Lentera di Ufuk Kelabu: Kisah tentang Kehilangan, Harapan, dan Pencarian Diri

Posted on

Lentera di Ufuk Kelabu adalah sebuah cerpen yang menggugah hati, menceritakan perjalanan Kaelvion Arsyad, seorang pemuda dari desa kecil Teluk Arang, dalam mencari kebenaran tentang ayahnya yang menghilang. Penuh dengan emosi yang mendalam, kisah ini mengajak Anda menyelami perjuangan batin, cinta keluarga, dan pencarian makna hidup di tengah duka. Dengan latar belakang pedesaan yang indah dan kota pelabuhan yang keras, cerita ini menawarkan refleksi mendalam tentang keberanian menghadapi kegelapan untuk menemukan cahaya dalam diri. Temukan bagaimana Kael menemukan ‘lentera’ dalam hidupnya dalam cerita yang akan mengaduk perasaan Anda.

Lentera di Ufuk Kelabu

Bayang di Bawah Pohon Akasia

Di desa kecil bernama Teluk Arang, yang tersembunyi di antara perbukitan hijau dan sawah yang membentang seperti permadani tua, hiduplah seorang pemuda bernama Kaelvion Arsyad. Nama itu, yang diberikan ibunya dengan harapan ia akan menjadi “cahaya yang tak pernah padam,” terasa seperti beban berat di pundaknya. Kaelvion, atau yang biasa dipanggil Kael, bukanlah pemuda yang menonjol. Wajahnya biasa saja, dengan mata cokelat tua yang selalu tampak menyimpan rahasia, dan rambut hitam yang selalu acak-acakan karena angin sepoi-sepoi yang bertiup dari bukit. Namun, di balik kesederhanaannya, Kael memiliki hati yang rapuh, penuh dengan mimpi yang ia sendiri tak yakin bisa diraih.

Pagi itu, seperti biasa, Kael duduk di bawah pohon akasia tua di tepi sawah. Pohon itu sudah berdiri sejak ia kecil, dengan cabang-cabangnya yang meliuk seperti tangan-tangan yang ingin merengkuh langit. Di tangannya, ia memegang buku catatan tua dengan sampul kulit yang sudah mengelupas. Buku itu adalah peninggalan ayahnya, Zevandir, yang pergi entah ke mana ketika Kael masih berusia tujuh tahun. Di dalam buku itu, ayahnya menulis puisi-puisi pendek tentang laut, angin, dan kehilangan. Kael sering membaca ulang tulisan-tulisan itu, berharap menemukan petunjuk tentang mengapa ayahnya meninggalkannya dan ibunya, Nivara.

“Kalau kau ingin tahu siapa dirimu, Kael, dengarkan angin,” begitu kata ibunya suatu malam, saat mereka duduk di beranda rumah kayu mereka yang sederhana. Nivara adalah wanita tangguh, dengan rambut panjang yang mulai memutih di ujung-ujungnya dan senyum yang selalu menyembunyikan luka. Ia bekerja sebagai penenun kain tradisional, menghabiskan hari-harinya di depan alat tenun tua yang berderit setiap kali ia menggerakkannya. Tapi Kael tahu, di balik ketangguhannya, ibunya menyimpan kesedihan yang dalam. Setiap malam, ketika Kael pura-pura tidur, ia mendengar isak tangis pelan dari kamar ibunya, seperti nyanyian duka yang tak pernah selesai.

Hari itu, di bawah pohon akasia, Kael menulis di buku catatannya. Ia bukan penyair seperti ayahnya, tapi ia suka mencurahkan perasaannya dalam kalimat-kalimat pendek. “Aku ingin pergi, tapi ke mana? Dunia terlalu luas, dan aku terlalu kecil,” tulisnya, sambil memandang awan yang bergerak lamban di langit. Ia sering merasa seperti burung yang sayapnya patah, terjebak di desa kecil ini, di antara orang-orang yang seolah tak pernah bermimpi lebih besar dari sawah dan bukit.

