Daftar Isi
“Luka di Balik Senyum” adalah cerpen menyentuh yang mengisahkan perjuangan sebuah keluarga menghadapi cobaan berat, diwarnai dengan emosi mendalam dan ikatan kasih yang tak pernah pudar. Ditulis dengan detail yang memikat, cerita ini membawa pembaca ke dalam perjalanan Aisyah, seorang remaja yang berjuang menjaga harapan di tengah penyakit kakaknya dan luka masa lalu keluarganya. Artikel ini akan mengulas keindahan narasi, makna di balik cerita, dan alasan mengapa cerpen ini wajib dibaca bagi pecinta sastra emosional.
Luka di Balik Senyum
Hujan di Pagi yang Kelabu
Hujan turun perlahan di pagi itu, menciptakan irama lembut yang memecah kesunyian. Di sebuah rumah sederhana bercat putih yang sudah mulai mengelupas, Aisyah duduk di beranda, menatap tetes air yang jatuh dari atap seng. Usianya baru 16 tahun, tetapi matanya menyimpan beban yang terlalu berat untuk seorang remaja. Rambutnya yang panjang tergerai, sedikit basah karena embun pagi, dan wajahnya yang pucat seolah mencerminkan hatinya yang rapuh.
Di tangannya, ia memegang sebuah foto lama. Foto itu menampilkan keluarganya—ayah, ibu, dan kakaknya, Rian—tersenyum lebar di tepi pantai. Aisyah masih ingat hari itu: angin laut yang sejuk, tawa ibunya yang renyah, dan candaan kakaknya yang selalu membuatnya kesal sekaligus bahagia. Tapi itu dulu, tiga tahun lalu, sebelum semuanya berubah.
“Aisyah, masuk! Nanti kamu sakit!” Suara ibunya, Mira, terdengar dari dalam rumah. Nada suaranya tegas, tapi Aisyah tahu itu hanya kedok. Ibunya selalu berusaha terlihat kuat, padahal Aisyah sering mendengar isak tangisnya di malam hari, saat ibu mengira semua orang sudah tertidur.
Aisyah menarik napas dalam-dalam, memasukkan foto itu ke dalam saku jaketnya, dan melangkah masuk. Di ruang tamu, ibunya sedang menyiapkan sarapan: nasi goreng sederhana dengan telur dan sedikit kol. Bau harumnya memenuhi ruangan, tapi Aisyah tidak merasa lapar. Ia hanya duduk di kursi kayu yang sudah reyot, memandang piring di depannya dengan tatapan kosong.
“Kenapa diam saja? Makan, Say. Kamu harus kuat, hari ini kita ke dokter lagi,” kata Mira sambil menuang teh hangat ke cangkir Aisyah.
Aisyah mengangguk pelan, tapi hatinya terasa sesak. Dokter. Kata itu selalu membawa perasaan takut yang tak bisa ia jelaskan. Bukan karena ia takut disuntik atau menjalani pemeriksaan, tapi karena setiap kunjungan ke dokter mengingatkannya pada kenyataan pahit: kakaknya, Rian, sedang berjuang melawan leukemia.
Rian, kakaknya yang berusia 20 tahun, dulu adalah sosok yang penuh energi. Ia selalu jadi penutup dalam setiap lelucon keluarga, selalu jadi pelindung Aisyah saat ia diganggu teman-temannya di sekolah. Tapi sekarang, Rian hanya bisa terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat, dan senyumnya—senyum yang dulu begitu cerah—kini hanya muncul sesekali, seperti nyala lilin yang hampir padam.
“Aku nggak mau ke dokter, Bu. Aku mau ke sekolah,” ujar Aisyah tiba-tiba, suaranya lirih tapi penuh penolakan.
Mira menghentikan gerakannya. Ia memandang Aisyah dengan mata yang penuh campuran antara kemarahan dan kesedihan. “Aisyah, kamu tahu kita harus ke sana. Rian butuh kita. Dokter bilang ada kemajuan, kita harus dengar penjelasannya.”
