Daftar Isi
Hai, siapa bilang liburan itu cuma soal pergi ke tempat yang udah sering banget didenger? Coba deh sesekali main ke Pekanbaru! Dari kuliner yang nggak ada duanya, pemandangan alam yang bikin lupa waktu, sampai budaya yang kental banget, semuanya ada di sini.
Gak cuma itu, Pekanbaru juga punya vibes yang beda dari kota-kota besar lainnya. Kalau kamu lagi bingung mau liburan kemana, Pekanbaru bisa jadi pilihan yang nggak bakal nyesel. Yuk, simak cerita seru tentang liburan ke Pekanbaru yang pasti bakal bikin kamu pengen ikut jalan-jalan juga!
Liburan Seru ke Pekanbaru
Menyapa Pekanbaru
Langit biru membentang luas ketika pesawat mendarat mulus di Bandara Sultan Syarif Kasim II. Hangatnya udara khas Sumatera langsung menyambut begitu kaki melangkah keluar dari pintu kedatangan. Hiruk-pikuk bandara terasa hidup, dengan deretan penumpang yang sibuk menarik koper, mencari kendaraan, atau sekadar berbincang sambil menikmati suasana kota yang masih asing di mata.
“Akhirnya sampai juga, ya,” ujar Damar sambil meregangkan tubuhnya setelah duduk berjam-jam di pesawat.
“Udah nggak sabar sih, katanya Pekanbaru tuh underrated banget, tapi kalau ditelusuri, banyak tempat seru,” sahut Arya, yang langsung mengeluarkan ponselnya untuk mencari arah menuju penginapan mereka.
Taksi online yang mereka pesan tiba tak lama setelahnya. Sopirnya, pria paruh baya dengan logat Melayu yang kental, menyapa mereka ramah.
“Baru pertama kali ke Pekanbaru, ya?” tanyanya sambil memasukkan koper mereka ke bagasi.
“Iya, Bang. Kira-kira ada rekomendasi tempat yang wajib dikunjungi nggak?” tanya Damar yang duduk di depan.
“Wah, banyak! Kalau mau wisata alam, ada Danau Buatan Lembah Sari. Kalau suka sejarah, mampir ke Balai Adat Melayu Riau. Dan yang pasti, jangan lupa cobain kuliner khasnya,” jawab sang sopir dengan semangat.
Perjalanan dari bandara menuju pusat kota berjalan lancar. Gedung-gedung modern berdiri megah di sepanjang jalan, berpadu dengan pohon-pohon hijau yang memberikan kesejukan. Pekanbaru memang dikenal sebagai kota bisnis dan perdagangan, tetapi di balik itu, ada pesona khas yang siap dijelajahi.
Setelah sekitar 20 menit berkendara, mereka tiba di penginapan, sebuah hotel butik yang nyaman di tengah kota. Tanpa buang waktu, mereka langsung check-in, meletakkan koper, dan bersiap untuk memulai petualangan pertama mereka di Pekanbaru.
“Jadi, ke mana dulu?” tanya Arya sambil merapikan jaketnya.
“Mulai yang santai dulu aja. Gimana kalau kita ke Taman Alam Mayang? Lumayan buat nyari udara segar,” usul Damar.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di dalam taksi menuju Taman Rekreasi Alam Mayang. Saat tiba, suasana hijau langsung menyambut. Pepohonan rindang, danau kecil, serta suara burung yang berkicau menciptakan suasana yang menenangkan. Beberapa keluarga terlihat asyik berpiknik, sementara anak-anak bermain di wahana air yang tersedia.
“Ini sih enak banget buat nyantai,” kata Arya sambil duduk di bawah pohon, membiarkan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya.
Damar mengangguk. “Iya, apalagi kalau tinggal di kota besar yang padat. Tempat kayak gini tuh jadi kayak oase.”
Mereka menghabiskan waktu dengan mengelilingi taman, mencoba wahana bebek air di danau, dan sekadar menikmati udara segar. Saat perut mulai keroncongan, mereka memutuskan untuk mencari tempat makan sebelum melanjutkan eksplorasi berikutnya.
“Udah mulai laper, nih. Makan di mana?” tanya Arya.
“Kata abang taksi tadi, ada satu warung miso yang enak banget. Kita coba aja, sekalian mulai petualangan kuliner kita di sini,” jawab Damar dengan semangat.
