Luka yang Tak Pernah Berbisik: Kisah Pengorbanan Istri yang Menyentuh Hati

Posted on

Menyelami dunia cerita penuh emosi, Luka yang Tak Pernah Berbisik mengisahkan perjuangan Dinda Sarwasti, seorang istri yang menahan luka batin demi cinta dan keluarga. Dengan alur yang mendalam dan detail yang memikat, cerpen ini menggambarkan pengorbanan, pengkhianatan, dan keberanian seorang perempuan untuk bangkit dari patah hati. Artikel ini akan mengupas pesona cerita yang mengharukan ini, mengapa Anda wajib membacanya, dan pelajaran berharga tentang cinta serta harga diri yang tersembunyi di dalamnya.

Luka yang Tak Pernah Berbisik

Bayang di Balik Senyum Dinda

Langit senja di desa Kalisemoyo mengguratkan warna jingga yang lembut, seolah-olah alam sedang berusaha menghibur Dinda Sarwasti. Wanita berusia 29 tahun itu berdiri di beranda rumah kayu sederhana, tangannya memegang secangkir teh melati yang sudah dingin. Matanya menatap ke arah jalan tanah yang membelah sawah, menanti sosok Raditya Mahardana, suaminya, yang belum juga pulang meski jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan, tapi tak mampu mengusir kegelisahan yang menggerogoti hati Dinda.

Dinda adalah perempuan dengan kecantikan yang tak mencolok namun memesona. Rambutnya yang hitam legam selalu disanggul rapi, menampakkan leher jenjang yang sering memerah saat ia gugup. Matanya, cokelat tua dengan bulu mata lentik, seolah menyimpan rahasia yang tak pernah ia izinkan keluar. Ia mengenakan kebaya sederhana berwarna krem, lengan panjang yang menyembunyikan luka-luka kecil di lengannya—luka yang bukan dari pisau dapur atau duri tanaman, melainkan dari cerita yang tak pernah ia bagi dengan siapa pun.

“Dinda, kapan Radit pulang? Makan malam sudah siap, lho,” suara lembut Mak Sari, ibu mertuanya, menggema dari dapur. Wanita tua itu sedang mengaduk sayur kolplay di wajan, aroma bawang goreng menyebar ke seluruh rumah.

“Sebentar lagi, Mak. Mungkin Radit mampir ke bengkel Pak Tarmizi,” jawab Dinda, suaranya tenang meski hatinya bergetar. Ia tahu Raditya tidak di bengkel. Sudah tiga bulan ini suaminya sering pulang larut, membawa bau alkohol dan alasan yang sama: “Ada urusan di kota.” Dinda tak pernah bertanya lebih jauh. Ia takut jawabannya akan menghancurkan dinding rapuh yang selama ini ia bangun untuk melindungi hatinya.

Dinda dan Raditya menikah lima tahun lalu, di bawah pohon beringin besar di ujung desa. Cinta mereka waktu itu seperti puisi yang ditulis oleh angin: indah, liar, dan penuh harap. Raditya, dengan senyumnya yang mampu membuat jantungan Dinda berdegup kencang, berjanji akan membawa Dinda ke kehidupan yang lebih baik. Ia seorang mekanik berbakat, tangannya mampu memperbaiki mesin apa pun, tapi hatinya—Dinda mulai ragu—apakah masih bisa diperbaiki.

Malam itu, saat bulan sabit mengintip di antara awan, Raditya akhirnya pulang. Motor tua miliknya menderu pelan di halaman. Dinda buru-buru meletakkan cangkir teh dan melangkah ke pintu, berusaha menyembunyikan kegelisahannya dengan senyum tipis. Raditya turun dari motor, jaket kulitnya berdebu, rambutnya yang biasanya rapi kini acak-acakan. Matanya merah, entah karena lelah atau sesuatu yang lain.

“Mas, sudah makan?” tanya Dinda lembut, mengambil jaket Raditya dan menggantungkannya di dinding.

“Belum. Ada apa di dapur?” jawab Raditya singkat, tanpa menatap Dinda. Ia langsung melangkah ke ruang tengah, melempar tubuhnya ke sofa tua yang berderit. Dinda menggigit bibir, menahan kata-kata yang ingin meloncat dari mulutnya. Ia tahu, jika ia bertanya, pertengkaran akan meledak, dan ia tak ingin Mak Sari mendengar.

Dinda masuk ke dapur, mengambil piring dan menyendok nasi, sayur kolplay, dan sepotong tempe goreng. Ia menata makanan dengan hati-hati, seolah-olah dengan kerapian itu ia bisa menata kembali hidupnya yang mulai retak. Saat ia membawa piring ke ruang tengah, Raditya sedang menyalakan radio tua. Lagu dangdut lawas mengalun pelan, tapi suasana tetap tegang.

“Mak sudah tidur?” tanya Raditya, akhirnya menatap Dinda. Matanya dingin, seperti orang yang sedang mencari alasan untuk marah.

