Lentera di Tengah Badai: Kisah tentang Keberanian dan Kebenaran yang Menggugah Jiwa

Posted on

Temukan kekuatan kejujuran dan ketabahan dalam Lentera di Tengah Badai, sebuah cerpen pendidikan karakter yang mengisahkan perjuangan Kinan, seorang remaja desa, dalam mengungkap misteri kematian kakaknya, Raka. Penuh dengan emosi mendalam, konflik keluarga, dan pelajaran hidup, cerita ini akan menginspirasi Anda untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan. Simak ulasan lengkapnya dan pelajari mengapa cerpen ini wajib dibaca untuk semua pencinta kisah yang menyentuh hati!

Lentera di Tengah Badai

Bayang di Ujung Desa

Di ujung Desa Sukamaju, tempat sawah hijau membentang bagai permadani yang dipeluk bukit-bukit kecil, Arga duduk di tepi parit kecil yang mengalir tenang. Matahari pagi baru saja menyapa, melemparkan sinar keemasan yang memantul di permukaan air, menciptakan kilauan seperti permata yang bergerak pelan. Udara pagi masih sejuk, membawa aroma tanah basud dan embun yang menempel di daun padi. Tapi di hati Arga, tidak ada kehangatan. Hanya beban, seperti batu besar yang mengendap di dadanya, menolak untuk bergeser.

Arga, seorang remaja berusia 16 tahun, memiliki wajah yang tampan namun selalu diselimuti ekspresi murung. Matanya yang cokelat tua seolah menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk diucapkan. Rambutnya yang sedikit acak-acakan ditiup angin pagi, tapi ia tak peduli. Ia memandang ke arah sawah, tempat ayahnya, Pak Darmin, sedang membajak bersama kerbau tua mereka, si Badang. Bunyi cangkul yang menghantam tanah basah terdengar ritmis, bercampur dengan napas berat ayahnya yang sudah mulai renta. Arga tahu, ayahnya bekerja keras setiap hari, tapi hasil panen tak pernah cukup untuk membayar utang keluarga yang menumpuk.

“Arga! Jangan bengong saja, bantu ayahmu!” teriak ibunya, Bu Sari, dari beranda rumah bambu mereka yang sederhana. Suaranya lembut tapi tegas, penuh kasih namun juga lelah. Arga menghela napas panjang, bangkit perlahan, dan mengambil cangkul yang tergeletak di sampingnya. Ia melangkah menuju sawah, kakinya terasa berat, seolah tanah itu menariknya ke bawah, ke dalam jurang keputusasaan yang sudah lama ia rasakan.

Keluarga Arga bukanlah keluarga yang miskin secara mutlak, tapi mereka hidup di ambang kemiskinan. Dua tahun lalu, musim kemarau yang panjang menghancurkan panen mereka. Utang ke tengkulak semakin menumpuk, dan ayahnya terpaksa menjual sebagian kecil tanah warisan untuk membayar pengobatan adik Arga, Lila, yang menderita demam berdarah. Lila, gadis kecil berusia 8 tahun yang selalu ceria, kini hanya bisa berbaring di ranjang bambu di sudut rumah, tubuhnya lemah, dan senyumnya mulai memudar. Setiap kali Arga melihat Lila, hatinya seperti ditusuk pisau. Ia merasa tak berdaya, seorang kakak yang gagal melindungi adiknya.

Hari itu, setelah membantu ayahnya di sawah hingga tengah hari, Arga memutuskan untuk pergi ke pasar desa. Ia ingin mencari pekerjaan sampingan, apa saja yang bisa membawa pulang beberapa rupiah untuk membantu keluarga. Pasar Sukamaju tidak besar, hanya deretan kios kayu dan tenda-tenda sederhana yang menjajakan sayuran, ikan segar, dan barang kebutuhan sehari-hari. Di sudut pasar, ada sebuah warung kecil milik Pak Yanto, seorang pedagang yang terkenal pelit tapi selalu membutuhkan tenaga bantu untuk mengangkut barang.

“Mas Yanto, apa ada kerjaan buat saya hari ini?” tanya Arga dengan nada penuh harap, meski ia tahu jawaban Pak Yanto sering kali dingin.

Pak Yanto, pria paruh baya dengan kumis tebal dan topi caping yang selalu miring, memandang Arga dari balik meja kasarnya. “Hmph, kamu lagi, Arga? Barang yang datang cuma sedikit hari ini. Tapi kalau mau, bantu angkut karung beras ke gudang di belakang. Dua ribu per karung, sepuluh karung. Mau?”

Arga mengangguk cepat, meski ia tahu upah itu sangat kecil untuk tenaga yang harus ia keluarkan. Ia mulai bekerja, mengangkut karung-karung beras yang masing-masing seberat 50 kilogram ke gudang yang pengap dan berdebu. Keringat membasahi keningnya, punggungnya terasa nyeri, tapi ia terus bekerja. Di pikirannya, ia membayangkan wajah Lila yang tersenyum saat ia membawa pulang sebotol sirup manis, sesuatu yang sudah lama tak mereka miliki di rumah.

Saat Arga selesai mengangkut karung terakhir, ia melihat sesosok pria tua yang duduk di bawah pohon beringin besar di pinggir pasar. Pria itu mengenakan jubah sederhana berwarna abu-abu, rambutnya putih panjang terikat rapi, dan tongkat kayu di tangannya tampak usang namun kokoh. Ada sesuatu yang aneh dari pria itu—matanya yang tajam seolah bisa melihat menembus jiwa seseorang. Arga merasa bulu kuduknya merinding, tapi ia tak bisa mengalihkan pandangan.

“Kau kelihatan lelah, Nak,” kata pria tua itu dengan suara yang dalam namun lembut, seperti aliran air di parit desa. “Tapi bukan tubuhmu yang paling lelah, bukan? Hatimu yang sedang menanggung beban.”

Arga tersentak. Ia tak pernah bertemu pria ini sebelumnya, tapi kata-katanya terasa seperti cermin yang memantulkan isi hatinya. “Siapa Bapak?” tanya Arga, suaranya sedikit bergetar.

Pria tua itu tersenyum tipis. “Aku hanya seorang pengelana, tapi orang-orang di desa ini memanggilku Pak Guru. Aku suka mengamati, mendengar, dan kadang-kadang… membantu. Kau punya cerita, Nak. Dan cerita itu belum selesai.”

Arga ingin bertanya lebih banyak, tapi tiba-tiba terdengar teriakan dari arah warung Pak Yanto. “Arga! Mana kamu? Cepat ke sini, ada karung yang jatuh!” Arga menoleh sekilas, dan ketika ia kembali memandang ke arah pohon beringin, pria tua itu sudah menghilang, seolah ditelan angin. Hanya daun-daun beringin yang bergoyang pelan, seolah menyimpan rahasia.

Malam itu, di rumah kecil mereka, Arga duduk di samping Lila yang terbaring. Ia mengeluarkan sebotol sirup kecil dari saku celananya, hasil upah hari itu. “Lila, lihat, aku bawa sirup kesukaanmu,” katanya sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa lelahnya.

Lila membuka mata perlahan, wajahnya yang pucat sedikit berbinar. “Kak Arga… makasih,” bisiknya lemah. Tapi kemudian, ia memegang tangan Arga dengan tangan kecilnya yang dingin. “Kak, aku takut… aku takut nggak sembuh.”

Arga merasa dadanya sesak. Ia ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi kata-kata itu terasa kosong. Ia hanya menggenggam tangan Lila erat-erat, berjanji dalam hati bahwa ia akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan adiknya. Di luar, angin malam bertiup kencang, membawa suara desa yang sepi, seolah meramalkan bahwa perjalanan Arga baru saja dimulai.

Bisik di Tengah Hujan

Pagi itu, langit Desa Sukamaju diselimuti awan kelabu yang tebal, seolah alam ikut merasakan beban di hati Arga. Hujan gerimis mulai turun, menciptakan suara ritmis yang lembut saat tetesannya menghantam atap seng rumah kecil keluarga Arga. Di dalam, aroma kayu bakar dari dapur bercampur dengan bau tanah basah yang masuk melalui celah-celah dinding bambu. Arga duduk di lantai kayu yang sudah usang, memandangi Lila yang tertidur pulas di ranjangnya. Wajah adiknya tampak damai, tapi di bawah ketenangan itu, Arga tahu ada tubuh kecil yang sedang berjuang melawan penyakit.

Bu Sari, ibunya, sedang menyiapkan sarapan di dapur—nasi jagung dengan sambal terasi dan sepiring kecil sayur kol rebus. Makanan sederhana itu adalah yang terbaik yang bisa mereka sediakan hari ini. “Arga, nanti bantu ibu ke pasar, ya. Kita perlu beli obat buat Lila,” kata Bu Sari dengan suara pelan, seolah tak ingin mengganggu tidur Lila. Matanya yang penuh kerutan menunjukkan kelelahan, tapi juga tekad yang tak pernah padam untuk menjaga keluarganya.

Arga mengangguk tanpa kata, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok pria tua yang ia temui di pasar kemarin. “Pak Guru,” gumamnya dalam hati. Siapa pria itu? Dan bagaimana ia tahu tentang beban yang Arga pikul? Pertemuan singkat itu terasa seperti mimpi, tapi kata-kata pria tua itu terus bergema di kepalanya: Hatimu yang sedang menanggung beban. Arga menggenggam tangan Lila yang masih dingin, berjanji dalam hati untuk mencari cara agar adiknya sembuh, meski ia tak tahu caranya.

Setelah sarapan, Arga dan Bu Sari berjalan menuju pasar di tengah gerimis yang semakin deras. Mereka berbagi payung tua yang sudah bolong di beberapa bagian, membuat air hujan sesekali menetes ke bahu Arga. Jalan setapak menuju pasar licin oleh lumpur, dan sepatu butut Arga yang sudah tipis tak lagi mampu menahan air. Kakinya basah, tapi ia tak peduli. Di saku celananya, ia membawa beberapa lembar uang kusut, hasil upah mengangkut karung kemarin. Uang itu tak banyak, tapi cukup untuk membeli obat demam sederhana untuk Lila.