Mereka pun meninggalkan taman dengan antusiasme yang masih tinggi, siap untuk menjelajahi Pekanbaru lebih jauh. Perjalanan baru saja dimulai, dan masih banyak hal menarik yang menanti di bab-bab berikutnya.
Menyelami Warisan Budaya
Setelah mengisi energi dengan semangkuk miso Pekanbaru yang gurih dan teh talua yang unik, Damar dan Arya kembali melanjutkan perjalanan. Perut kenyang, tenaga pulih, dan semangat menjelajah kembali menyala. Kali ini, mereka ingin merasakan langsung atmosfer budaya Melayu yang begitu kental di kota ini.
“Destinasi berikutnya, Masjid Agung An-Nur,” ujar Damar sambil membuka aplikasi peta di ponselnya.
“Setuju! Masjidnya megah banget kalau lihat di foto. Kita bisa sekalian istirahat bentar sebelum lanjut eksplor,” jawab Arya.
Tak butuh waktu lama, mereka tiba di halaman Masjid Agung An-Nur, yang berdiri anggun dengan perpaduan arsitektur khas Melayu, Arab, Turki, dan India. Warna hijau kebiruan mendominasi bangunan megah ini, dengan kubah-kubah besar yang berdiri kokoh di bawah langit cerah Pekanbaru.
“Kamu lihat ini nggak? Kayak miniatur Taj Mahal,” gumam Arya takjub, mengamati refleksi masjid di kolam besar di depannya.
Damar mengangguk. “Iya, keren banget. Arsitekturnya detail banget, nggak heran kalau ini jadi salah satu ikon Pekanbaru.”
Mereka melangkah masuk ke dalam masjid, melepas alas kaki di tangga marmer yang sejuk. Interiornya tak kalah menawan—lampu gantung besar berkilauan di tengah ruang utama, sementara kaligrafi indah menghiasi dinding. Suasana di dalam begitu damai. Beberapa jamaah tampak sedang beribadah, sementara yang lain duduk tenang, menikmati ketenangan yang memenuhi ruangan.
Setelah duduk beberapa saat menikmati suasana, mereka keluar dari masjid dan kembali ke halaman luas yang mengelilinginya. Matahari mulai condong ke barat, tetapi hari masih panjang. Masih ada satu destinasi budaya yang ingin mereka kunjungi.
“Oke, next kita ke Balai Adat Melayu Riau. Gue penasaran banget sama budaya di sini,” kata Damar.
“Yaudah, ayo langsung ke sana,” sahut Arya.
Perjalanan menuju Balai Adat Melayu Riau hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Bangunan bercat kuning mencolok dengan ukiran khas Melayu menyambut mereka begitu tiba di lokasi. Tiang-tiang tinggi menopang atap yang melengkung elegan, mencerminkan keanggunan rumah adat Melayu tradisional.
Mereka disambut oleh seorang pemandu lokal, seorang pria tua yang ramah bernama Pak Hasan. “Selamat datang, anak muda! Mau belajar tentang adat Melayu, ya?” tanyanya sambil tersenyum.
“Iya, Pak. Kami baru pertama kali ke Pekanbaru, jadi pengen tahu lebih dalam tentang budaya di sini,” jawab Arya.
Pak Hasan mengangguk, lalu mulai mengajak mereka masuk ke dalam balai. Di dalam, terdapat berbagai benda bersejarah—pakaian adat, replika singgasana raja Melayu, serta ukiran kayu dengan motif khas yang memiliki filosofi tersendiri.
“Kalian tahu, setiap ukiran di sini punya makna. Misalnya, motif pucuk rebung ini,” ujar Pak Hasan, menunjuk salah satu ukiran di dinding kayu. “Ini melambangkan budi pekerti yang selalu tumbuh, seperti bambu muda yang nantinya akan menjadi kuat.”
Damar mengamati ukiran itu lebih dekat. “Menarik, ya. Seni di sini bukan sekadar hiasan, tapi ada nilai-nilainya juga.”
“Betul,” Pak Hasan mengangguk. “Dalam budaya Melayu, budi pekerti dan sopan santun adalah hal yang sangat dijunjung tinggi.”
Tak hanya belajar tentang seni ukiran, mereka juga melihat koleksi kain songket dengan motif-motif khas yang ditenun dengan tangan. Warna-warna emas dan merah mendominasi, mencerminkan kemewahan yang pernah menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan Melayu di masa lalu.