“Iya, tadi habis minum obat jantungnya,” jawab Dinda, duduk di kursi kayu di sudut ruangan. Ia memerhatikan tangan Raditya saat makan—tangan yang dulu sering menggenggam tangannya kini terlihat asing.

“Dind, besok aku ke kota lagi. Mungkin nginap semalam,” kata Raditya tiba-tiba, suaranya datar. Dinda merasa dadanya seperti ditusuk ribuan jarum. Ia ingin bertanya: Untuk apa? Bersama siapa? Tapi kata-kata itu mati di tenggorokan. Ia hanya mengangguk, menunduk, dan berpura-pura merapikan lipatan kebayanya.

“Mas, kalau ke kota, bawa jaket tebal. Malam dingin,” ucap Dinda pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara radio.

Raditya tidak menjawab. Ia menghabiskan makanannya, lalu bangkit menuju kamar tanpa sepatah kata lagi. Dinda tetap duduk di kursi itu, tangannya meremas ujung kebaya. Air matanya menetes, tapi ia buru-buru menyeka, tak ingin jejak kelemahannya terlihat, bahkan oleh dirinya sendiri.

Malam itu, saat Dinda membersihkan piring di dapur, ia mendengar suara pelan dari kamar Mak Sari. Ia mendekat, mengintip dari celah pintu. Mak Sari sedang berdoa, tangannya menggenggam tasbih kayu yang sudah usang. “Ya Tuhan, lindungi anakku Dinda. Beri dia kekuatan untuk menjalani ujian ini,” doa itu terdengar seperti bisikan yang patah.

Dinda menutup mata, air matanya kembali mengalir. Ia tahu Mak Sari melihat penderitaannya, tapi tak pernah mengatakan apa-apa. Wanita tua itu mungkin juga punya luka sendiri, luka dari masa lalu yang serupa. Dinda kembali ke dapur, mencuci piring dengan gerakan mekanis, berusaha mengubur perasaannya di antara busa sabun dan air.

Pagi harinya, Raditya sudah bersiap pergi. Ia mengenakan kemeja biru tua yang Dinda setrika semalam, tas kecil tergantung di pundaknya. Dinda berdiri di beranda, memegang segelas teh melati yang lagi-lagi tak disentuh. “Hati-hati di jalan, Mas,” katanya, suaranya lembut seperti biasa.

Raditya hanya mengangguk, menyalakan motor, dan melaju tanpa menoleh. Dinda menatap motor itu hingga menghilang di tikungan jalan, debu tanah beterbangan di udara. Ia merasakan sesuatu yang kosong di dadanya, seperti lubang yang semakin melebar setiap kali Raditya pergi.

Dinda kembali masuk ke rumah, mengambil sapu dan mulai menyapu lantai. Gerakan sapunya pelan, seolah-olah ia sedang menyapu serpihan hatinya yang tercerai-berai. Di sudut ruangan, ia menemukan kancing kemeja yang terlepas, mungkin dari pakaian Raditya. Ia memungutnya, memegangnya erat hingga jari-jarinya memutih. Kancing kecil itu seolah menjadi simbol dari segala yang hilang darinya—cinta, kepercayaan, dan dirinya sendiri.

Siang itu, saat Dinda sedang menjemur pakaian di halaman belakang, seorang perempuan tua bernama Mbok Yem, tetangga sebelah, datang membawa keranjang berisi mangga ranum. “Dinda, ini buah dari kebun. Makan, ya, biar sehat,” katanya, senyumnya hangat tapi matanya penuh simpati.

“Makasih, Mbok,” jawab Dinda, menerima keranjang itu. Ia tahu Mbok Yem sering melihat Raditya pulang larut, dan mungkin juga mendengar desas-desus di desa tentang suaminya. Tapi Dinda tak pernah membuka mulut. Ia memilih diam, menyimpan luka-lukanya seperti harta yang menyimpan bara di dalam tanah.

“Dinda, kalau butuh teman cerita, rumah Mbok selalu terbuka,” kata Mbok Yem pelan, tangannya menyentuh bahu Dinda.

Dinda hanya tersenyum tipis, “Iya, Mbok. Dinda baik-baik saja.”

Tapi Dinda tahu, ia tidak baik-baik saja. Setiap langkah Raditya yang menjauh meninggalkan luka baru di hatinya, dan setiap senyum yang ia paksa di wajahnya seperti pisau yang mengiris lebih dalam. Ia kembali ke beranda, memegang cangkir teh melati yang sudah dingin, menatap langit yang mulai gelap. Di dalam dadanya, badai sedang mengamuk, tapi di wajahnya, hanya ada ketenangan yang dipaksakan.

Jejak di Balik Hujan

Hujan turun deras di desa Kalisemoyo malam itu, mengguyur atap seng rumah Dinda Sarwasti dengan ritme yang tak beraturan. Petir sesekali menyambar, menerangi ruang tamu yang redup, tempat Dinda duduk di kursi kayu tua dengan sehelai kain bordir di pangkuannya. Jarum dan benang merah di tangannya bergerak lambat, membentuk motif bunga kamboja yang belum selesai. Bordir adalah pelariannya, cara ia menenun emosi yang tak mampu ia ucapkan. Tapi malam ini, bahkan benang dan jarum tak bisa menenangkan hatinya.

