Lirih Shalawat Badar: Perjalanan Pengemis Penuh Harapan

Posted on

Pernahkah Anda terpikir bahwa harapan bisa lahir dari penderitaan terdalam? Cerpen Lirih Shalawat Badar: Perjalanan Pengemis Penuh Harapan mengajak Anda menyelami kehidupan Zainal Arifin, seorang pengemis di Jakarta yang menemukan kekuatan melalui Shalawat Badar. Dari kehilangan keluarga hingga reuni emosional dengan putri adiknya, kisah ini penuh dengan perjuangan, keajaiban, dan inspirasi yang menyentuh hati. Siapkah Anda terinspirasi oleh kekuatan doa dan ketahanan jiwa?

Lirih Shalawat Badar

Bayang di Bawah Jembatan

Pagi itu, pukul 10:13 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah jembatan beton tua di tepi Sungai Ciliwung, Jakarta. Udara lembap bercampur aroma lumpur dan asap kendaraan membawa suasana suram ke tempat persinggahan Zainal Arifin, seorang pengemis berusia 38 tahun yang sudah tiga tahun hidup di bawah jembatan itu. Rambutnya yang hitam kusut bercampur uban tipis, wajahnya penuh kerutan akibat terpaan matahari dan hujan, dan pakaian compang-camping yang ia kenakan terlihat basah oleh embun pagi. Di sampingnya, sebuah mangkuk kaleng tua yang sudah berkarat tergeletak, hanya berisi beberapa koin seratus rupiah yang ia dapatkan semalam.

Zainal duduk bersandar pada tiang beton yang dingin, tangannya memegang sebuah buku kecil yang lusuh—sebuah kitab kecil berisi teks Shalawat Badar yang ia temukan di sebuah masjid tua beberapa tahun lalu. Buku itu menjadi teman setianya, satu-satunya harta yang ia jaga dengan sepenuh hati di tengah kehidupan yang penuh penderitaan. Setiap hari, ia membukanya, membaca lirik-lirik puitis yang memuji Rasulullah SAW, dan merasa ada kedamaian yang singkat di tengah kekacauan hidupnya. Namun, pagi ini, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Ia baru saja bermimpi tentang masa lalunya—sebuah kehidupan yang pernah ia miliki sebelum kehancuran menimpanya.

Zainal lahir di sebuah desa kecil di Jawa Timur, anak sulung dari sebuah keluarga petani sederhana. Ayahnya, Haji Darmawan, adalah seorang yang saleh yang mengajarinya doa dan shalawat sejak kecil, sementara ibunya, Nyai Halimah, selalu menyanyikan Shalawat Badar di malam hari untuk menenangkan keluarga. Zainal mengingat betul aroma teh jahe yang ibunya sajikan, suara angin yang bergoyang di pepohonan kelapa, dan tawa adiknya, Sari Lestari, yang selalu mengikutinya ke sawah. Tapi semua itu hilang sepuluh tahun lalu, saat banjir besar menghancurkan desanya, merenggut nyawa kedua orang tuanya dan menyisakan Zainal dengan luka batin yang dalam.

Setelah tragedi itu, Zainal pergi ke Jakarta dengan harapan mencari pekerjaan, membawa Sari yang masih berusia 12 tahun. Ia bekerja sebagai kuli bangunan, menyisihkan uang untuk menyekolahkan adiknya, tapi nasib berkata lain. Dua tahun lalu, Sari hilang setelah ia terlambat menjemputnya dari sekolah—diduga diculik oleh sindikat perdagangan manusia yang merajalela di kota. Zainal mencarinya hingga ia kehabisan tabungan, dan akhirnya jatuh ke jurang kemiskinan, menjadi pengemis di bawah jembatan Ciliwung. Setiap malam, ia memohon kepada Tuhan agar Sari kembali, sambil menyanyikan Shalawat Badar dengan suara serak yang hampir tak terdengar.