“Kemajuan apa, Bu?” Aisyah tak bisa menahan nada getir dalam suaranya. “Sudah berbulan-bulan, Bu. Rian nggak pernah kelihatan lebih baik. Aku… aku cuma ingin semuanya kembali seperti dulu.” Suaranya pecah, dan air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya.
Mira terdiam. Ia ingin memeluk anaknya, ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi kata-kata itu terasa hampa. Ia sendiri tidak yakin. Tapi sebagai ibu, ia harus tetap berdiri tegak, meski hatinya sudah retak berkali-kali.
“Aisyah, dengar Ibu,” katanya lembut, berjalan mendekati Aisyah dan memegang pundaknya. “Kita nggak boleh menyerah. Rian masih berjuang, dan kita harus berjuang bersamanya. Kamu mengerti?”
Aisyah mengangguk, tapi hatinya masih terasa berat. Ia tahu ibunya benar, tapi ada bagian dalam dirinya yang lelah—lelah melihat kakaknya menderita, lelah melihat ibunya berpura-pura kuat, lelah dengan hidup yang seolah terus merenggut kebahagiaan mereka.
Pagi itu, setelah sarapan yang hampir tidak tersentuh, Aisyah dan Mira bersiap menuju rumah sakit. Hujan masih turun, makin deras, seolah mencerminkan badai yang berkecamuk di hati mereka. Di dalam mobil tua yang sering mogok, Aisyah menatap jalanan yang buram karena air hujan. Di sakunya, ia meraba foto keluarga itu lagi, seolah mencari kekuatan dari kenangan yang sudah lama terkubur.
Saat mobil berhenti di pelataran rumah sakit, Aisyah melihat sosok Rian dari jendela kamarnya di lantai tiga. Kakaknya sedang duduk di ranjang, memandang ke luar dengan tatapan kosong. Aisyah ingin berlari ke sana, memeluknya, dan berkata bahwa ia akan melakukan apa saja agar Rian sembuh. Tapi ia tahu, harapan itu terasa semakin jauh, seperti hujan yang terus jatuh tanpa tahu kapan akan berhenti.
Bayang-Bayang di Kamar 312
Ruang rawat inap di lantai tiga rumah sakit berbau karbol yangvisualmin yang menyengat, bercampur dengan aroma obat-obatan. Aisyah melangkah pelan menyusuri koridor yang diterangi lampu neon putih, tangannya mencengkeram tali tas ransel yang sudah usang. Di sampingnya, Mira berjalan dengan langkah mantap, meski Aisyah tahu ibunya sedang berusaha menyembunyikan kegelisahan di balik wajah tenangnya. Mereka menuju kamar 312, tempat Rian dirawat selama hampir setahun terakhir.
Saat Aisyah membuka pintu kamar, ia langsung disambut pemandangan yang sudah terlalu akrab: Rian terbaring di ranjang rumah sakit, selang infus menempel di lengannya yang kurus. Wajahnya pucat, tulang pipinya menonjol, dan rambutnya yang dulu tebal kini hanya tersisa beberapa helai tipis akibat kemoterapi. Namun, saat melihat Aisyah dan ibunya masuk, Rian memaksakan senyum. Senyum itu lemah, tapi bagi Aisyah, itu seperti secercah cahaya di tengah kegelapan.
“Eh, duo cewek favoritku datang,” kata Rian, suaranya serak tapi berusaha ceria. Ia mencoba duduk, tapi gerakannya lambat, seperti membawa beban tak kasat mata.
Mira segera mendekat, membantunya menyangga punggung dengan bantal. “Jangan memaksakan diri, Ri. Istirahat saja,” katanya lembut, tapi ada nada khawatir yang tak bisa disembunyikan.
Aisyah berdiri di dekat pintu, ragu untuk mendekat. Ia ingin memeluk kakaknya, ingin bercanda seperti dulu, tapi setiap kali melihat Rian, hatinya seperti ditusuk. Ia takut, takut bahwa setiap kunjungan ini bisa jadi yang terakhir. Akhirnya, ia memaksakan diri melangkah dan duduk di kursi plastik di samping ranjang.
“Kamu kenapa murung begitu, Say? Cerita dong, ada apa di sekolah?” tanya Rian, matanya yang sayu tetap berusaha penuh perhatian.