Raditya Mahardana belum pulang. Ia berangkat ke kota kemarin pagi, mengatakan akan menginap semalam, tapi kini sudah malam kedua, dan teleponnya tak bisa dihubungi. Dinda memeriksa ponsel tuanya berkali-kali, layar yang retak menunjukkan pesan yang sama: “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan.” Ia meletakkan ponsel di meja, tangannya gemetar. Bukan hanya karena dinginnya udara malam, tapi juga karena ketakutan yang mulai merayap di hatinya—ketakutan bahwa Raditya tak hanya pergi dari rumah, tapi juga dari hidupnya.

Dinda menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ia bangkit, berjalan ke dapur untuk membuat teh melati, rutinitas yang selalu ia lakukan saat kegelisahan datang. Air mendidih di ketel tua, uapnya menari di udara, tapi pikiran Dinda melayang ke masa lalu. Ia teringat malam saat Raditya melamarnya, di tepi sungai kecil di belakang desa. Raditya waktu itu memegang tangannya, matanya berbinar di bawah cahaya bulan. “Dinda, aku nggak janji kasih kamu emas permata, tapi aku janji akan jaga kamu seumur hidupku,” katanya. Dinda percaya, dengan seluruh hatinya. Tapi kini, janji itu terasa seperti daun kering yang hancur di genggaman.

“Dinda, belum tidur?” suara Mak Sari, ibu mertuanya, memecah lamunan. Wanita tua itu berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan daster bunga-bunga yang sudah pudar warnanya. Rambutnya yang memutih disanggul sederhana, tapi matanya penuh kekhawatiran.

“Belum, Mak. Dinda mau bikin teh dulu,” jawab Dinda, berusaha tersenyum. Ia menuang air panas ke cangkir, aroma melati menyebar, tapi tak mampu mengusir ketegangan di udara.

Mak Sari mendekat, duduk di kursi bambu di sudut dapur. “Radit belum kasih kabar?” tanyanya pelan, suaranya penuh kehati-hatian, seolah tak ingin menyentuh luka yang sudah terbuka.

Dinda menggeleng, tangannya memegang cangkir erat hingga jari-jarinya memutih. “Mungkin sinyal di kota buruk, Mak,” katanya, meski ia tahu itu hanya alasan untuk menipu dirinya sendiri.

Mak Sari menghela napas panjang, tangannya meraih tasbih kayu di saku daster. “Dinda, kamu perempuan kuat. Tapi jangan simpan semua di hati. Kalau berat, cerita sama Mak,” ucapnya, matanya menatap Dinda dengan kelembutan yang membuat dada Dinda sesak.

Dinda ingin menangis, ingin menceritakan semua—tentang malam-malam sepi, tentang bau alkohol di jaket Raditya, tentang desas-desus di desa bahwa suaminya sering terlihat di kota bersama perempuan lain. Tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya, seperti burung yang tak bisa terbang. “Dinda baik-baik saja, Mak,” jawabnya akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.

Mak Sari tak memaksa. Ia hanya mengangguk, lalu bangkit kembali ke kamarnya, meninggalkan Dinda dengan cangkir teh yang kembali dingin di tangannya. Dinda menatap uap yang perlahan menghilang dari cangkir, seperti harapannya yang semakin pudar.

Hujan masih mengguyur saat Dinda kembali ke ruang tamu. Ia duduk di sofa tua, tempat Raditya biasa merebahkan tubuhnya setelah pulang kerja. Dinda menyentuh permukaan sofa, merasakan tekstur kain yang sudah usang. Di sudut sofa, ia menemukan sehelai rambut panjang berwarna cokelat keemasan—bukan rambutnya, bukan pula rambut Mak Sari. Jantungan Dinda berdegup kencang, tangannya gemetar saat memungut rambut itu. Ia menatapnya di bawah cahaya lampu bohlam yang redup, seolah rambut itu bisa berbicara dan menceritakan rahasia yang disembunyikan Raditya.

Dinda memasukkan rambut itu ke saku kebayanya, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menggerogoti dadanya. Ia kembali mengambil kain bordir, menjahit dengan gerakan mekanis, seolah-olah setiap tusukan jarum bisa menyembuhkan luka di hatinya. Tapi malam itu, jahitannya tak rapi. Benang merah kusut, motif bunga kamboja terlihat cacat, seperti cerminan hidupnya saat ini.

Pagi harinya, hujan reda, meninggalkan udara yang dingin dan bau tanah basah. Dinda bangun dengan mata sembab, tidurnya hanya beberapa jam, dihantui mimpi tentang Raditya yang berjalan menjauh di jalan yang tak berujung. Ia berjalan ke dapur, membuat sarapan untuk Mak Sari: nasi goreng dengan telur ceplok dan irisan timun. Aroma masakan mengisi rumah, tapi tak mampu mengisi kekosongan di hati Dinda.

