Daftar Isi
Liburan sekolah biasanya identik dengan kegiatan santai, seperti tidur siang, nonton film, atau sekadar hangout sama teman-teman. Tapi kali ini, semuanya berubah. Liburan itu malah membawa mereka ke dalam petualangan yang tak terduga.
Dari sebuah pohon dengan ukiran misterius hingga lorong gelap yang muncul tiba-tiba, petualangan yang dimulai dengan rasa penasaran ini mengungkap rahasia yang selama ini tersembunyi. Terkadang, liburan bisa lebih seru dari yang dibayangkan—dan kali ini, itu pasti tak akan terlupakan.
Liburan Sekolah Penuh Misteri
Liburan Tanpa Rencana
Hari pertama liburan, aku cuma duduk terkulai di kasur. Hanya suara burung yang sesekali terdengar dari luar jendela yang mengganggu kegelisahanku. Semua teman-temanku sudah merencanakan hal-hal seru, seperti pergi ke pantai, atau liburan ke gunung. Sementara aku? Di sini, di rumah, dengan ponsel yang terus dipenuhi pesan dari mereka yang semangat banget buat liburan. Aku cuma terdiam, tak tahu harus mulai dari mana.
Tapi liburan tahun ini rasanya kayak… hampa. Apa aku benar-benar harus ikut rencana-rencana mereka yang sudah ditentukan? Rasanya semua tempat sudah pernah aku datangi, dan kegiatan yang aku pikir menyenankan ternyata cuma biasa-biasa aja. Malah terkadang, aku merasa liburan itu cuma formalitas. Rencanaku lebih banyak mengarah ke tidur sepanjang hari, ngulang film yang udah pernah kutonton, dan mungkin scroll medsos yang entah kenapa makin hari makin bikin bosan.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.
“Caka! Liburanmu mau ngapain? Ayo kumpul!” bunyi pesan itu dari Rizky, teman SMA-ku yang entah kenapa selalu penuh dengan energi meski sudah liburan.
Aku membalas seadanya. “Gak tahu, Riz. Gue juga bingung mau ngapain. Semua rencana udah gitu-gitu aja.”
Lalu, tiba-tiba terdengar suara pintu depan yang terbuka. Tila, sepupuku, baru saja pulang dari kota lain. Aku enggak tahu kenapa dia bisa selalu datang di waktu yang tepat, kayak tahu aja kalau aku lagi butuh hiburan. Tila itu orangnya enggak pernah biasa aja, selalu punya cara untuk bikin segalanya jadi lebih hidup, lebih seru.
“Eh, Caka! Kenapa masih tergeletak aja? Liburan loh, bro!” kata Tila sambil melemparkan tas punggungnya yang penuh warna ke sembarang arah. Dia berdiri di pintu kamar, dengan senyum lebar, topi besar di kepalanya, dan gaya yang bikin orang langsung tahu kalau dia datang dengan ide gila.
Aku cuma mendengus. “Mau ngajakin pergi kemana? Liburan tahun ini kayaknya enggak ada yang menarik.”
Tila tertawa kecil, lantas melangkah mendekat. “Kamu tuh selalu pesimis deh! Ayo, bangun! Gue punya ide seru buat liburan kali ini.”
Tanpa tanya lebih jauh, Tila menarik tanganku dan membawaku keluar rumah. Aku cuma bisa mengikutinya, meskipun dalam hati aku tetap merasa liburan kali ini bakal sama aja. Sampai di luar rumah, Tila berhenti sejenak dan membuka tas punggungnya. Dari dalam tas itu, dia mengeluarkan sebuah kertas kecil yang tampaknya sudah dilipat beberapa kali.
“Apa ini?” tanyaku, kebingungan.
Tila melirikku dengan tatapan penuh semangat. “Ini petunjuk pertama, Caka. Liburan kali ini kita jadi detektif!”
Aku menatapnya, ragu. “Detektif? Liburan kan harusnya santai, bukan mikir-mikir kayak gini.”
