Daftar Isi
Pernah enggak sih, ngerasain gimana rasanya semua yang kamu bangun bareng sama seseorang tiba-tiba runtuh begitu aja? Ini bukan cerita drama palsu, tapi kisah nyata yang bisa bikin hati siapa pun merasa perih.
Cinta, pengkhianatan, dan rasa sakit yang gak bisa disembuhin cuma dengan kata maaf. Gimana kalau kamu ada di posisi Alana, di mana setiap detik jadi penderitaan yang enggak bisa ditahan lagi?
Luka Hati Seorang Istri
Pesan yang Menghancurkan Segalanya
Langit di luar mendung, seakan ikut merasakan apa yang sedang terjadi di dalam rumah itu. Hujan mulai turun perlahan, membasahi kaca jendela, membentuk pola yang berantakan seperti hati seseorang yang sedang kacau. Di dalam kamar, suasana hening. Terlalu hening.
Di atas ranjang, Alana duduk diam dengan ponsel di tangannya. Layar masih menyala, menampilkan sebuah pesan yang tak seharusnya ia baca.
“Aku kangen kamu, kapan kita bisa bertemu lagi? Semalam masih kurang, sayang.”
Satu kalimat itu cukup untuk membuat dunia yang selama ini ia bangun hancur berkeping-keping. Napasnya berat, dadanya sesak. Pikirannya penuh pertanyaan yang berputar seperti pusaran air, menariknya ke dalam kegelapan.
Tangan Alana gemetar saat ia menggulir percakapan itu ke atas. Ada lebih banyak pesan. Foto-foto. Panggilan tak terjawab di dini hari. Janji-janji yang seharusnya hanya menjadi miliknya, kini dibagikan kepada orang lain.
Hatinya seakan teriris. Matanya panas, tapi tak ada air mata yang jatuh. Mungkin karena hatinya sudah terlalu sakit untuk menangis.
Lalu suara pintu depan terbuka.
Langkah kaki terdengar mendekat. Revan baru pulang.
Alana menghapus pesan-pesan itu dari layar, tapi bukan dari ingatannya. Ia meletakkan ponsel di sampingnya, menunggu.
Pintu kamar terbuka, dan Revan muncul di ambangnya. Wajahnya lelah, dasinya sudah longgar, kemejanya sedikit kusut. Ia tersenyum tipis. “Sayang, kok duduk di situ?”
Alana menatapnya tanpa ekspresi. Ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tapi hanya satu pertanyaan yang keluar.
“Kamu dari mana?”
Sejenak, ada keraguan di wajah Revan. Tapi kemudian ia tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih santai. “Lembur. Banyak kerjaan.”
Lembur. Kata itu menggantung di udara seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Alana menunduk, menatap jemarinya sendiri yang saling bertaut di pangkuannya. “Kerjaan yang menyenangkan ya, sampai ada yang bilang semalam masih kurang?”
Keheningan yang muncul setelah kalimat itu lebih memekakkan telinga dibandingkan suara petir yang baru saja menggelegar di luar.
Revan membeku. Matanya melebar sejenak sebelum ekspresinya berubah. Ia menarik napas, lalu berusaha tetap tenang. “Kamu lihat ponselku?”
Alana tertawa kecil, tapi bukan tawa yang menyenangkan. “Apa aku perlu melihatnya, Revan? Aku bukan perempuan bodoh.”
Revan menutup pintu, lalu berjalan mendekat. “Sayang, dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin—”
“Jelasin apa?” potong Alana cepat. “Kamu mau bilang itu cuma salah paham? Atau kamu mau bilang itu cuma teman?”
Revan mengusap wajahnya, tampak frustrasi. “Aku enggak mau ribut, Alana. Aku capek, bisa kita bicara baik-baik?”
“Bicara baik-baik?” Alana mengangguk kecil, lalu menatapnya dengan mata yang tak lagi penuh cinta seperti dulu. “Baiklah. Kita bicara. Siapa dia?”
Revan terdiam.
“Lama sudah?”
Masih tak ada jawaban.
Alana menghela napas, menahan emosi yang nyaris meledak. “Kamu masih mencintaiku?”
Revan menatapnya, tapi sekali lagi, ia tidak menjawab.
Kesunyian itu lebih menyakitkan daripada ribuan kata dusta.
Alana berdiri. Kali ini air matanya jatuh, tapi ia cepat-cepat menghapusnya. Ia berjalan ke arah meja rias, membuka laci, dan mengambil sesuatu. Sebuah cincin. Cincin kawinnya.
