Legenda Putri Sekar Mayang: Misteri Sungai Terlarang dan Kutukan yang Terungkap

Posted on

Oke, dengerin baik-baik! Kamu pernah denger kisah sungai terlarang yang katanya nyimpen misteri kelam? Cerita rakyat ini bukan sembarang dongeng buat nakut-nakutin bocah biar nggak main jauh.

Ini kisah beneran, tentang dendam, pengkhianatan, dan rahasia yang udah terkubur ratusan tahun. Kalau kamu berani, siap-siap masuk ke dunia yang nggak bakal kamu lupain!

Legenda Putri Sekar Mayang

Bayangan di Bawah Arus

Suasana senja mulai merayap di Desa Tepian Sungai. Langit berubah jingga, dan sinar matahari yang tersisa memantul di permukaan air sungai yang anehnya berkilauan dengan warna-warna berbeda. Bukan seperti sungai biasa yang airnya bening atau cokelat karena lumpur, sungai ini terlihat seperti cermin besar dengan semburat warna ungu, hijau, biru, dan merah yang terus berubah seiring alirannya.

Di tepi sungai, Jaka duduk di atas batu besar, kakinya menggantung di atas air yang dingin. Di sampingnya, Raka terlihat gelisah, sesekali melirik ke arah pepohonan yang mulai menggelap.

“Jaka, aku nggak nyaman di sini lama-lama,” gumam Raka, suaranya lebih seperti bisikan.

Jaka hanya tersenyum tipis, mencelupkan tangannya ke dalam air. “Kamu percaya sungai ini dikutuk?” tanyanya santai.

Raka menelan ludah, lalu mengangkat bahunya. “Aku nggak tahu… tapi semua orang di desa bilang gitu. Sungai ini dulu tempat seorang putri dikutuk, kan?”

Jaka mengangguk, matanya masih menatap ke permukaan air yang beriak pelan. “Kata orang tua-tua, Putri Sekar Mayang dihukum sama ayahnya sendiri. Dia nggak mau menikah sama laki-laki yang serakah, terus dikutuk jadi batu. Air mata dia katanya yang bikin sungai ini punya warna-warna aneh.”

Raka merinding. “Kenapa kita malah ngomongin itu malam-malam begini?”

Jaka tertawa pelan. “Takut?”

“Kalau kamu berani, ya udah, coba aja panggil dia,” tantang Raka, tapi nadanya jelas bercanda.

Jaka menghela napas, lalu menangkupkan kedua tangannya ke air. “Putri Sekar Mayang, kalau kamu memang ada di sini, kasih kami tanda.”

Awalnya, hanya suara gemericik air yang terdengar. Angin berembus pelan, menggerakkan daun-daun bambu di tepi sungai. Raka tersenyum lega, merasa doanya tak terkabul.

Tapi kemudian, air sungai yang semula tenang tiba-tiba berputar pelan, membentuk lingkaran kecil. Warna-warna di permukaan air berubah lebih tajam, seolah ada sesuatu yang bergerak di bawah sana.

Jaka dan Raka menegang.

“Jaka… itu apa?” suara Raka tercekat.

Dari dasar sungai yang dalam, bayangan hitam mulai naik perlahan. Bentuknya samar, seperti sosok seseorang.

“Astaga… itu—”

Sebelum mereka sempat melarikan diri, terdengar suara langkah kaki di belakang mereka.

“Kalian berdua ngapain di sini?”

Jaka dan Raka sontak menoleh. Di tepi sungai, berdiri seorang wanita tua dengan tongkat kayu di tangannya. Sorot matanya tajam, dan rambutnya yang mulai memutih tergerai panjang di bahunya.

“Nyai Rengganis…” Raka berbisik.

Nyai Rengganis melangkah mendekat, tatapannya masih mengawasi permukaan sungai. “Kalian sudah memanggil dia?”

Jaka menelan ludah, lalu mengangguk pelan.

Nyai Rengganis menghela napas panjang. “Pergi dari sini. Sebelum malam makin larut.”

“Tapi tadi… aku lihat sesuatu di dalam air,” ujar Jaka.

Nyai Rengganis menatapnya dalam. “Kamu ingin tahu kebenaran tentang sungai ini, Jaka?”

Jaka mengangguk mantap. “Iya. Aku ingin tahu.”

Nyai Rengganis mendekat, menatap lurus ke dalam mata Jaka. “Kalau begitu, jangan datang ke sungai ini sendirian. Dan jangan pernah mempercayai semua yang kamu lihat di permukaan air.”

