Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa kayak ada beban berat yang nggak bisa kamu lepasin, meskipun udah berusaha sekuat tenaga? Cerita ini tentang seorang cewek yang masih berjuang dengan luka masa lalunya, tentang ayah yang hilang dan kenangan yang nggak bisa dilupakan.
Tapi, di antara semua itu, ada perjalanan menuju penerimaan yang bikin hati agak lebih lega. Yuk, simak cerita tentang gimana rasanya menyembuhkan luka yang nggak kelihatan, tapi selalu ada.
Luka Masa Lalu yang Tak Terlupakan
Di Bawah Hujan yang Tak Berujung
Hujan itu turun dengan derasnya, menghantam kaca jendela rumah yang sudah mulai kusam, seakan menambah kepedihan yang sudah menggumpal dalam hatiku. Aku berjalan dengan langkah yang berat, seakan tanah liat yang dipijak terasa lengket, menghalangi tiap gerakan. Desir angin malam masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka, menambah dingin yang merayap ke tulang.
Saat itu, aku baru saja pulang dari sekolah. Langkahku terhenti begitu aku melihat ibuku berdiri di depan pintu rumah. Wajahnya pucat, matanya kosong, seolah-olah melihat sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang tiba-tiba merubah segalanya.
“Ibu?” Suaraku tercekat, seperti ada sesuatu yang mendekap leherku, membuatku sulit bernapas. Kaki-kakiku terasa seperti terikat, tidak mampu bergerak lebih jauh.
Ibu hanya diam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya tatapan kosong itu yang terus menembus pandanganku. Aku merasakan jantungku mulai berdetak tidak beraturan, dan entah kenapa, aku sudah bisa merasakan sesuatu yang buruk. Rasanya ada sesuatu yang hilang dari dunia ini.
“Kaseya…” suara ibu akhirnya pecah, tapi seperti terbungkam. “Ayahmu… Ayahmu pergi.”
Aku ingin berteriak, ingin menolak kenyataan itu. Tidak mungkin. Ini pasti mimpi. Mimpi yang buruk. Aku menggenggam pintu kayu itu erat, seolah pintu ini bisa menghalangi kenyataan yang begitu keras menghantamku.
“Apa yang kamu maksud, Ma?” tanyaku, suaraku hampir tidak terdengar. Aku merasa tubuhku begitu ringan, seperti tidak lagi memiliki berat. “Kenapa… Kenapa dia pergi?”
Ibu menggeleng perlahan, dan untuk pertama kalinya aku melihat air mata ibu jatuh tanpa bisa dia tahan lagi. “Dia… dia tidak pernah bilang apa-apa, Kaseya. Tiba-tiba saja, dia tidak ada lagi. Tak ada kata perpisahan. Tak ada pesan terakhir. Semua terjadi begitu saja.”
Tulang-tulangku terasa lemas. Aku ingin menangis, ingin berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Ayah… ayah yang selalu ada untukku, yang selalu memberiku pelukan saat aku takut, yang selalu mengajari aku untuk hidup dengan sabar, kini menghilang begitu saja tanpa jejak. Kenapa? Apa yang terjadi?
Aku berlari menuju kamar ayah tanpa berpikir panjang. Kamar itu sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Bau kayu dan cat tembok yang sudah mengelupas menyambutku saat aku masuk. Meja kerja ayah, tempat di mana dia selalu duduk setiap malam, kini terlihat berantakan. Tumpukan kertas-kertas yang belum selesai tertata dengan rapi. Seharusnya aku tahu, aku harus tahu, bahwa sesuatu yang buruk sedang mengintai.
Aku membuka laci meja kerja ayah dan menemukan sebuah foto keluarga yang sudah menguning. Kami bertiga—aku, ayah, dan ibu—tersenyum cerah di foto itu. Sebuah foto lama, dari waktu yang lebih baik, sebelum semuanya berubah. Di belakang foto itu ada tulisan dengan tinta yang mulai pudar, tulisan yang ayah buat sendiri.
“Memaafkan adalah cara kita untuk terus berjalan.”
Aku memegang foto itu erat, membaca kata-kata itu berulang kali. Apa maksudnya? Kenapa ayah menulis ini? Apakah dia sedang meminta maaf padaku? Atau pada ibu? Atau mungkin dia meminta aku untuk memaafkan sesuatu yang belum aku pahami? Aku tidak tahu.
