketika mural selesai, Lutfan merasakan kebanggaan yang luar biasa. Melihat hasil karyanya, dia merasa seolah-olah dia telah berhasil mengungkapkan perasaannya yang mendalam. Mural itu menjadi pusat perhatian di sekolah, dan banyak yang datang untuk melihatnya. “Lutfan, kamu benar-benar hebat!” puji Riko. Lutfan hanya tersenyum, merasa sedikit lebih ringan.

Setiap kali dia melihat muralnya, dia teringat bahwa meskipun hidupnya telah hancur, ada harapan untuk membangunnya kembali. Dia mengerti bahwa setiap orang mengalami kesedihan, tetapi kekuatan untuk bangkit ada di dalam diri kita sendiri. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak hanya berjuang untuk dirinya, tetapi juga untuk ibunya, teman-temannya, dan semua orang yang kehilangan harapan setelah bencana itu.

Ketika senja menjelang, Lutfan kembali ke rumah neneknya, perasaan hatinya lebih tenang. Dalam perjalanan, dia menyadari bahwa meskipun badai telah menghancurkan rumahnya, dia masih memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungnya. “Kita akan membangkitkan semuanya,” bisiknya kepada diri sendiri. Meskipun jalan di depan penuh tantangan, dia bertekad untuk tidak menyerah. Dia akan berjuang, dan dengan harapan baru, Lutfan siap menghadapi apa pun yang akan datang.

 

Jalan Menuju Harapan

Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan meskipun Lutfan berusaha untuk tetap tegar, ada kalanya kenangan tentang badai menghantui pikirannya. Mural yang dia lukis di sekolah menjadi simbol harapannya, tetapi setiap kali dia melihat gambar dirinya dan ibunya tersenyum di dalamnya, rasa sakit itu kembali mengingatkannya pada kehilangan yang masih membekas. Dia tahu, dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kesedihan, tetapi terkadang hati ini sulit untuk diajak berdamai.

Satu sore, saat pulang dari sekolah, Lutfan melihat kelompok anak-anak di kompleks rumah neneknya sedang bermain sepak bola. Mereka terlihat sangat ceria, suara tawa mereka memenuhi udara, mengusir kesedihan yang menggelayuti pikirannya. Dalam hati, dia ingin sekali bergabung dan melupakan sejenak beban yang dia bawa. Namun, rasa canggung dan ketidakpastian membuatnya ragu. Akhirnya, dia memutuskan untuk duduk di bangku taman yang sepi, mengamati mereka dari jauh.

Tiba-tiba, Riko menghampirinya. “Lutfan! Kenapa kamu duduk di sini? Ayo, main bola!” serunya penuh semangat. Lutfan tertegun sejenak. “Aku tidak tahu, Riko. Mungkin aku tidak bisa bermain dengan baik lagi,” jawabnya pelan. Riko menggelengkan kepala, “Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Yang penting kita bersenang-senang! Ayo, gabung!”

Dengan sedikit dorongan dari sahabatnya, Lutfan akhirnya memutuskan untuk bergabung. Saat dia berlari ke lapangan, teriakan gembira dari teman-temannya menghapus rasa canggung yang menggerogotinya. Satu persatu, mereka melambai dan mengajaknya ikut bermain. Dalam sekejap, Lutfan merasa seolah beban di bahunya sedikit terangkat. Dia berlari, menendang bola, dan tertawa menikmati momen kebersamaan yang telah lama hilang dari hidupnya.

Namun, di tengah kesenangan, ada saat-saat di mana ingatan akan badai dan kehilangan kembali menghampiri. Suatu kali, ketika Lutfan berhasil mencetak gol, dia merasakan semangatnya kembali hidup. Dia melompat dengan gembira, tetapi ketika dia menoleh, wajah ibunya yang khawatir muncul di pikirannya, dan seketika kebahagiaannya terasa pudar. Meskipun dia berusaha untuk mengalihkan pikiran, bayangan itu kembali mengekangnya.