Tiba-tiba, suara langkah kaki memecah keheningan. Kael menoleh dan melihat Sylvara, gadis seusianya yang tinggal di ujung desa. Sylvara bukan seperti gadis-gadis lain di Teluk Arang. Ia memiliki mata hijau seperti zamrud, yang seolah bisa melihat menembus jiwa seseorang, dan rambut cokelat keriting yang selalu diikat asal-asalan. Ia dikenal sebagai “gadis aneh” karena kebiasaannya berbicara dengan tanaman dan burung, seolah mereka mengerti kata-katanya. Tapi bagi Kael, Sylvara adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa hidup.

“Kael, kau di sini lagi,” kata Sylvara sambil tersenyum kecil. Ia membawa keranjang anyaman berisi bunga-bunga liar yang baru dipetiknya. “Kau tahu, pohon akasia ini bilang kau terlalu sering termenung.”

Kael tertawa kecil, suara yang jarang terdengar darinya. “Dan kau masih bicara dengan pohon, Syl?”

“Mereka lebih jujur daripada manusia,” jawab Sylvara sambil duduk di sampingnya. Ia mengeluarkan setangkai bunga matahari dari keranjangnya dan menyelipkannya di sela-sela buku catatan Kael. “Ini untukmu. Katanya, bunga ini bisa membuatmu tersenyum.”

Kael memandang bunga itu, dan untuk sesaat, hatinya terasa ringan. Tapi bayang-bayang masa lalu selalu datang tanpa diundang. Ia teringat malam ketika ibunya menerima sepucuk surat dari kota, tiga tahun lalu. Surat itu tak bertanda pengirim, tapi isinya membuat Nivara menangis selama berhari-hari. Kael tak pernah tahu apa isi surat itu, tapi sejak saat itu, ibunya mulai sering sakit. Dokter di kota kecil terdekat bilang jantungan Nivara lemah, dan obat-obatan yang ia butuhkan terlalu mahal untuk mereka beli. Kael pernah berpikir untuk mencari kerja di kota, tapi ia tak bisa meninggalkan ibunya sendirian. Dan Sylvara, dengan caranya yang aneh, adalah satu-satunya yang membuatnya bertahan.

“Kael,” kata Sylvara tiba-tiba, suaranya serius. “Kau pernah berpikir untuk pergi dari sini? Ke kota, atau mungkin lebih jauh? Kau selalu bilang dunia ini luas, tapi kau tak pernah mencoba melihatnya.”

Kael menunduk, memainkan rumput di bawah kakinya. “Aku tak bisa, Syl. Ibu… dia hanya punya aku.”

Sylvara mengangguk, tapi matanya menyimpan pertanyaan yang tak terucap. Ia tahu tentang kondisi Nivara, dan ia tahu betapa Kael mencintai ibunya. Tapi ia juga melihat sesuatu di dalam diri Kael—sebuah api kecil yang ingin menyala, tapi selalu padam oleh beban hidup.

Matahari mulai condong ke barat, melemparkan bayang-bayang panjang pohon akasia ke tanah. Kael dan Sylvara duduk dalam diam, mendengarkan suara angin yang membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga liar. Untuk sesaat, dunia terasa damai. Tapi Kael tahu, damai itu hanya sementara. Di dalam hatinya, ia merasakan badai yang akan datang, meski ia tak tahu bentuknya.

Malam itu, ketika Kael kembali ke rumah, ia menemukan ibunya duduk di beranda, memandang langit yang mulai dipenuhi bintang. Wajah Nivara pucat, tapi ia tersenyum saat melihat Kael. “Kau tahu, Kael,” katanya pelan, “ayahmu pernah bilang, bintang-bintang adalah lentera untuk jiwa-jiwa yang tersesat. Mungkin suatu hari, kau akan menemukan lentera milikmu.”

Kael hanya mengangguk, tak tahu harus menjawab apa. Ia duduk di samping ibunya, memegang tangannya yang dingin. Di dalam hatinya, ia berdoa agar lentera itu nyata, agar ia bisa menemukan jalan keluar dari kegelapan yang perlahan menyelimuti hidupnya.