“Kalau songket kayak gini, biasanya dipakai di acara pernikahan atau upacara adat,” jelas Pak Hasan.
Arya yang sedari tadi memperhatikan detail kain itu mengangguk. “Berarti ini bukan sekadar pakaian, tapi juga punya makna sejarah, ya?”
“Benar sekali,” jawab Pak Hasan sambil tersenyum.
Setelah hampir satu jam mengelilingi balai adat dan menyerap begitu banyak cerita menarik tentang budaya Melayu, mereka berpamitan kepada Pak Hasan dan meninggalkan tempat itu dengan pemahaman yang lebih dalam tentang Pekanbaru, bukan hanya sebagai kota modern, tetapi juga sebagai penjaga warisan budaya yang kaya.
“Damar, kita baru dua hari di sini, tapi udah banyak hal keren yang kita lihat,” kata Arya saat mereka berjalan keluar.
“Dan masih ada banyak lagi yang bisa kita eksplor,” jawab Damar dengan semangat. “Besok kita lanjut ke wisata alam. Gue udah nggak sabar buat lihat sisi lain Pekanbaru yang nggak kalah keren.”
Matahari semakin rendah di cakrawala, menciptakan semburat jingga di langit Pekanbaru. Petualangan mereka masih jauh dari kata selesai. Masih ada danau yang menunggu untuk dijelajahi, dan kuliner khas yang belum mereka cicipi. Esok adalah hari baru, dengan lebih banyak kejutan yang menanti.
Pesona Alam yang Menyegarkan
Pagi di Pekanbaru terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Udara masih sejuk, dan langit tampak begitu bersih tanpa gumpalan awan yang menghalangi cahaya matahari. Damar dan Arya sudah bersiap sejak pagi, mengenakan pakaian yang lebih santai dan nyaman untuk perjalanan hari ini.
“Hari ini kita full eksplor alam, ya?” tanya Arya sambil mengikat tali sepatunya.
“Betul banget! Mulai dari tempat yang adem dulu, baru nanti sore kita ke Danau Buatan,” jawab Damar yang sudah tak sabar untuk memulai petualangan hari ini.
Destinasi pertama mereka adalah Hutan Kota Pekanbaru, salah satu ruang hijau yang masih terjaga di tengah geliat modernisasi kota. Begitu tiba, mereka disambut oleh rimbunnya pepohonan tinggi yang memberikan keteduhan alami. Udara di sini terasa lebih segar dibandingkan jalanan kota yang mulai ramai oleh kendaraan.
“Gila, tempat kayak gini masih ada di tengah kota? Gue kira Pekanbaru isinya cuma gedung-gedung doang,” ujar Arya sambil menghirup dalam-dalam udara segar di sekelilingnya.
“Makanya, ini salah satu alasan gue pengen ke sini. Suasana kayak gini tuh bikin otak adem,” jawab Damar sambil melihat-lihat jalur trekking yang tersedia.
Mereka berjalan menyusuri jalur setapak yang dikelilingi pepohonan besar. Sesekali, suara burung terdengar dari kejauhan, menambah kesan alami tempat ini. Beberapa orang terlihat berolahraga ringan, ada juga yang duduk santai di bangku kayu, menikmati ketenangan di tengah hutan kota.
“Nih, bayangin kalau kita punya tempat kayak gini di kota kita. Pasti tiap pagi gue ke sini buat jogging,” kata Arya sambil tertawa kecil.
“Gue sih yakin lo bakal tetap milih tidur,” sindir Damar yang langsung disambut tawa Arya.
Setelah hampir satu jam menikmati suasana hijau yang menyegarkan, mereka melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya—Danau Buatan Lembah Sari.
Perjalanan ke sana sedikit lebih jauh, tetapi sepanjang jalan, mereka disuguhi pemandangan yang berbeda dari pusat kota. Rumah-rumah tradisional dengan atap khas Melayu sesekali terlihat di antara perkampungan yang mereka lewati. Jalanan yang lebih lengang dan dikelilingi pepohonan membuat perjalanan ini terasa menyenangkan.
Akhirnya, setelah sekitar empat puluh menit perjalanan, mereka tiba di danau buatan yang terkenal dengan keindahan dan ketenangannya. Permukaan airnya jernih, memantulkan sinar matahari yang mulai condong ke barat. Perahu-perahu kecil berjejer di tepi, menunggu untuk membawa pengunjung berkeliling menikmati panorama alam di sini.