Tila cuma tersenyum sambil memberikan kertas itu. “Makanya, liburan itu bukan cuma tentang tidur atau jalan-jalan ke tempat yang biasa. Liburan itu tentang pengalaman baru. Ayo, ikuti petunjuk ini. Kita bakal cari tahu jawabannya bareng-bareng.”
Aku membuka lipatan kertas itu. Di sana ada tulisan tangan yang agak berantakan, tapi cukup jelas. Petunjuk pertama: “Pergilah ke tempat yang sering kamu lewati, tapi kamu enggak pernah memperhatikannya.”
Aku nyengir, merasa bingung. “Dimana tuh?”
Tila mengarahkanku ke taman kota yang ada di ujung jalan. Taman itu biasa saja, bahkan aku hampir nggak pernah menganggapnya penting. Tapi, melihat semangat Tila yang udah nggak sabar, aku memutuskan untuk ikut saja. Siapa tahu ada sesuatu yang seru di sana.
Sesampainya di taman, kami berjalan pelan-pelan, mengamati sekeliling dengan lebih teliti. Tila terlihat sangat antusias, sementara aku cuma mengikutinya tanpa banyak protes. Petunjuk pertama ternyata membawa kami ke sebuah jembatan kecil yang tersembunyi di sudut taman. Itu adalah jembatan yang sering aku lewati, tetapi tidak pernah aku pikirkan lagi. Aku sempat bingung, apa hubungannya jembatan ini dengan petunjuk yang Tila beri.
“Jembatan ini?” tanyaku, masih belum mengerti.
Tila mengangguk sambil tersenyum lebar. “Iya, kan kamu sering lewat sini, tapi enggak pernah berhenti untuk melihat lebih dekat. Nah, kita mulai dari sini, Caka.”
Aku hanya mengangkat bahu dan mengikuti langkahnya. Tila memang punya cara untuk melihat dunia dari sisi yang berbeda, cara yang kadang bikin aku merasa bodoh karena nggak pernah memikirkan hal-hal sederhana seperti ini.
Kami melanjutkan perjalanan mengikuti petunjuk demi petunjuk yang membawa kami ke berbagai sudut taman yang sebelumnya aku anggap biasa. Ada tempat di bawah pohon besar yang terlupakan, ada batu besar yang selama ini hanya menjadi benda mati di antara rumput-rumput liar, dan ada kolam ikan yang ternyata punya pemandangan indah kalau dilihat lebih dekat.
“Seru kan?” kata Tila dengan semangat, sambil tersenyum lebar. “Kita tuh sering kali cuma lewat tanpa melihat lebih jauh. Liburan itu bukan tentang destinasi, tapi tentang pengalaman yang bisa kita ambil dari setiap langkah.”
Aku tertawa pelan, merasa sedikit malu karena sebelumnya merasa liburan kali ini bakal membosankan. Ternyata, Tila benar—liburan itu bisa jadi menyenangkan, meskipun tanpa rencana yang jelas. Hari itu aku baru sadar, liburan tak selalu tentang kemana kita pergi atau apa yang kita lakukan, tapi tentang bagaimana kita menikmati momen yang ada.
Kami berdua duduk di sebuah bukit kecil di ujung taman, melihat matahari yang perlahan tenggelam di balik pepohonan. Tila dengan puasnya menyandarkan tubuh di rerumputan, sementara aku cuma tersenyum melihatnya. Tiba-tiba, aku merasa liburan ini bukan cuma sekadar waktu kosong yang terbuang.
“Siapa sangka ya, Tila. Liburan kali ini ternyata enggak seburuk yang aku bayangkan,” kataku dengan senyum lebar.
Tila hanya tertawa kecil. “Itulah, Caka. Kadang kita harus keluar dari zona nyaman untuk menemukan keseruan yang tak terduga.”