Ketika malam tiba, Lutfan duduk di kamarnya yang kecil di rumah neneknya. Dia memandang muralnya yang tergantung di dinding. Karya itu terlihat lebih hidup dari sebelumnya, seolah menggambarkan harapan yang tak kunjung padam. Namun, dia tahu bahwa harapan itu tidak cukup hanya dengan menggambar. Dia harus berjuang lebih keras untuk mewujudkannya.

Malam itu, Lutfan memutuskan untuk meneliti tentang kegiatan sosial di sekolahnya. Dia ingin terlibat lebih banyak dengan teman-temannya dan berkontribusi dalam membantu anak-anak yang juga mengalami kesulitan setelah bencana. Dia mulai merancang sebuah program penggalangan dana untuk membantu anak-anak yatim piatu dan keluarga yang kehilangan rumah mereka. Semangatnya berkobar ketika dia membayangkan apa yang bisa dia lakukan bersama teman-temannya.

Keesokan harinya, Lutfan mengajak Riko dan Nia untuk membahas rencananya. Mereka duduk di kantin sekolah, membahas ide-ide kreatif untuk menarik perhatian teman-teman mereka. “Bagaimana kalau kita adakan bazaar amal? Kita bisa menjual makanan dan barang-barang bekas, lalu hasilnya kita donasikan!” usul Nia dengan antusias. “Itu ide yang bagus! Kita juga bisa mengajak orang-orang di komunitas untuk berpartisipasi,” tambah Lutfan.

Setelah berhari-hari merencanakan, bazaar amal pun dilaksanakan. Lutfan dan teman-temannya bekerja keras mempersiapkan semuanya. Mereka membuat poster, mengumpulkan donasi, dan mengatur tempat. Saat hari H tiba, mereka melihat antusiasme yang luar biasa dari teman-teman sekelas mereka dan warga sekitar. Mereka semua berkumpul dengan semangat untuk memberikan sumbangsih bagi yang membutuhkan.

Saat bazaar berlangsung, Lutfan merasa bangga melihat semua orang saling membantu dan berkontribusi. Meski di tengah keramaian, dia tidak bisa menghilangkan rasa cemas. Dia merasa teringat pada masa-masa sulitnya bencana yang telah menghancurkan segalanya. Namun, ketika dia melihat senyum di wajah anak-anak yang datang, rasa cemas itu perlahan-lahan sirna. “Ini semua untuk mereka,” bisiknya dalam hati.

Saat bazaar berakhir, Lutfan dan teman-temannya berhasil mengumpulkan dana yang lebih besar dari yang mereka targetkan. Rasa haru menyelimuti mereka saat mereka menyaksikan hasil kerja keras yang membuahkan hasil. Lutfan merasakan kebanggaan yang mendalam. Dia tahu bahwa meskipun hidupnya mungkin tidak sempurna, dia masih memiliki kesempatan untuk membuat perbedaan, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain yang juga berjuang.

Di tengah perjalanan pulang, Lutfan teringat pada ibunya yang sedang menunggu di rumah neneknya. Dia berjanji pada diri sendiri untuk terus berjuang, tidak hanya untuk membahagiakan dirinya, tetapi juga untuk membahagiakan ibunya. Sambil melangkah dengan penuh harapan, dia berbisik, “Kita akan baik-baik saja, Bu. Kita akan bangkit bersama-sama.” Dengan tekad baru yang membara, Lutfan siap menghadapi apa pun yang akan datang. Dia tahu, meskipun badai mungkin telah merusak segalanya, tetapi harapan itu akan selalu ada, dan dia tidak akan berhenti berjuang.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Lutfan mengajarkan kita bahwa meski badai kehidupan bisa datang kapan saja, semangat untuk bangkit dan berbagi dengan sesama adalah kunci untuk melewati masa sulit. Dengan keteguhan hati dan dukungan dari teman-teman, Lutfan tidak hanya menemukan harapan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menjadi cahaya bagi orang lain yang membutuhkan. Mari kita ambil hikmah dari kisah ini dan ingat bahwa di balik setiap kesedihan, selalu ada kesempatan untuk berjuang dan memberi arti pada kehidupan kita. Semoga cerita Lutfan menginspirasi kita semua untuk terus berjuang, tidak peduli seberapa besar badai yang menghadang!

Leave a Reply