Saat Dinda sedang menggoreng nasi, ia mendengar suara motor di halaman. Jantungannya berdegup kencang. Ia buru-buru mematikan kompor dan berlari ke beranda. Raditya turun dari motor, wajahnya pucat, bajunya kusut, dan ada bekas lipstik merah di kerah kemejanya. Dinda merasa dunia berputar, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri tegak.

“Mas, akhirnya pulang,” kata Dinda, suaranya tenang meski dadanya seperti diremas. Ia ingin berteriak, ingin menanyakan tentang lipstik itu, tentang rambut di sofa, tapi ia takut jawabannya akan menghancurkan sisa-sisa keberaniannya.

Raditya hanya mengangguk, melangkah masuk tanpa menatap Dinda. “Aku capek, mau istirahat,” katanya singkat, suaranya serak. Ia melewati Dinda, meninggalkan bau alkohol dan parfum asing yang menyengat.

Dinda mengikuti dari belakang, membawakan segelas air. Di kamar, Raditya sudah merebahkan diri di ranjang, sepatunya masih menempel di kaki. Dinda meletakkan gelas di meja kecil, lalu berlutut untuk melepas sepatu Raditya. Saat tangannya menyentuh sepatu yang berlumpur, air matanya hampir jatuh, tapi ia menahannya, seperti selalu.

“Mas, nanti Dinda cuci bajunya, ya?” tanya Dinda pelan, berusaha mencari alasan untuk tetap berbicara.

“Apa aja, Dinda,” jawab Raditya, matanya terpejam, seolah tak ingin melihat dunia—orang, Dinda.

Dinda keluar dari kamar, membawa baju kotor Raditya. Di saku kemeja, ia menemukan selembar kertas kecil: tiket bioskop untuk dua orang, bertanggal kemarin malam. Nama filmnya Cinta di Ujung Senja, jam tayang pukul 20.30. Dinda memegang tiket itu erat, merasa seperti ada pisau yang menusuk dadanya. Ia tahu, malam itu, saat ia menjahit di bawah hujan, Raditya sedang duduk di bioskop, mungkin dengan perempuan yang meninggalkan rambut cokelat dan lipstik merah.

Dinda duduk di beranda, tiket masih di tangannya. Ia menatap sawah yang berkilau karena sisa hujan, burung pipit beterbangan di kejauhan. Di desa ini, semua orangtampak tahu, tapi tak ada yang berani bicara. Mbok Yem, tetangga sebelah, pernah memperingatkannya dengan nada hati-hati: “Dinda, jaga hati. Orang kota punya banyak topeng.” Tapi Dinda selalu menjawab dengan senyum, “Dinda baik-baik saja, Mbok.”

Siang itu, saat Dinda mencuci baju di sumur belakang, air matanya bercampur dengan air sumur. Ia menggosok kerah kemeja Raditya dengan keras, seolah-olah bisa menghapus bekas lipstik itu—dan pengkhianatan yang menyertainya. Tapi noda itu tetap ada, seperti luka di hatinya yang tak pernah sembuh.

Malam kembali tiba, dan Dinda duduk di ruang tamu, menjahit motif bunga kamboja yang kacau. Hujan mulai turun lagi, petir mengguncang langit. Di dalam rumah kecil itu, Dinda merasa seperti terperangkap dalam badai yang tak pernah berhenti, dengan luka yang semakin dalam dan tak pernah berbisik.

Retak di Bawah Cahaya Pagi

Pagi di desa Kalisemoyo terasa seperti lukisan yang tak pernah selesai: sawah hijau berkilau di bawah embun, burung-burung kecil berkicau di dahan-dahan, dan aroma tanah basah bercampur dengan bunga kamboja dari pohon di halaman rumah Dinda Sarwasti. Namun, di balik keindahan itu, hati Dinda terasa seperti kaca yang retak, menunggu satu sentuhan kecil untuk hancur berkeping-keping. Tiket bioskop yang ia temukan di saku kemeja Raditya Mahardana masih tersimpan di laci meja riasnya, disembunyikan di bawah tumpukan saputangan bordir yang tak pernah ia gunakan. Setiap kali ia membuka laci, tiket itu seperti berbisik, mengingatkannya pada luka yang tak bisa ia abaikan.

Dinda berdiri di dapur, mengiris bawang untuk sarapan. Pisau kecil di tangannya bergerak cepat, tapi pikirannya melayang. Ia teringat pagi tadi, saat Raditya bangun dengan wajah kusut dan langsung pergi ke bengkel tanpa banyak bicara. “Aku ke bengkel, Dind. Banyak kerjaan,” katanya singkat, tanpa menatap mata Dinda. Ia tak menyentuh nasi goreng yang Dinda buat, hanya mengambil segelas air dan bergegas pergi. Dinda hanya mengangguk, seperti biasa, menahan pertanyaan yang menggumpal di dadanya: Kemana kau malam itu, Mas? Bersama siapa?