Pasar Sukamaju pagi itu lebih sepi dari biasanya. Beberapa pedagang menutup kios mereka dengan terpal untuk melindungi barang dari hujan. Arga dan ibunya berhenti di apotek kecil milik Ibu Wulan, seorang wanita ramah yang selalu memberikan diskon untuk keluarga-keluarga miskin di desa. “Bu Sari, obat untuk Lila yang biasa, ya?” tanya Ibu Wulan sambil mengeluarkan botol kecil berisi tablet paracetamol dari laci.

Bu Sari mengangguk, tapi wajahnya penuh keraguan. “Bu Wulan, apa ada obat yang lebih… kuat? Lila masih lemas, demamnya naik turun.” Suaranya bergetar, dan Arga bisa melihat air mata yang mulai menggenang di sudut mata ibunya.

Ibu Wulan menghela napas. “Ada sih, Bu. Tapi obat yang lebih bagus harganya tiga kali lipat. Dan dokter di puskesmas bilang Lila mungkin perlu cek darah lagi. Kalau mau ke dokter spesialis di kota, biayanya…” Ia tak melanjutkan, tapi tatapan simpatinya sudah cukup menjelaskan.

Arga merasa jantungan di dadanya. Ke kota? Biaya dokter spesialis? Itu adalah mimpi yang terlalu jauh untuk keluarga mereka. Ia menunduk, tangannya mengepal di saku, merasakan uang kusut yang tiba-tiba terasa tak berarti. Bu Sari mengangguk pelan, membayar obat sederhana itu, dan mereka berjalan pulang dalam diam, hanya ditemani suara hujan yang semakin lebat.

Di tengah perjalanan pulang, Arga melihat sesosok yang berdiri di bawah pohon jati besar di pinggir jalan. Jubah abu-abu, rambut putih terikat, dan tongkat kayu yang sama. Pak Guru. Jantung Arga berdegup kencang. Ia menoleh ke ibunya, yang tampak tak menyadari kehadiran pria tua itu. “Bu, sebentar ya, aku mau ke sana dulu,” kata Arga, menunjuk ke arah pohon jati.

Bu Sari mengerutkan kening, bingung. “Ke mana? Di situ nggak ada apa-apa, Arga. Ayo cepat, hujan makin deras.” Tapi Arga sudah berlari kecil menuju pohon itu, hatinya dipenuhi rasa penasaran dan harapan yang tak bisa ia jelaskan.

“Pak Guru!” panggil Arga saat ia sampai di bawah pohon. Pria tua itu memandangnya dengan senyum tipis yang penuh makna. Hujan seolah tak menyentuhnya; jubahnya tetap kering, dan wajahnya tenang seperti danau di pagi hari.

“Kau mencari jawaban, Nak,” kata Pak Guru, suaranya lembut namun tegas. “Tapi jawaban itu tidak selalu ada di tempat yang kau lihat. Kadang, kau harus mendengarkan hatimu, bukan hanya matamu.”

Arga mengerutkan kening, bingung. “Apa maksud Bapak? Adik saya sakit, keluarga saya nggak punya apa-apa. Saya nggak tahu harus apa lagi!” Suaranya meninggi, penuh frustrasi. Air hujan bercampur dengan air mata yang tak sengaja mengalir di pipinya. Ia cepat-cepat menyekanya, malu.

Pak Guru mengangguk perlahan, seolah memahami setiap detik keputusasaan Arga. “Keberanian bukan hanya tentang melawan musuh yang terlihat, Nak. Kadang, keberanian adalah tentang menghadapi dirimu sendiri—kejujuran pada apa yang kau rasakan, apa yang kau takutkan. Pergilah ke Bukit Batu sore ini, di sana kau akan menemukan sesuatu.”

“Bukit Batu?” Arga mengulang, suaranya penuh keraguan. Bukit Batu adalah tempat terpencil di ujung desa, sebuah bukit kecil yang ditumbuhi semak dan dikelilingi cerita-cerita mistis. Orang desa jarang pergi ke sana, apalagi saat hujan. Tapi sebelum Arga bisa bertanya lebih lanjut, Pak Guru berbalik dan melangkah pergi, menghilang di balik tirai hujan seperti kemarin.

Sore itu, meski hujan masih gerimis, Arga memutuskan untuk pergi ke Bukit Batu. Ia tak tahu apa yang ia cari, tapi kata-kata Pak Guru terasa seperti tali yang menariknya. Ia mengenakan jaket tua yang sudah sedikit robek, membawa senter kecil, dan berjalan menyusuri jalan setapak yang licin. Angin dingin menusuk kulitnya, dan suara dedaunan yang bergoyang di sekitar bukit membuatnya merinding. Tapi ia terus melangkah, didorong oleh perasaan bahwa ada sesuatu yang penting di sana.

Di puncak Bukit Batu, Arga menemukan sebuah batu besar yang berdiri tegak, permukaannya dipenuhi lumut dan ukiran samar yang sudah memudar. Di dekat batu itu, terselip di antara semak, ia melihat sebuah kotak kayu kecil yang sudah lapuk. Jantungnya berdegup kencang saat ia membukanya. Di dalamnya, ada sebuah buku catatan tua, halamannya menguning, dan sebuah liontin kecil berbentuk bintang yang terbuat dari perak yang sudah kusam.

Arga membuka buku itu dengan tangan gemetar. Tulisan tangan yang rapi namun sedikit memudar terlihat di halaman pertama: “Untuk anakku, agar kau tahu kebenaran di balik bayang.” Di bawahnya, ada nama yang membuat Arga terpaku—nama ayahnya, Darmin. Buku itu adalah milik ayahnya, tapi kenapa ada di sini? Dan apa “kebenaran” yang dimaksud?

Malam itu, Arga pulang dengan buku dan liontin di saku jaketnya, pikirannya penuh pertanyaan. Ia tak memberi tahu ibunya tentang temuannya, tapi di hatinya, ia merasa ada rahasia besar yang tersembunyi di masa lalu keluarganya. Hujan masih turun di luar, tapi di dalam hati Arga, ada bara kecil yang mulai menyala—bara keberanian untuk mencari tahu kebenaran, apa pun itu.

Rahasia di Balik Catatan

Pagi di Desa Sumber Rejo terasa lebih berat dari biasanya. Langit masih kelabu, sisa-sisa hujan semalam meninggalkan genangan kecil di jalan tanah yang berlumpur. Aroma tanah basah bercampur dengan bau dedaunan yang gugur, menciptakan suasana yang sejuk namun penuh dengan ketidakpastian. Kinan duduk di beranda rumah, gelang kulit dengan ukiran huruf “K” melingkar di pergelangan tangannya. Ia memandang catatan kecil dari Raka yang kini terlipat rapi di saku bajunya, setiap kata dalam catatan itu seperti pisau yang menusuk sekaligus pelita yang menerangi hatinya. “Kau adalah lentera keluarga kita,” tulis Raka. Tapi bagaimana ia bisa menjadi lentera, ketika ia sendiri merasa seperti lilin yang nyaris padam?

Di dalam rumah, Bu Lestari sedang menyiapkan teh jahe di dapur, asap dari kayu bakar membumbung tipis ke udara. Suara sendok yang mengaduk gula dalam cangkir besi terdengar ritmis, namun monoton, mencerminkan rutinitas yang penuh kelelahan. Pak Budi akhirnya pulang dari kota pagi tadi, tapi wajahnya lebih muram dari biasanya. Ia hanya mengangguk singkat saat Kinan menyapanya, lalu duduk di sudut ruangan, menatap foto Raka di bingkai kayu dengan mata yang kosong. Kinan tahu ayahnya gagal mendapatkan pinjaman—lagi. Utang keluarga mereka kepada Pak Haji Mulya, tengkulak desa, semakin menumpuk, dan tekanan itu seperti awan hitam yang menggantung di atas rumah mereka.

“Kinan, bantu ibu bawa teh ini buat ayahmu,” kata Bu Lestari, suaranya pelan namun penuh beban. Kinan mengangguk, mengambil cangkir panas itu, dan berjalan ke arah ayahnya. Saat ia meletakkan cangkir di meja kecil di samping Pak Budi, matanya tak sengaja menangkap pandangan ayahnya yang terpaku pada gelang di tangan Kinan.

“Itu… dari mana?” tanya Pak Budi, suaranya serak, seolah tersedak oleh kenangan. Matanya yang biasanya keras kini terlihat rapuh, seperti kaca yang retak.

Kinan tersentak, jantungnya berdegup kencang. Ia tak pernah berpikir untuk menceritakan tentang temuan di sungai kepada ayahnya, takut membuka luka lama. “Ini… aku temukan di dekat sungai, di bawah pohon beringin,” jawabnya pelan, suaranya hampir seperti bisik. Ia tak menyebut catatan itu, entah kenapa ia merasa itu rahasia yang harus ia simpan dulu.

Pak Budi menunduk, tangannya gemetar saat menyentuh cangkir teh. “Sungai itu…” katanya, tapi kalimatnya terputus. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dan berjalan keluar tanpa kata. Kinan memandang punggung ayahnya yang bungkuk, merasa ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka. Ia ingin bertanya, ingin tahu apa yang ayahnya sembunyikan, tapi keberaniannya seperti terkubur di bawah tumpukan ketakutan.

Siang itu, Kinan memutuskan untuk menemui Nila. Ia merasa gadis itu, dengan sifatnya yang ceria namun penuh misteri, mungkin bisa membantu memecahkan teka-teki yang ada di pikirannya. Nila tinggal di rumah kecil di ujung desa, dekat ladang jagung milik Pak Tono. Saat Kinan tiba, Nila sedang duduk di teras, menggambar di buku sketsanya dengan pensil yang sudah tumpul. Aroma jagung bakar dari dapur tetangga menguar di udara, bercampur dengan bau tanah yang masih lembap.