Surat dari Masa Lalu

Pagi di Teluk Arang selalu dimulai dengan kabut tipis yang melayang di atas sawah, seperti tirai yang perlahan tersingkap untuk menyambut hari baru. Kaelvion Arsyad, atau Kael, bangun dengan perasaan yang tak biasa. Malam sebelumnya, kata-kata ibunya tentang “lentera untuk jiwa-jiwa yang tersesat” masih bergema di kepalanya, seperti lagu yang tak selesai dinyanyikan. Ia duduk di tepi ranjang kayu yang sudah usang, memandang kamar kecilnya yang hanya dihiasi kasur tipis, meja kecil, dan sebuah peti kayu tua di sudut ruangan. Peti itu adalah peninggalan ayahnya, Zevandir, yang tak pernah ia buka sejak ayahnya pergi. Sesuatu di dalam hatinya pagi ini mendorongnya untuk mendekati peti itu, seolah ada bisikan tak terdengar yang memanggilnya.

Kael berlutut di depan peti, tangannya ragu-ragu menyentuh tutupnya yang berdebu. Bau kayu tua dan sedikit aroma laut—entah dari mana asalnya—menyeruak saat ia membuka peti itu. Di dalamnya, ia menemukan tumpukan barang yang tampak sepele: beberapa buku catatan tua, sehelai kain tenun dengan pola burung-burung yang terbang, dan sebuah kotak kecil dari kayu cendana yang diukir dengan simbol ombak. Jantung Kael berdegup kencang saat ia mengambil kotak itu. Di dalamnya, ia menemukan selembar surat yang dilipat rapi, dengan tulisan tangan ayahnya yang khas—huruf-hurufnya panjang dan meliuk seperti aliran sungai.

Dengan tangan gemetar, Kael membuka surat itu. Kertasnya sudah menguning, tapi tintanya masih jelas. Ia membaca:

Kepada Nivara dan Kaelvion, anakku yang kucintai,
Jika kalian membaca ini, artinya aku sudah tak ada di sisi kalian. Bukan karena aku ingin pergi, tapi karena aku harus. Ada hutang yang harus kulunasi, bukan dengan uang, tapi dengan jiwa. Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, tapi ketahuilah, aku pergi untuk melindungi kalian. Di kota pelabuhan, di ujung Teluk Besi, ada seseorang yang tahu ceritaku. Carilah dia jika kau ingin tahu kebenaran, Kael. Namanya Varyth, seorang pemilik toko buku tua di gang sempit dekat dermaga. Jangan benci aku, anakku. Aku hanya seorang lelaki yang tersesat, mencari lentera yang tak pernah kutemukan.
Zevandir, ayahmu.

Kael merasa dadanya sesak. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk perlahan, membuka luka yang selama ini ia coba tutup. Ayahnya pergi untuk “melindungi” mereka? Hutang apa yang begitu besar hingga ia harus meninggalkan keluarganya? Dan siapa Varyth? Pikiran Kael berputar-putar, bercampur antara kemarahan, kebingungan, dan secercah harapan yang tak ia mengerti. Ia ingin berlari ke kamar ibunya, Nivara, dan menanyakan semua ini, tapi ia tahu ibunya tak akan sanggup mendengar nama Zevandir tanpa air mata.

Ia menyimpan surat itu di saku celananya dan berjalan keluar rumah, menuju sawah tempat pohon akasia berdiri. Di sana, seperti biasa, Sylvara sudah menunggunya. Gadis itu sedang merangkai bunga-bunga liar menjadi kalung, matanya yang hijau zamrud tampak berkilau di bawah sinar matahari pagi. “Kael, kau terlihat seperti baru bertemu hantu,” katanya sambil terkekeh, tapi tawanya memudar saat melihat wajah Kael yang pucat.

Kael duduk di sampingnya, mengeluarkan surat itu, dan menceritakan isinya dengan suara yang bergetar. Sylvara mendengarkan dengan saksama, jari-jarinya berhenti merangkai bunga. “Jadi, kau akan pergi ke Teluk Besi?” tanyanya setelah Kael selesai bercerita.