Aisyah menggigit bibirnya. Ia ingin bercerita, ingin mengeluh tentang teman-temannya yang mulai menjauh karena ia sering bolos, atau tentang tugas sekolah yang menumpuk. Tapi semua itu terasa remeh dibandingkan apa yang Rian hadapi. “Nggak ada apa-apa, Kak. Biasa aja,” jawabnya singkat, menunduk untuk menghindari tatapan Rian.
Rian menghela napas pelan. “Aisyah, kamu nggak perlu nutup-nutupin perasaanmu dari aku. Aku mungkin sakit, tapi aku masih kakakmu, tahu?”
Kata-kata itu seperti membuka bendungan di hati Aisyah. Air matanya menggenang, tapi ia buru-buru mengusapnya, tak ingin Rian melihat. “Aku cuma… aku cuma nggak tahu harus ngomong apa, Kak. Aku benci lihat kamu begini,” ucapnya, suaranya bergetar.
Ruangan terdiam. Mira, yang sedang merapikan meja kecil di sudut kamar, menghentikan gerakannya. Ia memandang Aisyah, lalu Rian, tapi tak berkata apa-apa. Rian menatap adiknya dengan penuh kasih, meski matanya sendiri berkaca-kaca.
“Say, dengar,” katanya pelan. “Aku juga benci keadaan ini. Tapi kalau aku menyerah, apa artinya perjuangan Ibu? Apa artinya kamu masih datang ke sini setiap minggu? Kalian berdua adalah alasan aku masih bertahan.”
Aisyah mengangguk, tapi hatinya tetap berat. Ia tahu Rian berusaha menghiburnya, tapi kata-kata itu justru membuatnya merasa bersalah. Mengapa ia yang sehat justru merasa lemah, sementara Rian, yang berjuang melawan maut, masih bisa tersenyum?
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, dan dokter Andi, dokter yang menangani Rian, masuk dengan senyum profesional di wajahnya. Ia membawa beberapa lembar kertas—hasil tes terbaru, mungkin. Mira segera berdiri, tangannya tanpa sadar mencengkeram tasnya erat-erat.
“Pagi, keluarga Pak Rian,” sapa dokter Andi. “Ada kabar yang ingin saya sampaikan.”
Jantung Aisyah berdegup kencang. Ia memandang ibunya, yang wajahnya penuh harap bercampur ketakutan. Rian, di ranjangnya, hanya menatap dokter dengan ekspresi tenang, seolah sudah siap menerima apa pun.
“Kami melihat ada sedikit peningkatan pada jumlah sel darah putih Rian,” lanjut dokter Andi. “Ini bukan berarti kita sudah keluar dari bahaya, tapi ini langkah ke arah yang benar. Kita akan coba sesuaikan dosis kemoterapi dan lihat responsnya dalam dua minggu ke depan.”
Mira menghela napas lega, tangannya meremas lengan Aisyah dengan lembut. “Alhamdulillah,” gumamnya, suaranya penuh syukur. Tapi Aisyah tidak bisa ikut tersenyum. Ia sudah terlalu sering mendengar kata “peningkatan” atau “harapan”, hanya untuk kemudian dihantam kekecewaan. Ia ingin percaya, tapi ketakutannya lebih besar.
Setelah dokter Andi pergi, Mira mulai bercerita tentang rencana ke depan—mungkin menambah jam kunjungan, atau mencari donatur untuk biaya pengobatan yang terus membengkak. Tapi Aisyah tidak benar-benar mendengarkan. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke malam-malam saat ia dan Rian duduk di teras rumah, makan jagung bakar sambil bercanda tentang impian mereka. Rian ingin jadi pilot, terbang ke seluruh dunia. Aisyah ingin jadi penulis, menciptakan cerita yang menginspirasi orang. Kini, impian itu terasa seperti dongeng yang tak akan pernah jadi kenyataan.
“Say, kamu dengar nggak?” suara Mira memecah lamunannya.
Aisyah tersentak. “Maaf, Bu. Apa tadi?”
Mira menghela napas, tapi tak marah. “Ibu bilang, besok Ibu mau ke bank, cek tabungan. Kamu mau ikut?”