Kami duduk berdua, menikmati senja, dan merasakan ketenangan yang jarang terjadi di kehidupan sehari-hari. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa liburan kali ini punya arti yang lebih dalam.
Petunjuk yang Membingungkan
Pagi itu terasa lebih segar, seakan semalam belum pernah terjadi kebosanan. Aku terbangun dengan perasaan yang berbeda. Liburan kali ini sepertinya bakal lebih menarik dari yang aku bayangkan. Aku menggerakkan tubuhku keluar dari kasur, menyisir rambut seadanya, dan langsung menuju meja makan. Tila sudah ada di sana, memulai hari dengan secangkir kopi yang entah bagaimana bisa membuatnya terlihat lebih enerjik daripada biasanya.
“Jadi, siap lanjutin petualangan kita, Caka?” Tila menanyakan dengan senyum nakal di wajahnya.
Aku hanya mengangguk. Rasanya aneh, tapi aku sudah mulai terbiasa dengan suasana aneh ini—berkeliling tanpa tujuan pasti, tapi penuh dengan kejutan. Seperti petunjuk pertama yang mengarah ke taman kemarin. Rasanya seperti ada sesuatu yang besar yang sedang kami cari, walaupun belum tahu apa itu.
Setelah sarapan singkat, kami kembali ke taman kota. Taman yang sama, dengan jembatan kecil dan batu besar yang tadi kami lewati. Tila duduk di bangku taman sambil mengeluarkan kertas petunjuk kedua dari tasnya yang penuh warna itu. Aku bisa melihat ada tulisan yang agak samar. Tila melirikku dengan senyum lebar, seperti biasa, dan membuka petunjuk itu dengan gaya dramatis.
“Ini dia, Caka,” katanya, seakan petunjuk ini adalah sesuatu yang sangat penting. “Petunjuk kedua: ‘Temukan tempat yang pernah kau hindari, tapi sebenarnya itu tempat yang paling kamu butuhkan.’”
Aku mengerutkan kening. Tempat yang pernah aku hindari? Sepertinya Tila sengaja membuatnya membingungkan. Biasanya, aku tidak suka tempat-tempat yang ramai, atau tempat yang terlalu sepi, tapi… “Tempat yang paling aku butuhkan?” Gumamku, mencoba mencerna maksudnya.
“Yah, coba pikirkan aja. Mungkin ada tempat di sekitar sini yang kamu nggak pernah datangi, atau tempat yang mungkin kamu hindari tanpa alasan jelas.” Tila menjelaskan, sedikit menggoda.
Aku menatap sekeliling, mencoba mencari-cari tempat yang mungkin aku hindari. Mataku tertuju pada sudut taman yang lebih gelap, di balik deretan pohon yang tinggi dan rimbun. Di sana, ada jalan setapak sempit yang mengarah ke sebuah bangunan tua. Aku selalu merasa tempat itu aneh, gelap, dan terasa sedikit angker. Tapi kenapa tiba-tiba aku merasa tertarik untuk melihatnya lebih dekat?
“Kalau itu, mungkin.” Aku menunjuk ke arah jalan setapak itu.
Tila tersenyum dan berdiri. “Berarti itu tempat yang kamu hindari, kan? Ayo, kita cek!”
Kami mulai berjalan ke arah bangunan tua itu. Langkah kami terasa pelan dan hati-hati. Aku bisa merasakan sedikit ketegangan, mungkin karena suasana sekelilingnya yang berbeda dari biasanya. Pepohonan yang rapat membuat udara di sekitar kami terasa lebih sejuk, tetapi juga sedikit mencekam. Bangunan tua itu tampaknya sudah lama tak terurus, dengan pintu yang hampir runtuh dan jendela yang tertutup rapat.
“Kenapa sih, Caka? Kok malah kayak ngerasa aneh gini?” Tila bertanya dengan tawa ringan, tapi ada rasa ingin tahu yang kuat di matanya.
