Liburan Seru ke Jogja: Petualangan Keluarga yang Bikin Kangen dan Penuh Kenangan

Posted on

Lagi nyari cerita liburan yang seru, hangat, dan penuh tawa bareng keluarga? Yuk, baca cerpen keren ini yang bercerita tentang pengalaman liburan ke Jogja bareng keluarga besar! Nggak cuma jalan-jalan ke tempat kece kayak Merapi, Tebing Breksi,

Taman Sari, sampai Prambanan, tapi juga ada momen lucu, haru, dan super relate sama kamu yang suka banget traveling bareng orang tersayang. Ceritanya panjang tapi dijamin nggak ngebosenin. Cocok banget buat nemenin sore santaimu sambil ngopi atau rebahan di kamar. Siap-siap jatuh cinta sama vibes-nya Jogja dan kehangatan keluarga di cerita ini, ya!

Liburan Seru ke Jogja

Kilometer Awal dan Canda di Jalan Raya

Langit masih gelap ketika suara klakson pertama terdengar dari halaman depan rumah. Embun belum sempat menguap dari kaca mobil saat koper demi koper dimasukkan ke dalam bagasi. Rombongan keluarga besar Ardan tampak sibuk, tapi bukan dalam artian terburu-buru—justru semuanya tampak menikmati setiap detik persiapan itu, seolah tak ingin ada yang terlewat dari awal perjalanan panjang menuju Yogyakarta.

“Eh, kamu yakin udah bawa jaket? Jangan nyusahin di jalan cuma karena kedinginan, ya,” celetuk Vella pada sepupunya, Nayaka, yang masih menguap sambil memeluk bantal leher berwarna pink neon.

“Tenang, aku bawa dua. Satu buat gaya, satu buat tidur,” jawab Nayaka santai, disambut tawa dari sepupu-sepupunya yang lain.

Di mobil pertama, duduk Ardan bersama kedua orangtuanya dan Vella. Mobil kedua diisi oleh paman, bibi, serta Keanu, Nayaka, dan Tisha. Suasana langsung meriah bahkan sebelum mobil bergerak. Seolah-olah jalanan sepanjang ratusan kilometer itu hanya akan menjadi panggung lelucon dan canda.

Perjalanan dimulai tepat pukul lima lewat dua belas menit. Masih ada jejak dingin di jendela mobil, dan kabut tipis mengiringi langkah kendaraan mereka keluar dari kota. Di dalam mobil, ayah Ardan menyetel lagu-lagu lawas dari playlist-nya—lagu yang sebagian besar tidak diketahui generasi Z yang duduk di bangku belakang.

“Ini lagu siapa, sih?” tanya Vella setengah protes saat mendengar lirik berbahasa Inggris lama yang mendayu.

“Ini lagu yang bikin kamu ada di dunia ini, Nak,” jawab ayah sambil tertawa, membuat ibu menyikut pelan lengannya.

Suasana di jalan tol mendadak lengang, dan itu menjadi panggung bagi suara-suara tawa yang saling bersahutan dari dua mobil. Mereka saling berkabar lewat panggilan telepon, membahas rest area berikutnya atau sekadar menyuruh satu sama lain untuk mengintip pemandangan aneh di pinggir jalan. Keanu sempat menyuruh Nayaka membuka kaca jendela untuk melambai ke truk yang melaju di sebelah, lalu tertawa puas saat sopir truk itu membalas dengan klakson khasnya.

“Wah, kayak di film-film barat!” seru Keanu.

“Lebih kayak anak kampung nggak pernah lihat truk,” sahut Tisha, membuat yang lain tertawa terpingkal-pingkal.

Perhentian pertama mereka adalah rest area di daerah Cirebon. Di sana, mereka menyerbu kios kopi dan warung nasi kuning. Vella, yang sejak tadi menyimpan rasa lapar, langsung memesan dua porsi. Sedangkan Nayaka dan Tisha malah sibuk foto-foto makanan sebelum menyentuh sendok.