Aisyah menggeleng. “Nggak, Bu. Aku mau ke sekolah besok. Ada ulangan.”
Rian tertawa kecil, suaranya lemah tapi tulus. “Itu dia adikku. Jangan sampai nilaimu jelek gara-gara aku, ya.”
Aisyah memaksakan senyum, tapi hatinya terasa semakin sesak. Ia ingin berjanji pada Rian bahwa ia akan baik-baik saja, bahwa ia akan kuat untuk kakaknya. Tapi di dalam hati, ia tak yakin bisa menepati janji itu.
Saat waktu kunjungan hampir usai, Aisyah berdiri untuk pamit. Ia memeluk Rian dengan hati-hati, takut menyakitinya. “Cepat sembuh, Kak,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Rian mengusap rambutnya pelan. “Aku usaha, Say. Buat kamu dan Ibu.”
Saat Aisyah dan Mira keluar dari kamar 312, hujan di luar sudah reda, tapi langit masih mendung. Aisyah menatap jendela kamar Rian dari pelataran rumah sakit, melihat bayang-bayang kakaknya yang kini kembali terbaring. Ia merasa seperti membawa beban dunia di pundaknya, dan untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri: jika Rian tak bisa bertahan, akankah ia dan ibunya mampu bertahan?
Beban yang Tak Terucap
Sore itu, langit di atas kota kecil itu berwarna kelabu, dengan awan tebal yang seolah menahan matahari untuk tidak muncul. Aisyah berjalan pulang dari sekolah, memilih berjalan kaki meski ibunya biasanya menjemput. Ia ingin sendiri, ingin merasakan udara dingin yang menyengat kulitnya, seolah itu bisa membantunya melupakan beban di dadanya. Tas ranselnya yang penuh buku terasa lebih berat dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Aisyah, yang sejak kunjungan ke rumah sakit kemarin tak bisa berhenti memikirkan Rian.
Jalanan di kampung mereka berdebu, dengan beberapa genangan air sisa hujan pagi. Aisyah melangkah hati-hati, menghindari lumpur yang menempel di sepatunya yang sudah usang. Di sepanjang jalan, ia melewati warung Bu Tini, tempat ia dan Rian dulu sering membeli es lilin setelah pulang sekolah. Ia masih ingat bagaimana Rian selalu memilih rasa kelapa, sementara ia lebih suka cokelat. Rian akan menggoda, bilang cokelat itu membosankan, dan mereka akan berdebat kecil sampai akhirnya tertawa bersama. Kenangan itu kini terasa seperti pisau yang menusuk pelan, mengingatkannya pada apa yang telah hilang.
Saat sampai di rumah, Aisyah mendapati pintu depan sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan, dan aroma masakan—mungkin sayur kol dan ikan asin—menguar dari dapur. Tapi suasana rumah terasa berbeda, lebih sepi, lebih berat. Di ruang tamu, ia melihat ibunya, Mira, duduk di sofa tua dengan kepala tertunduk. Di depannya, ada tumpukan kertas yang berceceran di meja: tagihan rumah sakit, kwitansi, dan beberapa amplop yang tampak belum dibuka.
“Bu, aku pulang,” sapa Aisyah pelan, menutup pintu di belakangnya.
Mira tersentak, buru-buru mengumpulkan kertas-kertas itu seolah tak ingin Aisyah melihat. “Oh, Say, kamu sudah pulang. Kenapa nggak bilang kalau mau jalan kaki? Ibu tadi mau jemput,” katanya, suaranya berusaha ceria tapi ada nada pecah yang tak bisa disembunyikan.
Aisyah tak menjawab langsung. Ia melepas tasnya, meletakkannya di lantai, dan duduk di kursi di depan ibunya. Matanya tertuju pada tumpukan kertas yang kini disembunyikan Mira di bawah majalah tua. “Itu apa, Bu?” tanyanya, meski ia sudah bisa menebak.
Mira menghela napas, tangannya gemetar saat ia mencoba tersenyum. “Cuma… urusan Ibu, Say. Tagihan biasa. Kamu nggak perlu pikirin.”