“Aku tidak tahu, Syl,” jawab Kael, suaranya hampir tak terdengar. “Ibu semakin lemah. Obat-obatannya mahal, dan aku tak punya apa-apa selain sawah ini dan buku-buku tua ayah. Tapi surat ini… seolah-olah ayahku masih hidup di suatu tempat, menungguku untuk mencari tahu apa yang terjadi.”

Sylvara menatapnya lama, lalu menggenggam tangannya. “Kael, kadang-kadang kita harus berjalan ke dalam kegelapan untuk menemukan cahaya. Aku tahu kau takut, tapi kau tak akan pernah tahu apa yang ada di ujung jalan kalau kau tak pernah melangkah.”

Kata-kata Sylvara seperti angin yang membawa aroma bunga, lembut tapi menusuk. Kael tahu gadis itu benar, tapi bayang-bayang ibunya yang sakit membuatnya ragu. Ia membayangkan Nivara sendirian di rumah, dengan alat tenunnya yang berderit dan isak tangisnya di malam hari. Bagaimana ia bisa pergi, meninggalkan satu-satunya orang yang selalu ada untuknya?

Sore itu, Kael kembali ke rumah dengan pikiran yang kacau. Ia menemukan Nivara sedang duduk di depan alat tenunnya, tangannya bergerak lamban, seolah setiap gerakan menyita tenaganya. Kael duduk di sampingnya, memandang pola burung-burung yang mulai terbentuk di kain. “Ibu,” katanya pelan, “aku menemukan surat dari ayah.”

Tangan Nivara terhenti. Wajahnya membeku, tapi ia tak menoleh. “Apa yang ditulisnya?” tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Kael menceritakan isi surat itu, kata demi kata, sambil memperhatikan wajah ibunya. Ketika ia menyebut nama Varyth dan Teluk Besi, Nivara menutup matanya, seolah ingin menahan air mata. “Kael,” katanya akhirnya, “ayahmu… dia bukan orang jahat. Tapi dia membawa luka yang tak pernah sembuh, dan aku tak ingin kau terluka karenanya.”

“Tapi aku harus tahu, Ibu,” desak Kael. “Aku harus tahu mengapa dia pergi, apa yang dia lindungi. Mungkin… mungkin jawabannya bisa membantu kita. Mungkin aku bisa menemukan cara untuk membayar obat-obatanmu.”

Nivara tersenyum pahit, tangannya menyentuh pipi Kael. “Kau terlalu mirip dengan ayahmu, Kael. Keras kepala, tapi penuh mimpi. Jika kau harus pergi, pergilah. Tapi janji padaku, kau akan kembali.”

Malam itu, Kael tak bisa tidur. Ia duduk di beranda, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit Teluk Arang. Surat ayahnya terasa seperti beban di saku celananya, tapi juga seperti kunci yang bisa membuka pintu masa lalunya. Ia membayangkan Teluk Besi, kota pelabuhan yang hanya pernah ia dengar dari cerita para pedagang yang lewat. Kota itu digambarkan sebagai tempat yang keras, penuh dengan orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup. Akankah ia menemukan Varyth? Akankah ia menemukan ayahnya, atau setidaknya kebenaran tentang kepergiannya?

Di kejauhan, ia mendengar suara burung malam yang bernyanyi, seperti mengiringi keputusannya yang masih goyah. Kael menutup matanya, mencoba mendengarkan angin, seperti yang pernah ibunya sarankan. Tapi angin malam ini tak membawa jawaban—hanya pertanyaan yang semakin menumpuk di hatinya.

Jejak di Teluk Besi

Langit di atas Teluk Besi kelabu, seolah awan-awan sengaja berkumpul untuk menyembunyikan matahari. Kaelvion Arsyad, atau Kael, berdiri di tepi dermaga yang ramai, dengan tas kain tua tergantung di pundaknya. Bau garam laut bercampur dengan aroma ikan dan minyak kapal menyeruak ke hidungnya, membuatnya merasa asing di antara keramaian kota pelabuhan ini. Teluk Besi jauh berbeda dari Teluk Arang yang damai—di sini, suara teriakan pedagang, deru mesin kapal, dan langkah-langkah cepat orang-orang yang sibuk mencari nafkah menciptakan simfoni yang kacau. Kael merasa kecil, seperti setitik debu di tengah badai.