“Aku nggak ngerti kenapa kamu selalu foto makanan padahal ujung-ujungnya juga kamu makan setengahnya,” komentar Ardan sambil menyicip kerupuk milik adiknya.

“Karena estetik itu penting, bro. Feed Instagram itu bagian dari hidup,” jawab Nayaka, tanpa menurunkan kameranya.

Setelah makan dan meregangkan kaki, perjalanan dilanjutkan. Jalanan mulai sedikit ramai, tapi semangat tetap terjaga. Di dalam mobil, Keanu memimpin permainan “tebak lagu” menggunakan lagu-lagu dari ponselnya. Ketika lagu dangdut diputar dan semua mendadak hening, hanya suara ibu dari mobil depan yang terdengar berkata, “Tebakan yang benar: generasi gagal paham.”

Jam menunjukkan pukul satu siang ketika mobil mereka melintasi perbatasan menuju Jawa Tengah. Lelah mulai terlihat di wajah-wajah mereka, tapi anehnya tidak ada yang tertidur lebih dari lima belas menit. Setiap kali suasana mulai hening, pasti ada yang memancing kegaduhan baru. Entah itu karena Tisha salah ucap lirik lagu, atau karena Keanu iseng mengedit foto Ardan menjadi meme dan menyebarkannya di grup WhatsApp keluarga.

Di rest area berikutnya, suasana makin hangat. Mereka semua duduk melingkar di pelataran taman kecil, menyantap es krim dan minuman segar. Meski matahari terasa terik, udara tetap bersahabat. Obrolan berubah menjadi perencanaan.

“Besok kita ke Merapi, ya. Aku mau naik Jeep!” ujar Tisha penuh semangat.

“Aku mau di belakang. Biar anginnya lebih kenceng,” timpal Vella.

“Kamu yakin bukan biar bisa pura-pura jatuh dan teriak-teriak dramatis kayak di TikTok?” sindir Nayaka.

“Eh, kamu jangan iri karena followers aku naik terus,” balas Vella sambil merapikan kuncir rambutnya.

Sore mulai menjelang saat akhirnya mereka tiba di batas kota Jogja. Tulisan besar “Selamat Datang di Yogyakarta” seolah menyambut mereka dengan tangan terbuka. Semua bersorak, dan suara klakson mobil mereka terdengar lebih riuh dari sebelumnya. Bahkan ibu sempat merekam momen itu dari dalam mobil, meski videonya goyang karena jalanan yang sedikit berlubang.

Penginapan yang mereka pilih terletak di pinggir kota, tak jauh dari Malioboro. Sebuah rumah tua bergaya Jawa, lengkap dengan pendopo dan taman kecil yang ditumbuhi bunga kamboja dan pohon sawo. Interiornya hangat, penuh unsur kayu dan aroma dupa yang lembut. Masing-masing kamar disusun rapi, dan di ruang tengah tersedia teko teh panas serta camilan tradisional.

Malam mulai turun, dan kota mulai memamerkan gemerlapnya yang sederhana namun memikat. Tapi sebelum mereka benar-benar menjelajahi Jogja malam itu, semuanya duduk di ruang tengah, menikmati teh jahe dan bercerita.

“Perjalanan tadi nggak berasa panjang, ya,” ujar Ardan sambil menggigit rempeyek.

“Karena kamu nggak nyetir,” jawab ayah sambil memijat bahu.

Semua tertawa.

Di luar, angin mengusap dedaunan. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara musik jalanan. Mereka belum tahu seperti apa hari-hari di Jogja akan berjalan. Tapi satu hal yang pasti—perjalanan mereka baru saja dimulai.

Malioboro dan Malam Pertama yang Berkesan

Matahari telah benar-benar tenggelam saat keluarga besar itu mulai bersiap meninggalkan penginapan untuk menikmati malam pertama di Jogja. Udara kota terasa hangat namun bersahabat. Ada bau khas yang menggantung di udara—campuran antara aroma makanan kaki lima, asap kendaraan, dan harum bunga malam yang samar-samar menyusup dari halaman rumah warga.