Ia menatap cincin itu lama, sebelum akhirnya menaruhnya di atas meja.
Revan melangkah maju, mencoba meraih tangannya. Tapi Alana mundur.
“Kamu sudah buat pilihan, dan aku juga.”
Di luar, hujan semakin deras, mengguyur dunia yang terasa semakin dingin dan sunyi.
Sunyi yang Menjawab
Hujan masih mengguyur deras, menampar jendela dengan ritme yang kacau, seolah ikut merasakan pertikaian yang baru saja terjadi di dalam kamar itu. Aroma tanah basah menyelinap ke dalam ruangan, tapi tak ada yang bisa menenangkan dada Alana yang terasa sesak.
Ia berdiri di depan meja rias, menatap cincin pernikahan yang kini tak lagi melingkar di jarinya. Di balik pantulan cermin, Revan masih berdiri di tempat yang sama, tatapannya sulit ditebak. Ada penyesalan di sana, tapi juga sesuatu yang lain. Kebingungan? Ketakutan? Atau hanya rasa bersalah yang datang bukan karena ia kehilangan Alana, melainkan karena perselingkuhannya terbongkar?
Alana membiarkan sunyi menjawab.
“Aku enggak pernah berniat nyakitin kamu,” suara Revan terdengar lirih, hampir tenggelam oleh suara hujan.
Alana tersenyum miris. “Tapi kamu tetap melakukannya.”
Revan terdiam. Ia mengulurkan tangannya, ingin menyentuh Alana, tapi langkahnya tertahan. “Aku sayang sama kamu, Na. Kamu tahu itu.”
Alana menatapnya tajam. “Sayang?” ucapnya pelan, seperti kata itu terasa asing di lidahnya. “Kalau ini yang kamu sebut sayang, aku enggak bisa bayangin bagaimana rasanya kalau kamu enggak sayang.”
Lagi-lagi, sunyi menjawab.
Revan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya dengan kasar. “Dengar, aku enggak mau kehilangan kamu. Aku tahu aku salah, tapi aku…”
“Kamu apa?” potong Alana cepat. “Kamu tergoda? Kamu khilaf? Atau kamu memang sudah enggak menginginkan aku lagi?”
Revan menggeleng. “Bukan gitu.”
Alana menyilangkan tangan di dadanya, menunggu. “Lalu apa? Beri aku satu alasan yang bisa buat aku bertahan.”
Revan membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Ia menunduk, menggenggam rambutnya sendiri, frustasi.
Saat itulah Alana mengerti.
Revan bukan tidak tahu jawabannya. Ia hanya tidak ingin mengatakannya dengan jujur.
Seharusnya ia marah. Seharusnya ia berteriak, menghujat, melempar apa pun yang bisa dijangkau tangannya. Tapi tidak. Yang ada hanya kehampaan yang perlahan merayapi dadanya, seperti kabut dingin yang menyelimuti tubuhnya tanpa ampun.
“Kenapa, Revan?” tanya Alana, suaranya melembut. “Kenapa kamu harus menghancurkan rumah yang sudah kita bangun bersama?”
Revan masih menunduk. Napasnya berat, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tertahan di tenggorokan.
Akhirnya, ia berbisik, “Aku enggak tahu.”
Jawaban itu lebih menyakitkan dari apa pun.
Alana mengangguk pelan. Matanya menatap cincin kawin mereka yang masih tergeletak di atas meja. Simbol yang dulunya penuh makna, kini hanya seonggok logam tanpa arti.
Perlahan, ia mengambil napas dalam. “Baiklah.”
Revan mengangkat wajahnya. “Baiklah?”
“Aku enggak akan menuntut apa pun,” ucap Alana dengan suara tenang. “Aku enggak akan meminta penjelasan lebih. Aku enggak akan memohon supaya kamu tetap di sini.”
Revan bangkit, panik mulai terlihat di matanya. “Alana, tunggu. Jangan begini.”
“Jangan begini?” Alana tertawa pelan, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Kamu tahu, Revan? Aku mungkin istri yang bodoh. Selama ini aku percaya kamu. Aku selalu mikir kalau kita baik-baik saja. Aku enggak pernah bayangin kamu bisa—”
Suaranya tercekat.
Revan mencoba mendekat lagi, tapi kali ini Alana mundur lebih jauh.
“Kita butuh waktu,” lanjut Alana, suaranya bergetar. “Atau mungkin… aku yang butuh waktu untuk belajar hidup tanpa kamu.”