“Wah, tempatnya cakep banget,” ujar Arya takjub, memandang danau luas yang dikelilingi bukit-bukit hijau.
Damar mengangguk. “Ini bakal jadi salah satu highlight perjalanan kita sih. Lo lihat tuh, banyak yang sewa perahu, kayaknya seru juga kalau kita coba.”
Tanpa pikir panjang, mereka langsung menyewa sebuah perahu kayu kecil dengan warna cerah. Seorang bapak tua menjadi pendayung mereka, membawa mereka perlahan menyusuri permukaan air yang tenang.
“Dulu, danau ini dibuat untuk irigasi,” jelas sang pendayung. “Tapi sekarang jadi tempat wisata juga, banyak yang datang ke sini buat santai atau sekadar cari udara segar.”
Mereka mengangguk sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah. Sesekali, percikan air menyentuh tangan mereka saat dayung membelah permukaan danau. Dari tengah danau, pemandangan semakin menakjubkan—pepohonan di tepian tampak lebih hijau, langit mulai berubah warna keemasan, dan suara alam terdengar begitu jelas tanpa gangguan bising kendaraan.
“Ini sih definisi healing yang sebenarnya,” kata Arya sambil merebahkan kepalanya ke sandaran perahu.
“Gue setuju. Tenang banget, beda jauh sama suasana kota yang rame,” jawab Damar.
Saat matahari semakin rendah, mereka kembali ke tepian danau dan duduk di sebuah warung sederhana yang menjual makanan ringan khas Pekanbaru. Mereka memesan pisang goreng kipas dan segelas es jeruk dingin, kombinasi yang sempurna untuk menemani sore di tepi danau.
“Gue gak nyangka kalau Pekanbaru punya tempat seindah ini,” ujar Arya sambil menikmati pisang goreng yang renyah di luar dan lembut di dalam.
Damar mengangguk sambil menyeruput es jeruknya. “Makanya, kadang kita terlalu fokus sama kota-kota besar buat liburan, padahal tempat kayak gini juga nggak kalah keren.”
Langit mulai berubah warna menjadi semburat oranye dan ungu. Cahaya matahari yang tersisa memantul di permukaan danau, menciptakan refleksi yang memukau. Mereka berdua hanya duduk diam, menikmati suasana tanpa perlu berkata-kata.
Hari ini, mereka tak hanya menemukan keindahan alam Pekanbaru, tetapi juga ketenangan yang mungkin sulit didapat di tengah kesibukan sehari-hari.
Malam perlahan menjelang, tetapi perjalanan mereka belum berakhir. Masih ada satu bagian dari eksplorasi Pekanbaru yang belum mereka selesaikan—berburu kuliner dan oleh-oleh khas. Dan itu, akan menjadi petualangan seru mereka selanjutnya.
Rasa dan Kenangan
Setelah menikmati alam yang menenangkan, hari terakhir di Pekanbaru pun tiba. Damar dan Arya memutuskan untuk mengakhiri petualangan mereka dengan menjelajahi sisi lain dari kota ini: kuliner khas yang menjadi ciri khas Pekanbaru.
“Lo siap makan banyak? Gue dengar makanannya enak-enak semua,” tanya Damar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat.
“Ayo, gue udah lapar dari tadi. Kita harus coba semuanya, biar nggak nyesel,” jawab Arya dengan senyum lebar, matanya berbinar melihat kelezatan yang akan segera mereka nikmati.
Pagi ini, mereka memilih untuk mampir ke Pasar Bawah, sebuah pasar tradisional yang terkenal dengan jajanan khas Melayu. Begitu memasuki pasar, udara yang hangat dan aroma rempah-rempah langsung menyambut mereka. Di sepanjang lorong pasar, berbagai pedagang menawarkan aneka makanan, dari yang manis hingga pedas, semua dengan cita rasa yang khas.
“Ini dia nih yang gue cari-cari! Makanan tradisional,” kata Arya sambil menunjuk sekumpulan pedagang yang sedang mempersiapkan sate padang.
Damar mengangguk. “Sate padang di sini beda banget. Dagingnya empuk, terus bumbu kacangnya kental banget.”
Mereka pun segera memesan seporsi sate padang dan menikmati setiap gigitannya. Daging sapi yang dibakar sempurna, disiram dengan bumbu kacang yang kaya rasa, membuat setiap suapan terasa mewah. Setelah beberapa suapan, mereka tak bisa menahan diri untuk meminta tambahan.