“Dinda, bawangnya sudah habis?” suara Mak Sari memecah keheningan. Ibu mertuanya masuk ke dapur, membawa sebaskom kacang panjang dari kebun kecil di belakang rumah. Wajahnya yang penuh keriput menyimpan kelembutan, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang sama seperti malam sebelumnya.

“Masih ada, Mak. Ini Dinda iris untuk sambal,” jawab Dinda, memaksakan senyum. Ia menunjukkan mangkuk kecil berisi irisan bawang merah yang rapi, seolah kerapian itu bisa menyembunyikan kekacauan di hatinya.

Mak Sari duduk di kursi bambu, mengupas kacang panjang dengan gerakan lambat. “Dinda, kamu kurusan. Makan yang banyak, ya. Mak khawatir,” katanya, suaranya pelan tapi penuh makna. Dinda tahu, Mak Sari bukan hanya mengkhawatirkan tubuhnya, tapi juga jiwanya yang semakin rapuh.

“Dinda baik-baik saja, Mak,” jawab Dinda, seperti mantra yang ia ulang setiap hari. Tapi kata-kata itu terasa semakin kosong, seperti cangkir teh melati yang selalu ia biarkan dingin di beranda.

Setelah sarapan selesai disiapkan, Dinda membawa piring berisi nasi, sambal bawang, dan kacang panjang rebus ke meja makan. Mak Sari makan dengan lahap, tapi Dinda hanya memainkan sendok di piringnya, pikirannya terpaku pada rambut cokelat keemasan dan noda lipstik di kemeja Raditya. Ia ingin percaya bahwa semua itu hanya salah paham, bahwa Raditya masih laki-laki yang dulu berjanji akan menjaganya seumur hidup. Tapi bukti-bukti kecil itu, seperti serpihan kaca, terus mengiris hatinya.

Siang itu, saat Dinda sedang menjemur pakaian di halaman belakang, Mbok Yem, tetangga setia, datang lagi dengan keranjang kecil berisi pisang raja. “Dinda, ini pisang dari kebun. Manis, lho. Cocok buat ngemil,” katanya, senyumnya lebar tapi matanya penuh pertanyaan yang tak terucap.

“Makasih, Mbok,” jawab Dinda, menerima keranjang itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia tahu Mbok Yem ingin mengatakan sesuatu, tapi seperti biasa, Dinda tak memberi celah untuk pembicaraan yang lebih dalam.

“Dinda, kalau ada apa-apa, cerita sama Mbok, ya. Jangan pendam sendiri,” kata Mbok Yem, suaranya lembut tapi tegas. Ia menepuk bahu Dinda, lalu berjalan kembali ke rumahnya, meninggalkan Dinda dengan pikiran yang semakin berat.

Dinda kembali ke beranda, duduk di kursi kayu dengan pisang raja di pangkuannya. Ia memandang jalan tanah yang membelah sawah, tempat Raditya biasa lewat dengan motor tuanya. Tiba-tiba, ia teringat sebuah kenangan dari dua tahun lalu, saat ia dan Raditya masih sering duduk bersama di beranda ini, tertawa sambil memakan pisang goreng buatan Dinda. Raditya waktu itu memuji masakannya, memegang tangannya erat, dan berkata, “Dinda, kamu bikin hidupku manis.” Kenangan itu terasa seperti pisau yang menikam, karena kini, kebersamaan itu hanya tinggal bayang-bayang.

Sore itu, Dinda memutuskan untuk pergi ke pasar desa, sesuatu yang jarang ia lakukan akhir-akhir ini. Ia ingin mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang menggerogoti hatinya. Dengan kerudung kain sederhana menutupi rambutnya, ia berjalan menyusuri jalan setapak, membawa keranjang anyaman. Pasar kecil di ujung desa ramai dengan suara pedagang yang menawarkan dagangan: ikan segar, sayuran hijau, dan rempah-rempah yang harum. Dinda membeli beberapa ons udang untuk makan malam, berharap masakan kesukaan Raditya bisa membawa suaminya kembali ke dirinya, setidaknya untuk satu malam.

Saat Dinda sedang memilih tomat, ia mendengar bisik-bisik dari dua perempuan di kios sebelah. “Itu Dinda, istri Raditya, kan? Kasihan, ya. Katanya si Radit sering ke kota sama perempuan lain,” kata salah satunya, suaranya pelan tapi cukup jelas untuk sampai ke telinga Dinda.

“Udah lama, lho. Di warung kopi kota, mereka bilang Radit suka nongkrong sama perempuan berambut cokelat. Namanya kayaknya Viona apa gitu,” sahut yang lain.

Dinda merasa kakinya lemas. Ia memegang keranjang erat, berusaha menahan diri agar tak ambruk di tengah pasar. Viona. Nama itu terdengar asing, tapi sekaligus seperti duri yang menusuk hatinya. Ia buru-buru membayar tomat dan berjalan pulang, langkahnya cepat seolah ingin melarikan diri dari kata-kata yang baru saja ia dengar.