“Kinan! Aku tahu kamu bakal datang,” kata Nila sambil tersenyum lebar, seolah bisa membaca pikiran Kinan. “Ada apa? Wajahmu kayak orang yang lagi nyanyi lagu sedih.”

Kinan duduk di samping Nila, mengeluarkan catatan Raka dari saku bajunya. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya menyerahkan catatan itu kepada Nila. “Aku nemu ini bareng gelang kemarin, di sungai. Ini tulisan kakakku, Raka. Tapi… aku nggak ngerti kenapa dia ninggalin ini di sana.”

Nila membaca catatan itu dengan hati-hati, alisnya berkerut. “Lentera keluarga… wow, kakakmu kayak orang yang penuh harapan, ya.” Ia menoleh ke Kinan, matanya penuh empati. “Tapi kenapa kayaknya kamu takut sama catatan ini? Apa yang bikin kamu gelisah?”

Kinan menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. “Aku nggak tahu, Nila. Sungai itu… tempat itu bikin aku ingat malam Raka hilang. Semua orang bilang dia kecelakaan, tapi aku ngerasa ada yang salah. Dan ayahku… tadi dia kayak ketakutan pas lihat gelang ini.”

Nila mengangguk pelan, seolah memahami. “Mungkin… mungkin ada cerita yang belum kamu tahu. Aku pernah dengar dari bapakku, dulu ada desas-desus di desa soal sungai itu. Katanya, ada orang-orang yang sengaja nyembunyiin sesuatu di sana, tapi nggak ada yang berani nanya lebih jauh.”

Kinan merasa bulu kuduknya merinding. “Maksudmu apa, Nila? Apa hubungannya sama Raka?”

Nila mengangkat bahu, tapi matanya menunjukkan bahwa ia juga penasaran. “Aku nggak tahu pasti. Tapi kalau kamu mau cari tahu, kita bisa ke sungai lagi. Mungkin ada petunjuk lain di sana.”

Meski ragu, Kinan setuju. Sore itu, mereka berdua berjalan menuju Sungai Rejo, membawa senter dan mantel hujan tua. Langit mulai cerah, tapi udara masih dingin, dan suara air sungai terdengar seperti lagu yang penuh rahasia. Di bawah pohon beringin tua, Kinan dan Nila mulai mencari-cari, menggali tanah di sekitar akar-akar pohon dengan tangan mereka. Setelah beberapa menit, Nila berseru pelan, “Kinan, lihat ini!”

Di antara lumpur dan daun kering, Nila menemukan sebuah pisau lipat kecil dengan gagang kayu yang sudah lapuk. Di gagangnya, ada ukiran inisial “R.B.”—inisial Raka Budi. Kinan merasa jantungnya berhenti sejenak. Pisau itu adalah milik Raka, yang selalu ia bawa saat pergi mencari kayu bakar. Tapi kenapa pisau itu ada di sini, terkubur bersama gelang dan catatan?

“Kinan, ini nggak masuk akal,” kata Nila, suaranya penuh keterkejutan. “Kalau Raka kecelakaan di sungai, kenapa barang-barangnya sengaja dikubur di sini? Kayak ada yang nyembunyiin sesuatu.”

Kinan memegang pisau itu dengan tangan gemetar, ingatan tentang Raka membanjiri pikirannya. Ia teringat malam terakhir melihat kakaknya, saat Raka berpamitan dengan senyum yang aneh, seolah ia tahu sesuatu yang buruk akan terjadi. “Aku harus tahu apa yang terjadi, Nila,” katanya, suaranya penuh tekad meski air mata mulai mengalir. “Aku nggak bisa hidup dengan bayang-bayang ini lagi.”

Malam itu, Kinan pulang dengan pisau, gelang, dan catatan di sakunya. Ia tak memberi tahu ibunya tentang temuannya, tapi di hatinya, ia merasa ada rahasia besar yang mulai terkuak. Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa suara sungai yang seolah berbisik, memanggilnya untuk terus mencari kebenaran. Kinan tahu, perjalanan ini akan menguji keberaniannya, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap menghadapi apa pun yang menunggunya.

Cahaya di Balik Kabut

Pagi di Desa Sumber Rejo terasa seperti lukisan yang belum selesai, dengan langit yang perlahan cerah namun masih menyisakan kabut tipis yang melayang di atas sawah. Matahari pagi mencoba menembus awan, menciptakan sinar lembut yang menyelinap melalui celah-celah pohon kelapa di sekitar rumah Kinan. Aroma embun dan tanah basah masih tercium, bercampur dengan bau asap dari dapur tetangga yang mulai menyalakan tungku. Kinan duduk di beranda, tangannya memegang pisau lipat Raka yang ditemukan kemarin. Ukiran inisial “R.B.” di gagang kayu itu terasa seperti kode yang menunggu untuk dipecahkan, namun setiap kali ia memandangnya, hatinya dipenuhi campuran rindu dan ketakutan.

Di dalam rumah, suasana tegang menyelimuti keluarga mereka. Pak Budi duduk di sudut ruangan, memandang ke luar jendela dengan wajah yang kaku, seolah berusaha menghindari tatapan Kinan. Bu Lestari sibuk menjahit di meja kecil, jarum dan benang bergerak cepat, tapi matanya sesekali melirik ke arah foto Raka di bingkai kayu. Kinan tahu ibunya merasakan hal yang sama—luka yang tak pernah sembuh, diperparah oleh rahasia yang kini mulai terkuak. Gelang di pergelangan tangan Kinan terasa berat, dan catatan Raka di sakunya seperti berbisik, memintanya untuk terus mencari jawaban.

“Kinan, nanti bantu ibu ke pasar, ya. Kita perlu beli beras,” kata Bu Lestari, suaranya datar, seolah berusaha menyembunyikan kegelisahan. Kinan mengangguk, tapi pikirannya melayang ke pisau, gelang, dan catatan. Ia ingin bertanya pada ayahnya tentang reaksi anehnya kemarin, tapi setiap kali ia mencoba, kata-kata terasa tersangkut di tenggorokan. Ia takut jawaban yang akan ia dengar akan menghancurkan sedikit harapan yang masih tersisa di hatinya.

Setelah sarapan nasi jagung yang hambar, Kinan berjalan menuju rumah Nila, membawa pisau lipat itu di saku celananya. Ia merasa perlu berbagi temuan ini dengan seseorang, dan Nila, dengan sifatnya yang penuh rasa ingin tahu, adalah satu-satunya orang yang ia percaya saat ini. Jalan setapak menuju rumah Nila dipenuhi genangan lumpur kecil, dan angin pagi membawa aroma bunga kamboja dari pekarangan tetangga. Saat tiba, Kinan melihat Nila sedang duduk di bawah pohon mangga di halaman rumahnya, buku sketsanya terbuka di pangkuannya.

“Kinan! Kamu datang cepet banget,” sapa Nila, matanya berbinar seperti biasa. Tapi saat ia melihat ekspresi serius Kinan, senyumnya memudar. “Ada apa? Kamu kelihatan kayak habis ketemu hantu.”

Kinan duduk di samping Nila, mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. “Ini… pisau kakakku. Aku nggak ngerti kenapa barang-barangnya dikubur di sungai. Dan ayahku… dia kayak tahu sesuatu, tapi nggak mau bilang.” Suaranya bergetar, penuh frustrasi dan kebingungan. Ia juga menunjukkan gelang dan catatan, menceritakan bagaimana ia menemukannya di bawah pohon beringin.

Nila memandang pisau itu dengan hati-hati, jarinya menyentuh ukiran inisial dengan lembut. “Ini aneh, Kinan. Kalau kakakmu kecelakaan, kenapa barang-barang ini sengaja disembunyiin? Kayak ada yang nggak mau orang lain tahu.” Ia membuka buku sketsanya, menunjukkan gambar sungai yang ia buat kemarin. “Lihat, bayangan di sketsaku ini… aku nggak sengaja nambahin, tapi sekarang aku ngerasa itu bukan cuma imajinasi. Mungkin ada sesuatu di sungai yang kita belum lihat.”

Kinan mengangguk, hatinya dipenuhi tekad baru. “Aku harus cari tahu, Nila. Tapi aku takut… takut apa yang aku temuin bakal bikin semuanya lebih buruk.” Ia menunduk, air mata mulai menggenang di matanya. “Aku cuma pengen kakakku balik, atau setidaknya tahu kenapa dia pergi.”

Nila memegang tangan Kinan, tangannya hangat dan penuh kekuatan. “Kamu nggak sendirian, Kinan. Aku bakal bantu. Kita cari tahu bareng, oke? Tapi kamu harus janji, apa pun yang kita temuin, kamu harus kuat.”

Sore itu, Kinan dan Nila kembali ke Sungai Rejo, kali ini membawa sekop kecil yang dipinjam dari gudang ayah Nila. Mereka berjalan di bawah langit yang mulai menguning, sinar matahari sore menciptakan bayang-bayang panjang di tepi sungai. Suara air yang mengalir terasa seperti lagu pengantar tidur, namun bagi Kinan, itu seperti bisikan yang penuh rahasia. Di bawah pohon beringin tua, mereka mulai menggali lagi, kali ini lebih dalam, di sekitar tempat Kinan menemukan kotak logam.

Setelah beberapa menit, sekop Nila membentur sesuatu yang keras. Mereka berdua berhenti, saling pandang dengan jantung berdegup kencang. Dengan hati-hati, mereka menggali lebih lanjut, hingga menemukan sebuah kotak kayu kecil yang sudah lapuk, terkubur lebih dalam dari kotak logam sebelumnya. Kinan membukanya dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada sebuah buku harian kecil dengan sampul kulit yang sudah pudar, dan sehelai kain kecil yang ternyata adalah syal milik Raka—syal merah yang selalu ia pakai saat musim hujan.