Dengan langkah santai, mereka berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi oleh lampu-lampu jalanan bergaya klasik. Beberapa dari mereka membawa kamera, lainnya hanya sibuk menatap sekitar dengan mata berbinar. Sepanjang jalan, suara musik angklung berpadu dengan denting gitar dari para pengamen yang berdiri di titik-titik tertentu. Satu-dua anak muda terlihat sedang berswafoto dengan latar lampu neon toko yang meriah.

Vella, Tisha, dan Nayaka berjalan di depan, menggandeng satu sama lain sambil menunjuk ke sana kemari. Kadang tertawa, kadang saling membetulkan poni atau tali tas. Mereka berhenti di kios yang menjual gelang kulit bertuliskan nama. Vella langsung memilih satu dan menyodorkan ke si penjual.

“Tolong tulisin namanya ‘Vella The Boss’, ya,” katanya sambil menyeringai.

“Kamu tuh nggak pernah cukup, ya, sama hal-hal sederhana?” tanya Nayaka sambil memilih gelang polos berwarna cokelat tua.

“Kalau bisa unik, kenapa harus biasa?” jawab Vella mantap, disambut anggukan dramatis dari Tisha.

Sementara itu, Ardan, Keanu, dan ayah mereka berjalan lebih lambat di belakang. Mereka berhenti di lapak buku bekas, lalu berpindah ke penjaja lukisan sketsa wajah. Keanu sempat ditawari untuk digambar, tapi ia menolak dengan alasan wajahnya belum siap tampil di media cetak.

“Kalau aku digambar sekarang, bisa-bisa pelukisnya trauma,” ujarnya dengan nada serius palsu.

“Kamu trauma atau dia yang trauma?” sahut Ardan tanpa menoleh, masih asik melihat lukisan-lukisan siluet Candi Borobudur.

Ibu dan bibi mereka sibuk membeli batik di salah satu toko lawas yang masih mempertahankan gaya etalase zaman kolonial. Saat mereka keluar, masing-masing membawa kantong besar. Wajah ibu tampak puas—jenis puas yang hanya bisa muncul dari keberhasilan menawar selembar batik tulis seharga hampir setengahnya.

“Ini namanya skill, bukan pelit,” ujar ibu sambil memperlihatkan hasil belanjanya ke yang lain.

“Skill menawar atau skill bikin pedagang nyerah?” canda paman dari belakang.

Ketika perut mulai bernyanyi, rombongan itu singgah di sebuah angkringan di pinggir jalan. Meja panjang dari kayu, bangku tanpa sandaran, dan lampu petromak yang bergantung rendah, menciptakan suasana yang akrab dan sedikit nostalgik. Mereka duduk berdesakan, mengambil nasi kucing dan sate-satean yang ditata rapi di atas tampah. Tangan saling berebut tapi tidak ada yang marah—karena justru di situ letak kehangatannya.

“Aku nggak ngerti kenapa nasi sekecil ini bisa bikin nagih,” ujar Keanu sambil menambahkan sambal ke piringnya.

“Karena ini Jogja, bukan restoran all-you-can-eat,” kata Tisha, yang mulutnya masih penuh.

Di tengah makan malam, seorang pemusik jalanan datang membawa gitar dan menyanyikan lagu klasik “Yogyakarta” dari Kla Project. Mereka semua otomatis ikut menyanyi—walau beberapa nadanya meleset dan liriknya tak lengkap. Tapi tak ada yang peduli. Malam itu bukan tentang suara, tapi tentang rasa.

Seusai makan, mereka melanjutkan langkah ke bagian ujung Malioboro. Kali ini lebih lambat, karena perut sudah kenyang dan kaki mulai terasa pegal. Tapi mata mereka tetap liar, mencari hal baru di setiap sudut. Di sebuah gang kecil, Nayaka mengajak masuk ke toko pernak-pernik lokal yang penuh barang-barang vintage.

“Toko ini kayak portal waktu,” katanya sambil mengangkat jam tangan tua dengan tali kulit yang sudah mulai pudar.