Aku menarik napas. “Gak tahu, Tila. Tempat ini selalu bikin aku ngerasa aneh. Seperti ada sesuatu yang nggak beres.”
“Tapi justru tempat kayak gini yang seringkali menyimpan cerita seru,” jawab Tila dengan percaya diri, seperti selalu.
Kami terus berjalan lebih dalam, hingga akhirnya sampai di depan pintu yang sudah rapuh. Tila dengan cekatan memegang gagang pintu dan mendorongnya. Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan bunyi berderit yang membuat suasana semakin mencekam. Aku merasa sedikit ragu untuk melangkah masuk, tapi Tila sudah terlebih dulu melangkah dengan penuh semangat.
“Ya udah, yuk, Caka! Kita gak bakal tahu kalau gak coba!” kata Tila, mengulurkan tangannya untuk menggenggam tanganku.
Dengan sedikit keberanian, aku pun mengikutinya. Kami masuk ke dalam ruangan yang sangat gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk lewat celah-celah jendela yang rusak. Di dalam, suasananya sangat sunyi. Lantai kayu berderit setiap kali kami melangkah, seakan-akan ada yang mengawasi. Di sekitar kami, ada tumpukan barang-barang lama, seperti buku-buku usang, lampu-lampu antik, dan benda-benda lainnya yang berdebu.
“Ini… apa sih, Tila?” tanyaku, masih merasakan kegelisahan.
Tila menghentikan langkahnya, lalu mengangkat tangannya. “Diam dulu, Caka. Dengerin.”
Aku terdiam, mencoba mendengarkan apa yang Tila dengar. Tiba-tiba, terdengar suara gemericik air dari belakang ruangan. Kami berdua saling pandang, bertanya-tanya dari mana suara itu berasal. Tila dengan santai berjalan menuju suara itu, dan aku mengikutinya, walau masih sedikit takut.
Suara itu ternyata datang dari sebuah sumur tua di pojok ruangan. Sumur yang terlihat sudah sangat lama tak terpakai. Di sekitar sumur itu, ada sebuah papan kayu yang tergeletak dengan tulisan yang hampir tak terbaca karena usia. Tila melirik papan itu dengan rasa penasaran.
“Tila, kita harus hati-hati,” kataku, merasa perasaan aneh semakin meningkat.
Tila memandang papan itu dengan serius, lalu perlahan mengangkat papan tersebut. Di balik papan itu, ada sebuah kunci kecil yang tergeletak di atas sebuah kotak kayu tua. Tila mengangkat kunci itu dan menatapku dengan penuh semangat.
“Ini dia, Caka! Kunci petualangan kita yang berikutnya,” serunya dengan senyum kemenangan.
Aku hanya bisa mengangguk, merasa semakin tertarik dengan apa yang akan kami temui selanjutnya. Petualangan kali ini ternyata jauh lebih seru dan misterius daripada yang aku kira. Ada sesuatu yang semakin mendalam, sesuatu yang harus kami pecahkan. Aku tak sabar untuk menemukan jawaban dari teka-teki yang Tila buat, dan lebih penasaran lagi apa yang akan kami temui di balik kunci itu.
Misteri yang Terungkap
Setelah Tila dengan penuh semangat menggenggam kunci kecil itu, kami berdiri terpaku beberapa detik, hanya dikelilingi oleh keheningan ruangan tua yang semakin terasa berat. Aku melirik Tila, yang matanya berbinar, penuh rasa ingin tahu. Ada ketegangan yang terasa begitu nyata, seperti sebuah kekuatan tak terlihat yang mengikat kami pada ruangan ini, memaksa kami untuk terus melangkah maju.
“Ini… kita harus cari kuncinya di mana, Tila?” tanyaku, walau sedikit cemas, namun rasa penasaran mengalahkan ketakutanku.
Tila menoleh, tersenyum lebar. “Aku gak tahu pasti, Caka. Tapi aku yakin, ada sesuatu di sini yang bakal jawab semua pertanyaan kita.”