Pagi itu, Zainal membuka kitabnya, membaca dengan suara pelan, “Ya Nabi salam ‘alaika, syafaa‘atil lil ummati jamii‘a…” Lirik-lirik itu membawanya kembali ke masa kecil, saat ia duduk di pangkuan ayahnya mendengarkan cerita tentang keajaiban Rasulullah. Tapi suara itu terhenti saat ia mendengar langkah kaki mendekat. Seorang anak laki-laki kecil, sekitar usia sepuluh tahun, mendekatinya dengan wajah penuh rasa ingin tahu. Anak itu mengenakan seragam lusuh yang terlihat basah, dan tangannya memegang sebuah roti yang setengah dimakan. “Pak, ini buat kamu,” kata anak itu, menyerahkan roti itu dengan senyum malu-malu.

Zainal menatap anak itu, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Nak. Namamu siapa?” tanyanya, suaranya parau. Anak itu, yang memperkenalkan diri sebagai Dimas Pratama, mengangguk dan berkata, “Aku tinggal di gang sebelah. Ibu aku bilang, kasih ke orang yang butuh.” Zainal menerima roti itu, merasa ada kehangatan kecil di dadanya. Ia memecah roti menjadi dua, memberikan separuhnya kembali pada Dimas. “Kita bagi, ya. Kamu juga butuh,” katanya, tersenyum tipis. Dimas tertawa kecil, duduk di samping Zainal, dan mereka makan bersama dalam keheningan yang anehnya terasa damai.

Setelah Dimas pergi, Zainal menatap mangkuk kalengnya yang kini sedikit lebih penuh berkat koin yang diberikan anak itu. Ia menghela napas, membuka kitabnya lagi, dan mulai menyanyikan Shalawat Badar dengan suara lebih lantang. Suara seraknya bergema di bawah jembatan, menarik perhatian beberapa orang yang lelet melintas. Seorang ibu tua berhenti, melemparkan uang dua ribu rupiah ke mangkuknya, dan mengangguk penuh hormat. “Shalawatmu indah, Pak. Semoga doamu dikabulkan,” katanya sebelum pergi. Zainal tersenyum, merasa seperti ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya.

Pukul 12:00 WIB, matahari mulai naik, membawa panas yang menyengat. Zainal berjalan ke tepi sungai, membasuh wajahnya dengan air keruh, dan menatap cermin air yang bergetar. Ia melihat bayangan dirinya—seorang pria yang dulu kuat, kini hanya tulang dan kulit, tapi masih memegang kitab itu dengan penuh cinta. Ia ingat kata-kata ayahnya, “Shalawat adalah cahaya, Zainal. Meski dunia gelap, ia akan membimbingmu.” Kata-kata itu menjadi penyemangatnya, meski ia sering meragukan apakah doanya akan sampai.

Sore hari, Zainal duduk lagi di tempatnya, menyanyikan Shalawat Badar sambil memandang lalu lalang orang-orang yang tak peduli padanya. Beberapa anak jalanan mendekat, ikut mendengarkan, dan salah satu dari mereka, seorang gadis bernama Lita, bertanya, “Pak, shalawat itu apa? Bisa bikin kita kaya?” Zainal tertawa kecil, menggeleng. “Bukan kaya harta, Nak. Kaya hati. Coba dengar, rasakan damainya,” jawabnya, lalu mengajak mereka menyanyikan bersama. Suara mereka yang pecah bercampur, tapi ada kebersamaan di sana, sebuah ikatan kecil di tengah penderitaan.

Malam tiba, dan Zainal kembali ke sudut jembatannya, membungkus tubuhnya dengan kardus tua sebagai selimut. Ia membuka kitabnya, membaca lagi, dan menangis pelan. Air matanya jatuh di halaman yang sudah usang, mencampur tinta dengan kenangan. Ia memikirkan Sari, ibunya, ayahnya, dan kehidupan yang hilang. “Ya Allah, kalau aku tak bisa menemukan Sari, tolong berikan aku kekuatan untuk terus menyanyi shalawat ini,” doanya dalam hati, suaranya terbawa angin malam yang dingin.