Di rumah, Dinda langsung masuk ke kamar, menutup pintu, dan duduk di tepi ranjang. Ia membuka laci meja rias, mengambil tiket bioskop yang sudah kusut. Di bawah cahaya lampu, ia membaca lagi tulisan di tiket itu: Cinta di Ujung Senja. Ironi judul itu membuat air matanya tumpah. Ia menangis dalam diam, tangannya meremas tiket hingga hancur. Nama Viona bergema di pikirannya, bercampur dengan gambar rambut cokelat dan noda lipstik. Ia ingin berteriak, ingin menghadapi Raditya, tapi ketakutan akan kebenaran menahannya.

Malam itu, Raditya pulang lebih awal dari biasanya, tepat saat Dinda sedang memasak udang saus asam manis di dapur. Aroma masakan menyebar, tapi suasana tetap dingin. Raditya masuk, meletakkan tasnya di sofa, dan langsung duduk di meja makan tanpa berkata apa-apa. Dinda membawa piring berisi udang dan nasi, meletakkannya di depan Raditya dengan gerakan hati-hati.

“Mas, ini udang kesukaanmu,” kata Dinda, suaranya lembut tapi rapuh.

Raditya mengangguk, mulai makan tanpa banyak bicara. Dinda duduk di seberangnya, memandang wajah suaminya yang tampak lelah. Ia ingin bertanya tentang Viona, tentang tiket bioskop, tentang semua yang menggerogoti hatinya, tapi kata-kata itu mati di bibirnya. Sebaliknya, ia bertanya, “Mas, kerjaan di bengkel lancar?”

“Cukup,” jawab Raditya singkat, matanya tak lepas dari piring. “Besok aku ke kota lagi. Ada urusan.”

Dinda merasa dadanya sesak. “Lagi?” tanyanya, suaranya hampir pecah. “Mas, kenapa akhir-akhir ini sering ke kota? Ada apa?”

Raditya berhenti mengunyah, menatap Dinda dengan mata yang dingin. “Dinda, jangan mulai. Aku capek. Urusan kerja, itu aja,” katanya, nada suaranya tajam seperti pisau.

Dinda menunduk, air matanya menetes ke pangkuannya, tapi ia buru-buru menyekanya. “Maaf, Mas,” bisiknya, suaranya patah. Ia bangkit, berjalan ke dapur dengan alasan mengambil air, tapi sebenarnya ia hanya ingin menyembunyikan air matanya.

Malam itu, saat Raditya tertidur di kamar, Dinda duduk di beranda, memegang cangkir teh melati yang kembali dingin. Langit cerah, bintang-bintang berkelip, tapi hatinya gelap. Ia memikirkan semua pengorbanannya—diamnya, kesetiaannya, senyumnya yang dipaksakan—dan bertanya pada dirinya sendiri: Sampai kapan aku bisa bertahan?

Cahaya di Ujung Patah

Langit pagi di desa Kalisemoyo berwarna kelabu, awan tebal menggantung rendah seolah ikut merasakan beban di hati Dinda Sarwasti. Burung-burung yang biasanya berkicau di dahan pohon kamboja pagi ini diam, seakan menghormati kesunyian yang menyelimuti rumah kayu sederhana tempat Dinda berdiri di beranda. Cangkir teh melati di tangannya, seperti selalu, sudah dingin, uapnya lenyap bersama harapan yang semakin menipis. Dinda mengenakan kebaya biru muda yang sedikit kusut, rambutnya disanggul sederhana, tapi matanya—cokelat tua dengan bulu mata lentik—penuh dengan badai yang tak pernah ia izinkan keluar.

Raditya Mahardana, suaminya, sudah berangkat ke kota lagi pagi tadi, tepat setelah pertengkaran kecil di meja makan malam sebelumnya. Kata-kata Raditya yang tajam, “Dinda, jangan mulai. Aku capek,” masih bergema di telinga Dinda, seperti lonceng yang terus berbunyi di kuil tua. Ia memandang jalan tanah yang membelah sawah, tempat motor tua Raditya menghilang tadi pagi, meninggalkan debu dan luka baru di hati Dinda. Nama Viona, yang ia dengar di pasar, kini seperti bayang-bayang yang mengikuti setiap langkahnya.

Dinda masuk ke rumah, langkahnya pelan, seolah setiap gerakan membutuhkan tenaga yang tak lagi ia miliki. Di dapur, Mak Sari sedang mengupas ubi untuk direbus, tangannya yang keriput bergerak dengan ritme yang menenangkan. “Dinda, mau makan ubi rebus nggak? Mak buat banyak,” tanya Mak Sari, suaranya lembut tapi penuh perhatian.

“Terima kasih, Mak. Nanti Dinda makan,” jawab Dinda, memaksakan senyum. Ia duduk di kursi bambu, memandang ibu mertuanya yang seolah menjadi satu-satunya tambatan hatinya di rumah ini. Mak Sari tak pernah memaksa Dinda bercerita, tapi matanya selalu penuh pengertian, seolah ia tahu setiap luka yang Dinda sembunyikan.