Aku mengangguk, meski hati ini masih merasa ragu. Dengan kunci kecil di tangan, kami berjalan lebih dalam ke dalam ruangan itu, mengikuti jejak-jejak debu yang sudah terperangkap di lantai kayu yang usang. Tila memimpin dengan penuh keberanian, seakan-akan dunia ini milik kami berdua saja. Aku mengikuti dengan langkah yang lebih hati-hati, mengamati setiap detail benda-benda yang ada di sekitar kami. Namun, mataku tertuju pada satu hal—sebuah lemari tua yang terletak di sudut ruangan, yang tampaknya tidak pernah disentuh orang dalam bertahun-tahun.
“Tila, lihat itu!” Aku menunjuk lemari tua yang hampir tertutup rapat oleh tumpukan barang di sekelilingnya.
Tila menghentikan langkahnya, lalu menatap lemari itu dengan mata yang menyipit. “Apa itu? Pasti ada sesuatu di dalamnya.”
Kami berdua mendekat dengan perlahan, seakan takut ada sesuatu yang tak terduga di balik lemari itu. Tila dengan hati-hati memindahkan barang-barang di sekitar lemari, sementara aku berdiri di belakang, menjaga jarak. Setelah beberapa detik, akhirnya lemari itu terbuka. Di dalamnya, ada sebuah laci kecil yang tersembunyi di balik pintu lemari. Laci itu terlihat tua dan sudah berkarat, namun ada sesuatu yang mengundang kami untuk membukanya.
“Ayo, Tila. Coba buka itu,” kataku, merasa tak sabar.
Dengan tangan gemetar, Tila menarik laci itu perlahan. Ketika laci itu terbuka, aku bisa melihat sebuah buku tua yang terbungkus dengan kain tebal. Tila mengangkatnya dengan hati-hati, seolah benda itu sangat berharga. Lalu, dia membuka kain yang membungkus buku tersebut, dan ternyata buku itu memiliki sampul yang terlihat sangat tua dan lusuh.
“Ini… buku apa, Caka?” Tila membuka halaman pertama dengan perlahan.
Aku mendekat dan melihat dengan jelas tulisan tangan di halaman itu. Tulisan yang terlihat sangat rapuh, hampir tak terbaca. Tila dengan sabar memicingkan mata, mencoba mengartikan tulisan yang samar itu. Lalu, matanya seolah menemukan sesuatu yang penting.
“Ini… ini yang kita cari, Caka,” katanya, suara berbisik, namun penuh keyakinan. “Lihat, ini adalah petunjuk untuk menemukan ‘sesuatu’ yang hilang.”
Aku berusaha membaca tulisan itu, tetapi beberapa kata memang hampir tidak terbaca. Namun, di bawah tulisan yang samar itu, ada gambar yang menarik perhatian kami. Gambar sebuah tempat yang tampaknya familiar. Aku menatapnya lebih lama, mencoba mengingat di mana aku pernah melihat tempat itu.
“Gambar ini… mirip dengan alun-alun kota,” gumamku, sedikit ragu.
Tila mengangguk cepat. “Iya, Caka! Itu pasti alun-alun kota! Kita harus ke sana!”
Aku merasa semakin yakin dengan petunjuk ini. Alun-alun kota adalah tempat yang ramai, seringkali dilalui orang, namun aku tidak pernah mengira bahwa tempat itu memiliki kaitan dengan petualangan kami yang aneh ini. Rasa penasaran semakin membakar semangatku. Kami harus pergi ke sana, dan menemukan apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua ini.
Setelah mengatur langkah, kami bergegas meninggalkan bangunan tua itu, dan kembali ke taman yang kami lewati sebelumnya. Tidak ada kata-kata yang terucap antara kami, hanya langkah-langkah cepat yang kami ambil menuju alun-alun kota. Tila tampaknya juga merasa sesuatu yang mendalam, seolah kami berada di ujung jalan yang akan membawa kami pada sesuatu yang luar biasa.