Di kejauhan, lampu kota Jakarta berkelap-kelip, seperti bintang-bintang yang tak terjangkau. Zainal menutup matanya, membiarkan suara Shalawat Badar yang ia nyanyikan dalam hati menjadi pelipur lara. Ia tahu hidupnya penuh luka, tapi di balik setiap bait shalawat, ia merasa ada harapan—harapan kecil bahwa suatu hari, ia akan menemukan kedamaian, baik di dunia ini maupun di akhirat. Di bawah jembatan itu, di tengah hiruk-pikuk kota, Zainal Arifin tetap berdiri, dengan kitab usangnya sebagai cahaya di kegelapan hidupnya.

Echo di Tengah Kekacauan

Pagi itu, pukul 10:14 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, Zainal Arifin terbangun dari tidur yang singkat di bawah jembatan Ciliwung, Jakarta. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, membawa aroma lumpur basah dan asap knalpot yang bercampur dengan embun yang menempel di kardus tua yang menjadi selimutnya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah beton, menerangi wajahnya yang penuh kerutan dan jenggot tipis yang tak terawat. Di sampingnya, mangkuk kaleng tua yang sudah berkarat masih tergeletak, kini sedikit lebih penuh berkat kebaikan Dimas Pratama dan beberapa orang yang tergerak oleh suara Shalawat Badar yang ia nyanyikan kemarin.

Zainal menggosok matanya yang perih, merasakan tubuhnya yang lelet akibat tidur di lantai beton yang keras. Ia mengambil kitab kecil Shalawat Badar yang selalu ia simpan di saku pakaian robeknya, membukanya dengan hati-hati. Halaman-halaman yang sudah usang itu penuh noda air dan tinta yang luntur, tapi bagi Zainal, itu adalah harta paling berharga. Ia membaca pelan, “Ya Nabi salam ‘alaika, syafaa‘atil lil ummati jamii‘a…” Suara seraknya bergema di bawah jembatan, menciptakan suasana damai yang kontras dengan hiruk-pikuk kota di sekitarnya.

Pukul 11:00 WIB, Zainal memutuskan untuk berjalan ke pasar terdekat, sebuah tempat yang selalu ia kunjungi untuk mencari sisa makanan atau belas kasihan orang-orang. Ia berjalan pelan, menyeret kaki yang terasa kaku, melewati jalanan penuh genangan air dan pedagang yang berteriak menawarkan barang. Pakaiannya yang compang-camping menarik pandangan beberapa orang, ada yang iba, ada pula yang menoleh dengan ekspresi jijik. Zainal tak peduli—ia terbiasa dengan tatapan itu. Di tangannya, ia memegang mangkuk kaleng, berharap bisa mengumpulkan cukup uang untuk membeli nasi bungkus sore nanti.

Di pasar, ia bertemu Lita, gadis jalanan yang kemarin ikut menyanyikan shalawat bersamanya. Lita, dengan rambut pendek yang kotor dan baju lusuh yang kebesaran, mendekat sambil membawa sepotong pisang yang ia temukan di sisa pedagang. “Pak Zain, ini buat kamu. Aku denger shalawatmu tadi, bagus banget,” katanya, suaranya polos namun penuh kekaguman. Zainal tersenyum, menerima pisang itu dan memecahnya menjadi dua. “Kita bagi, Lita. Kamu juga butuh,” balasnya, mengulangi kebaikan yang ia lakukan pada Dimas. Mereka duduk di sudut pasar, makan pisang itu perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Zainal merasa ada teman di sisinya.

Sore hari, Zainal kembali ke bawah jembatan dengan mangkuk yang sedikit lebih penuh—beberapa koin seribu dan dua lembar uang dua ribu rupiah dari orang-orang yang terharu oleh suara shalawatnya. Ia membeli nasi bungkus dengan lauk tempe goreng dari warung pinggir jalan, duduk di tempat biasanya, dan makan dengan lahap meski rasanya hambar di lidahnya yang sudah terbiasa dengan kelaparan. Di sampingnya, ia meletakkan kitabnya, membukanya lagi, dan menyanyikan shalawat dengan suara lebih lantang, seolah ingin menggapai langit yang mulai gelap.