Revan menggeleng keras. “Enggak, Alana. Jangan kayak gini. Aku bakal perbaiki semuanya. Aku janji.”
Alana menatapnya dalam. Lalu, ia tersenyum kecil—senyum yang menyayat lebih dari air mata.
“Kamu sudah punya kesempatan, Revan. Dan kamu memilih untuk menghancurkannya.”
Hujan masih turun. Deras.
Di antara mereka, hanya sunyi yang menjawab.
Kepergian yang Tidak Pernah Direncanakan
Malam semakin larut, tapi apartemen mereka terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara televisi yang biasa menemani, tidak ada aroma teh hangat yang selalu Alana buat sebelum tidur, dan yang paling terasa—tidak ada lagi perasaan nyaman yang dulu memenuhi ruangan ini.
Revan duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Pikirannya berantakan, tapi hatinya lebih kacau. Di depan matanya, Alana berdiri dengan koper kecil di tangannya.
“Kamu mau ke mana?” suara Revan serak, hampir seperti bisikan.
Alana menatapnya sekilas. “Aku enggak tahu.”
Jawaban itu seharusnya membuat Revan lega. Artinya, Alana tidak langsung pergi untuk selamanya, bukan? Tapi, entah kenapa, jawaban itu justru terasa lebih menyesakkan.
“Kamu enggak perlu pergi, Na,” lanjutnya, berusaha mencari sisa harapan. “Kita bisa bicara lagi. Aku bisa jelasin semuanya.”
Alana tersenyum kecil—senyum yang tidak lagi hangat seperti dulu. “Kamu sudah jelasin, Revan. Dan aku sudah dengar semuanya.”
“Tapi—”
“Aku butuh waktu,” potong Alana lembut. “Aku enggak mau ambil keputusan sekarang, tapi aku juga enggak bisa terus ada di sini.”
Revan menelan ludah. “Kalau gitu, aku yang pergi.”
Alana menggeleng. “Ini rumah kamu. Aku yang harus pergi.”
Revan berdiri, panik mulai memenuhi dadanya. “Dengar, Alana. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku nyakitin kamu. Tapi kamu harus kasih aku kesempatan buat benerin semua.”
Alana menarik napas panjang. “Kesempatan?” ia mengulang kata itu dengan suara lirih.
Revan mengangguk. “Aku bakal buktiin kalau aku masih pantas buat kamu.”
Alana menatapnya lama, seperti sedang mencoba menemukan sesuatu dalam diri pria itu. Tapi, pada akhirnya, ia hanya tersenyum lagi—kali ini lebih sedih dari sebelumnya.
“Kamu mau memperbaiki sesuatu yang sudah rusak?” Alana menggeleng pelan. “Revan, kalau sebuah kaca sudah retak, kita bisa lem lagi, tapi retaknya tetap ada. Dan aku… aku enggak tahu apakah aku bisa melihat kamu dengan cara yang sama lagi.”
Dada Revan semakin sesak. Kata-kata Alana seperti pisau yang mengirisnya perlahan.
“Tolong, Na,” suaranya hampir putus. “Jangan pergi.”
Alana menatapnya, dan untuk pertama kalinya, matanya benar-benar berkaca-kaca. “Aku enggak pergi karena aku benci kamu, Revan,” bisiknya. “Aku pergi karena aku masih cinta kamu. Dan aku enggak tahu apakah aku sanggup terus tinggal di sini sambil membawa luka ini.”
Revan menggeleng pelan, tidak terima dengan kenyataan yang ada di depannya.
Alana memegang gagang koper dengan lebih erat. “Aku bakal cari tempat sementara. Aku butuh waktu buat mikir. Jadi… tolong jangan cari aku dulu.”
Revan berdiri terpaku, tidak bisa berbuat apa-apa saat wanita yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu mulai melangkah menuju pintu.
Setiap langkah Alana terasa seperti jarak yang semakin menjauhkan mereka.
Saat tangannya menyentuh kenop pintu, Revan akhirnya bersuara. “Alana.”
Alana berhenti, tapi tidak berbalik.
“Kamu bakal balik lagi, kan?” suara Revan penuh harap.
Alana terdiam cukup lama sebelum akhirnya berbisik, “Aku juga enggak tahu, Revan.”
Kemudian, pintu terbuka.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Alana pergi meninggalkan rumah yang dulu mereka sebut sebagai tempat pulang.
Revan tetap berdiri di tempatnya, membiarkan kesunyian yang tersisa menjawab segalanya.