Sesampainya di alun-alun kota, suasana mulai berbeda. Tidak ada keramaian yang biasanya ada, hanya ada beberapa orang yang tampak sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Namun, ada satu sudut alun-alun yang sangat menarik perhatian kami—sebuah pohon besar yang tumbuh di tengah taman kecil, yang dikelilingi oleh bangku-bangku tua. Pohon itu terlihat berbeda, seolah ada yang aneh dengan pohon itu. Cabang-cabangnya yang besar dan rimbun membuatnya tampak seperti tempat yang penuh misteri.
“Ini… ini dia, Caka,” Tila berbisik, menggenggam tanganku. “Ini tempat yang kita cari.”
Aku mengangguk, mencoba menghubungkan semua potongan teka-teki yang sudah kami temui. Aku mendekat ke pohon itu, dan Tila mengikuti di belakang. Di sekitar batang pohon, aku melihat sesuatu yang mencolok—sebuah ukiran kecil yang tertanam di kulit pohon. Ukiran itu berbentuk simbol aneh yang sepertinya tidak asing bagi Tila.
“Ini… sama dengan yang ada di buku itu!” Tila berkata, suaranya bergetar sedikit karena antusiasme.
Aku merasa seperti ada sesuatu yang besar sedang kami temui di sini. Apa yang akan kami temukan setelah ini? Apakah ini benar-benar petunjuk yang mengarah pada jawaban dari semua pertanyaan kami?
Dengan hati-hati, aku menyentuh ukiran itu, berharap bisa menemukan lebih banyak petunjuk yang mengarah pada rahasia yang selama ini tersembunyi.
Penemuan yang Tak Terduga
Ukiran kecil di pohon itu terasa dingin saat aku menyentuhnya. Detik-detik terasa membeku, seperti dunia di sekitar kami berhenti sejenak. Tila berdiri di sampingku, matanya terpaku pada ukiran yang kini mulai berkilau, seolah tersentuh oleh cahaya yang tak terlihat. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, ada getaran yang begitu halus namun kuat, seperti sebuah aliran energi yang bergerak perlahan-lahan melalui tangan yang menyentuh ukiran itu.
“Apakah kamu merasakannya?” Tila bertanya, suaranya hampir tidak terdengar karena beratnya suasana itu.
Aku mengangguk, meskipun aku juga tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan. Hanya saja, ada perasaan aneh yang merayap, seolah sebuah pintu tersembunyi mulai terbuka sedikit demi sedikit. Aku menggenggam ukiran itu lebih kuat, dan dalam hitungan detik, pohon di depan kami mulai bergetar ringan, diikuti oleh suara gemuruh yang datang entah dari mana.
Tiba-tiba, sebuah suara berderak keras di udara, mengalir seperti angin. Aku terkejut dan mundur sedikit, tapi Tila tetap berdiri, matanya bersinar penuh keyakinan. “Ini dia,” katanya. “Ini yang kita cari.”
Lalu, tanpa diduga, batang pohon itu perlahan membuka, seperti sebuah pintu besar yang menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Sebuah lorong gelap muncul, membentang dalam kegelapan yang tak bisa kami lihat ujungnya. Suara angin yang menggema dari dalam lorong itu memberikan sensasi yang begitu misterius. Kami saling memandang sejenak, keraguan sempat melintas di wajah kami, tetapi rasa penasaran lebih kuat dari ketakutan yang ada.
“Kita masuk?” Tila bertanya, suaranya sedikit bergetar namun tetap penuh semangat.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiranku yang mulai kacau. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Tanpa berkata apa-apa lagi, kami berdua melangkah ke dalam lorong tersebut. Dindingnya terasa dingin, dan udara di dalamnya lebih pekat, meski ada angin yang seolah mengalir di sepanjang jalan itu. Langkah kami terdengar jelas, seiring dengan desiran halus yang datang dari setiap sudut lorong yang semakin gelap.