Perjalanan ke Teluk Besi memakan waktu dua hari dengan bus tua yang berderit di setiap tikungan. Kael hanya membawa sedikit uang—hasil menjual sebagian panen padi dari sawah kecil keluarganya—dan buku catatan ayahnya, Zevandir, yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Surat dari ayahnya, yang menyebutkan nama Varyth dan toko buku tua di gang sempit dekat dermaga, adalah satu-satunya petunjuk yang ia pegang. Di saku celananya, ia juga membawa sehelai kain tenun kecil buatan ibunya, Nivara, sebagai pengingat rumah. Setiap kali ia merasa ragu, ia meraba kain itu, membayangkan wajah ibunya yang pucat namun penuh kasih.

Kael berjalan menyusuri jalanan berbatu di tepi dermaga, matanya mencari-cari gang sempit yang disebutkan dalam surat. Orang-orang yang lewat menatapnya sekilas, mungkin karena pakaiannya yang sederhana—kemeja katun lusuh dan celana yang sudah pudar—membuatnya tampak seperti orang asing di kota ini. Setelah bertanya kepada seorang penjual ikan yang ramah, ia akhirnya menemukan gang yang dimaksud: sebuah lorong sempit di antara dua bangunan tua, dengan dinding-dinding yang dipenuhi lumut dan coretan-coretan tak jelas. Di ujung gang, ia melihat papan kayu kecil yang bertuliskan “Toko Buku Varyth” dengan cat yang sudah mengelupas.

Jantung Kael berdegup kencang saat ia mendorong pintu toko yang berderit. Di dalam, udara terasa pengap, penuh dengan bau kertas tua dan debu. Rak-rak kayu penuh dengan buku-buku yang tersusun sembarangan, beberapa di antaranya tampak tak pernah disentuh selama bertahun-tahun. Di belakang meja kecil di sudut ruangan, duduk seorang lelaki tua dengan rambut putih yang acak-acakan dan kacamata tebal yang hampir jatuh dari hidungnya. Ia mengenakan mantel tua yang tampak kebesaran, dan tangannya sedang memegang buku tebal yang sampulnya sudah robek.

“Varyth?” tanya Kael dengan suara ragu-ragu.

Lelaki itu menoleh, matanya yang kecil menatap Kael dari balik kacamata. “Kau tahu namaku, anak muda. Itu berarti kau bukan pembeli biasa,” katanya dengan suara serak, namun ada kehangatan di nada bicaranya. “Siapa kau, dan apa yang kau cari?”

Kael menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan surat dari saku celananya. “Nama saya Kaelvion Arsyad. Saya… saya anak Zevandir. Dia menulis surat ini, menyuruh saya mencari Anda.”

Wajah Varyth berubah. Matanya melebar sejenak, lalu ia menunduk, seolah mencoba menyembunyikan emosi yang tiba-tiba muncul. Ia bangkit dari kursinya, berjalan perlahan menuju Kael, dan mengambil surat itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Setelah membacanya dengan saksama, ia menghela napas panjang. “Zevandir,” gumamnya, “lelaki keras kepala itu. Aku tahu suatu hari anaknya akan datang.”

Kael merasa jantungnya seperti terhenti. “Anda tahu di mana ayah saya? Apa yang terjadi padanya? Mengapa dia pergi?” Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari mulutnya seperti air yang tumpah dari bendungan yang jebol.

Varyth mengangguk pelan, lalu menunjuk ke arah kursi tua di sudut ruangan. “Duduklah, Kaelvion. Ini bukan cerita pendek, dan kau harus siap mendengarnya.”

Kael duduk, tangannya mencengkeram kain tenun ibunya di saku celananya. Varyth mulai bercerita dengan suara yang pelan namun penuh bobot. Ia menceritakan bahwa Zevandir adalah sahabatnya di masa muda, seorang penyair yang bermimpi mengubah dunia dengan kata-katanya. Tapi Zevandir terlibat dengan sekelompok orang di Teluk Besi—sebuah kelompok yang disebut “Ordo Ombak,” sekelompok pedagang gelap yang mengendalikan perdagangan di pelabuhan. Zevandir, yang awalnya hanya membantu menulis dokumen untuk mereka, terjebak dalam utang besar setelah mencoba menyelamatkan seorang teman dari kelompok itu. Untuk melindungi Nivara dan Kael, ia memilih pergi, menghilang ke kota lain dengan janji akan kembali setelah utangnya lunas.