Langkahku terhenti di depan jendela yang menghadap ke halaman belakang rumah. Di luar, hujan semakin deras, dan langit terasa semakin gelap. Angin malam berhembus, menggoyang pohon-pohon yang hampir tak terlihat di balik kabut tebal. Aku merasa terjepit di antara kenangan dan kenyataan yang begitu sulit aku terima.
Ibu datang mendekat, menatapku dengan mata yang penuh kekhawatiran. “Kaseya… Aku tahu ini sangat berat untukmu. Tapi, kamu harus kuat. Kamu harus bisa menghadapinya.”
Aku menoleh ke ibu, mencoba untuk berbicara, tetapi kata-kata itu tidak keluar. Semua terasa hampa. Hanya ada kesedihan yang menggenang, mengisi ruang-ruang di hatiku yang tiba-tiba terasa sangat kosong. Kenapa ayah pergi begitu saja? Kenapa dia tidak meninggalkan penjelasan? Kenapa hanya sebuah pesan yang tidak pernah aku mengerti?
Aku melangkah kembali ke kamar, berusaha untuk menemukan sesuatu yang bisa memberi petunjuk. Di atas meja, ada sebuah buku catatan yang sering ayah bawa saat dia pergi ke luar. Buku yang dulu selalu menjadi teman setia ayah. Aku membuka halaman pertama, dan mata ini langsung tertuju pada tulisan tangan ayah yang masih jelas terbaca.
“Kaseya, hidup ini bukan tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang apa yang kita berikan. Jangan biarkan luka membekas terlalu dalam, karena waktu tidak akan menunggu.”
Aku memegang buku itu erat, mencoba mencerna tiap kata yang ayah tulis. Waktu tidak akan menunggu? Apakah ini yang ayah coba sampaikan padaku? Apakah dia tahu sesuatu yang aku belum mengerti?
Malam itu, hujan masih terus mengguyur. Di dalam kamar yang sepi, aku duduk memandangi foto keluarga yang telah menguning dan buku catatan ayah yang aku temukan. Semuanya terasa kabur. Kenapa tidak ada jawaban yang jelas? Kenapa hanya kata-kata yang membingungkan dan sepi yang aku dengar?
Aku tahu, aku harus mencari tahu. Ada sesuatu yang tidak bisa aku biarkan menguap begitu saja. Tapi, entah kenapa, saat itu aku merasa begitu lelah. Begitu lelah untuk mencari jawaban, untuk menerima kenyataan bahwa ayahku—ayah yang selalu ada—tak lagi ada di sini.
Hujan di luar makin deras, dan aku tetap di sini, memeluk kenangan yang tak ingin aku lepaskan.
Memaafkan yang Tak Terucap
Pagi itu, aku terbangun dengan kepala yang berat dan tubuh yang lelah. Hujan semalam masih meninggalkan jejaknya di luar, menggenang di tanah, mengaburkan segala sesuatu dengan kabut tipis yang menggantung. Aku merasa terperangkap dalam pusaran perasaan yang tidak bisa aku kontrol—antara kemarahan, kebingungan, dan kesedihan yang semakin menggerogoti.
Aku berusaha mengabaikan rasa berat di dadaku, namun kenyataan itu selalu kembali menghantui setiap kali aku menarik napas. Ayah telah pergi. Tanpa peringatan, tanpa kata-kata perpisahan. Hanya hampa.
Ibu sudah kembali ke rutinitasnya. Pagi itu, dia sibuk di dapur, menyusun sarapan meskipun tak ada lagi semangat dalam gerakannya. Setiap kali aku memandangnya, ada sesuatu yang membuatku ingin bertanya, namun aku tidak tahu apa yang harus kuungkapkan. Kata-kata terasa begitu tajam dan mematikan, seakan mereka bisa merobek apa saja yang masih tersisa dalam hati kami.
Aku melangkah menuju meja makan, duduk tanpa kata. Suara sendok yang berbenturan dengan piring terasa begitu keras, menusuk ke telingaku. Ibu menyajikan sarapan dengan wajah yang hampir tak bisa dikenali, wajah yang dulu selalu dipenuhi senyuman hangat dan kata-kata penyemangat.
“Kaseya,” suara ibu membuatku tersentak. “Aku tahu ini tidak mudah. Aku tahu kamu butuh waktu untuk mengerti semuanya.”
Aku hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Ada begitu banyak pertanyaan yang terpendam, namun rasanya tak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ada di antara kami. Ayah pergi, dan kata-kata yang tidak pernah sempat diucapkan tetap menggantung di udara, tak bisa dijangkau. Memaafkan apa, sebenarnya?