Tiba-tiba, sebuah suara menginterupsi—seorang pria paruh baya dengan jaket lusuh mendekat, membawa gitar tua yang terlihat usang. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Harun Santoso, seorang musisi jalanan yang sering mangkal di sekitar stasiun. “Saya denger suara kamu dari jauh, Pak. Shalawat Badar, kan? Saya bisa mainkan irama untukmu kalau kamu mau,” kata Harun, suaranya hangat. Zainal terkejut, tapi mengangguk pelan. Harun mulai memetik gitarnya, menciptakan irama sederhana yang selaras dengan shalawat yang dinyanyikan Zainal. Suara gitar itu, meski sederhana, membawa warna baru pada lirik-lirik yang biasanya hanya didengar dalam kesunyian.

Orang-orang yang lelet melintas mulai berhenti, tertarik oleh kombinasi suara serak Zainal dan irama gitar Harun. Seorang ibu muda melemparkan uang lima ribu rupiah, diikuti oleh seorang bapak yang memberikan roti isi. Anak-anak jalanan, termasuk Dimas dan Lita, ikut berkumpul, menyanyikan bersama dengan nada yang kadang fals tapi penuh semangat. Zainal merasa ada keajaiban kecil—suara shalawatnya kini menjadi jembatan yang menyatukan mereka, sebuah komunitas kecil di tengah kekacauan Jakarta.

Pukul 18:00 WIB, saat langit mulai gelap dan lampu jalan menyala, Harun mengucap selamat tinggal, meninggalkan gitarnya untuk Zainal dengan janji akan kembali besok. Zainal memeluk gitar itu, merasa seperti mendapatkan hadiah tak terduga. Ia menyimpannya di samping kitabnya, lalu melanjutkan shalawat sendirian, suaranya kini lebih kuat dengan iringan batin dari irama yang baru ia pelajari. Mangkuknya semakin penuh, tapi hatinya lebih penuh lagi dengan harapan.

Malam tiba, dan Zainal duduk di sudut jembatannya, membungkus tubuhnya dengan kardus dan selimut tipis yang diberikan seorang dermawan. Ia membuka kitabnya, membaca lagi, dan menangis pelan saat mengingat Sari. “Ya Allah, jika Sari masih hidup, tolong tunjukkan tanda. Aku akan terus menyanyi shalawat ini untuknya,” doanya dalam hati. Di tengah tangisannya, ia mendengar suara samar—seperti nyanyian anak kecil yang familiar. Ia menoleh, tapi tak ada siapa-siapa, hanya bayangan pohon di tepi sungai yang bergoyang dalam angin malam.

Pukul 21:00 WIB, Zainal tertidur dengan kitab dan gitar di sampingnya, bermimpi tentang desanya yang dulu—sawah hijau, tawa Sari, dan suara ayahnya yang mengajarinya shalawat. Dalam mimpinya, ia melihat seorang gadis kecil dengan wajah mirip Sari, menyanyikan Shalawat Badar bersamanya. Saat ia terbangun, jam menunjukkan 02:00 WIB, dan mangkuknya kini berisi uang lebih banyak—mungkin dari orang-orang yang lelet melintas saat ia tidur. Di samping mangkuk, ada sebuah kertas kecil dengan tulisan tangan: “Terima kasih atas shalawatmu. Semoga doamu terkabul.”

Zainal menatap kertas itu, air matanya jatuh lagi. Ia tak tahu apakah itu tanda dari Tuhan atau sekadar kebaikan orang asing, tapi ia merasa ada cahaya kecil di kegelapan hidupnya. Ia mengambil gitar, memetik senar dengan jari yang gemetar, dan menyanyikan Shalawat Badar lagi, suaranya bergema di bawah jembatan, membawa harapan yang rapuh namun nyata. Di pikirannya, ia membayangkan Sari tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa ada alasan untuk terus bertahan—dengan shalawat sebagai penutup luka dan panduan jiwanya.