Setelah beberapa menit berjalan, tiba-tiba cahaya kecil muncul di depan kami, makin lama makin terang. Kami mempercepat langkah kami, dan ketika sampai di ujung lorong, kami melihat sebuah ruang besar yang dipenuhi dengan cahaya keemasan. Di tengah-tengah ruangan itu, ada sebuah meja batu besar yang terletak di bawah cahaya yang memancar dari langit-langit.
Aku dan Tila berdiri terpaku di sana, tak bisa berkata apa-apa. Meja itu penuh dengan benda-benda tua yang tersebar di atasnya—beberapa gulungan kertas kuno, patung kecil, dan sebuah kotak kayu berukir halus. Namun, yang paling mencolok adalah sebuah buku besar yang terbuka di tengah meja itu, dikelilingi oleh cahaya keemasan yang tampaknya berasal dari dalam buku itu sendiri.
“Apa ini?” Tila bertanya, mendekat ke meja dengan langkah hati-hati.
Aku mengikuti langkahnya. Ketika aku melihat buku itu lebih dekat, aku merasa seolah ada sesuatu yang menarikku untuk membuka halaman-halamannya. Aku merasakan sebuah dorongan kuat, seolah buku itu tahu bahwa kami datang untuk menemukan jawabannya. Aku membuka buku itu pelan-pelan, dan saat aku melihat halaman-halaman pertama, aku hampir tak bisa mempercayai apa yang kubaca.
“Ini… sejarah kota ini,” kataku pelan, terkejut.
Tila menundukkan kepala, memandangi halaman-halaman yang mulai terungkap satu per satu. “Dan ini tentang… kita?” Tanyanya, masih tidak percaya.
Halaman demi halaman mulai membuka misteri besar yang selama ini tersembunyi di balik kota yang kami kenal. Buku ini bukan hanya tentang sejarah, tapi juga tentang rahasia-rahasia kuno yang melibatkan orang-orang yang hidup ribuan tahun lalu—dan bagaimana akhirnya kami, Tila dan aku, terpilih untuk menemukannya.
“Kenapa kita? Kenapa kita yang harus tahu semua ini?” Tila bertanya, suara gemetar.
Aku menggenggam tangannya dengan lembut. “Mungkin, Tila, kita hanya bagian dari sebuah kisah yang lebih besar daripada yang kita bayangkan.”
Lalu, halaman terakhir terungkap. Di halaman itu, sebuah gambar besar menunjukkan sebuah simbol yang sangat mirip dengan ukiran yang kami temukan di pohon—tapi kali ini, simbol itu menggambarkan dua orang yang berdiri berdampingan, saling melindungi satu sama lain. Itu adalah gambar kami, Tila dan aku.
Aku menatapnya dengan hati yang berdebar. “Jadi… ini adalah misi kita?” kataku perlahan.
Tila mengangguk, matanya penuh tekad. “Iya, Caka. Ini misi kita. Kita harus melanjutkan perjalanan ini.”
Kami berdua menatap satu sama lain, menyadari bahwa perjalanan kami baru saja dimulai. Kami mungkin belum tahu apa yang akan datang selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—kami tidak akan pernah berhenti mencari jawaban. Di sinilah, di ruang ini, kami menemukan lebih dari sekadar petunjuk; kami menemukan diri kami sendiri.
Dan begitulah, liburan sekolah kali ini nggak cuma tentang tidur sampai siang atau main game sepanjang hari. Tila dan aku menemukan lebih dari sekadar cerita biasa—kami menemukan petualangan, rahasia, dan kenyataan yang tak terduga.
Lorong gelap itu, dan rahasia-rahasia yang tersimpan di baliknya, akan selalu menjadi bagian dari kenangan tak terlupakan kami. Siapa sangka liburan bisa jadi lebih seru daripada yang bisa dibayangkan? Kadang-kadang, cerita terbaik datang dari tempat-tempat yang paling tak terduga.