“Kamu suka yang antik-antik, ya?” tanya Tisha.

“Biar balance. Hidupku modern banget soalnya,” jawab Nayaka, membuat keduanya tertawa.

Sementara yang lain sibuk belanja kecil-kecilan, Ardan mengambil waktu sejenak duduk di kursi besi di pinggir jalan. Di sebelahnya, seorang kakek tua duduk sambil memainkan seruling bambu. Nada yang keluar sederhana tapi menyentuh. Ardan menatap langit, lalu menutup matanya sebentar. Mungkin karena lelah, atau mungkin karena rasa syukur yang muncul begitu saja tanpa diminta.

Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan malam saat mereka memutuskan untuk kembali ke penginapan. Jalanan mulai sepi, tapi kehangatan masih tinggal di dalam rombongan kecil itu. Vella dan Tisha jalan sambil saling sandar, Keanu sesekali menguap lebar, dan Nayaka merekam langkah mereka dalam video pendek.

Sesampainya di penginapan, mereka langsung berkumpul di pendopo, masih dengan sisa energi dari Malioboro. Ayah menyalakan radio tua milik pengelola penginapan, dan lagu keroncong mengalun pelan. Tidak ada yang ingin langsung tidur. Mereka membuka oleh-oleh yang sudah dibeli, menertawakan bentuk-bentuk gantungan kunci aneh, dan mencicipi bakpia isi durian yang dibeli tanpa sengaja.

“Aku yakin ini bukan rasa durian. Ini rasa keputusan yang salah,” komentar Keanu, membuat semua kembali tertawa.

Malam pun ditutup dengan gelak tawa kecil dan janji-janji untuk bangun pagi. Besok, perjalanan akan lebih liar. Merapi dan jeep-jeep bertenaga tinggi sudah menunggu mereka di lereng sana. Tapi malam ini, Jogja telah memberi mereka sambutan yang tak terlupakan—ramah, penuh warna, dan sedikit manis seperti teh nasgitel yang tadi mereka teguk.

Teriak di Lereng Merapi, Tawa di Tebing Breksi

Matahari baru muncul malu-malu saat rombongan keluarga itu sudah bersiap-siap di depan penginapan. Suara ayam kampung terdengar dari kejauhan, menyelip di antara bisikan angin yang masih dingin. Udara pagi Jogja punya aroma segar yang khas, semacam campuran embun, tanah basah, dan daun yang baru membuka diri dari kantuk malam.

“Udah kayak mau naik gunung, padahal cuma naik Jeep,” celetuk Keanu sambil mengencangkan tali sepatu.

“Aku sih lebih siap buat foto-foto daripada naik,” ujar Nayaka, memperbaiki posisi kacamata hitam di rambutnya.

Mereka berangkat menuju kawasan Kaliurang, tempat Lava Tour Merapi dimulai. Perjalanan ke sana memakan waktu sekitar satu jam, dan semakin dekat ke kaki gunung, suhu mulai turun perlahan. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan kecil yang diapit pohon-pohon tinggi. Mobil keluarga mereka berhenti di sebuah lapangan luas yang dipenuhi Jeep warna-warni.

Ada yang merah menyala, ada yang hijau army, bahkan satu Jeep dihias dengan stiker superhero. Ardan langsung menunjuk ke salah satu yang penuh coretan grafiti.

“Yang itu aja, kayaknya paling gahar,” katanya dengan nada setengah bercanda.

“Aku maunya yang warnanya bagus buat feed Instagram. Masa naik Jeep warnanya item doang,” protes Vella.

Mereka akhirnya dibagi menjadi dua kelompok. Jeep pertama berisi Ardan, Keanu, Nayaka, dan sopir yang dipanggil Pak Anas—pria paruh baya dengan topi rimba dan senyum yang tak pernah lepas. Jeep kedua membawa Vella, Tisha, serta orangtua mereka. Begitu mesin dinyalakan dan getaran kasar terasa, semua langsung bersorak, meski sedikit cemas.