“Bu, aku nggak kecil lagi,” kata Aisyah, suaranya tegas tapi penuh emosi. “Aku tahu itu tagihan rumah sakit. Untuk Rian, kan?”
Mira terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia ingin berbohong, ingin melindungi Aisyah dari kenyataan, tapi ia tahu putrinya bukan lagi anak kecil yang bisa dibujuk dengan kata-kata manis. “Ya, Say,” akunya akhirnya, suaranya lirih. “Ini tagihan bulan ini. Dan… Ibu nggak tahu dari mana lagi kita bisa bayar.”
Aisyah merasa jantungnya seperti dihantam. Ia selalu tahu keadaan keluarga mereka sulit, tapi mendengar ibunya mengatakannya langsung membuat semuanya terasa nyata. “Berapa, Bu?” tanyanya, meski tak yakin ingin tahu jawabannya.
Mira ragu sejenak, lalu mengambil salah satu kertas dari tumpukan itu. “Lima puluh dua juta,” katanya pelan, seolah angka itu adalah vonis. “Itu belum termasuk obat-obatan tambahan yang dokter sarankan. Dan tabungan kita… tinggal tiga juta.”
Angka itu terasa seperti pukulan di wajah Aisyah. Ia tahu pengobatan Rian mahal, tapi tak pernah membayangkan sebesar ini. Ia teringat wajah Rian di rumah sakit kemarin, senyumnya yang lemah, dan kata-katanya yang penuh harapan meski tubuhnya semakin rapuh. Bagaimana mungkin mereka tak bisa membayar untuk menyelamatkan kakaknya?
“Bu, kita bisa pinjam lagi, kan? Ke bank? Atau ke tetangga?” tanya Aisyah, suaranya penuh harap meski ia tahu jawabannya.
Mira menggeleng pelan, air mata akhirnya jatuh ke pipinya. “Bank nggak mau kasih pinjaman lagi, Say. Dan tetangga… kita sudah minta bantuan ke hampir semua orang. Ibu bahkan sudah coba hubungi keluarga di kampung, tapi mereka juga nggak bisa bantu banyak.”
Aisyah merasa dadanya sesak. Ia ingin berteriak, ingin memaki dunia yang seolah sengaja membuat hidup mereka semakin sulit. Tapi yang keluar hanya isak pelan. “Jadi… Rian? Kalau kita nggak bisa bayar, apa yang bakal terjadi sama dia?”
Mira bangkit dari sofa, berlutut di depan Aisyah, dan memegang kedua tangannya erat. “Jangan bilang begitu, Say. Ibu akan cari cara. Ibu janji. Mungkin… mungkin Ibu bisa jual tanah kecil di kampung, atau… atau Ibu akan kerja tambahan.”
“Bu, Ibu sudah kerja siang malam!” Aisyah tak bisa menahan emosinya lagi. “Ibu jahit baju sampai tengah malam, kadang sampai lupa makan! Kalau Ibu sakit, siapa yang bakal jaga kami?”
Kata-kata itu seperti pisau bagi Mira. Ia memeluk Aisyah erat, menangis dalam diam. “Ibu nggak akan sakit, Say. Ibu harus kuat, demi kamu dan Rian.”
Tapi Aisyah tahu, ibunya sudah di ujung batas. Ia bisa melihatnya dari lingkaran hitam di bawah mata Mira, dari tangannya yang semakin kurus, dari suaranya yang sering gemetar. Aisyah ingin percaya bahwa ibunya bisa menyelesaikan semua ini, tapi kenyataan di depan mereka terasa seperti tembok yang tak bisa ditembus.
Malam itu, setelah makan malam yang hambar—hanya nasi dengan sayur kol dan sedikit ikan asin—Aisyah duduk di kamarnya, memandang foto keluarga yang selalu ia simpan di laci meja. Foto itu diambil saat mereka masih utuh, saat ayah masih ada, saat Rian masih sehat. Ia memikirkan ayahnya, yang pergi tanpa kabar setelah bertengkar dengan ibu. Aisyah tak pernah benar-benar memaafkan ayahnya, tapi malam itu, sebuah pikiran muncul: bagaimana jika ayahnya bisa membantu?