Kinan membuka buku harian itu, hatinya berdebar. Halaman-halaman awal berisi catatan biasa tentang kehidupan sehari-hari Raka: pekerjaannya membantu di sawah, mimpinya untuk melanjutkan sekolah, dan lelucon kecil yang ia tulis untuk Kinan. Tapi di halaman terakhir, ada tulisan yang membuat Kinan terpaku:

“Kinan, kalau kamu baca ini, berarti aku nggak ada lagi. Aku nggak kecelakaan. Aku tahu sesuatu yang nggak seharusnya aku tahu. Sungai ini menyimpan rahasia, dan aku cuma pengen melindungi keluarga kita. Maafkan aku kalau aku bikin kalian sedih. Jangan cari tahu lebih jauh, Kinan. Tapi kalau kamu harus, cari Pak Tono. Dia tahu.”

Kinan merasa dunia berputar di sekitarnya. Air matanya jatuh ke halaman buku, membuat tinta sedikit luntur. “Bukan kecelakaan…” bisiknya, suaranya penuh keterkejutan dan kemarahan. “Nila, kakakku nggak mati karena kecelakaan. Ada yang sengaja…”

Nila memegang bahu Kinan, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kinan, tenang dulu. Kita nggak tahu pasti apa yang terjadi. Pak Tono… dia yang punya ladang jagung, kan? Kita bisa tanya dia, tapi kamu harus siap. Ini bisa jadi lebih besar dari yang kita pikir.”

Malam itu, Kinan pulang dengan buku harian dan syal di tangannya, pikirannya penuh dengan pertanyaan dan ketakutan. Ia tak memberi tahu ibunya atau ayahnya tentang temuan baru ini, tapi di dalam hatinya, ia merasa ada dinding rahasia yang mulai runtuh. Sungai Rejo, yang selama ini ia hindari, kini menjadi pusat dari misteri yang mengikat masa lalu keluarganya. Di bawah cahaya bulan yang redup, Kinan memandang syal merah Raka, berjanji dalam hati untuk mencari kebenaran, meski ia tahu perjalanan ini akan menguji segalanya—keberaniannya, kejujurannya, dan kemampuannya untuk memaafkan.

Jejak di Ladang Jagung

Pagi di Desa Sumber Rejo terasa seperti lukisan yang ditinggalkan setengah jadi, dengan kabut tipis yang masih menyelimuti sawah dan sinar matahari yang berjuang menerobos awan kelabu. Udara pagi membawa aroma tanah basah bercampur dengan bau daun jagung yang terbakar di kejauhan, mungkin dari ladang seseorang yang sedang membersihkan lahan. Kinan berdiri di beranda rumah, memandang syal merah Raka yang kini tergantung di dinding kamarnya, di samping foto kakaknya. Buku harian, gelang, dan pisau lipat tersimpan rapi di bawah bantalnya, seperti harta karun yang menyimpan rahasia sekaligus beban. Tulisan Raka di halaman terakhir buku harian itu terus bergema di pikirannya: “Cari Pak Tono. Dia tahu.” Tapi tahu apa? Dan mengapa Raka memintanya untuk berhenti mencari, hanya untuk kemudian memberikan petunjuk?

Di dalam rumah, suasana masih tegang. Pak Budi duduk di kursi bambu tua, memandang cangkir teh yang sudah dingin di tangannya. Matanya yang merah menunjukkan bahwa ia tak banyak tidur malam tadi, mungkin karena kegagalan mencari pinjaman atau karena rahasia yang kini mulai terkuak. Bu Lestari sibuk menyapu lantai, gerakannya mekanis, seolah berusaha mengalihkan pikiran dari kekhawatiran yang menggerogoti hatinya. Kinan ingin menceritakan tentang buku harian kepada mereka, tapi setiap kali ia membuka mulut, keberaniannya lenyap. Bagaimana jika kebenaran tentang Raka menghancurkan keluarga mereka yang sudah rapuh?

“Kinan, nanti bantu ibu ke rumah Bu Ratih lagi, ya. Ada kain yang harus diantar,” kata Bu Lestari, suaranya pelan namun penuh kelelahan. Kinan mengangguk, tapi pikirannya melayang ke Pak Tono, pemilik ladang jagung yang disebut Raka dalam catatannya. Ia tahu rumah Pak Tono tak jauh dari rumah Nila, dan ia memutuskan untuk pergi ke sana setelah mengantar kain, dengan atau tanpa izin ibunya.

Setelah menyelesaikan tugasnya di rumah Bu Ratih, Kinan berjalan cepat menuju rumah Nila. Jalan setapak yang licin karena sisa hujan semalam membuat sepatunya penuh lumpur, tapi ia tak peduli. Angin pagi membawa aroma bunga melati dari pekarangan tetangga, namun di hati Kinan, hanya ada kegelisahan. Ia menemukan Nila di halaman rumahnya, sedang memberi makan ayam dengan seember jagung kering. Wajah Nila cerah seperti biasa, tapi saat melihat ekspresi Kinan, ia langsung tahu ada sesuatu yang serius.

“Kinan, kamu kelihatan kayak lagi bawa beban dunia,” kata Nila sambil meletakkan embernya. “Apa kabar buku harian itu? Udah baca lagi?”

Kinan mengangguk, mengeluarkan buku harian dari tas kainnya. “Aku baca ulang tadi malam. Raka bilang cari Pak Tono, tapi juga bilang jangan cari tahu lebih jauh. Aku bingung, Nila. Aku takut, tapi aku nggak bisa berhenti sekarang.” Suaranya bergetar, penuh campuran tekad dan ketakutan. Ia menceritakan tentang inisial di pisau dan syal merah, serta bagaimana ayahnya bereaksi aneh saat melihat gelang.

Nila mendengarkan dengan serius, alisnya berkerut. “Pak Tono… dia orang yang pendiam, tapi bapakku bilang dia dulu dekat sama keluargamu. Mungkin dia tahu sesuatu tentang Raka. Tapi, Kinan, kamu yakin mau tanya dia? Orang desa bilang Pak Tono agak… aneh sejak kejadian di sungai tiga tahun lalu.”

Kinan menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. “Aneh gimana?”

Nila mengangkat bahu. “Katanya dia sering ke sungai sendirian, kayak nyari sesuatu. Ada yang bilang dia merasa bersalah soal sesuatu, tapi nggak ada yang tahu pasti. Aku cuma dengar dari bapakku.”

Kinan merasa bulu kuduknya merinding, tapi ia tahu ia tak bisa mundur. “Aku harus tanya dia, Nila. Kalau Raka sengaja ninggalin petunjuk, berarti ada yang penting. Aku nggak mau hidup dengan pertanyaan selamanya.” Ia memegang gelang di pergelangannya, merasakan kehangatan yang aneh dari kulit yang sudah usang itu.

Sore itu, Kinan dan Nila berjalan menuju rumah Pak Tono, yang terletak di ujung ladang jagung yang luas. Ladang itu tampak seperti labirin hijau, dengan batang-batang jagung yang tinggi bergoyang pelan ditiup angin. Rumah Pak Tono adalah gubuk sederhana dari kayu dan bambu, dengan atap seng yang sudah berkarat. Asap tipis keluar dari cerobong kecil, menandakan bahwa seseorang ada di dalam. Kinan merasa jantungnya berdetak lebih kencang saat mereka mendekati pintu.

Nila mengetuk pintu dengan ragu. “Pak Tono? Ini Nila, sama Kinan. Kami mau ngobrol sebentar.”

Pintu terbuka perlahan, dan Pak Tono muncul di ambang pintu. Pria itu berusia sekitar lima puluh tahun, dengan rambut yang sudah memutih dan wajah yang penuh kerutan. Matanya yang dalam seolah menyimpan rahasia yang berat, dan tangannya yang kasar memegang tongkat kayu sederhana. “Kinan… Nila,” katanya, suaranya serak namun penuh kelembutan. “Ada apa kalian ke sini?”

Kinan menarik napas dalam-dalam, mengeluarkan buku harian Raka dari tasnya. “Pak, aku nemu ini di sungai. Ini punya kakakku, Raka. Di dalamnya, dia bilang Bapak tahu sesuatu. Tolong, Pak, ceritain apa yang terjadi sama kakakku.” Suaranya bergetar, air mata mulai menggenang, tapi ia berusaha tetap teguh.

Pak Tono terdiam, matanya memandang buku harian itu dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran rasa bersalah dan kesedihan. Ia menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Masuklah, Nak. Ini bukan cerita yang bisa diceritain sembarangan.”

Di dalam gubuk yang sederhana, Kinan dan Nila duduk di bangku kayu yang sudah usang. Pak Tono menuangkan air dari teko tua ke dua cangkir kecil, tangannya gemetar sedikit. “Raka… dia anak baik,” mulainya, suaranya pelan. “Tapi dia terlalu penasaran. Tiga tahun lalu, dia tahu sesuatu yang nggak seharusnya dia tahu—tentang sungai, tentang desa ini, tentang… orang-orang tertentu.”

Kinan memotong, tak sabar. “Apa, Pak? Apa yang dia tahu? Dan kenapa barang-barangnya dikubur di sungai?”

Pak Tono menunduk, tangannya mengepal di atas meja. “Kinan, ini berat buatku. Raka datang ke sini malam itu, sebelum dia… pergi. Dia bilang dia lihat sesuatu di sungai—seseorang yang buang sesuatu ke air, sesuatu yang nggak seharusnya ada di sana. Dia nggak ceritain detail, tapi dia takut. Aku suruh dia pulang, bilang jangan campuri urusan orang. Tapi Raka… dia nggak dengar. Malam itu, hujan deras, dan dia pergi ke sungai lagi.”

Kinan merasa dadanya sesak. “Jadi… dia dibunuh?” Air matanya jatuh, tapi ia tak peduli lagi. Nila memegang tangannya erat, berusaha memberikan kekuatan.

