Daftar Isi
Hai semua, Liburan sekolah biasanya jadi waktu buat bersantai atau jalan-jalan, tapi gimana kalau liburanmu dihabiskan di rumah sambil bantuin ibu di dapur? Ini yang dialami Darien, seorang anak SMA yang aktif dan gaul, yang memutuskan untuk belajar banyak hal baru selama liburannya.
Dari memotong bawang sampai bikin bolu pandan pertama, pengalaman Darien penuh dengan perjuangan, tawa, dan momen mengharukan. Yuk, ikuti kisah serunya yang bikin kamu merasa hangat dan termotivasi untuk lebih menghargai hal-hal sederhana di rumah!
Saatnya Darien Jadi Pahlawan Ibu
Permintaan Sederhana dari Ibu
Hari itu, matahari terasa lebih ramah dari biasanya. Liburan semester baru saja dimulai, dan aku sudah membayangkan serunya rencana yang tersusun di kepala. Nongkrong di kafe favorit, main basket sore di lapangan, atau sekadar jalan-jalan bareng anak-anak. Itu semua rencana yang biasanya aku lakukan. Tapi, pagi ini berbeda.
“Darien, sini sebentar,” panggil Ibu dari dapur.
Aku, yang sedang asyik scroll Instagram sambil rebahan di sofa, segera bangkit. “Iya, Bu. Ada apa?”
Ibu berdiri di depan meja dapur dengan serbet kecil di tangannya. Wajahnya terlihat lembut seperti biasa, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatku penasaran.
“Kamu liburan ini mau ngapain aja?” tanya beliau sambil mulai merapikan beberapa piring.
“Ya, kayak biasa aja, Bu. Nongkrong sama teman-teman, mungkin nanti kita bikin rencana liburan bareng juga,” jawabku santai.
Ibu tersenyum kecil. “Hmm, bagus. Tapi… kalau ibu minta kamu bantuin ibu di rumah, gimana?”
Aku terdiam sejenak. Bantuin ibu? Terdengar sederhana, tapi juga… aneh. Biasanya, ibu nggak pernah minta bantuan. Dia selalu bilang, “Kamu fokus aja sama sekolahmu.” Jadi, permintaan ini seperti sesuatu yang baru.
“Maksud ibu? Bantuin apa?” tanyaku, mencoba memastikan.
“Ya, bantu bersih-bersih, masak, atau apapun yang ibu kerjakan sehari-hari. Ibu cuma butuh kamu ada di rumah lebih banyak kali ini,” jawabnya.
Suaranya tenang, tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-katanya. Mungkin ibu capek. Mungkin dia cuma ingin ditemani. Atau… mungkin ini cara dia menunjukkan bahwa aku juga harus belajar menghargai waktu bersama keluarga.
Aku mengangguk. “Oke, Bu. Aku bantuin. Liburan ini, aku di rumah dulu, deh.”
Wajah ibu langsung cerah. “Terima kasih, Nak. Ibu tahu kamu pasti bisa diandalkan.”
Hari pertama liburan pun dimulai dengan hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya: menyapu halaman. Biasanya, ibu yang selalu mengerjakan itu sambil bersenandung kecil. Kini, aku yang memegang sapu panjang itu, berdiri di tengah halaman dengan dedaunan kering bertebaran di mana-mana.
“Darien, sapunya jangan asal dorong. Pelan-pelan, kumpulkan daunnya biar gampang diambil,” kata ibu sambil memandangi aku dari teras.
“Iya, Bu. Siap,” jawabku, berusaha terlihat santai meski sebenarnya mulai pegal juga.
Sapuan pertama terasa mudah, tapi setelah setengah halaman, aku mulai merasa pekerjaan ini nggak segampang yang terlihat. Matahari mulai naik, keringat mulai bercucuran, dan punggungku mulai terasa lelah.
Namun, setiap kali aku melirik ke teras dan melihat ibu tersenyum sambil memperhatikanku, rasanya ada energi yang muncul entah dari mana.
“Hebat, Darien!” tiba-tiba suara dari samping pagar membuatku menoleh. Tante Rina, tetangga sebelah, sedang lewat sambil membawa belanjaan. “Anak gaul sekarang bantuin ibunya ya? Beda banget deh sama anak-anak lain.”
Aku hanya tertawa kecil. “Iya, Tante. Sekali-sekali jadi anak baik.”