Dengan tangan gemetar, Aisyah mengambil ponsel tuanya, yang layarnya sudah retak di sudut. Ia membuka aplikasi pesan dan mencari nomor ayahnya, yang masih tersimpan meski tak pernah ia hubungi selama dua tahun. Ia tahu kemungkinan ayahnya membalas sangat kecil—ayahnya bahkan tak pernah mengirim kabar ulang tahun untuknya atau Rian. Tapi ia tak punya pilihan lain.
“Pa, ini Aisyah,” ketiknya, jari-jarinya berhenti sejenak karena ragu. “Rian sakit parah, leukemia. Kami butuh bantuan untuk biaya pengobatan. Tolong balas, Pa. Aku mohon.”
Ia menekan tombol kirim, lalu menatap layar ponsel dalam diam, berharap notifikasi muncul. Satu menit berlalu, lalu lima menit, tapi ponsel itu tetap bisu. Aisyah meletakkan ponsel di meja, merasa bodoh karena berharap. Tapi di sudut hatinya, ia masih membayangkan ayahnya muncul, membawa solusi, seperti pahlawan dalam cerita-cerita yang dulu ia baca.
Di luar, malam semakin gelap. Aisyah mendengar suara ibunya di kamar sebelah, berbicara pelan di telepon, mungkin dengan dokter atau kerabat. Suara itu penuh keputusasaan, meski Mira berusaha menyembunyikannya. Aisyah menarik selimut, memeluk bantal, dan menutup mata, berharap mimpi bisa membawanya kembali ke masa ketika keluarganya masih utuh. Tapi di dalam hati, ia tahu: realitas yang menunggunya esok pagi jauh lebih kejam dari mimpi buruk mana pun.
Cahaya di Ujung Hujan
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah jendela kamar Aisyah, membentuk garis-garis emas di lantai kayu yang sudah usang. Ia terbangun dengan perasaan aneh—campuran antara harapan dan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. Ponselnya masih tergeletak di meja samping ranjang, layarnya gelap, tanpa notifikasi dari ayahnya. Pesan yang ia kirim semalam seolah tenggelam di lautan keheningan, tapi Aisyah tak bisa menyerah begitu saja. Ia bangkit, mencuci muka dengan air dingin yang membuatnya sedikit tersadar, dan bersiap menghadapi hari yang entah akan membawa kabar baik atau buruk.
Di dapur, Mira sudah sibuk menyiapkan sarapan: nasi goreng sisa kemarin dengan tambahan telur dadar yang sedikit gosong di pinggirnya. Wajah ibunya tampak lebih pucat dari biasanya, dengan lingkaran hitam di bawah mata yang semakin jelas. Aisyah tahu ibunya mungkin tak tidur semalaman, mungkin sibuk menghitung angka-angka di tagihan atau mencari solusi yang tak kunjung datang.
“Bu, hari ini kita ke rumah sakit lagi?” tanya Aisyah sambil duduk di meja makan, mengambil sepiring nasi goreng meski nafsu makannya nyaris hilang.
Mira mengangguk, tangannya sibuk mengaduk teh di cangkir. “Iya, Say. Dokter bilang ada hasil tes baru untuk Rian. Ibu harap… harap ini kabar baik.” Suaranya penuh harap, tapi Aisyah bisa mendengar keraguan di baliknya.
Perjalanan ke rumah sakit terasa lebih panjang dari biasanya. Mobil tua mereka berderit di setiap tikungan, dan hujan mulai turun lagi, gerimis kecil yang membuat jalanan licin. Aisyah memandang keluar jendela, melihat anak-anak kecil berlarian di trotoar dengan payung warna-warni. Ia teringat masa kecilnya, ketika ia dan Rian akan melompat-lompat di genangan air, tertawa sampai perut mereka sakit, sementara ibu memarahi mereka karena baju basah. Kenangan itu kini terasa seperti lukisan yang memudar, hanya menyisakan bayang-bayang kebahagiaan.