“Tapi dia tidak pernah kembali,” kata Varyth dengan nada pahit. “Terakhir kali aku mendengar kabar, dia terlihat di pelabuhan utara, bekerja sebagai buruh kapal. Tapi itu sudah bertahun-tahun lalu. Zevandir… dia bukan orang yang mudah menyerah, tapi dunia ini kadang terlalu keras untuk orang seperti dia.”

Kael merasa dunianya berputar. Ayahnya, yang selama ini ia bayangkan sebagai sosok misterius yang mungkin hidup bahagia di suatu tempat, ternyata terjebak dalam dunia yang gelap dan berbahaya. Ia ingin marah, ingin menangis, tapi yang keluar hanya diam yang berat. “Jadi, dia masih hidup?” tanyanya akhirnya, suaranya hampir pecah.

Varyth menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Kael. Tapi jika kau ingin mencari tahu, ada seseorang di pelabuhan utara yang mungkin tahu lebih banyak. Namanya Thalindra, seorang kapten kapal kecil yang pernah bekerja dengan ayahmu. Tapi hati-hati, Kael. Teluk Besi bukan tempat untuk orang yang lemah hati.”

Malam itu, Kael duduk di tepi dermaga, memandang laut yang gelap dan ombak yang bergulung pelan. Angin malam membawa aroma asin yang menusuk, tapi juga membawa kenangan tentang ibunya, Nivara, yang kini sendirian di Teluk Arang. Ia membayangkan Sylvara, dengan mata zamrudnya yang selalu penuh harapan, dan kata-katanya tentang berjalan ke dalam kegelapan untuk menemukan cahaya. Tapi sekarang, setelah mendengar cerita Varyth, Kael merasa kegelapan itu semakin pekat, dan cahaya yang ia cari semakin jauh.

Ia mengeluarkan buku catatan ayahnya, membaca salah satu puisi pendek yang ditulis Zevandir:
Ombak membawa rahasia,
Tapi laut tak pernah berbicara.
Di ujung cakrawala,
Ada lentera yang menanti jiwa.

Kael menutup buku itu, memandang langit yang kini dipenuhi bintang. Ia tahu perjalanan ini belum selesai, tapi setiap langkah terasa seperti menari di atas pisau. Apakah ia akan menemukan ayahnya, atau hanya bayang-bayang kebenaran yang akan menghancurkannya?

Cahaya di Ujung Kegelapan

Langit di pelabuhan utara Teluk Besi berwarna jingga kelam, seolah matahari tenggelam dengan enggan, meninggalkan dunia dalam pelukan senja yang dingin. Kaelvion Arsyad, atau Kael, berdiri di ujung dermaga yang usang, menatap kapal-kapal kecil yang bergoyang pelan di atas ombak. Angin laut membawa aroma garam dan minyak mesin, bercampur dengan bau ikan yang terbawa dari pasar di kejauhan. Tas kain tuanya, yang kini semakin lusuh setelah perjalanan panjang, masih tergantung di pundaknya. Di dalam tas itu, ia membawa buku catatan ayahnya, Zevandir, dan kain tenun kecil buatan ibunya, Nivara—dua benda yang menjadi jangkarnya di tengah badai ketidakpastian.

Dua hari telah berlalu sejak ia bertemu Varyth, lelaki tua di toko buku yang menceritakan tentang keterlibatan ayahnya dengan Ordo Ombak, sebuah kelompok pedagang gelap yang membuat Zevandir meninggalkan keluarganya untuk melunasi “utang jiwa.” Kata-kata Varyth tentang Thalindra, kapten kapal yang mungkin tahu keberadaan ayahnya, menjadi satu-satunya petunjuk yang mendorong Kael menuju pelabuhan utara ini. Namun, di dalam hatinya, Kael merasa semakin terbelah. Setiap langkah yang ia ambil menjauhkannya dari Teluk Arang, dari ibunya yang semakin lemah, dan dari Sylvara, gadis dengan mata zamrud yang selalu memberinya harapan.