Pak Tono menggeleng pelan. “Aku nggak tahu pasti, Nak. Tapi aku merasa bersalah. Aku seharusnya nahan dia, seharusnya ikut dia ke sungai. Pagi harinya, waktu mereka nemuin tubuhnya, aku cuma bisa diam. Aku takut, Kinan. Takut kalau cerita yang sebenarnya bakal bikin lebih banyak orang terluka.”

Kinan bangkit, suaranya penuh kemarahan. “Takut? Pak, kakakku mati! Dan Bapak cuma diam? Siapa yang Raka lihat di sungai? Apa yang dia temuin?” Ia memegang syal merah Raka erat-erat, seolah itu satu-satunya yang menahannya dari kehancuran.

Pak Tono menutup mata, wajahnya penuh penyesalan. “Aku nggak tahu siapa, Kinan. Tapi Raka bilang itu ada hubungannya sama utang keluargamu… sama Pak Haji Mulya.”

Nama itu seperti petir di telinga Kinan. Pak Haji Mulya, tengkulak yang meminjamkan uang kepada keluarganya dengan bunga yang mencekik. Apakah dia terlibat dalam kematian Raka? Kinan merasa dunia berputar, tapi di tengah kekacauan itu, ada bara kecil yang menyala di hatinya—tekad untuk mengungkap kebenaran, apa pun risikonya.

Malam itu, Kinan pulang dengan pikiran yang kacau. Ia menyimpan buku harian, syal, gelang, dan pisau di bawah bantalnya, berjanji dalam hati untuk menghadapi Pak Haji Mulya, meski ia tahu itu berbahaya. Di luar, bulan purnama menyinari desa, seolah menjadi saksi bisu dari perjuangan Kinan untuk menjadi lentera yang Raka maksud.

Bayang di Rumah Besar

Pagi di Desa Sumber Rejo terasa seperti napas yang tertahan, dengan udara yang masih sejuk namun dipenuhi aroma tanah basah dan daun-daun yang bergoyang pelan di angin. Matahari pagi menyelinap melalui celah-celah awan, menciptakan bayang-bayang panjang di jalan tanah yang masih licin karena hujan semalam. Kinan duduk di sudut kamarnya, memandang syal merah Raka yang tergantung di dinding, di samping foto kakaknya yang tersenyum dalam bingkai kayu sederhana. Buku harian, gelang, dan pisau lipat tersimpan di bawah bantalnya, tapi kata-kata Pak Tono kemarin malam terus bergema di kepalanya seperti lonceng yang tak henti berdentang: “Itu ada hubungannya sama utang keluargamu… sama Pak Haji Mulya.”

Nama Pak Haji Mulya seperti bayang-bayang yang menyelimuti hati Kinan, membawa campuran kemarahan, ketakutan, dan tekad yang membara. Pak Haji Mulya adalah tengkulak terkaya di desa, pemilik rumah besar di ujung Desa Sumber Rejo, dengan pagar besi tinggi dan kebun kelapa yang luas. Ia dikenal sebagai orang yang murah hati di depan umum, sering menyumbang untuk acara desa, tapi di balik senyumnya yang lebar, semua orang tahu ia tak pernah ragu menagih utang dengan bunga yang mencekik. Keluarga Kinan sudah terjerat utangnya selama bertahun-tahun, dan kini, nama itu terkait dengan rahasia kematian Raka. Kinan merasa dadanya sesak, tapi ia tahu ia harus bertindak.

Di dalam rumah, suasana pagi itu lebih kelam dari biasanya. Pak Budi duduk di beranda, merokok kretek dengan asap yang mengepul perlahan, matanya kosong memandang sawah di kejauhan. Bu Lestari sedang menyiapkan sarapan—nasi jagung dengan sepiring kecil tempe goreng yang sudah dingin. Ia bergerak seperti mesin, tanpa kata, seolah tak ingin membiarkan kesedihan mengambil alih. Kinan ingin menceritakan apa yang ia dengar dari Pak Tono, tapi setiap kali ia melihat wajah ibunya yang penuh kerutan atau ayahnya yang semakin bungkuk, keberaniannya lenyap. Bagaimana jika kebenaran tentang Raka menghancurkan mereka?

“Kinan, nanti bantu ibu ke pasar, ya. Kita perlu beli minyak tanah,” kata Bu Lestari, suaranya pelan namun penuh kelelahan. Kinan mengangguk, tapi pikirannya sudah melayang ke rumah besar Pak Haji Mulya. Ia tahu ia harus pergi ke sana, harus menghadapi pria itu, meski hanya memikirkan wajahnya yang selalu tersenyum licik membuat bulu kuduknya merinding.

Setelah membantu ibunya di pasar, Kinan memutuskan untuk menemui Nila terlebih dahulu. Ia membutuhkan seseorang untuk berbagi beban ini, dan Nila, dengan keberaniannya yang aneh dan semangatnya yang tak pernah padam, adalah satu-satunya orang yang ia percaya. Kinan berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi genangan air, sepatunya yang sudah usang basah kuyup, tapi ia tak peduli. Aroma bunga kamboja dari pekarangan tetangga bercampur dengan bau lumpur, menciptakan suasana yang seolah mencerminkan pergolakan di hati Kinan.

Saat tiba di rumah Nila, Kinan menemukan gadis itu sedang duduk di teras, menggambar di buku sketsanya dengan pensil yang sudah tumpul. Di sampingnya, ada sepiring jagung bakar yang masih mengepul, aroma manisnya menggoda. “Kinan! Aku udah kira kamu bakal datang,” kata Nila sambil tersenyum lebar, tapi matanya segera menangkap kegelisahan di wajah Kinan. “Apa kabar Pak Tono? Kamu kelihatan kayak orang yang baru dikejar bayang-bayang.”

Kinan duduk di samping Nila, mengeluarkan buku harian Raka dari tas kainnya. Ia menceritakan percakapan dengan Pak Tono, tentang bagaimana Raka melihat sesuatu di sungai, tentang keterlibatan Pak Haji Mulya, dan tentang rasa bersalah Pak Tono yang masih menyisakan misteri. “Nila, aku harus ke rumah Pak Haji Mulya. Aku nggak tahu apa yang bakal aku temuin, tapi aku nggak bisa diam aja. Raka bilang dia pengen melindungi keluargaku, tapi sekarang aku yang harus melindungi kenangannya.”

Nila memandang Kinan dengan serius, tangannya memegang buku sketsa dengan erat. “Kinan, Pak Haji Mulya bukan orang sembarangan. Bapakku bilang dia punya banyak koneksi, bahkan sampai ke kota. Kalau dia terlibat sama kematian Raka, ini bisa bahaya. Kamu yakin mau ke sana sendirian?”

Kinan menggeleng. “Aku nggak mau sendirian. Makanya aku ke sini. Kamu mau ikut aku, Nila? Aku… aku takut, tapi aku nggak bisa mundur sekarang.”

Nila tersenyum, meski ada ketidakpastian di matanya. “Tentu aja, Kinan. Kita tim, kan? Tapi kita harus hati-hati. Kita nggak tahu apa yang dia sembunyikan.”

Sore itu, Kinan dan Nila berjalan menuju rumah besar Pak Haji Mulya, yang berdiri megah di ujung desa. Pagar besi tinggi mengelilingi rumah itu, dan pohon-pohon kelapa di halamannya bergoyang pelan di angin sore. Suara burung-burung yang pulang ke sarang terdengar samar, bercampur dengan aroma tanah dan bunga sedap malam yang ditanam di taman depan rumah. Kinan merasa jantungnya berdetak kencang saat mereka mendekati gerbang, tangannya memegang gelang Raka untuk memberi kekuatan.

Mereka mengetuk gerbang, dan seorang pelayan muda membukakan pintu. “Ada apa, Nak?” tanyanya, memandang Kinan dan Nila dengan curiga.

“Kami mau ketemu Pak Haji Mulya,” kata Kinan, berusaha membuat suaranya tegas meski hatinya bergetar. “Ini penting.”

Pelayan itu mengangguk, lalu mengantar mereka ke ruang tamu yang luas, dengan perabotan kayu jati yang mengkilap dan karpet merah yang tebal. Pak Haji Mulya muncul beberapa menit kemudian, mengenakan baju koko putih yang bersih dan kopiah hitam. Wajahnya yang bulat dan senyumnya yang lebar terlihat ramah, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Kinan merasa seperti sedang dilihat oleh elang.

“Kinan, Nila, apa kabar? Jarang-jarang kalian ke sini,” kata Pak Haji Mulya, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Ada apa? Apa ayahmu kirim pesan soal utang, Kinan?”

Kinan menelan ludah, tangannya mengepal di saku, merasakan buku harian Raka yang tersembunyi di sana. “Bukan soal utang, Pak,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Ini soal kakakku, Raka. Aku nemu buku hariannya, dan dia bilang dia lihat sesuatu di sungai sebelum… sebelum dia pergi. Dan nama Bapak ada di situ.”

Senyum Pak Haji Mulya memudar sejenak, tapi ia cepat-cepat memasangnya kembali. “Raka? Anak baik itu? Sayang sekali dia pergi begitu cepat. Tapi apa maksudmu, Nak? Aku nggak tahu apa-apa soal sungai.”

Kinan merasa kemarahan membuncah di dadanya. “Jangan bohong, Pak! Raka bilang dia lihat seseorang buang sesuatu ke sungai, dan itu ada hubungannya sama Bapak! Apa yang Bapak sembunyikan?” Suaranya meninggi, air mata mulai menggenang, tapi ia tak peduli. Nila memegang lengannya, berusaha menenangkan, tapi Kinan terlalu terbawa emosi.

Pak Haji Mulya menghela napas, wajahnya kini serius. “Kinan, Nak, aku tahu kamu sedih kehilangan kakakmu. Tapi tuduhan seperti ini berbahaya. Aku cuma membantu keluargamu dengan pinjaman, itu saja. Kalau Raka bilang sesuatu, mungkin dia salah paham. Sungai itu… banyak cerita di desa ini, tapi aku nggak terlibat.”