“Dinda, hidup itu kadang seperti ubi ini,” kata Mak Sari tiba-tiba, mengangkat sebutir ubi yang masih berlumpur. “Luarnya kasar, kotor, tapi dalamnya manis kalau kita mau bersabar mengupasnya. Tapi kalau ubinya busuk, sekeras apa pun kita coba, rasanya tetap pahit.”

Dinda menatap Mak Sari, merasa ada makna tersembunyi di balik kata-kata itu. Ia ingin bertanya, ingin menceritakan semua—tentang tiket bioskop, rambut cokelat, noda lipstik, dan nama Viona—tapi seperti selalu, ia memilih diam. “Iya, Mak,” jawabnya pelan, lalu bangkit untuk mengambil kain bordir di ruang tamu, berharap jarum dan benang bisa menenangkan hatinya.

Siang itu, saat Dinda sedang menjahit motif bunga kamboja yang kini hampir selesai, suara motor terdengar di halaman. Jantungannya berdegup kencang, berpikir Raditya pulang lebih awal. Tapi saat ia melangkah ke beranda, ia melihat seorang pemuda kurus dengan seragam pos, membawa amplop cokelat di tangannya. “Mbak Dinda Sarwasti?” tanya pemuda itu, tersenyum ramah.

“Iya, saya,” jawab Dinda, bingung. Ia tak pernah menerima surat, apalagi dengan tulisan tangan yang rapi di amplop itu.

“Ini surat dari kota. Tolong tanda tangan di sini,” kata pemuda itu, menyerahkan amplop dan sebuah pulpen. Dinda menandatangani kertas yang disodorkan, tangannya sedikit gemetar. Setelah pemuda itu pergi, Dinda duduk di beranda, memandang amplop itu dengan ragu. Di sudut amplop, tertulis nama pengirim: Viona Ardiani.

Nama itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Dinda merasa napasnya tersendat, tangannya memegang amplop erat hingga kertasnya kusut. Ia ingin membuangnya, ingin berpura-pura surat itu tak pernah sampai, tapi rasa ingin tahu—dan mungkin juga keberanian yang tiba-tiba muncul—mendorongnya untuk membuka amplop itu. Di dalamnya, ada selembar kertas beraroma parfum yang samar, dengan tulisan tangan yang anggun.

Dinda,
Saya Viona. Maaf jika surat ini mengganggu. Saya tahu kamu istri Raditya, dan saya juga tahu kamu pantas tahu kebenaran. Raditya bilang kalian sudah tidak lagi bersama, tapi saya mulai ragu. Kita perlu bicara. Saya akan ke desa Kalisemoyo besok sore, di warung kopi dekat balai desa. Saya harap kamu datang.
Viona

Dinda merasa dunia berhenti berputar. Surat itu jatuh dari tangannya, melayang ke lantai beranda. Air matanya menetes, tapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan kemarahan yang selama ini ia pendam. Raditya bilang mereka sudah tidak bersama? Kebohongan itu seperti tamparan yang membangunkan Dinda dari tidur panjangnya. Ia memungut surat itu, membacanya lagi, dan kali ini, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya—tekad untuk menghadapi kenyataan, seberapa pahit pun itu.

Malam itu, Dinda tak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, menjahit kain bordir dengan gerakan cepat, seolah setiap tusukan jarum adalah langkah menuju keberaniannya. Motif bunga kamboja akhirnya selesai, tapi Dinda tak merasa puas. Ia memandang jahitannya, melihat ketidaksempurnaan di setiap sudut, seperti hidupnya yang penuh luka. Tapi kali ini, ia tak ingin lagi menyembunyikan retakan itu.

Pagi berikutnya, Dinda bangun dengan mata sembab tapi hati yang lebih teguh. Ia memasak sarapan seperti biasa, menyapa Mak Sari dengan senyum yang lebih tulus, dan berjalan ke sumur belakang untuk mencuci pakaian. Saat air sumur membasahi tangannya, ia berjanji pada dirinya sendiri: Hari ini, aku akan berhenti menjadi Dinda yang diam.

Sore itu, Dinda mengenakan kebaya terbaiknya, berwarna ungu lembut dengan bordir kecil di ujung lengan. Ia menyisir rambutnya rapi, memakai kerudung kain yang serasi, dan berjalan ke warung kopi dekat balai desa. Langkahnya mantap, meski dadanya berdegup kencang. Warung itu kecil, dengan meja-meja kayu dan aroma kopi tubruk yang kuat. Di sudut ruangan, duduk seorang perempuan muda dengan rambut cokelat keemasan yang digerai, mengenakan blus merah dan rok panjang. Dinda tahu, itu Viona.

“Dinda?” tanya Viona saat Dinda mendekat, berdiri dari kursinya. Suaranya lembut, tapi ada ketegangan di matanya.