Ucapan itu mungkin terdengar bercanda, tapi dalam hati aku merasa bangga. Bukan karena pujian Tante Rina, tapi karena aku mulai sadar bahwa hal kecil seperti ini ternyata bisa membuat ibu senang.
Setelah halaman selesai, ibu memberiku segelas teh manis dingin. Aku duduk di teras, menikmati minuman itu sambil mengatur napas.
“Capek, ya?” tanya ibu sambil duduk di sampingku.
“Ya lumayan, Bu. Tapi seru juga. Rasanya beda,” jawabku jujur.
Ibu tersenyum. “Itu karena kamu kerja dengan hati. Kalau apa yang kamu lakukan bikin orang lain bahagia, capeknya jadi nggak terasa.”
Kalimat ibu itu terasa sederhana, tapi entah kenapa membekas di pikiranku. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk dengan dunia luar sampai lupa bahwa ada banyak hal kecil di rumah yang bisa membawa kebahagiaan, bukan hanya untuk ibu, tapi juga untuk diriku sendiri.
Hari itu, aku sadar bahwa liburan ini tidak akan seperti liburan-liburan sebelumnya. Dan aku tidak sabar untuk melihat apa lagi yang bisa aku lakukan untuk ibu.
Pahlawan di Halaman Rumah
Esok paginya, aku kembali bangun lebih awal dari biasanya. Biasanya, liburan adalah waktu untuk tidur sampai siang, tapi kali ini, rasanya berbeda. Entah kenapa, aku seperti punya semangat baru.
“Ibu butuh bantu apa hari ini?” tanyaku begitu pada saat masuk ke dapur, tempat ibu yang sudah sibuk dengan sarapan.
Ibu menoleh dan tersenyum. “Hari ini, kita bersihin halaman belakang, ya. Rumputnya mulai panjang, banyak daun kering juga.”
Aku mengangguk. “Oke, siap, Bu!”
Setelah sarapan, aku mengambil sapu lidi dan cangkul kecil dari gudang. Begitu membuka pintu ke halaman belakang, aku terkejut. “Wah, ini sih kayak hutan mini,” gumamku sambil memandangi rerumputan liar yang hampir menutupi sebagian halaman.
“Darien, ayo mulai dari sudut sana,” kata ibu sambil menunjuk bagian dekat pohon mangga.
Aku mulai menyapu daun-daun kering, mengumpulkannya menjadi tumpukan kecil. Ternyata, bagian ini lebih sulit dibanding halaman depan kemarin. Matahari terasa lebih terik, dan setiap kali aku menyapu, angin malah menerbangkan sebagian daunnya lagi.
“Bu, ini kayak nggak ada habisnya,” keluhku sambil mengusap keringat di dahi.
Ibu mendekat, membawa botol minum. “Memang, Nak. Tapi ingat, yang penting nikmati prosesnya. Nggak semua hal harus selesai dengan cepat, yang penting kamu mau coba.”
Aku mengangguk, meski dalam hati masih merasa pekerjaan ini melelahkan. Tapi aku nggak mau menyerah. Aku melanjutkan dengan menggali beberapa rumput liar yang tumbuh di dekat pagar. Tanganku mulai kotor, dan tubuhku sudah basah oleh keringat.
Saat aku sedang asyik mencabut rumput, suara tawa anak-anak kecil dari arah jalan membuatku menoleh. Ternyata, dua anak kecil tetangga sedang memanjat pagar kecil rumah mereka untuk melihat aku bekerja.
“Kak Darien, lagi ngapain?” tanya salah satu dari mereka, seorang anak laki-laki bernama Fikri.
“Ini, Fikri. Lagi jadi tukang kebun dadakan,” jawabku sambil tertawa.
Mereka berdua tertawa, lalu salah satunya berkata, “Kak Darien keren! Biasanya cuma kelihatan nongkrong, sekarang bantu ibu.”
Aku tertegun mendengar ucapan itu. Ternyata, hal yang sederhana seperti ini bisa memberi sebuah kesan besar bagi orang lain.
Setelah hampir tiga jam, halaman belakang akhirnya terlihat lebih rapi. Aku mengikat tumpukan daun kering untuk dibuang, lalu menatap hasil kerja keras kami.
“Bagus, Nak! Ini jauh lebih bersih dari sebelumnya,” puji ibu sambil menepuk bahuku.
Aku tersenyum lebar. Rasanya seperti memenangkan pertandingan basket, meski ini hanya soal membersihkan halaman. Ada rasa puas yang sulit dijelaskan, apalagi melihat senyum bangga di wajah ibu.