Cahaya di Tengah Gelap

Pagi itu, pukul 13:00 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, Zainal Arifin terbangun di bawah jembatan Ciliwung, Jakarta, dengan tubuh yang terasa kaku akibat tidur di lantai beton yang dingin. Matahari siang menyelinap melalui celah-celah beton, membawa panas yang menyengat ke sudut persinggahannya. Di sampingnya, mangkuk kaleng tua yang sudah berkarat kini lebih penuh dari biasanya, berisi koin-koin kecil dan beberapa lembar uang yang ditinggalkan orang-orang terharu oleh shalawatnya semalam. Di dekat mangkuk, gitar tua peninggalan Harun Santoso bersandar pada tiang beton, senarnya masih terdengar samar dari petikan terakhirnya tadi malam, sementara kitab Shalawat Badar terbuka di halaman yang sudah lusuh, menunjukkan noda air mata yang mengering.

Zainal menggosok matanya yang perih, merasa tubuhnya lebih ringan meski lelah. Kertas kecil dengan tulisan “Terima kasih atas shalawatmu. Semoga doamu terkabul” masih ada di tangannya, terlipat rapi seolah menjadi janji tak terucap. Ia membukanya lagi, membaca ulang kalimat itu, dan air matanya menggenang. Apakah ini tanda dari Tuhan? Atau sekadar kebaikan orang asing yang lelet melintas? Pikirannya melayang ke mimpinya semalam—gadis kecil dengan wajah mirip Sari Lestari, adiknya yang hilang, menyanyikan Shalawat Badar bersamanya. Harapan kecil itu membakar dadanya, meski ia tak yakin apakah itu sekadar ilusi.

Pukul 14:00 WIB, Zainal memutuskan untuk bangun dan membersihkan diri di tepi sungai. Ia berjalan pelan, menyeret kaki yang terasa berat, dan membasuh wajahnya dengan air keruh yang mengalir deras akibat hujan semalam. Di cermin air yang bergetar, ia melihat bayangannya—seorang pria tua sebelum waktunya, dengan rambut kusut dan jenggot tipis yang tak terawat. Tapi di matanya, ada kilau baru, seolah shalawat yang ia nyanyikan memberinya kekuatan untuk bertahan. Ia kembali ke tempatnya, mengambil gitar, dan memetik senar dengan jari yang gemetar, mencoba mengingat irama yang Harun ajarkan.

Sore hari, Dimas Pratama dan Lita, anak-anak jalanan yang kemarin ikut menyanyikan shalawat, mendekat dengan wajah penuh semangat. Dimas membawa sebotol air mineral yang ia temukan di tong sampah, sementara Lita membawa bungkusan nasi sisa yang masih hangat. “Pak Zain, ini buat kamu. Kita denger kamu nyanyi tadi, bagus banget!” kata Dimas, suaranya polos namun penuh kekaguman. Zainal tersenyum, menerima pemberian itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Nak. Mari kita makan bareng,” jawabnya, membagi nasi itu menjadi tiga bagian kecil. Mereka duduk bersama, makan dengan lahap, dan suara tawa kecil mereka bergema di bawah jembatan, menciptakan suasana hangat di tengah kekacauan.

Pukul 16:00 WIB, Harun Santoso kembali, membawa senyum lelet dan sebotol minuman bersoda yang ia beli dari sisa uang mangkalnya. “Pak Zain, saya bawa temen baru. Dia bisa bantu kita nyanyi,” kata Harun, menunjuk seorang wanita paruh baya bernama Sariyah, yang mengenakan jilbab sederhana dan membawa rebana kecil. Sariyah, yang ternyata seorang pedagang kue keliling, mengaku tergerak oleh suara shalawat Zainal saat lelet melintas kemarin. “Saya suka shalawat, Pak. Dulu ibu saya sering nyanyi di pengajian,” katanya, suaranya lembut namun penuh semangat.