Kinan ingin berteriak, ingin menuntut kebenaran, tapi ada sesuatu di nada suara Pak Haji Mulya yang membuatnya ragu. Apakah ia salah? Atau apakah pria ini menyembunyikan sesuatu yang lebih besar? Sebelum ia bisa bicara lagi, Pak Haji Mulya bangkit. “Pulanglah, Nak. Jangan cari masalah yang nggak perlu. Kalau keluargamu butuh bantuan, pintuku selalu terbuka.”

Malam itu, Kinan pulang dengan hati yang penuh kebingungan. Ia dan Nila berjalan dalam diam, hanya ditemani suara jangkrik dan angin malam yang dingin. Di dalam hatinya, Kinan tahu ia belum menemukan jawaban, tapi konfrontasi dengan Pak Haji Mulya membuatnya yakin bahwa rahasia Raka lebih dalam dari yang ia bayangkan. Ia memegang gelang di pergelangannya, berjanji dalam hati untuk terus mencari, meski bayang-bayang ketakutan semakin pekat di sekitarnya.

Retak di Dinding Rumah

Pagi di Desa Sumber Rejo terasa seperti lukisan yang pudar, dengan langit yang masih diselimuti awan tipis dan sinar matahari yang hanya mampu menyelinap dalam semburat pucat. Aroma tanah basah dari hujan semalam bercampur dengan bau kayu bakar yang mengepul dari dapur-dapur tetangga, menciptakan suasana yang sejuk namun penuh ketegangan. Kinan duduk di beranda rumah, tangannya memegang gelang kulit Raka yang kini terasa seperti jangkar yang menahannya di tengah badai batin. Buku harian, syal merah, dan pisau lipat tersimpan di bawah bantalnya, tapi kata-kata Pak Haji Mulya kemarin sore terus bergema di kepalanya: “Jangan cari masalah yang nggak perlu.” Nada suaranya yang tenang namun penuh ancaman membuat Kinan merasa seperti berjalan di atas tali yang rapuh.

Di dalam rumah, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Pak Budi duduk di kursi bambu di sudut ruangan, tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, matanya kosong seperti menatap masa lalu yang tak bisa ia ubah. Bu Lestari sedang menjahit di meja kecil, jarum dan benang bergerak dengan ritme yang monoton, tapi sesekali ia berhenti, menatap foto Raka di bingkai kayu dengan mata yang berkaca-kaca. Kinan tahu bahwa rahasia yang ia temukan—buku harian, gelang, pisau, dan keterlibatan Pak Haji Mulya—adalah beban yang tak bisa ia simpan sendiri lagi. Tapi bagaimana ia bisa menceritakan ini kepada orangtuanya tanpa menghancurkan mereka? Ketakutan itu seperti dinding yang memisahkan dirinya dari ibu dan ayahnya, dinding yang semakin retak namun belum runtuh.

“Kinan, bantu ibu potong sayur di dapur,” kata Bu Lestari, suaranya pelan namun penuh kelelahan. Kinan mengangguk, tapi sebelum beranjak, ia memandang ayahnya, mencari keberanian untuk berbicara. “Ayah,” katanya, suaranya hampir seperti bisik, “kemarin aku ke rumah Pak Haji Mulya. Aku tanya soal Raka.”

Pak Budi tersentak, cangkir di tangannya hampir jatuh. Matanya yang tadinya kosong kini penuh dengan campuran keterkejutan dan ketakutan. “Apa yang kamu lakukan, Kinan?” tanyanya, suaranya serak dan penuh tekanan. “Kamu nggak seharusnya ikut campur urusan orang seperti dia!”

Bu Lestari berhenti menjahit, wajahnya pucat. “Kinan, apa maksudmu? Apa hubungannya Pak Haji Mulya sama Raka?” Suaranya bergetar, seolah ia takut mendengar jawaban yang akan datang.

Kinan merasa dadanya sesak, tapi ia tahu ia tak bisa mundur. Ia mengeluarkan buku harian Raka dari tas kainnya, tangannya gemetar saat membukanya di halaman terakhir. “Aku nemu ini di sungai, bareng gelang dan pisau kakak. Raka bilang dia nggak kecelakaan, Bu, Yah. Dia bilang dia lihat sesuatu di sungai, sesuatu yang ada hubungannya sama Pak Haji Mulya.” Air matanya jatuh, tapi ia terus bicara, suaranya penuh tekad. “Aku cuma pengen tahu kenapa kakak pergi. Aku nggak mau kita terus hidup dalam bayang-bayang.”

Pak Budi bangkit dari kursinya, wajahnya penuh kemarahan yang bercampur dengan rasa bersalah. “Kinan, cukup! Kamu nggak ngerti apa yang kamu lakukan! Pak Haji Mulya bukan orang yang bisa kamu tantang. Dia…” Ia terhenti, tangannya mengepal, seolah berusaha menahan kata-kata yang ingin keluar.

Bu Lestari berdiri, mendekati Kinan dengan mata penuh air mata. “Kinan, Nak, kenapa kamu nggak bilang dari awal? Apa yang Raka tulis di buku itu?” Ia meraih buku harian dari tangan Kinan, membaca tulisan Raka dengan tangan yang gemetar. Saat ia sampai pada kalimat tentang Pak Haji Mulya, wajahnya menjadi semakin pucat. “Budi,” katanya, menoleh ke suaminya, “apa yang kamu tahu? Jangan sembunyikan apa-apa lagi dari aku!”

Pak Budi menunduk, tangannya menutupi wajahnya. “Lestari, aku… aku nggak yakin. Tapi dulu, sebelum Raka pergi, dia pernah tanya aku soal utang kita ke Pak Haji. Dia bilang dia lihat sesuatu di gudangnya, sesuatu yang nggak beres. Aku suruh dia diam, bilang itu bukan urusan anak kecil. Tapi Raka… dia keras kepala.” Suaranya pecah, dan untuk pertama kalinya, Kinan melihat ayahnya menangis. “Aku nggak tahu dia bakal ke sungai malam itu. Kalau aku tahu, aku bakal nahan dia.”

Kinan merasa dunia berputar di sekitarnya. Ayahnya tahu sesuatu, tapi memilih diam selama tiga tahun. Kemarahan dan kesedihan bercampur di dadanya, tapi di balik itu, ada empati yang mulai tumbuh—ia tahu ayahnya juga hidup dalam penyesalan. “Ayah, kenapa nggak bilang apa-apa? Kita bisa cari tahu bareng, kita bisa…” Suaranya terhenti, air mata mengalir tanpa henti.

Bu Lestari memeluk Kinan erat, air matanya membasahi rambut anaknya. “Kinan, Nak, ibu nggak tahu ini bakal seberat ini. Tapi sekarang kita tahu Raka nggak pergi begitu aja. Kita harus cari tahu, tapi kita harus hati-hati.”

Sore itu, Kinan memutuskan untuk menemui Nila lagi. Ia perlu seseorang yang bisa membantunya berpikir jernih, seseorang yang tak terjebak dalam luka keluarganya. Ia berjalan menyusuri jalan setapak yang kini mulai mengering, meski lumpur masih menempel di sepatunya. Aroma bunga kamboja dan daun jagung terbawa angin, menciptakan kontras dengan kegelisahan di hati Kinan. Saat tiba di rumah Nila, ia menemukan gadis itu sedang duduk di bawah pohon mangga, buku sketsanya terbuka di pangkuannya.

“Kinan, kamu kelihatan kayak orang yang baru perang,” kata Nila, mencoba bercanda, tapi matanya segera menangkap kesedihan di wajah Kinan. “Apa yang terjadi? Ayahmu bilang apa?”

Kinan menceritakan percakapan pagi itu, tentang pengakuan ayahnya dan rahasia yang masih samar. “Nila, aku nggak tahu harus mulai dari mana lagi. Pak Haji Mulya pasti sembunyikan sesuatu, tapi aku nggak punya bukti. Dan ayahku… dia kayak takut ngelupain Raka, tapi juga takut cari tahu kebenaran.”

Nila mengangguk, tangannya memegang pensil dengan erat. “Kinan, mungkin kita harus ke gudang Pak Haji Mulya. Raka bilang dia lihat sesuatu di sana, kan? Kalau kita bisa nemuin apa yang dia lihat, mungkin kita punya petunjuk.”

Ide itu membuat Kinan merinding. Gudang Pak Haji Mulya terletak di belakang rumah besarnya, dikelilingi pagar kayu dan selalu dijaga oleh anak buahnya. Tapi ia tahu Nila benar—jika ada jawaban, gudang itu mungkin tempatnya. “Kita harus ke sana malam ini,” kata Kinan, suaranya penuh tekad meski hatinya dipenuhi ketakutan. “Tapi kita nggak boleh ketahuan.”

Malam itu, di bawah langit yang kini cerah dengan bintang-bintang yang berkelip, Kinan dan Nila berjalan menuju rumah besar Pak Haji Mulya. Mereka membawa senter kecil dan bergerak pelan, menyelinap melalui ladang jagung untuk menghindari jalan utama. Suara jangkrik dan angin malam menciptakan simfoni yang menenangkan sekaligus menegangkan. Saat mereka sampai di dekat gudang, Kinan melihat pintu kayu yang sudah tua, terkunci dengan gembok besar. Di samping gudang, ada jendela kecil yang kacanya retak, cukup besar untuk mereka masuki.

Dengan hati-hati, Nila mendorong jendela itu, dan mereka berhasil masuk ke dalam gudang yang pengap. Bau karung beras dan minyak tanah menyengat hidung mereka. Di dalam, tumpukan karung dan kotak-kotak kayu berserakan, diterangi hanya oleh cahaya senter Kinan. Mereka mulai mencari, membuka kotak-kotak dengan hati-hati, sampai Nila menemukan sesuatu di sudut gudang—sebuah kotak logam kecil yang terkunci, dengan inisial “H.M.” terukir di permukaannya.