“Kenapa dia tidak bilang apa-apa, Ma? Kenapa dia pergi tanpa meninggalkan penjelasan?” Suaraku pecah begitu saja, seperti terbuang dalam keheningan. Aku menatap ibu, menunggu jawaban yang tak datang.
Ibu menghela napas panjang, lalu duduk di sampingku. “Ayahmu… dia tidak pernah mudah mengungkapkan perasaannya. Selalu ada yang tertahan, selalu ada yang dia pendam.” Mata ibu mengarah pada foto lama yang masih tergantung di dinding. “Tapi, Kaseya… terkadang orang yang paling kita cintai pun bisa menyembunyikan segalanya. Tanpa kita tahu.”
Aku memandang ibu, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut. Ada sesuatu di matanya yang memberi petunjuk, namun ia tetap diam. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
Aku tidak tahu seberapa lama aku duduk di meja makan itu, terjebak dalam lamunan yang tak jelas, sampai akhirnya ibu berdiri dan mengajak aku untuk pergi ke sebuah tempat yang menurutnya bisa membantu aku menemukan sedikit kedamaian.
“Kita ke taman, yuk,” kata ibu sambil memegang jaket yang tergantung di kursi. “Kadang, udara segar bisa membuat kita sedikit lebih tenang.”
Aku tidak menolak. Taman yang dulu sering kami kunjungi—tempat di mana kami bertiga berjalan bersama—sekarang terasa asing. Tidak ada lagi tawa riang atau suara obrolan ringan. Hanya ada kenangan yang terus menghantui.
Kami berjalan perlahan, dengan langkah kaki yang terasa semakin berat. Di ujung jalan, sebuah bangku panjang di bawah pohon besar menunggu kami. Kami duduk di sana, saling diam, hanya mendengarkan angin yang berdesir dan suara langkah kaki orang-orang yang berlalu lalang. Rasanya, aku ingin berteriak, ingin membuang semuanya jauh-jauh, tetapi aku tidak bisa. Aku terlalu lelah untuk itu.
Ibu membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah surat yang terlipat rapi. “Ini… ini surat dari ayahmu,” katanya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku temukan di meja kerjanya setelah dia pergi. Aku rasa ini untukmu.”
Hatiku berdebar saat ibu memberikan surat itu padaku. Tanganku gemetar saat membukanya, mencoba membaca tiap kata yang tertulis dengan rapi, namun terasa begitu jauh. Kata-kata itu seakan seperti lukisan, penuh makna yang ingin diungkapkan namun terlalu rumit untuk dimengerti.
“Kaseya, jika kamu membaca ini, aku harap kamu tidak membenci aku. Aku tahu aku banyak gagal sebagai ayah. Aku tahu aku tidak pernah bisa memberi semua yang kamu inginkan. Tapi, percayalah, aku melakukan semua ini demi kamu. Maafkan aku, jika aku tidak bisa menjadi ayah yang kamu harapkan.”
Kata-kata itu begitu sederhana, namun terasa begitu dalam. Aku menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang perlahan menggenang. Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini? Apa yang bisa aku lakukan dengan kata-kata yang hanya menjadi kenangan?
Ibu menatapku dengan lembut, dan aku bisa melihat kelelahan di matanya. “Kaseya, kita semua punya luka. Tapi kita juga punya kesempatan untuk menyembuhkannya. Ayahmu pergi karena sesuatu yang mungkin kita tidak bisa mengerti. Tapi aku tahu, dia mencintaimu, dan itu yang harus kamu ingat.”
Aku mengangguk perlahan, meskipun hatiku masih terasa berat. Aku tahu ibu benar, tapi ada bagian dari diriku yang tidak siap untuk memaafkan, apalagi mengerti. Semua ini terlalu cepat, terlalu mendalam. Ayah pergi begitu saja tanpa memberi tahu apa pun, dan aku tidak tahu bagaimana cara menerima kenyataan itu.
Tapi untuk pertama kalinya sejak semalam, aku merasa sedikit lega. Sedikit saja. Mungkin, hanya mungkin, aku bisa mulai menerima kenyataan ini, meski jalan itu penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Bayang-bayang yang Tak Bisa Hilang
Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Aku masih terjaga dalam kebingunganku, terjebak di antara kenangan tentang ayah dan realitas yang sulit aku terima. Taman yang kemarin aku kunjungi dengan ibu masih terngiang-ngiang di benakku, tetapi rasanya itu tidak cukup untuk menyembuhkan hati yang terkoyak. Aku mencoba melanjutkan hidup seperti biasa, meski setiap langkahku terasa semakin berat.