Dinda mengangguk, duduk di depan Viona. “Kamu yang kirim surat itu,” katanya, suaranya tenang tapi penuh kekuatan yang baru ia temukan.

Viona menunduk, tangannya meremas gelas kopi di depannya. “Maaf, Dinda. Aku nggak tahu Raditya sudah menikah saat pertama kali ketemu. Dia bilang dia lajang. Baru tiga bulan lalu aku tahu tentang kamu, tapi dia bilang kalian sudah pisah. Aku… aku nggak mau jadi penutup luka orang lain.”

Dinda mendengarkan, setiap kata seperti pisau yang mengiris, tapi juga seperti obor yang menerangi kegelapan. Ia tak menangis, tak berteriak, hanya menatap Viona dengan mata yang penuh luka tapi juga keberanian. “Raditya nggak pernah bilang kami pisah,” kata Dinda pelan. “Dia pulang setiap hari, tidur di ranjang yang sama, makan masakan yang aku buat. Tapi hatinya… aku nggak tahu di mana.”

Viona terdiam, air matanya menetes. “Aku minta maaf, Dinda. Aku nggak mau lanjutin ini. Aku cuma ingin kamu tahu, biar kamu nggak terus-terusan dibohongi.”

Dinda mengangguk, tangannya meremas ujung kebaya. “Terima kasih, Viona. Kamu lebih berani daripada aku selama ini.”

Malam itu, saat Dinda pulang, Raditya sudah ada di rumah, duduk di sofa dengan wajah kusut. “Dinda, kamu dari mana? Kok nggak bilang-bilang?” tanyanya, nadanya penuh curiga.

Dinda berdiri di depan Raditya, memandang mata suaminya yang dulu ia cintai dengan seluruh jiwa. “Mas, aku ketemu Viona tadi,” katanya, suaranya mantap, meski dadanya bergetar. “Aku tahu semuanya.”

Raditya membeku, wajahnya memucat. “Dinda, dengar dulu. Itu nggak seperti yang kamu pikir—”

“Cukup, Mas,” potong Dinda, suaranya tegas untuk pertama kalinya. “Aku udah diam terlalu lama. Aku udah biarin kamu lukai aku berulang-ulang, karena aku pikir cinta itu artinya bertahan. Tapi aku salah. Cinta nggak seharusnya bikin aku lupa siapa aku.”

Raditya bangkit, mencoba memegang tangan Dinda, tapi Dinda mundur. “Dinda, aku janji bakal berubah. Aku cuma—”

“Janji?” Dinda tersenyum pahit. “Janji yang kamu buat lima tahun lalu udah hancur, Mas. Aku nggak butuh janji baru. Aku butuh kebenaran, dan sekarang aku punya itu.”

Dinda berjalan ke kamar, mengambil tas kain kecil dan memasukkan beberapa pakaian serta kain bordirnya. Raditya mengikutinya, memohon, tapi Dinda tak menoleh. Ia keluar ke ruang tamu, menghampiri Mak Sari yang berdiri di ambang pintu, matanya penuh air mata.

“Dinda, kamu mau ke mana?” tanya Mak Sari, suaranya gemetar.

Dinda memeluk ibu mertuanya erat, merasakan kehangatan yang selama ini menyelamatkannya. “Dinda harus pergi, Mak. Dinda harus cari Dinda yang dulu, yang nggak takut bermimpi. Mak jaga diri, ya.”

Mak Sari mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. Dinda melangkah keluar, menuju beranda, memandang langit malam yang kini cerah, bintang-bintang berkelip seperti harapan baru. Ia berjalan menyusuri jalan tanah, menuju rumah Mbok Yem, tempat ia tahu ia akan diterima malam ini. Langkahnya ringan, meski hatinya masih penuh luka. Tapi kali ini, luka itu bukan lagi rahasia yang ia sembunyikan. Luka itu adalah bukti bahwa ia pernah mencintai dengan segenap jiwa, dan kini, ia akan belajar mencintai dirinya sendiri.

Di kejauhan, pohon kamboja di halaman rumah melambai diterpa angin, seolah mengantar Dinda menuju babak baru dalam hidupnya—babak di mana ia tak lagi menjadi bayang-bayang, tapi cahaya yang bersinar untuk dirinya sendiri.

Luka yang Tak Pernah Berbisik bukan sekadar cerita, melainkan cerminan kehidupan yang mengajarkan kita tentang kekuatan untuk bertahan dan keberanian untuk melepaskan. Kisah Dinda mengingatkan kita bahwa setiap luka, meski tak terucap, bisa menjadi langkah menuju cahaya baru. Jangan lewatkan cerpen ini untuk merasakan gelombang emosi yang mendalam dan inspirasi untuk menghargai diri sendiri.

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Luka yang Tak Pernah Berbisik. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan kekuatan dalam setiap tantangan hidup. Sampai jumpa di artikel berikutnya, tetaplah membaca dan menjelajahi cerita-cerita yang menyentuh hati!

Leave a Reply