“Aku rasa tulang punggungku bakal inget perjalanan ini seumur hidup,” teriak Tisha sambil tertawa.

Jeep mulai bergerak menembus jalanan berbatu dan penuh tanjakan. Dalam hitungan menit, semua yang ada di dalam kendaraan itu sudah terguncang ke kanan dan kiri. Teriakan bercampur tawa meledak setiap kali Jeep melompati bebatuan besar.

“Waaah! Aku nggak mau duduk di belakang lagi!” jerit Nayaka saat tubuhnya terpental sedikit ke udara.

“Kamu pikir ini GrabCar?” balas Keanu dari depan sambil memegang erat pegangan besi.

Pak Anas justru tertawa senang, seperti menikmati setiap teriakan panik di belakangnya.

“Kalau Jeep nggak guncang, itu namanya becak, Mbak!” katanya keras-keras, membuat semua tertawa lagi.

Mereka berhenti pertama di Museum Sisa Hartaku, rumah warga yang dulunya tertimpa letusan Merapi tahun 2010 dan kini dijadikan tempat pameran. Di dalam, ada sepeda motor yang hangus, jam dinding yang meleleh, hingga boneka yang setengah terbakar. Semua benda itu diam, tapi memancarkan cerita yang kuat.

“Liat deh, jamnya berhenti tepat waktu letusan. Serem tapi keren,” gumam Ardan sambil membaca penjelasan di papan informasi.

“Aku merinding. Tapi ini bikin sadar, ya, betapa kuatnya alam,” ujar Vella pelan.

Mereka melanjutkan perjalanan ke Bunker Kaliadem, tempat perlindungan yang dulu dibangun untuk keadaan darurat. Udara di sekitar sana lebih dingin, dengan angin yang membawa debu halus dari bebatuan vulkanik. Dari atas bukit, Merapi terlihat gagah, walau puncaknya sebagian tertutup awan.

“Kayak lukisan. Tapi nyata,” ucap Tisha sambil mengambil foto panorama.

Setelah puas berfoto dan menikmati suasana, Jeep kembali melaju menuju spot terakhir: pemandian air bekas letusan. Di sini, mereka boleh mencipratkan air gunung ke wajah, yang katanya bisa bikin awet muda. Tanpa banyak pikir, Keanu langsung menciduk air dengan tangan dan memercikkannya ke Nayaka.

“Hah! Awet muda duluan!” serunya.

“Kamu pikir itu air suci apa gimana?” teriak Nayaka sambil membalas dengan gayung bambu.

Tawa kembali memenuhi udara dingin pegunungan. Usai bermain air dan membeli beberapa oleh-oleh kecil dari warung sekitar, mereka pamit pada sopir Jeep dan melanjutkan perjalanan menuju Tebing Breksi.

Siang sudah mulai tinggi saat mereka tiba di lokasi. Matahari memantul pada permukaan tebing yang berundak, membentuk pola-pola alami dan pahatan buatan manusia. Tempat itu tampak seperti amfiteater raksasa yang terbuka di tengah langit biru.

“Ini tempat buat foto-foto sih, bukan buat naik-naik,” ujar Vella sambil menaiki tangga batu perlahan.

“Kalau kamu jatuh, aku pura-pura nggak kenal, ya,” sahut Nayaka dari bawah.

“Aku rekam, malah,” timpal Keanu sambil mengangkat ponselnya.

Mereka menjelajah ke berbagai sudut. Ada yang memanjat, ada yang duduk menikmati angin, ada yang sibuk mengatur pose untuk hasil feed yang estetik. Paman dan bibi mereka duduk di gazebo, menikmati kelapa muda sambil tertawa melihat tingkah anak-anak mereka.

“Anak zaman sekarang beda, ya. Dulu mah kalau ke tempat gini, kita bawa bekal, bukan tripod,” ujar paman sambil menyeruput air kelapa.

Ardan dan ayahnya berjalan ke ujung tebing, di mana angin terasa lebih kencang dan pandangan terbuka luas. Dari sana, sawah dan perkampungan kecil terlihat seperti miniatur.