“Sate padang ini sih juara, ya. Rasanya nggak ada yang bisa nandingin,” ujar Arya sambil menikmati sate terakhirnya.
“Setuju, enak banget. Tapi gue juga penasaran sama laksa yang katanya enak banget di sini,” jawab Damar.
Mereka pun beranjak menuju warung lain yang terkenal dengan laksa khas Pekanbaru. Begitu mencicipinya, rasa pedas dan gurih dari kuah santan yang kental langsung membelai lidah mereka. Ditambah dengan irisan daun bawang dan tauge segar, rasa laksa ini benar-benar memanjakan selera.
“Ini juga enak banget. Kuahnya kental dan pedasnya pas,” kata Damar sambil menyeruput kuah laksa yang tersisa di mangkuknya.
Arya yang tak mau kalah juga melahap habis laksa di mangkuknya. “Ini baru yang gue sebut makan enak. Sate tadi, laksa ini, semuanya juara.”
Setelah puas dengan hidangan berat, mereka melanjutkan perjalanan untuk berburu oleh-oleh. Mereka menuju Toko Oleh-Oleh 99, yang terkenal dengan berbagai macam produk khas Pekanbaru. Di dalam toko, berbagai macam kerajinan tangan, makanan ringan, dan kue khas disusun rapi.
“Lo beli apa nih buat dibawa pulang?” tanya Arya sambil melihat-lihat jajanan ringan.
“Kayaknya gue bakal ambil kerupuk kulit sama dodol. Keluarga gue pasti suka, deh,” jawab Damar sambil memasukkan beberapa bungkus kerupuk kulit ke dalam tas.
Arya tertawa. “Gue juga ambil dodol sama kue lapis legit. Ini cocok banget buat oleh-oleh.”
Mereka pun tak hanya membeli oleh-oleh untuk keluarga dan teman-teman di rumah, tetapi juga beberapa barang kecil seperti kerajinan tangan dari rotan dan kain songket mini yang bisa menjadi kenang-kenangan dari Pekanbaru.
Saat sore tiba, mereka duduk santai di sebuah kafe kecil di pinggir jalan, menikmati secangkir kopi sambil berbincang.
“Senang, sih, bisa kenal Pekanbaru lebih dalam. Semua yang gue duga tentang kota ini ternyata salah,” kata Arya sambil menatap jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan.
“Jadi, lo mau balik lagi kapan?” tanya Damar sambil tersenyum.
Arya menghela napas panjang. “Mungkin suatu hari nanti. Pekanbaru punya pesonanya sendiri. Gak cuma soal alam atau kuliner, tapi juga orang-orangnya yang ramah.”
“Setuju banget. Gue rasa perjalanan ini nggak akan terlupakan. Kota ini menyimpan banyak hal yang belum banyak orang tahu,” jawab Damar.
Langit Pekanbaru semakin meredup dengan semburat merah yang menandakan petang. Mereka berdua duduk di sana, menikmati senja yang perlahan menghilang di balik gedung-gedung.
Liburan mereka di Pekanbaru bukan hanya tentang tempat-tempat wisata yang mereka kunjungi, tetapi juga pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan—pertemuan dengan orang-orang lokal yang hangat, mencicipi kuliner yang menggugah selera, serta menikmati alam yang mempesona. Pekanbaru, dengan segala keramahannya, berhasil memberikan kesan mendalam yang tak akan terlupakan.
Dengan perasaan penuh kenangan manis, Damar dan Arya akhirnya bersiap untuk kembali. Pekanbaru telah meninggalkan jejak yang indah dalam perjalanan mereka, dan suatu hari nanti, mereka tahu, mereka akan kembali ke sini.
Udah deh, udah cukup cerita tentang Pekanbaru yang seru ini. Gimana, kamu jadi pengen mampir juga kan? Kapan lagi bisa nyicipin kuliner enak, jelajahi alam yang kece, sambil nyelametin kebudayaan yang kaya banget?
Pekanbaru emang punya segalanya, dari yang hijau-hijau sampai yang bikin kenyang. Jadi, kalo kamu lagi nyari tempat liburan yang beda dan nggak mainstream, Pekanbaru bisa jadi jawaban yang tepat! Jangan lupa, setelah baca ini, langsung siapin koper dan cabut ke Pekanbaru, ya!