Pelabuhan utara adalah bagian kota yang lebih keras dari Teluk Besi. Di sini, udara dipenuhi teriakan para buruh pelabuhan, suara tali-tali kapal yang berderit, dan canda tawa kasar dari para pelaut yang baru kembali dari laut. Kael berjalan menyusuri dermaga, matanya mencari kapal bernama Burung Laut, yang menurut Varyth adalah milik Thalindra. Setelah bertanya kepada beberapa pelaut—yang sebagian besar memandangnya dengan curiga—ia akhirnya menemukan kapal kecil dengan lambung kayu yang sudah pudar, bertuliskan nama Burung Laut di sisinya. Di dek kapal, seorang wanita dengan rambut pendek berwarna abu-abu dan jaket kulit usang sedang memeriksa jaring ikan. Wajahnya keras, dengan bekas luka tipis melintang di pipi kirinya, tapi matanya memiliki kilau yang tajam, seperti laut yang menyimpan rahasia.

“Kau Thalindra?” tanya Kael, suaranya sedikit gemetar karena campuran antara harapan dan ketakutan.

Wanita itu menoleh, menatap Kael dari ujung kepala hingga kaki. “Itu saya,” jawabnya dengan suara yang tegas namun tidak dingin. “Dan kau siapa? Anak desa yang tersesat di pelabuhan bukan tempatmu.”

Kael menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Saya Kaelvion Arsyad, anak Zevandir. Varyth bilang Anda mungkin tahu di mana ayah saya.”

Nama Zevandir membuat Thalindra membeku sejenak. Ia meletakkan jaring ikan di tangannya, lalu melangkah mendekati Kael. “Zevandir,” gumamnya, seolah nama itu membangkitkan kenangan yang telah lama terkubur. “Ikut saya ke kabin. Ini bukan cerita yang bisa dibicarakan di tengah angin.”

Di dalam kabin kapal yang sempit, diterangi lampu minyak yang bergoyang pelan, Thalindra menceritakan kebenaran yang selama ini Kael cari. Zevandir, kata Thalindra, adalah bagian dari kru kapalnya bertahun-tahun lalu. Ia bukan hanya buruh kapal, tapi seorang pemimpi yang selalu membawa buku catatan dan menulis puisi di sela-sela pekerjaan beratnya. Namun, utangnya kepada Ordo Ombak membuatnya menjadi target. Empat tahun lalu, saat kapal mereka diserang oleh kelompok itu di tengah laut, Zevandir memilih mengorbankan diri untuk menyelamatkan kru lainnya, termasuk Thalindra. Ia melompat ke laut untuk mengalihkan perhatian penyerang, tapi tubuhnya tak pernah ditemukan.

“Dia tidak pernah ingin meninggalkan kalian,” kata Thalindra, suaranya pelan namun penuh penyesalan. “Dia sering bicara tentang Nivara dan anaknya—tentangmu, Kael. Dia bilang kau adalah lentera yang akan menerangi hidupnya suatu hari nanti. Tapi laut… laut tidak mengembalikan semua orang.”

Kael merasa dunia di sekitarnya hancur. Air mata mengalir di pipinya tanpa ia sadari, dan tangannya mencengkeram kain tenun ibunya dengan erat. Ayahnya, yang selama ini ia bayangkan mungkin masih hidup di suatu tempat, ternyata telah pergi selamanya—bukan karena pengkhianatan, tapi karena pengorbanan. Kemarahan yang selama ini ia simpan untuk Zevandir berubah menjadi rasa sakit yang dalam, bercampur dengan rasa bangga yang tak ia mengerti.

“Kenapa dia tidak pernah bilang apa-apa kepada kami?” tanya Kael, suaranya pecah. “Kenapa dia biarkan Ibu menangis setiap malam, berpikir dia pergi karena tak mencintai kami?”