“Bu, nanti kalau kita punya waktu, kita tanam bunga di sini, ya? Biar halamannya makin cantik,” usulku.
Ibu mengangguk. “Itu ide bagus, Darien. Tapi jangan lupa, tanamannya harus dirawat, ya.”
“Siap, Bu. Aku janji!”
Sore harinya, aku duduk di teras sambil memandangi halaman belakang yang kini terlihat rapi. Teman-temanku mulai mengirim pesan di grup, mengajakku ke mal. Tapi aku hanya membalas singkat, “Nggak bisa hari ini, Bro. Lagi sibuk di rumah.”
Balasan itu membuatku tersenyum sendiri. Aku baru sadar, liburan kali ini membawa kebahagiaan yang berbeda. Bukan kebahagiaan dari nongkrong atau bermain, tapi dari melihat hasil kerja keras sendiri dan membuat ibu tersenyum.
Di malam hari, aku berbincang dengan ibu sambil menikmati teh hangat.
“Darien, ibu bangga sama kamu,” katanya tiba-tiba.
Aku tertegun. “Lho, kenapa, Bu?”
“Bukan soal hasil kerja kamu tadi, tapi karena kamu mau melakukannya dengan hati. Itu yang bikin ibu merasa bangga,” jawabnya.
Kata-kata itu membuat dadaku hangat. Aku mulai memahami apa yang ibu maksud kemarin. Bukan soal pekerjaan yang selesai, tapi tentang kehadiran dan usaha untuk menjadi bagian dari rumah ini.
Dan malam itu, aku tidur dengan rasa puas yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku tahu, liburan ini akan menjadi cerita yang selalu kuingat.
Petualangan di Dapur
Pagi itu, aku bangun dengan aroma harum yang langsung membangkitkan rasa penasaran. Dari kamar, suara ibu yang sedang sibuk di dapur terdengar sangat jelas. Sepertinya, ibu sudah memulai aktivitas memasaknya.
Aku berjalan ke dapur sambil menguap kecil. “Pagi, Bu. Lagi masak apa? Harum banget.”
Ibu menoleh sambil tersenyum. Di depan kompor, wajan besar berisi tumisan terlihat mengepul. “Masak oseng tempe dan sayur lodeh. Makanan kesukaan kamu, kan?”
Aku mengangguk sambil duduk di kursi dapur. “Iya, Bu. Aku bantuin, dong.”
Ibu langsung tertawa kecil. “Bantuin? Tumben kamu mau masuk dapur.”
Aku mengangkat bahu sambil tersenyum. “Ya, kan liburan ini mau bantu-bantu. Siapa tahu aku jadi jago masak.”
Tanpa banyak bicara lagi, ibu mengambil pisau dan talenan, lalu ia menyodorkannya kepadaku. “Kalau gitu, kamu potong bawang dulu. Tapi hati-hati, jangan sampai kena jari.”
Aku mengambil pisau itu dengan semangat. Bawang merah dan bawang putih sudah tertata di talenan, menunggu untuk diiris. Aku mulai mengiris bawang merah pertama, tapi baru beberapa detik, mataku langsung terasa pedih.
“Aduh! Kok perih banget, Bu!” Aku mengeluh sambil mengusap mataku.
Ibu tertawa lagi. “Namanya juga bawang, Nak. Kalau matamu pedih, jangan diusap pakai tangan yang habis megang bawang. Malah makin pedih nanti.”
Aku mencoba bertahan, tapi air mataku terus keluar. “Wah, ini perjuangan banget, Bu. Baru bawang aja udah bikin nangis.”
“Makanya, masak itu butuh kesabaran. Nggak semudah yang kamu kira,” kata ibu sambil tetap mengaduk tumisan di wajan.
Setelah selesai memotong bawang, aku merasa seperti sudah melewati tantangan berat. Tapi itu baru awal.
“Ayo, sekarang belajar bikin nasi goreng,” kata ibu sambil menyerahkan wajan kecil kepadaku.
Aku merasa bersemangat. Nasi goreng adalah menu yang sering aku makan di luar, dan kali ini aku akan mencoba membuatnya sendiri. Ibu mengarahkan langkah-langkahnya.
“Pertama, panaskan minyak. Lalu tumis bawang yang tadi kamu potong sampai harum,” jelasnya.