Mereka mulai berlatih bersama—Zainal menyanyikan Shalawat Badar, Harun memetik gitar, dan Sariyah memukul rebana dengan irama yang selaras. Dimas dan Lita ikut bernyanyi, meski nada mereka masih fals, menciptakan harmoni sederhana yang menarik perhatian orang-orang di sekitar. Seorang bapak tua berhenti, melemparkan uang lima ribu rupiah, diikuti oleh seorang ibu muda yang merekam video dengan ponselnya. Suara shalawat itu menyebar, menjadi viral di media sosial, dan dalam hitungan jam, lebih banyak orang datang—ada yang memberi uang, ada yang sekadar mendengarkan dengan mata berkaca-kaca.

Pukul 18:00 WIB, saat langit mulai gelap, sebuah kejutan datang. Seorang wanita paruh baya dengan wajah pucat dan mata cokelat yang familiar mendekat, ditemani oleh seorang anak perempuan kecil yang memegang tangannya. Wanita itu, yang memperkenalkan diri sebagai Rina, tampak gugup saat menatap Zainal. “Pak, saya… saya dulu kenal seseorang bernama Sari Lestari. Dia cerita tentang abangnya, Zainal, yang suka nyanyi shalawat,” katanya, suaranya gemetar. Anak perempuan itu, bernama Aisyah, menatap Zainal dengan mata penuh harap, dan Zainal merasa jantungnya berhenti.

Ia berdiri, tangannya gemetar saat menyentuh wajah Aisyah. “Sari… adikku?” bisiknya, air matanya jatuh deras. Rina mengangguk, menjelaskan bahwa ia pernah menyelamatkan Sari dari sindikat perdagangan manusia dua tahun lalu, tapi Sari meninggal akibat penyakit setelah melahirkan Aisyah. Rina mengadopsi Aisyah, dan saat melihat video shalawat Zainal di media sosial, ia merasa ada kesamaan. Zainal memeluk Aisyah erat, menangis sepuasnya, merasa seperti kehilangan dan menemukan kembali dalam satu waktu. Dimas, Lita, Harun, dan Sariyah ikut menangis, menciptakan suasana emosional yang mendalam.

Malam itu, Zainal duduk bersama Aisyah di sudut jembatannya, membukakan kitab Shalawat Badar. “Ini warisan dari Ayah dan Ibu, Nak. Kita nyanyi bareng, ya,” katanya, suaranya parau tapi penuh cinta. Aisyah mengangguk, menyanyikan lirik dengan nada kecil yang polos, sementara Zainal memetik gitar dengan tangan yang masih gemetar. Suara mereka bergema, membawa kedamaian bagi yang mendengar, termasuk Rina yang duduk di samping, mengusap air mata.

Pukul 21:00 WIB, setelah Rina dan Aisyah pamit untuk pulang, Zainal tetap terjaga, memandang mangkuk yang kini penuh dengan uang dan barang-barang sumbangan. Ia menulis di buku catatannya: “Ya Allah, Kau kabulkan doaku dengan cara yang tak kusangka. Sari pergi, tapi Aisyah datang. Shalawat ini membawaku cahaya.” Hujan kecil mulai turun, mengetuk atap beton, seolah menyanyikan doa bersamanya. Zainal tersenyum, merasa luka hatinya mulai sembuh, meski ia tahu perjalanan ini masih panjang—dengan Aisyah sebagai harapan barunya, dan shalawat sebagai pandu jiwanya.