Di sekolah, teman-teman seperti biasa tidak terlalu peduli. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di rumahku, atau apa yang sedang aku rasakan. Semua berjalan dengan cara mereka sendiri, tanpa ada ruang untuk memahami apa yang menggerogoti hatiku. Kadang, aku merasa seperti ada dua dunia yang tak bisa bertemu—dunia di luar yang tampak baik-baik saja, dan dunia dalam diriku yang terpecah-pecah.
Hari itu, aku tidak bisa menahan rasa sakit lagi. Pagi dimulai seperti biasa dengan kebingungan yang menyesakkan di dada, namun ada sesuatu yang berbeda saat aku berjalan keluar dari pintu rumah. Matahari bersinar terang, tetapi tidak ada kehangatan yang aku rasakan. Aku merasa terasing, seperti tak ada tempat untukku di dunia ini.
Ibu memang sudah mencoba untuk berbicara denganku, namun aku tidak tahu harus mulai dari mana. Kata-kata itu tak pernah cukup untuk mengisi kehampaan ini. Ke mana pun aku pergi, bayang-bayang ayah terus mengikuti, merayap masuk ke dalam pikiran dan membuatku terperangkap dalam ingatan yang tak bisa kuhapus.
Di sekolah, aku duduk di bangku belakang kelas, berusaha menutup diri dari percakapan yang mengalir di sekitarku. Bahkan pelajaran yang dulu aku nikmati kini terasa hampa. Semuanya tidak bermakna. Satu-satunya yang bisa aku pikirkan adalah apa yang terjadi pada ayah dan apa yang akan terjadi padaku setelah semua ini.
Aku baru sadar ketika bel tanda istirahat berbunyi, bahwa aku sudah menghabiskan hampir setengah hari dengan hanya menatap kosong. Teman-teman mulai keluar kelas, menuju kantin atau tempat lain, sementara aku tetap duduk, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan itu. Dan saat itulah aku melihatnya.
Di pojok ruang kelas, di dekat jendela, ada seorang lelaki yang baru saja pindah ke sekolahku. Namanya Arvid. Ia bukan tipe orang yang biasanya aku perhatikan, bahkan lebih sering aku melihatnya sebagai sosok yang datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Namun, hari itu, entah kenapa aku merasa ada yang berbeda. Ada sesuatu di matanya yang membuatku tertarik untuk lebih memperhatikannya.
Aku tidak tahu mengapa, tetapi tanpa pikir panjang, aku berjalan menuju tempat duduknya. Arvid sedang duduk sendiri, dengan buku yang terbuka di depannya, namun matanya kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu yang jauh di luar jangkauan pikiranku.
“Apa yang kamu baca?” tanyaku dengan suara yang hampir tidak terdengar, merasa agak canggung.
Arvid menoleh ke arahku, terkejut, seolah tidak mengira aku akan berbicara padanya. Ia menyeringai samar, lalu menutup bukunya dengan gerakan perlahan.
“Ah, hanya sebuah buku sejarah. Tapi rasanya, kadang sejarah itu seperti tidak ada habisnya. Selalu berulang,” jawabnya pelan, seolah mencoba menyampaikan lebih dari sekadar kata-kata.
Aku duduk di sebelahnya, merasa aneh. Biasanya, aku tidak begitu tertarik dengan orang yang baru aku kenal, apalagi seorang Arvid yang aku rasa tidak memiliki ikatan dengan hidupku. Tapi ada sesuatu yang menarik di balik cara dia berbicara, ada keheningan yang begitu mendalam, yang seolah menggambarkan kisah hidupnya yang belum pernah terungkap.
“Aku Kaseya,” kataku, berusaha membuka percakapan lebih lanjut.
“Aku Arvid.” Ia mengangguk, seolah memberiku izin untuk melanjutkan. “Jadi, apa yang kamu lakukan di sini? Sepertinya kamu tidak benar-benar ingin ada di kelas.”
Aku tertawa kecil, tidak tahu bagaimana menjawab. “Mungkin aku memang tidak ingin ada di sini. Kadang, merasa seperti tak ada tempat yang benar-benar bisa membuatku merasa tenang.”