Aku menuangkan minyak ke wajan dan menyalakan api. Begitu minyak panas, aku memasukkan bawang. Suara desis langsung terdengar, dan aku merasa seperti koki profesional.
“Wah, gampang juga ternyata,” kataku dengan bangga.
“Tunggu sampai bawangnya wangi dulu, baru masukin bumbu lain,” tambah ibu.
Tapi, karena terlalu percaya diri, aku memasukkan nasi sebelum bawangnya matang sempurna. Alhasil, aroma yang muncul jadi kurang sedap.
“Astaga, Darien! Kamu buru-buru banget,” kata ibu sambil tertawa kecil.
Aku ikut tertawa. “Ya, maaf, Bu. Ternyata nggak segampang kelihatannya.”
Meski sedikit kacau, ibu tetap membimbingku dengan sabar. Setelah beberapa menit, nasi goreng pertamaku akhirnya selesai. Warnanya agak pucat, tapi rasanya lumayan enak.
“Ayo, cobain,” kata ibu sambil menyodorkan piring kecil.
Aku mencicipinya dengan hati-hati. Rasanya tidak sehebat nasi goreng di kafe favoritku, tapi ada rasa bangga tersendiri.
“Nggak buruk, kan?” tanyaku pada ibu.
Ibu mengangguk sambil tersenyum. “Lumayan untuk pemula. Tapi lain kali, jangan buru-buru. Masak itu butuh cinta, bukan cuma tenaga.”
Setelah makan siang, aku duduk di ruang tamu sambil memandangi tanganku yang masih bau bawang. Meski capek, aku merasa puas. Membantu ibu di dapur ternyata jauh lebih menantang daripada menyapu halaman.
Ketika aku melihat ibu duduk di sofa dengan wajah lelah tapi bahagia, aku merasa usahaku hari ini tidak sia-sia.
“Bu, besok kita masak apa lagi?” tanyaku.
Ibu tertawa. “Kamu nggak kapok, Darien?”
Aku menggeleng. “Nggak, Bu. Aku malah penasaran. Kayaknya seru juga kalau aku bisa masak makanan lain.”
Ibu mengangguk penuh rasa bangga. “Baiklah. Besok kita coba bikin kue, ya. Sekalian belajar sesuatu yang baru.”
Hari itu, aku sadar bahwa masak bukan hanya soal makanan. Ini tentang perjuangan kecil yang berbuah kebahagiaan besar. Perasaan senang melihat ibu tersenyum dan menikmati hasil masakanku adalah hadiah yang jauh lebih berharga daripada sekadar rencana liburan yang dulu aku bayangkan.
Aku mulai memahami bahwa liburan ini, meski di rumah, adalah petualangan yang penuh arti.
Dari Tepung ke Pelajaran Berharga
Pagi itu, dapur rumah sudah ramai dengan suara ibu yang sibuk mengeluarkan bahan-bahan dari lemari. Aku masih sedikit mengantuk, tapi rasa penasaran membuatku semangat melangkah ke dapur.
“Bu, hari ini bikin apa? Kayaknya lebih ribet dari kemarin,” tanyaku sambil menguap kecil.
Ibu menoleh dengan senyum khasnya. “Hari ini kita bikin kue bolu pandan. Kamu pernah bantu bikin kue sebelumnya?”
Aku tertawa. “Belum pernah, Bu. Tapi aku yakin, ini bakal lebih gampang daripada masak nasi goreng kemarin.”
Ibu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Kita lihat saja nanti.”
Di meja dapur, tepung, telur, gula, margarin, dan pasta pandan sudah tertata rapi. Ibu menyerahkan mangkuk besar dan sebuah whisk kepadaku. “Ayo, kita mulai dari mencampur telur dan gula. Kocok sampai berbusa.”
Aku memecahkan telur dengan percaya diri, tapi cangkangnya malah jatuh ke dalam mangkuk.
“Oops!” Aku cepat-cepat mengambil cangkang yang tenggelam, sementara ibu hanya tertawa kecil.
“Pelan-pelan, Darien. Dalam memasak, ketelitian itu penting.”
Aku mulai mengocok telur dan gula dengan whisk. Awalnya, aku merasa percaya diri, tapi setelah beberapa menit, tanganku mulai pegal.
“Bu, nggak ada cara yang lebih gampang, ya? Ini bikin tangan kayak habis angkat beban.”