“Ini dia, Kinan,” bisik Nila, suaranya penuh keterkejutan. “Ini pasti punya Pak Haji Mulya. Tapi kita nggak bisa buka sekarang, gemboknya kuat.”

Kinan memandang kotak itu, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu apa yang ada di dalam kotak itu bisa menjadi kunci untuk mengungkap rahasia Raka, tapi sebelum mereka bisa berbuat apa-apa, suara langkah kaki terdengar dari luar gudang. Cahaya lampu senter menyapu dinding, dan suara pria yang kasar berteriak, “Siapa di dalam?”

Kinan dan Nila saling pandang, panik. Mereka buru-buru bersembunyi di balik tumpukan karung, menahan napas saat langkah kaki itu mendekat. Di tengah ketegangan itu, Kinan memegang gelang Raka, berdoa dalam hati agar mereka tak ketahuan, sembari berjanji untuk kembali dan mengungkap apa yang disembunyikan di kotak itu.

Cahaya yang Tersembunyi

Malam di Desa Sumber Rejo terasa seperti kain hitam yang menyelimuti dunia, dengan langit penuh bintang namun tanpa bulan, membuat kegelapan terasa lebih pekat. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma daun jagung dan tanah basah yang masih tersisa dari hujan sebelumnya. Kinan dan Nila berlari keluar dari gudang Pak Haji Mulya, jantung mereka berdetak kencang seperti genderang perang. Cahaya lampu senter dari penjaga gudang masih menyapu udara di belakang mereka, dan suara langkah kaki yang berat terdengar semakin dekat. Kinan memegang gelang Raka di pergelangannya, seolah itu adalah jimat yang memberinya keberanian untuk terus berlari. Di saku celananya, ia merasakan berat buku harian, syal, dan pisau lipat, tapi pikirannya terpaku pada kotak logam dengan inisial “H.M.” yang mereka tinggalkan di gudang.

Mereka bersembunyi di balik deretan pohon kelapa di tepi ladang, menahan napas saat penjaga berjalan melewati mereka, lampu senternya menyapu dedaunan. “Siapa pun kamu, keluar sekarang, atau aku panggil orang!” teriak penjaga itu, suaranya kasar dan penuh ancaman. Kinan memejamkan mata, tangannya mencengkeram lengan Nila dengan erat. Nila membalas genggaman itu, matanya penuh ketegangan namun juga tekad. Setelah beberapa menit yang terasa seperti abad, langkah kaki penjaga menjauh, dan suara pintu gudang yang ditutup bergema di kejauhan.

“Kinan, kita selamat,” bisik Nila, suaranya gemetar tapi penuh lega. “Tapi kita nggak bisa balik ke gudang itu sekarang. Penjaga pasti curiga.”

Kinan mengangguk, dadanya masih terasa sesak. “Kotak itu… aku yakin ada sesuatu di dalamnya yang bisa jelasin apa yang Raka lihat. Kita harus balik lagi, Nila, tapi kita perlu rencana.” Ia memandang ke arah ladang jagung yang gelap, bayang-bayang batang-batang jagung seperti siluet hantu yang menari di bawah cahaya bintang. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa pencarian kebenaran ini bukan hanya tentang Raka, tapi juga tentang dirinya sendiri—tentang apakah ia cukup kuat untuk menjadi lentera yang kakaknya maksud.

Pagi itu, Kinan bangun dengan tubuh yang lelah namun pikiran yang tak bisa diam. Di rumah, suasana masih tegang setelah pertengkaran emosional dengan ayahnya kemarin. Pak Budi duduk di beranda, merokok kretek dengan asap yang mengepul tipis, matanya memandang ke sawah dengan ekspresi yang sulit dibaca. Bu Lestari sedang menyiapkan sarapan—sepiring nasi jagung dengan sambal terasi dan sepotong kecil ikan asin. Aroma makanan itu biasanya menghibur Kinan, tapi pagi ini, ia hanya merasa beban yang semakin berat di dadanya. Ia tahu ia harus berbicara dengan ayahnya lagi, tapi setelah pengakuan Pak Budi tentang Raka dan utang keluarga, ia tak yakin bagaimana caranya.

“Kinan, kamu kelihatan nggak tidur semalaman,” kata Bu Lestari saat mereka duduk di meja makan. Matanya yang penuh kerutan memandang Kinan dengan penuh kekhawatiran. “Apa yang kamu pikirin? Soal Raka?”

Kinan menunduk, tangannya memainkan gelang Raka di pergelangannya. “Bu, aku… aku cuma pengen tahu kenapa kakak pergi. Aku nemu sesuatu lagi semalam, tapi aku takut ceritain sekarang.” Ia ragu untuk menyebut gudang Pak Haji Mulya, takut ibunya akan panik atau ayahnya akan marah lagi.

Pak Budi, yang selama ini diam, tiba-tiba berbicara. “Kinan, aku tahu kamu pengen jawaban. Tapi ada hal-hal yang lebih baik nggak usah kamu tahu. Pak Haji Mulya… dia bukan orang yang bisa kamu lawan. Aku udah coba, dan lihat apa yang terjadi sama keluarga kita.” Suaranya penuh penyesalan, dan untuk pertama kalinya, Kinan melihat kerapuhan di wajah ayahnya—pria yang dulu ia anggap tak pernah takut.

“Ayah tahu apa, sebenarnya?” tanya Kinan, suaranya naik, penuh frustrasi. “Ayah bilang Raka lihat sesuatu di gudang Pak Haji. Apa itu? Kenapa ayah nggak ceritain semuanya?” Air matanya mulai mengalir, tapi ia tak peduli. Ia ingin ayahnya jujur, ingin keluarganya berhenti hidup dalam bayang-bayang.

Pak Budi menghela napas panjang, tangannya menutupi wajahnya. “Kinan, dulu, sebelum Raka pergi, dia bilang dia lihat kotak-kotak aneh di gudang Pak Haji. Dia nggak bilang jelas apa isinya, tapi dia curiga itu bukan cuma beras atau barang dagangan biasa. Aku suruh dia diam, bilang itu urusan orang dewasa. Tapi Raka… dia nggak bisa berhenti. Dia bilang dia mau ke sungai buat nyari bukti. Malam itu, hujan deras, dan…” Suaranya pecah, dan ia tak bisa melanjutkan.

Bu Lestari memegang tangan suaminya, air matanya jatuh. “Budi, kenapa kamu nggak bilang ini dari dulu? Kita bisa cari tahu bareng, kita bisa lindungi Raka!” Ia menoleh ke Kinan, wajahnya penuh kesedihan. “Kinan, Nak, ibu nggak mau kehilangan kamu juga. Kalau Pak Haji Mulya terlibat, ini bahaya. Janji sama ibu, kamu nggak bakal ceroboh.”

Kinan mengangguk, tapi di hatinya, ia tahu ia tak bisa berhenti. Ia harus kembali ke gudang, harus membuka kotak logam itu, harus tahu apa yang Raka lihat. Setelah sarapan, ia berlari ke rumah Nila, membawa buku harian dan semangat yang baru. Nila sedang duduk di teras, menggambar sketsa pohon beringin di tepi sungai, tapi ia langsung bangkit saat melihat Kinan.

“Kinan, kamu baik-baik aja? Aku khawatir banget semalam!” kata Nila, matanya penuh kekhawatiran. “Kita hampir ketahuan. Apa rencana kita sekarang?”

Kinan menceritakan percakapan dengan ayahnya, tentang kotak-kotak aneh yang Raka lihat di gudang. “Nila, kita harus balik ke gudang itu. Kotak dengan inisial ‘H.M.’ itu pasti kuncinya. Tapi kita butuh cara buat buka gemboknya tanpa ketahuan.”

Nila berpikir sejenak, lalu matanya berbinar. “Bapakku punya alat-alat tua di gudang belakang. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita pake buat buka gembok. Tapi kita harus tunggu malam, pas penjaga nggak terlalu waspada.”

Malam itu, di bawah langit yang kini cerah dengan bulan sabit yang menyinari desa, Kinan dan Nila kembali ke gudang Pak Haji Mulya. Mereka membawa linggis kecil yang Nila ambil dari gudang ayahnya, bergerak pelan melalui ladang jagung untuk menghindari perhatian. Suara jangkrik dan angin malam menciptakan suasana yang tegang, seolah alam sendiri tahu mereka sedang memasuki wilayah berbahaya. Di gudang, mereka berhasil masuk melalui jendela yang sama, hati-hati agar tak membuat suara.

Kinan menemukan kotak logam itu di tempat yang sama, tersembunyi di sudut gudang. Dengan linggis, Nila berhasil membuka gembok setelah beberapa menit yang penuh ketegangan. Saat Kinan membuka kotak itu, jantungnya berdegup kencang. Di dalamnya, ada beberapa dokumen tua, beberapa lembar uang yang sudah lusuh, dan sebuah buku catatan kecil dengan tulisan tangan yang asing. Di halaman pertama, ada daftar nama—salah satunya adalah nama ayah Kinan, Budi, dengan catatan “Utang: 15 juta, belum lunas.” Tapi yang membuat Kinan tersentak adalah secarik kertas kecil di dalam, dengan tulisan tangan Raka: “Barang di gudang ini bukan milik desa. H.M. bohong. Sungai adalah kuncinya.”

Kinan merasa dunia berputar. “Nila, ini… Raka tahu sesuatu yang besar. Ini bukan cuma soal utang. Ada sesuatu di sungai, dan Pak Haji Mulya sembunyikan itu.” Suaranya bergetar, penuh keterkejutan dan tekad.

Sebelum mereka bisa memeriksa lebih lanjut, suara pintu gudang berderit terbuka. Cahaya lampu senter menyapu ruangan, dan suara Pak Haji Mulya sendiri terdengar, dingin dan penuh ancaman. “Siapa di sana? Kalian pikir bisa main-main di tempatku?”