Arvid menatapku lebih lama, seakan mencoba menilai. Ada sesuatu yang aneh dalam pandangannya, sesuatu yang membuatku merasa seperti aku sedang menghadapinya dengan cara yang berbeda dari biasanya. Seolah, dalam sekejap, ia bisa melihat apa yang aku sembunyikan.
“Aku mengerti,” jawabnya singkat, namun kali ini ada empati dalam suaranya yang membuatku terkejut. “Kadang, dunia ini terasa terlalu berat untuk dipikul sendirian. Mungkin, kita perlu seseorang yang bisa mengerti tanpa harus mengatakannya.”
Aku menunduk, merasa tubuhku seperti beban yang tak bisa aku angkat lagi. Kata-kata Arvid mengena. Seolah, ia tahu apa yang sedang aku rasakan, meski kami belum benar-benar saling mengenal.
“Apakah kamu pernah merasa… seperti terjebak dengan kenangan buruk?” tanyaku, tanpa bisa menahan rasa penasaran yang muncul.
Arvid terdiam beberapa detik, lalu mengangguk perlahan. “Terkadang, kenangan itu bisa lebih kuat daripada apapun. Mereka tetap ada, tak peduli seberapa keras kita berusaha menghindarinya.”
Aku menatapnya, merasakan ada koneksi yang aneh di antara kami. Tanpa sadar, aku mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada seseorang yang bisa memahami apa yang aku rasakan.
“Terima kasih,” kataku lirih, meskipun aku tidak tahu apa yang aku terima darinya. Namun, untuk pertama kalinya setelah kepergian ayah, aku merasa sedikit lebih ringan. Tidak sepenuhnya, tetapi sedikit lebih ringan.
Arvid hanya tersenyum tipis. “Kapan saja,” jawabnya, dengan suara yang begitu rendah dan menenangkan. “Terkadang, hanya dengan berbicara sedikit saja, beban itu bisa terasa lebih ringan.”
Kami duduk di sana, berbicara tentang hal-hal kecil yang tidak berarti, namun bagi kami, itu adalah langkah pertama menuju pemahaman. Entah kenapa, aku merasa sedikit lebih kuat setelah pertemuan singkat itu, seperti ada bagian dari diriku yang mulai sembuh. Tapi aku tahu, perjalanan ini masih jauh. Dan kenangan tentang ayah masih akan terus menghantuiku.
Menemukan Kedamaian dalam Kenangan
Malam itu, aku kembali ke rumah dengan perasaan yang campur aduk. Ada sesuatu yang berbeda di dalam diriku setelah percakapan singkat dengan Arvid. Seakan, aku baru saja membuka sebuah pintu yang sudah lama terkunci. Namun, meski terasa ada sedikit kelegaan, aku tahu ini belum berakhir. Luka di dalam diriku masih belum sembuh. Kenangan tentang ayah masih menghantui setiap langkahku. Aku masih berjuang dengan bayang-bayang masa lalu yang tak bisa aku lupakan.
Di rumah, ibu duduk di ruang tamu, seperti biasa. Matanya memancarkan kelelahan yang dalam, mungkin juga luka yang ia simpan sendiri. Aku tidak tahu harus berkata apa padanya. Kami hanya berbagi ruang tanpa kata-kata. Tetapi malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada ikatan yang tak terucapkan di antara kami. Meskipun aku belum sepenuhnya siap untuk membuka hati, aku merasa sedikit lebih dekat padanya.
“Kaseya,” ibu memanggil dengan suara lembut, memecah keheningan. “Kamu ingin bicara?”
Aku menunduk, mencoba merangkai kata-kata yang sepertinya selalu sulit keluar dari mulutku. “Aku… aku ingin tahu bagaimana rasanya melupakan kenangan buruk. Apa itu mungkin, Bu?” Suaraku terdengar begitu rapuh, bahkan bagi diriku sendiri.
Ibu terdiam sejenak, menatapku dengan tatapan yang sulit aku baca. Namun, ada kehangatan di dalamnya, seperti dia tahu lebih banyak dari yang bisa aku ungkapkan.
“Kenangan buruk memang sulit dilupakan, Kaseya,” jawabnya dengan lembut, “Tapi waktu… waktu bisa membantu kita menerima mereka. Tidak menghapusnya, tetapi membuat kita lebih kuat untuk menghadapinya. Kenangan akan selalu ada, tapi kita yang memutuskan bagaimana kita akan membiarkan kenangan itu mempengaruhi hidup kita.”