Renjana di Ujung Doa

Pukul 13:00 WIB, Kamis, 12 Juni 2025, Zainal Arifin duduk di bawah jembatan Ciliwung, Jakarta, dengan hati yang bercampur aduk—sedih karena kehilangan Sari Lestari, adiknya, namun penuh kelegaan karena menemukan Aisyah, putri kecil yang menjadi warisan terakhir dari adiknya. Sinar matahari siang menyelinap melalui celah-celah beton, menerangi wajahnya yang masih basah oleh air mata kemarin malam. Di sampingnya, mangkuk kaleng tua yang kini penuh dengan koin dan uang kertas kecil tergeletak, bersama gitar tua peninggalan Harun Santoso dan kitab Shalawat Badar yang terbuka di halaman yang penuh noda. Udara lembap bercampur aroma lumpur sungai, tapi di hatinya, ada kedamaian yang perlahan tumbuh.

Zainal menatap Aisyah, yang duduk di sampingnya dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu. Anak perempuan berusia lima tahun itu mengenakan baju sederhana yang diberikan Rina, rambutnya yang hitam dikepang rapi oleh Lita pagi tadi. Aisyah memegang sepotong roti yang ia bagi dengan Zainal, tersenyum kecil sambil mengunyah perlahan. “Kakek, kita nyanyi lagi, ya?” tanyanya, suaranya polos namun penuh semangat. Zainal mengangguk, air matanya menggenang lagi saat ia mendengar kata “kakek” dari mulut Aisyah—sebuah panggilan yang membawa kenangan pahit dan manis sekaligus.

Pukul 14:00 WIB, Zainal memutuskan untuk memulai hari dengan shalawat, seperti biasa. Ia mengambil gitar, memetik senar dengan jari yang masih kaku, dan menyanyikan Shalawat Badar dengan suara serak yang kini lebih kuat karena didukung oleh harapan baru. Aisyah ikut bernyanyi, nada kecilnya menyatu dengan irama gitar, menciptakan harmoni sederhana yang menarik perhatian Dimas Pratama dan Lita, yang datang dengan wajah ceria. “Pak Zain, kita bantu nyanyi lagi, ya!” kata Dimas, membawa botol air mineral yang ia temukan. Lita mengangguk, membawa kain lusuh untuk membersihkan wajah Zainal yang kotor.

Tak lama kemudian, Harun Santoso dan Sariyah tiba, membawa rebana dan senyum hangat. “Kita buat pertunjukan kecil, Pak Zain. Banyak yang minta denger shalawatmu setelah video kemarin viral,” kata Harun, menunjukkan ponselnya yang menampilkan komentar pujian dari netizen. Zainal terkejut, tapi mengangguk setuju. Mereka mulai berlatih—Zainal menyanyikan lirik, Harun memetik gitar, Sariyah memukul rebana, dan anak-anak ikut bernyanyi. Suara mereka bergema di bawah jembatan, menarik perhatian warga yang lelet melintas. Seorang ibu muda melemparkan uang sepuluh ribu rupiah, diikuti oleh seorang bapak yang merekam dengan ponselnya, menyebarkan kebaikan itu lebih jauh.

Pukul 16:00 WIB, Rina kembali, membawa tas kain yang berisi pakaian baru untuk Zainal dan Aisyah, serta sebotol susu untuk anak itu. “Pak Zain, saya pikir Aisyah lebih baik tinggal sama kamu. Dia butuh keluarga,” kata Rina, suaranya lembut namun tegas. Zainal menatap Rina, lalu Aisyah, dan air matanya jatuh lagi. “Terima kasih, Bu. Aku janji akan jaga dia sebaik mungkin,” jawabnya, memeluk Aisyah erat. Rina mengangguk, meninggalkan mereka dengan senyum penuh haru, merasa tugasnya selesai.

Malam itu, Zainal dan Aisyah tidur di sudut jembatannya, menggunakan kardus yang lebih tebal yang diberikan warga. Zainal membungkus Aisyah dengan selimut tipis, menyanyikan Shalawat Badar pelan hingga anak itu tertidur. Di pikirannya, ia membayangkan Sari tersenyum dari atas, mengangguk bangga. Pukul 19:00 WIB, Harun, Sariyah, Dimas, dan Lita kembali, membawa ide untuk mengadakan pertunjukan rutin setiap minggu, menggunakan sumbangan untuk membeli makanan dan kebutuhan dasar. Zainal setuju, merasa seperti membangun keluarga baru di tengah penderitaan.