Kinan dan Nila buru-buru menyembunyikan kotak itu dan bersembunyi di balik tumpukan karung, tapi Kinan tahu mereka dalam bahaya besar. Ia memegang gelang Raka, berdoa dalam hati, dan berjanji untuk melindungi keluarganya, apa pun yang terjadi.

Cahaya yang Tetap Menyala

Malam di Desa Sumber Rejo terasa seperti detik-detik sebelum badai besar, dengan udara yang tebal oleh ketegangan dan aroma tanah basah yang masih tersisa dari hujan sebelumnya. Langit tanpa bulan hanya diterangi bintang-bintang yang berkelip lemah, seolah menyaksikan perjuangan Kinan dan Nila di dalam gudang Pak Haji Mulya. Cahaya lampu senter Pak Haji menyapu tumpukan karung tempat mereka bersembunyi, dan suaranya yang dingin menggema di ruangan pengap itu. “Kalian pikir bisa masuk ke gudangku tanpa akibat? Keluar sekarang, atau aku pastikan kalian menyesal!” Ancaman dalam nada suaranya membuat jantung Kinan berdetak kencang, tapi tangannya yang memegang gelang Raka memberinya keberanian untuk tetap diam, menahan napas di samping Nila.

Nila, dengan mata penuh kewaspadaan, berbisik hampir tak terdengar, “Kinan, kita harus keluar dari sini. Kalau dia nemuin kita, habis sudah.” Tapi Kinan menggeleng pelan, tangannya mencengkeram dokumen dan catatan kecil dari kotak logam yang mereka temukan. Tulisan tangan Raka—“Barang di gudang ini bukan milik desa. H.M. bohong. Sungai adalah kuncinya.”—terasa seperti pesan terakhir dari kakaknya, dan ia tahu ia tak bisa menyerah sekarang. Kotak logam itu, dengan dokumen utang dan daftar nama, adalah bukti bahwa Pak Haji Mulya menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar bisnis tengkulak.

Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar dari luar gudang, diikuti oleh teriakan pelan. “Haji! Ada apa di gudang? Aku dengar suara!” Itu suara Pak Tono, pria yang dulu memberikan petunjuk kepada Kinan. Jantung Kinan berdegup lebih kencang—apakah Pak Tono datang untuk membantu, atau justru memperburuk situasi?

Pak Haji Mulya berbalik, suaranya penuh kemarahan. “Tono, ini bukan urusanmu! Pulang, atau aku pastikan ladangmu nggak bakal aman!” Tapi Pak Tono tak mundur. Dari balik tumpukan karung, Kinan bisa mendengar langkahnya mendekat, diikuti oleh suara pintu gudang yang didorong dengan keras.

“Kinan, Nila, kalau kalian di dalam, keluar sekarang!” teriak Pak Tono, suaranya tegas namun penuh urgensi. “Aku tahu kalian nyari kebenaran soal Raka. Aku nggak bisa diam lagi!”

Kinan dan Nila saling pandang, keterkejutan bercampur dengan harapan. Dengan hati-hati, mereka keluar dari persembunyian, Kinan memegang kotak logam dan dokumen erat-erat. Pak Haji Mulya memandang mereka dengan wajah yang memerah karena marah, tapi ada ketakutan di matanya saat melihat Pak Tono berdiri di ambang pintu, dengan beberapa warga desa di belakangnya—entah bagaimana, Pak Tono telah membawa bantuan.

“Kinan, apa yang kamu pegang itu?” tanya Pak Tono, matanya tertuju pada kotak logam. “Itu yang Raka lihat, bukan?”

Kinan mengangguk, air matanya mulai mengalir. “Ini bukti, Pak. Raka tahu Pak Haji sembunyikan sesuatu di gudang ini, dan dia bilang sungai adalah kuncinya. Aku nemu catatannya, dia bilang ini bukan cuma soal utang.” Ia menunjukkan dokumen itu kepada Pak Tono, yang segera membacanya dengan alis berkerut.

Pak Haji Mulya mencoba menutupi kegugupannya dengan tawa kecil. “Ini cuma dokumen biasa, Tono. Anak-anak ini cuma bikin cerita. Raka kecelakaan, semua orang tahu itu!”

Tapi Pak Tono menggeleng, wajahnya penuh penyesalan. “Aku nggak bisa diam lagi, Haji. Tiga tahun lalu, Raka datang ke aku, bilang dia lihat kotak-kotak aneh di gudangmu—kotak yang isinya bukan beras atau barang dagangan, tapi sesuatu yang kamu buang ke sungai. Aku suruh dia diam, tapi dia pergi ke sungai malam itu. Aku… aku seharusnya ikut dia.” Suaranya pecah, dan ia menunduk, penuh rasa bersalah.

Kinan merasa dadanya sesak. “Jadi apa yang ada di sungai, Pak? Apa yang Raka lihat?” Suaranya penuh kemarahan dan kesedihan, tapi juga tekad yang tak goyah.

Pak Tono menarik napas dalam-dalam. “Haji Mulya terlibat dalam perdagangan barang ilegal—barang yang nggak seharusnya ada di desa ini. Dia buang barang-barang itu ke sungai supaya nggak ketahuan, tapi Raka lihat. Aku nggak tahu pasti apa yang terjadi malam itu, tapi aku yakin Raka nggak mati karena kecelakaan. Dia… dia mungkin coba hentikan Haji.”

Warga desa yang berkumpul di belakang Pak Tono mulai berbisik, beberapa di antaranya memandang Pak Haji Mulya dengan tatapan penuh kecurigaan. Pak Haji mundur selangkah, wajahnya pucat. “Kalian nggak punya bukti! Ini cuma tuduhan anak kecil dan orang yang penuh penyesalan!” teriaknya, tapi suaranya mulai goyah.

Kinan melangkah maju, memegang dokumen dari kotak logam. “Ini bukan cuma tuduhan, Pak. Ada daftar nama di sini, termasuk nama ayahku, dengan catatan utang yang nggak masuk akal. Dan catatan Raka bilang sungai adalah kuncinya. Kalau Bapak nggak bersalah, kenapa barang-barang ini disembunyiin? Kenapa kakakku harus mati?”

Suasana menjadi tegang, dan untuk pertama kalinya, Kinan melihat ketakutan sejati di mata Pak Haji Mulya. Sebelum ia bisa bicara lagi, salah satu warga—Pak Yanto, pedagang di pasar—maju dan berkata, “Aku juga pernah dengar desas-desus soal sungai. Kita harus periksa, Tono. Kalau Haji beneran sembunyikan sesuatu, kita nggak bisa diam.”

Malam itu, warga desa, dipimpin oleh Pak Tono, berjalan menuju Sungai Rejo. Kinan dan Nila ikut, membawa senter dan dokumen dari gudang. Di bawah pohon beringin tua, mereka mulai mencari di tepi sungai, menggali lumpur dan bebatuan. Setelah beberapa jam yang melelahkan, mereka menemukan beberapa kotak logam lain yang terkubur di tepian, berisi barang-barang yang bukan milik desa—botol-botol aneh dengan label asing dan dokumen dengan angka-angka besar. Bukti itu cukup untuk membuat warga desa menuntut penjelasan dari Pak Haji Mulya.

Pagi berikutnya, polisi dari kota datang ke desa setelah laporan warga. Pak Haji Mulya ditahan untuk diinterogasi, dan meski ia masih menyangkal, dokumen dan barang dari sungai menjadi bukti yang tak terbantahkan. Kinan berdiri di tepi sungai, memandang air yang mengalir tenang, syal merah Raka di tangannya. Ia tahu kakaknya tak akan kembali, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa kebenaran telah membebaskan keluarganya dari bayang-bayang.

Di rumah, Kinan duduk bersama ibu dan ayahnya, menceritakan semua yang terjadi. Bu Lestari menangis, memeluk Kinan erat, sementara Pak Budi memegang tangan anaknya dengan mata penuh penyesalan. “Kinan, maafkan ayah. Aku seharusnya lebih berani, seperti kamu,” katanya, suaranya penuh kelembutan yang jarang ia tunjukkan.

Kinan tersenyum tipis, air matanya jatuh. “Ayah, Ibu, Raka bilang aku lentera keluarga kita. Aku cuma coba jaga apinya, meski kadang aku takut.” Ia memandang gelang di pergelangannya, merasa kehangatan Raka masih ada di sana.

Sore itu, Kinan dan Nila duduk di bawah pohon beringin, buku sketsa Nila terbuka di pangkuannya. Ia menggambar sungai dengan cahaya matahari sore yang memantul di permukaannya, dan di sudut gambar, ada sosok kecil yang menyerupai Raka, tersenyum. “Kinan, kamu beneran lentera, tahu nggak?” kata Nila, tersenyum. “Kamu bikin desa ini lihat kebenaran.”

Kinan memandang sungai, merasa beban di hatinya mulai menguap. “Bukan cuma aku, Nila. Kamu, Pak Tono, warga desa… kita semua lentera. Raka cuma ngingetin kita buat tetep nyala.” Di bawah sinar matahari yang kini cerah, Kinan tahu bahwa meski badai telah merenggut kakaknya, cahaya kebenaran, kejujuran, dan pengampunan akan selalu menyala di hatinya.

Lentera di Tengah Badai bukan hanya sekadar cerita, melainkan cerminan keberanian, kejujuran, dan pengampunan yang mampu mengubah hidup. Dengan alur yang memikat dan pesan moral yang mendalam, cerpen ini mengajak kita untuk tetap menyalakan cahaya di tengah badai kehidupan. Jangan lewatkan kisah inspiratif ini yang akan meninggalkan jejak di hati Anda, mengingatkan bahwa setiap kebenaran yang diperjuangkan adalah lentera yang tak pernah padam.

Leave a Reply