Aku merasa ada sedikit ketenangan dalam kata-kata ibu. Mungkin ini saatnya untuk belajar menerima kenyataan, bahwa luka yang dalam tidak akan bisa sembuh dalam semalam. Tapi aku bisa belajar untuk hidup dengannya, untuk tidak membiarkannya mengendalikan hidupku.
Hari-hari berikutnya aku mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Arvid, dengan keheningan dan empatinya, telah memberikan aku sebuah perspektif baru. Aku mulai berbicara lebih banyak, meskipun masih banyak yang belum bisa aku ungkapkan. Kami tidak selalu berbicara tentang hal-hal besar. Kadang, kami hanya duduk bersama, berbagi keheningan yang nyaman, seolah-olah itu sudah cukup. Aku mulai memahami bahwa terkadang, tidak perlu banyak kata untuk merasa dimengerti.
Sekolah menjadi lebih mudah dijalani, meskipun beban dalam diriku tidak hilang begitu saja. Namun, aku mulai melihat bahwa setiap hari adalah langkah kecil menuju pemulihan. Aku belajar untuk menerima kenyataan bahwa ayahku telah pergi, dan meskipun itu menyakitkan, aku bisa tetap hidup dengan kenangan tentangnya. Kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi aku tidak perlu membiarkan kenangan itu mendefinisikan siapa aku.
Pernah suatu hari, aku berdiri di depan cermin, memandang diriku sendiri. Ada raut wajah yang berbeda dari yang biasa aku lihat. Mungkin itu adalah wajah seorang gadis yang sudah belajar untuk merelakan, untuk menerima bahwa hidup memang tidak selalu adil. Tetapi aku juga melihat keteguhan dalam diriku—keteguhan yang muncul setelah aku menerima luka itu, dan tidak lagi takut untuk melangkah maju meskipun perasaan itu masih ada.
Suatu sore, ketika aku sedang berjalan pulang dari sekolah, Arvid menghampiriku. Tanpa berkata banyak, ia hanya memberikan sebuah senyuman kecil yang membuat hati terasa sedikit lebih ringan.
“Bagaimana hari ini?” tanyanya.
“Lebih baik,” jawabku jujur, meskipun aku tahu perjalanan ini masih panjang.
Kami berjalan berdampingan, saling berbagi keheningan yang sudah tidak terasa canggung lagi. Di sisi jalan, bunga-bunga liar mulai mekar, menyambut kami dengan keindahan yang sederhana. Aku menatapnya sejenak, merasa ada kedamaian yang datang bersamanya.
“Kadang, aku merasa seperti aku sedang berjalan di jalur yang salah,” aku memulai lagi, kali ini lebih terbuka. “Tapi entah kenapa, sekarang aku merasa sedikit lebih jelas.”
Arvid berhenti sejenak dan menatapku dengan penuh perhatian. “Kadang, kita harus kehilangan arah untuk bisa menemukan jalan kita yang sebenarnya. Kamu tidak sendiri, Kaseya.”
Aku tersenyum kecil, merasakan adanya kehangatan yang aneh dalam kata-katanya. Aku tahu, perjalanan hidupku tidak akan pernah mulus, dan kenangan tentang ayah akan tetap ada. Namun, aku juga tahu bahwa aku tidak sendirian. Ada orang-orang di sekitarku yang, meskipun tidak bisa menghapus luka, setidaknya bisa mendampingiku dalam setiap langkah kecil yang aku ambil.
Malam itu, aku kembali duduk di ruang tamu, di tempat yang biasa aku duduki saat ingin berpikir. Aku menatap langit malam yang cerah, dengan bulan yang bersinar lembut. Ada ketenangan yang datang dengan kehadiran bulan, seolah-olah ia mengerti apa yang sedang aku rasakan.
“Terima kasih, Ayah,” bisikku, meskipun aku tahu ia tidak akan mendengarnya. “Aku akan berusaha lebih kuat. Aku akan melangkah maju.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa sedikit lebih damai.
Mungkin, nggak semua luka bisa sembuh dalam semalam, dan kadang kenangan tetap akan ada, menempel erat. Tapi, seiring berjalannya waktu, kita belajar bahwa luka bukanlah akhir dari cerita. Justru, dia bisa jadi bagian dari perjalanan kita yang menguatkan.
Jadi, apapun yang kamu rasain sekarang, inget aja, kamu nggak sendirian. Semua orang punya cara masing-masing buat sembuhin luka. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, kamu bakal bisa berdamai sama masa lalu, tanpa harus melupakan apa pun.