Ibu tertawa. “Kamu baru beberapa menit, Nak. Bayangkan ibu yang dulu kocok pakai tangan untuk lima kue sekaligus.”
Aku tertegun. Kadang aku lupa betapa besar usaha ibu untuk memastikan kami selalu punya makanan enak di meja. Dengan semangat baru, aku melanjutkan mengocok adonan sampai berbusa.
“Bagus! Sekarang campurkan tepung sedikit demi sedikit sambil diaduk,” kata ibu.
Aku mengikuti instruksinya, tapi di tengah proses, tepung yang kutuang terlalu banyak, dan sebagian tumpah ke meja.
“Astaga, Darien! Tepungnya jadi kayak salju,” ibu berkata sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku ikut tertawa sambil membersihkan tepung yang berceceran. “Maaf, Bu. Aku terlalu semangat.”
Setelah perjuangan panjang, adonan akhirnya selesai. Kami menuangkan adonan ke dalam loyang, lalu memasukkannya ke oven.
“Nah, sekarang tinggal tunggu sekitar 30 menit. Kamu bisa istirahat dulu kalau mau,” kata ibu.
Aku menggeleng. “Aku mau nunggu di sini aja, Bu. Biar aku bisa lihat hasilnya nanti.”
Kami duduk di dapur sambil berbincang. Ibu bercerita tentang masa mudanya, bagaimana dulu ia belajar masak dari nenekku, dan perjuangannya mengelola rumah tangga saat ayah harus sering bekerja jauh.
Aku mendengarkan dengan serius. Baru kali ini aku merasa begitu dekat dengan ibu, seolah-olah ada banyak cerita yang selama ini aku lewatkan.
“Waktu itu, ibu juga sering bikin kue buat ayah. Dia selalu bilang kue buatan ibu lebih enak daripada yang dijual di toko,” katanya dengan senyum kecil.
Aku tersenyum. “Pantas aja, Bu. Soalnya buatan ibu pakai cinta, kan?”
Ibu tertawa kecil. “Mungkin kamu benar.”
Ketika oven berbunyi, aku bergegas membuka pintunya. Aroma manis pandan langsung memenuhi dapur, membuat perutku lapar seketika. Tapi saat aku mengeluarkan loyangnya, ada kejutan kecil yang membuat kami tertawa.
“Bu, kok bolunya nggak mengembang sempurna?” tanyaku sambil memandangi kue yang agak bantat.
Ibu mendekat dan memeriksa. “Mungkin tadi kamu terlalu banyak tepung yang masuk sekaligus. Tapi nggak apa-apa, ini tetap bisa dimakan.”
Kami memotong bolu itu dan mencicipinya bersama. Meski bentuknya jauh dari sempurna, rasanya tetap enak.
“Ini bolu pertama buatanmu, Darien. Jangan lihat bentuknya, tapi lihat usahanya. Kamu sudah belajar banyak hari ini,” kata ibu sambil tersenyum.
Aku mengangguk. “Iya, Bu. Aku janji, bolu berikutnya bakal lebih bagus.”
Malam harinya, aku merenung di kamar. Pengalaman membuat kue tadi membuka mataku. Dari hanya mencampur bahan sampai menunggu hasilnya, semuanya butuh ketelatenan dan kesabaran.
Aku mulai memahami bahwa perjuangan ibu di dapur selama ini bukan hanya soal memasak, tapi tentang memberikan yang terbaik untuk keluarganya.
Liburan kali ini benar-benar berbeda dari yang pernah aku bayangkan. Di tengah tumpahan tepung dan adonan yang bantat, aku menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya kebahagiaan dari usaha kecil yang tulus.
Aku menatap foto keluarga yang tergantung di dinding kamarku. “Terima kasih, Bu,” gumamku pelan, merasa bersyukur telah diberi kesempatan untuk belajar sesuatu yang lebih dari sekadar memasak.
Jadi, siapa nih yang bilang bahwa liburan di rumah itu sangat membosankan? Seperti Darien, kamu juga bisa menjadikan waktu liburan sebagai momen untuk mendekatkan diri dengan keluarga dan belajar hal-hal yang nggak pernah terpikirkan sebelumnya. Dari perjuangan kecil seperti memasak hingga menikmati hasilnya bersama, ada banyak pelajaran berharga yang bisa kamu temukan. Yuk, coba manfaatkan liburanmu untuk hal yang lebih bermakna. Siapa tahu, ini jadi pengalaman yang nggak bakal kamu lupakan!