Sesampainya di kamar 312, Aisyah langsung disambut oleh pemandangan yang membuat hatinya mencelos: Rian duduk di ranjang, bukan terbaring seperti biasanya. Ia memegang buku sketsa tua, jari-jarinya yang kurus menggenggam pensil dengan hati-hati. Wajahnya masih pucat, tapi ada sedikit warna di pipinya, seolah semangatnya sedang berjuang untuk kembali.
“Say, lihat ini!” seru Rian, suaranya lemah tapi antusias. Ia menunjukkan sketsa di bukunya—gambar seorang gadis kecil dengan rambut panjang, berdiri di tepi pantai, memandang ombak. “Ini kamu, waktu kita ke pantai dulu. Ingat nggak?”
Aisyah mendekat, matanya berkaca-kaca saat melihat gambar itu. Detail ombak yang bergulung, kerang-kerang kecil di pasir, dan ekspresi gadis itu—semuanya begitu hidup, seolah Rian menuangkan sisa tenaganya ke dalam sketsa itu. “Kak, kamu masih bisa gambar begini?” tanyanya, suaranya bergetar.
Rian tersenyum, senyum yang lebih tulus dari sebelumnya. “Harus dong. Kalau aku cuma tiduran, aku bakal bosan. Lagipula, aku mau kasih ini buat kamu, biar kamu punya sesuatu buat diingat.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Aisyah. “Jangan ngomong gitu, Kak. Kamu bakal sembuh, dan kita bakal ke pantai lagi bareng,” katanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri sebanyak ia meyakinkan Rian.
Sebelum Rian bisa menjawab, dokter Andi masuk, membawa map berisi dokumen. Mira berdiri, tangannya tanpa sadar mencengkeram lengan Aisyah. “Dok, bagaimana hasilnya?” tanya Mira, suaranya penuh ketegangan.
Dokter Andi tersenyum, tapi ada keraguan di matanya. “Ada kabar baik dan… tantangan baru,” katanya. “Sel darah putih Rian menunjukkan peningkatan, dan tubuhnya mulai merespons kemoterapi dengan lebih baik. Tapi, kami menemukan infeksi kecil di paru-parunya. Kami harus tambah antibiotik kuat, dan itu… akan menambah biaya.”
Mira memucat, tangannya melemas. “Berapa, Dok?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
“Sekitar dua puluh juta untuk dua minggu ke depan,” jawab dokter Andi, nada suaranya penuh empati. “Saya tahu ini berat, Bu. Tapi infeksi ini harus segera ditangani, atau kondisi Rian bisa memburuk.”
Aisyah merasa dunia di sekitarnya berputar. Dua puluh juta lagi? Mereka bahkan tak bisa membayar tagihan sebelumnya. Ia memandang ibunya, yang kini menunduk, bahunya gemetar. Rian, di ranjangnya, hanya menatap mereka dengan mata penuh rasa bersalah, seolah ia merasa dirinya adalah beban.
“Bu, kita bisa cari cara,” kata Aisyah, meski ia sendiri tak yakin. “Mungkin… mungkin aku bisa kerja paruh waktu, atau jual barang-barangku.”
Mira menggeleng, air mata mengalir di pipinya. “Kamu nggak boleh pikir begitu, Say. Kamu harus sekolah, itu yang terpenting.”
Tiba-tiba, ponsel Aisyah bergetar di saku jaketnya. Ia mengambilnya dengan tangan gemetar, hampir tak percaya saat melihat nama di layar: “Papa”. Jantungnya berdegup kencang. Ia membuka pesan itu, dan kata-kata sederhana di layar membuatnya membeku:
“Aisyah, Papa di kota. Kita ketemu sore ini di rumah sakit. Papa akan bantu.”
Aisyah menatap pesan itu, tak tahu apakah harus bahagia atau takut. Ayahnya, yang selama dua tahun menghilang, kini tiba-tiba muncul. Apakah ini harapan yang mereka cari, atau hanya luka baru yang akan terbuka? Ia menunjukkan pesan itu pada ibunya, yang wajahnya langsung berubah—campuran antara kaget, marah, dan harap.
“Sore ini?” gumam Mira, suaranya penuh ketidakpastian. “Setelah sekian lama, dia muncul begitu saja?”