Keesokan harinya, pukul 13:00 WIB, pertunjukan pertama dimulai. Warga desa dan orang-orang dari luar datang, membawa tikar dan kursi lipat. Panggung sederhana dibuat dari kayu bekas, diterangi lampu minyak karena listrik di area itu sering padam. Zainal berdiri di depan, mengenakan baju baru yang bersih, memegang gitar, dan membuka acara dengan Shalawat Badar. Aisyah duduk di samping, memukul rebana kecil yang diberikan Sariyah, sementara anak-anak dan Harun ikut bernyanyi. Suara mereka menyatu, menciptakan harmoni yang mengharukan, dan warga bertepuk tangan panjang.

Di tengah pertunjukan, seorang pria paruh baya dengan jaket lusuh mendekat, menangis tersedu. Ia memperkenalkan diri sebagai Hasan, seorang mantan tetangga Zainal di Jawa Timur. “Zainal, aku tahu kamu dari desa dulu. Aku dengar shalawatmu di video, dan aku cari kamu. Sari… dia cerita tentangmu sebelum hilang,” kata Hasan, suaranya parau. Zainal memeluk Hasan, merasa seperti menemukan potongan masa lalu yang hilang. Hasan menjanjikan bantuan, membawa Zainal dan Aisyah ke rumah kontrakannya yang sederhana, menawarkan tempat tinggal sementara.

Pukul 21:00 WIB, setelah pertunjukan selesai, Zainal dan Aisyah pindah ke kontrakan Hasan. Rumah kecil itu penuh aroma kayu dan teh hangat, jauh lebih nyaman dari jembatan. Zainal menulis di buku catatannya: “Ya Allah, Kau ubah kegelapanku menjadi cahaya. Sari pergi, tapi Aisyah dan keluarga baru ini hadir. Shalawatmu membawaku renjana.” Ia memeluk Aisyah yang tertidur di ranjang sederhana, merasa luka hatinya perlahan sembuh.

Hari berikutnya, pukul 13:00 WIB, Zainal berdiri di beranda kontrakan, menatap langit yang cerah. Ia mengambil gitar, menyanyikan Shalawat Badar dengan suara penuh syukur, didengar oleh Hasan, Aisyah, dan teman-temannya yang datang berkunjung. Warga desa mulai menyebutnya “Pengemis Shalawat,” sebuah julukan yang ia terima dengan bangga. Uang sumbangan dari pertunjukan digunakan untuk membeli kebutuhan, dan Zainal memutuskan menyisihkan sebagian untuk membantu anak-anak jalanan seperti Dimas dan Lita.

Malam terakhir di cerita ini, Zainal duduk bersama Aisyah, Hasan, dan teman-temannya di bawah langit berbintang. Ia memetik gitar, menyanyikan Shalawat Badar, dan semua ikut bernyanyi. Suara mereka bergema, membawa harapan dan kedamaian, seolah menjadi doa kolektif untuk masa depan yang lebih baik. Zainal menatap Aisyah, merasa seperti menemukan tujuan hidupnya—melalui shalawat, ia tak lagi hanya pengemis, tapi penyebar cahaya di tengah kegelapan Jakarta. Di ujung doanya, renjana itu hadir, penuh dengan cinta dan harapan baru.

Cerpen Lirih Shalawat Badar mengajarkan kita bahwa harapan dapat muncul bahkan di saat paling kelam, sebagaimana Zainal Arifin temukan melalui shalawat dan cinta keluarga. Kisah ini menginspirasi kita untuk tetap berdoa dan berbagi kebaikan, membuktikan bahwa kekuatan batin bisa mengubah hidup. Jangan lewatkan kesempatan untuk merenung dan mengambil pelajaran berharga dari perjalanan luar biasa ini!

Terima kasih telah menyelami Lirih Shalawat Badar bersama kami. Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kekuatan dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan terus jaga harapan di hati Anda!

Leave a Reply