“Kadang, ya… aku ngerti kenapa banyak orang jatuh cinta sama Jogja,” kata Ardan pelan.

Ayahnya hanya tersenyum, menepuk pundaknya pelan. Tidak perlu banyak kata—pemandangan itu sudah menjelaskan segalanya.

Menjelang sore, mereka berkumpul di kafe kecil dekat pintu keluar. Meja kayu panjang, minuman dingin, dan pemandangan sore dari balik jendela besar menjadi penutup sempurna hari itu.

“Aku capek banget, tapi puas banget,” ujar Tisha, wajahnya berseri meski rambut berantakan.

“Kamu tuh, baru puas kalau rambut acak-acakan,” goda Nayaka.

“Aku sih puas karena kamu makin item,” balas Tisha cepat.

“Persahabatan kalian ini kayak warung kopi sama warung sebelah, ya—saling saingin tapi nggak bisa jauh,” celetuk Vella.

Gelak tawa pun kembali terdengar. Sinar matahari senja memantul pada wajah-wajah yang lelah namun bahagia. Hari itu bukan cuma tentang pemandangan indah dan destinasi seru, tapi tentang semua momen kecil yang tak akan bisa diulang.

Langkah Terakhir dan Kenangan yang Tertinggal

Pagi terakhir di Jogja datang dengan cahaya lembut yang menyusup ke celah jendela kamar penginapan. Tak ada suara bising, hanya suara dedaunan yang bergesekan pelan tertiup angin dan kicauan burung yang seolah tahu hari ini adalah hari pamit. Para penghuni penginapan yang semalam tertidur lelap mulai terbangun satu per satu, dengan rasa malas yang berbeda dari biasanya—malas karena enggan meninggalkan suasana.

“Jangan buru-buru pulang, ya,” gumam Tisha sambil menyender di balkon kecil, menggenggam secangkir teh panas.

“Kalau bisa, aku mau tinggal seminggu lagi,” sahut Nayaka dari dalam kamar, terdengar setengah serius.

Hari ini, sebelum benar-benar meninggalkan kota ini, mereka akan singgah di dua tempat terakhir: Taman Sari dan Candi Prambanan. Dua tempat yang konon penuh cerita lama, namun selalu berhasil menenun kisah baru bagi siapa pun yang menginjakkan kaki.

Mobil mereka meluncur pelan menuju Taman Sari, bekas taman kerajaan yang kini menjadi labirin sejarah. Jalanan sempit berliku mengantar mereka masuk ke area kompleks, dan begitu turun, mereka langsung disambut aroma tembok tua yang menyimpan ratusan tahun kisah.

Tangga-tangga kecil membawa mereka ke lorong-lorong sempit yang kadang gelap, kadang terbuka ke halaman kecil berisi kolam atau jendela rahasia. Vella berjalan di depan, sesekali berhenti untuk mengambil gambar dinding yang retak dengan cahaya yang jatuh sempurna.

“Tempat ini cantik banget, tapi ada auranya ya,” ujarnya pelan.

“Kamu ngerasa juga? Kayak tempat yang pernah dilihat di mimpi,” tambah Nayaka, melirik ke arah tangga spiral yang menurun ke ruangan bawah tanah.

“Aku ngerasanya kayak film misteri, tinggal tunggu ketemu hantu,” canda Keanu, membuat yang lain tertawa sambil sedikit gemetar.

Saat mereka sampai di Sumur Gumuling, bagian Taman Sari yang berbentuk melingkar dengan lima tangga batu bertemu di tengah, langkah mereka otomatis melambat. Tempat itu tenang, hanya suara langkah kaki dan sedikit bisikan angin yang mengisi ruang kosong. Mereka bergiliran berdiri di tengah titik pertemuan tangga, konon katanya tempat yang membawa berkah jika mengucap harapan.