Rian, yang mendengar percakapan mereka, berkata pelan, “Biarkan dia datang, Bu. Kalau dia serius mau bantu, kita butuh itu sekarang.”
Sore itu, di pelataran rumah sakit, Aisyah dan Mira menunggu dengan hati penuh gelisah. Hujan sudah reda, meninggalkan udara yang sejuk dan aroma tanah basah. Ketika sebuah mobil tua berhenti di dekat mereka, Aisyah melihat sosok ayahnya, Budi, turun dari kursi pengemudi. Wajahnya lebih tua, rambutnya mulai memutih, tapi matanya—mata yang dulu selalu penuh tawa—kini menyimpan penyesalan yang dalam.
“Aisyah… Mira…” sapa Budi, suaranya serak. Ia melangkah mendekat, tapi Mira mengangkat tangan, menghentikannya.
“Jangan dekat-dekat dulu,” kata Mira, nadanya dingin. “Kamu pikir kamu bisa muncul begitu saja setelah ninggalin kami? Rian sakit, Budi. Anakmu sendiri, dan kamu nggak pernah peduli!”
Budi menunduk, tangannya mencengkeram topi yang ia pegang. “Aku tahu aku salah, Mira. Aku… aku nggak punya alasan yang bisa bikin kamu maafin aku. Tapi aku dengar tentang Rian, dan aku bawa apa yang aku punya.” Ia mengeluarkan amplop tebal dari jaketnya, menyerahkannya pada Mira. “Ini tiga puluh juta. Aku jual motor dan beberapa barang di tempatku. Ini nggak cukup buat semua, tapi aku harap bisa bantu.”
Mira menatap amplop itu, tangannya gemetar. Aisyah bisa melihat perjuangan di wajah ibunya—antara amarah pada masa lalu dan kebutuhan untuk menyelamatkan Rian. Akhirnya, Mira mengambil amplop itu, tapi matanya tetap tajam. “Ini bukan berarti aku maafin kamu, Budi. Tapi demi Rian, aku terima.”
Aisyah memandang ayahnya, ingin memeluknya seperti dulu, tapi luka di hatinya terlalu dalam. “Pa, kenapa baru sekarang?” tanyanya, suaranya pecah.
Budi menatapnya, air mata menggenang di matanya. “Aku takut, Say. Takut menghadapi kalian setelah apa yang aku lakukan. Tapi aku janji, aku nggak akan lari lagi.”
Malam itu, di kamar 312, Aisyah, Mira, dan Budi duduk mengelilingi ranjang Rian. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, keluarga mereka berkumpul lagi, meski dalam keadaan yang penuh luka. Rian memegang tangan Aisyah, sketsa pantai masih terbuka di pangkuannya. “Kalian jangan sedih terus,” katanya, suaranya lemah tapi penuh kehangatan. “Kita punya hari ini, kan? Itu sudah cukup.”
Aisyah tersenyum, meski air matanya jatuh. Ia tahu perjuangan belum selesai—Rian masih harus melawan penyakitnya, dan luka di keluarga mereka tak akan sembuh dalam semalam. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada cahaya di ujung hujan, sebuah harapan bahwa mereka bisa menghadapi apa pun, selama mereka bersama.
Di luar, langit malam cerah, bintang-bintang berkelip di antara awan yang mulai menipis. Aisyah memandang keluar jendela, memegang erat sketsa dari Rian, dan berjanji pada dirinya sendiri: apa pun yang terjadi, ia akan terus berjuang, untuk kakaknya, untuk ibunya, dan untuk keluarga yang, meski retak, kini mulai menemukan cara untuk utuh kembali.
“Luka di Balik Senyum” bukan sekadar cerpen, melainkan cerminan kekuatan keluarga dan harapan yang tetap hidup di tengah badai kehidupan. Dengan alur yang menyentuh dan karakter yang begitu manusiawi, cerita ini mengajak kita untuk menghargai setiap momen bersama orang tersayang. Jangan lewatkan untuk membaca cerpen ini dan temukan inspirasi dari perjuangan Aisyah serta keluarganya yang penuh makna.