Luka yang Tak Sembuh, Hati yang Tak Kembali
Revan menatap kosong ke arah pintu yang masih sedikit terbuka. Udara dingin malam mengalir masuk, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil. Kekosongan yang tiba-tiba datang lebih mengerikan daripada angin malam mana pun.
Alana benar-benar pergi.
Seharusnya Revan mengejarnya. Seharusnya ia tidak membiarkan Alana berjalan sendirian di tengah malam dengan hati yang remuk. Tapi kakinya seperti tertanam di lantai, hatinya seperti dihancurkan sesuatu yang tidak bisa ia perbaiki.
Sejak kepergian Alana, apartemen ini berubah menjadi ruang hampa tanpa kehidupan. Tidak ada aroma kopi yang biasa menyambutnya di pagi hari. Tidak ada suara Alana yang mengomel saat ia lupa meletakkan handuk di tempatnya. Tidak ada apa pun selain kesunyian yang terasa menusuk.
Revan mencoba menghubungi Alana berkali-kali, tapi pesannya hanya berakhir dengan tanda centang satu. Ia bahkan datang ke rumah orang tua Alana, berharap ia ada di sana, tapi hanya bertemu dengan tatapan kecewa dari mertuanya.
“Dia butuh waktu, Revan,” kata ibu Alana dengan nada dingin.
“Tapi aku harus bicara sama dia. Aku harus minta maaf lagi,” balas Revan dengan suara hampir bergetar.
Ibu Alana menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Maaf itu bukan soal kata-kata, Revan. Itu soal bagaimana kamu bertanggung jawab atas luka yang kamu buat.”
Revan terdiam.
Malam itu, ia kembali ke apartemennya yang terasa semakin sepi. Duduk di sofa yang sama tempat Alana pernah mengatakannya bahwa ia tidak tahu apakah bisa melihat Revan dengan cara yang sama lagi.
Dan itulah yang membuat Revan semakin takut.
Bagaimana jika Alana benar-benar tidak kembali?
Bagaimana jika kepergiannya bukan hanya sementara?
Waktu berlalu lebih lambat dari biasanya.
Minggu pertama, Revan masih menunggu dengan harapan Alana akan menghubunginya. Tapi harapan itu terus mengecil seiring berjalannya hari.
Bulan pertama, Revan mulai menyadari bahwa Alana tidak akan kembali secepat yang ia harapkan.
Bulan kedua, ia menerima surat cerai.
Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Nama Alana tertulis jelas di lembaran itu, begitu juga dengan namanya. Semua perasaan yang selama ini ia pendam, semua doa yang ia panjatkan agar Alana kembali, hancur dalam satu kali tarikan napas.
Ia tidak bisa mengelak lagi.
Ini bukan sekadar waktu yang Alana butuhkan. Ini adalah keputusan yang telah dibuatnya.
Revan menatap surat itu lama, berharap ada bagian dari dirinya yang bisa menolak kenyataan ini. Tapi tidak ada.
Ia menutup matanya, membiarkan kepedihan menyelimutinya untuk terakhir kali.
Beberapa bulan kemudian…
Revan duduk di dalam mobilnya, memandangi sebuah kafe kecil di seberang jalan. Alana ada di sana, sedang duduk di salah satu meja dekat jendela.
Ia terlihat lebih tenang. Lebih damai.
Revan tidak tahu apakah itu berarti Alana sudah bahagia, atau ia hanya terbiasa hidup tanpa dirinya. Tapi yang jelas, wanita itu tidak lagi terlihat seperti seseorang yang membawa luka berat di hatinya.
Dan itu sudah cukup untuk Revan.
Ia meraih dokumen di kursi penumpang—surat cerai yang telah ditandatanganinya.
Ini bukan akhir yang ia inginkan, tapi mungkin ini adalah akhir yang paling adil bagi Alana.
Dengan napas berat, ia turun dari mobil, berjalan menuju kafe, dan untuk terakhir kalinya, melepaskan seseorang yang paling ia cintai.
Jadi, kadang dalam hidup, kita harus ngerima kenyataan meskipun itu pahit banget. Cinta yang dulunya ada, bisa aja berubah jadi luka yang dalam, dan kita cuma bisa berharap waktu yang akan sembuhin semuanya.
Tapi, nggak ada yang bisa ngubah kenyataan kalau cinta itu enggak cukup buat ngelawan segalanya. Yang penting, kita tetap hidup dan belajar dari semua kesalahan, karena hidup gak selalu sesuai ekspektasi.