Tak banyak yang berkata-kata. Tapi tatapan mereka cukup untuk menjelaskan bahwa tempat ini memberikan semacam perasaan… pulang. Bukan pulang ke rumah, tapi ke sisi lain dari diri mereka yang selama ini jarang disentuh: yang tenang, yang penuh makna.

Menjelang siang, mereka tiba di Candi Prambanan, tujuan terakhir sebelum kembali ke kota asal. Cuaca cukup terik, namun langit cerah luar biasa. Candi menjulang megah di hadapan mereka, seakan menjaga rahasia masa lalu yang tak lekang oleh waktu.

Vella dan Tisha langsung menuju candi utama, berlarian kecil seperti anak kecil yang baru lepas dari sekolah. Keanu sibuk mencoba mengambil angle terbaik untuk mengabadikan siluet candi dengan langit biru sebagai latar.

“Kamu sadar nggak, dari tadi kita kayak nggak habis-habis dikejar keindahan di kota ini?” tanya Nayaka sambil melangkah pelan di pelataran luas.

“Bukan cuma keindahan. Tapi vibe-nya. Jogja tuh punya caranya sendiri buat nempel di hati,” jawab Ardan yang berjalan di sampingnya.

Ibu dan ayah mereka duduk di bawah pohon, memandangi anak-anak mereka dari kejauhan. Senyum mereka tenang, seperti orang-orang yang tahu bahwa waktu tak akan berhenti, tapi kenangan akan tetap tinggal.

Saat matahari mulai condong ke barat, mereka duduk beramai-ramai di rerumputan menghadap ke arah candi. Satu per satu membuka bekal kecil yang mereka beli dari warung sekitar—tempe mendoan, pisang goreng, dan teh manis dalam botol kaca.

“Ini bukan soal destinasi, ya,” ujar Vella tiba-tiba. “Tapi soal siapa yang bareng kita ke sana.”

Yang lain mengangguk. Tak perlu disetujui dengan kata, karena mereka tahu betul maksud kalimat itu. Selama beberapa hari ini, Jogja telah menjadi latar sempurna untuk cerita mereka. Bukan hanya soal tempat wisata atau makanan enak, tapi tentang kebersamaan yang mereka rajut dari satu titik ke titik lain, tentang percakapan ringan yang berubah jadi tawa panjang, dan tentang waktu yang terasa melambat agar semuanya bisa dikenang dengan baik.

Ketika hari mulai gelap dan langkah mereka kembali ke mobil, suasana menjadi sedikit hening. Tapi bukan karena sedih, melainkan karena masing-masing membawa pulang sesuatu—bukan oleh-oleh, tapi rasa. Rasa hangat, syukur, dan penuh yang sulit dijelaskan.

Di kursi belakang mobil, Keanu membuka ponsel dan mulai mengedit video dari semua potongan perjalanan mereka.

“Judulnya apa, dong?” tanya Tisha dari depan.

“Hmm…” gumam Keanu. “Mungkin… Liburan ke Jogja: Tempatnya Satu, Kenangannya Seribu.”

Semua tertawa pelan. Mungkin terdengar cheesy. Tapi memang begitu adanya.

Dan di sepanjang jalan pulang, langit malam menyelimuti mereka dengan tenang, seolah Jogja ikut mengantar—bukan untuk selamat tinggal, tapi sampai bertemu lagi.

Jadi gimana? Seru banget kan ceritanya? Liburan ke Jogja emang nggak pernah gagal bikin hati adem dan kepala fresh, apalagi kalau dijalanin bareng keluarga yang rame dan kompak. Dari petualangan di lereng Merapi sampai momen reflektif di Prambanan, semuanya punya warna sendiri yang susah dilupain.

Kalau kamu punya rencana liburan ke Jogja, semoga cerpen ini bisa jadi inspirasi buat bikin kenangan yang sama serunya. Dan kalau kamu udah pernah ke sana, pasti ceritanya langsung bikin kamu kangen! Sampai ketemu di cerita liburan lainnya—jangan lupa simpan, share, dan kasih ke orang-orang yang kamu sayang biar mereka juga ikut senyum-senyum baca cerita ini.

Leave a Reply