Thalindra menatapnya dengan mata yang penuh empati. “Karena dia tahu, Kael, bahwa kebenaran akan menyakitimu lebih dari kepergiannya. Dia ingin kau hidup dengan harapan, bukan dengan luka.”

Malam itu, Kael duduk di tepi dermaga, memandang laut yang kini tampak tak berujung. Buku catatan ayahnya terbuka di pangkuannya, dan ia membaca ulang puisi terakhir yang ditulis Zevandir:
Di ujung ombak, aku menemukan rumah.
Di dalam gelap, aku melihat cahayamu.
Jangan cari aku di laut yang luas,
Carilah aku di hati yang kau bawa.

Kael menutup buku itu, air matanya jatuh ke halaman yang sudah menguning. Ia menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan ayahnya, tapi tentang menemukan dirinya sendiri. Namun, di tengah refleksi itu, sebuah pesan mendesak sampai kepadanya. Seorang pedagang dari Teluk Arang, yang kebetulan berada di pelabuhan, mengenalinya dan membawa kabar buruk: kondisi Nivara memburuk. Jantungan ibunya semakin lemah, dan dokter bilang ia mungkin tak punya banyak waktu.

Kael merasa jantungnya seperti dihancurkan. Ia berlari kembali ke stasiun bus, menggunakan sisa uangnya untuk membeli tiket pulang ke Teluk Arang. Selama perjalanan, ia tak bisa berhenti memikirkan ibunya—wanita yang selalu tersenyum meski hatinya patah, yang menenun kain dengan tangan lemahnya untuk membesarkan Kael. Ia juga memikirkan Sylvara, yang pasti menunggunya di bawah pohon akasia dengan bunga-bunga liar di tangannya.

Ketika Kael akhirnya tiba di Teluk Arang, malam telah turun. Ia berlari ke rumah, menemukan Nivara terbaring di ranjang, wajahnya pucat namun damai. Sylvara ada di sisinya, memegang tangan ibunya dengan lembut. “Kael,” bisik Nivara saat melihat anaknya, “kau kembali.”

Kael berlutut di samping ranjang, air matanya tak terbendung. “Ibu, aku tahu tentang ayah. Dia… dia mencintai kita. Dia pergi untuk melindungi kita.”

Nivara tersenyum lemah, tangannya menyentuh pipi Kael. “Aku selalu tahu, Kael. Dan sekarang, kau juga tahu. Jadilah lentera, anakku. Untuk dirimu sendiri, dan untuk dunia.”

Malam itu, Nivara menghembuskan napas terakhirnya, dengan Kael dan Sylvara di sisinya. Kael merasa dunia runtuh di sekitarnya, tapi di tengah kesedihan itu, ia menemukan kekuatan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Ia mengubur ibunya di bawah pohon akasia, tempat ia dan Sylvara sering duduk bersama. Di sana, ia menanam bunga matahari yang dulu Sylvara berikan, sebagai tanda harapan di tengah duka.

Bulan-bulan berikutnya, Kael memutuskan untuk tetap di Teluk Arang, tapi dengan hati yang baru. Ia mulai menulis, seperti ayahnya, menuangkan cerita tentang laut, kehilangan, dan cinta ke dalam kata-kata. Sylvara, dengan caranya yang aneh dan penuh kasih, selalu ada di sisinya, mengingatkannya bahwa lentera sejati bukan di ujung cakrawala, tapi di dalam dirinya sendiri.

Lentera di Ufuk Kelabu bukan hanya sebuah cerpen, tetapi juga cerminan kehidupan yang penuh makna, mengajarkan kita bahwa di balik setiap kehilangan, ada harapan yang menanti untuk ditemukan. Kisah Kaelvion yang emosional ini mengingatkan kita untuk terus mencari cahaya dalam kegelapan, menjadikannya bacaan yang wajib bagi siapa saja yang mencari inspirasi dan kepekaan hati.

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Lentera di Ufuk Kelabu! Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan lentera dalam perjalanan hidup Anda sendiri. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa bagikan cerita ini kepada orang-orang terkasih!

Leave a Reply