Raka menarik lengan Jaka. “Ayo pulang aja!”

Jaka masih ingin bertanya, tapi Nyai Rengganis sudah berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Raka menarik napas dalam-dalam. “Jaka, tolong, aku nggak mau kita ada di sini lebih lama. Nyai Rengganis aja kelihatan takut. Kita harus pulang!”

Jaka menatap sungai sekali lagi. Bayangan yang tadi ia lihat sudah menghilang, tapi warna-warna di permukaannya masih berputar pelan.

“Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi,” gumamnya.

Raka menggeleng lemah. “Terserah kamu. Tapi jangan bawa-bawa aku kalau mau cari perkara.”

Jaka tersenyum tipis, tapi matanya masih tertuju pada sungai. Ia tahu, malam ini hanyalah permulaan. Sesuatu sedang menunggu di bawah air. Dan ia bertekad untuk mencari tahu kebenarannya.

 

Rahasia Putri yang Terlupakan

Malam itu, Jaka tak bisa tidur. Bayangan dari sungai tadi terus terngiang di kepalanya—warna-warna yang berputar, sosok hitam yang muncul dari dalam air, dan peringatan Nyai Rengganis yang terdengar begitu serius.

Sambil berbaring di tikar anyaman di rumahnya, Jaka menatap langit-langit bambu, mencoba memahami semua yang terjadi.

“Apa sebenarnya yang aku lihat tadi?” gumamnya pelan.

Tapi satu hal pasti: sungai itu menyimpan sesuatu. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar cerita rakyat yang biasa diceritakan para tetua.

Keesokan paginya, Jaka menemui Raka di bawah pohon nangka di belakang rumahnya.

“Kamu serius masih mau bahas ini?” keluh Raka sambil mengunyah potongan singkong rebus. “Kita hampir kena batunya semalam!”

Jaka duduk di sebelahnya, menatapnya penuh keyakinan. “Aku nggak bisa berhenti mikirin ini. Aku harus tahu lebih banyak soal Putri Sekar Mayang.”

Raka mendengus. “Ya udah, tinggal tanya ke orang tua-tua desa. Kalau beruntung, mereka bisa kasih cerita lengkap. Kalau sial, ya kita malah dikira kurang kerjaan.”

Jaka mengangguk. Itu memang rencananya.

Beberapa jam kemudian, mereka berdua sudah duduk bersila di beranda rumah Ki Sumanta, salah satu tetua desa yang terkenal paling tahu sejarah dan mitos yang beredar di Tepian Sungai.

Ki Sumanta menyipitkan mata saat melihat Jaka dan Raka datang. “Kenapa kalian pagi-pagi udah di sini?”

Jaka tak ingin bertele-tele. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang Putri Sekar Mayang.”

Mata Ki Sumanta langsung berubah tajam. Ia menghela napas, lalu mengambil segelas air sebelum berbicara.

“Dulu, Putri Sekar Mayang adalah putri kesayangan Raja Agung Wira Kusuma. Ia terkenal karena kecantikannya yang tiada tanding, dan juga karena hatinya yang baik. Tapi kecantikannya justru jadi kutukan buat dia,” ujar Ki Sumanta, suaranya berat seperti menggali kenangan lama.

Raka bergidik. “Kutukan gimana maksudnya?”

Ki Sumanta menatap mereka dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Ada seorang pangeran dari kerajaan lain, Pangeran Rajendra, yang sangat menginginkan Putri Sekar Mayang sebagai istrinya. Tapi putri menolak. Dia tahu Rajendra itu orang yang serakah, suka menguasai sesuatu hanya demi kepentingannya sendiri.”

Jaka mendengarkan dengan saksama.

“Karena putri terus menolak, Rajendra marah besar. Ia memaksa Raja Wira Kusuma untuk menikahkan mereka. Tapi putri tetap bersikeras. Akhirnya, demi menghindari perang antara kerajaan, raja melakukan sesuatu yang tak terduga—ia mengutuk putrinya sendiri, mengurung jiwanya di dalam sungai agar tak pernah bisa dimiliki oleh siapapun.”

Hening sejenak.

Raka menelan ludah. “Jadi… sungai itu tempat jiwa putri terjebak?”

Ki Sumanta mengangguk. “Dan sejak saat itu, air sungai berubah warna. Mereka bilang itu adalah air mata Putri Sekar Mayang yang terus menangis di dalam sana.”

Jaka mengingat kembali peringatan Nyai Rengganis. “Nyai Rengganis juga tahu soal ini?”

Ki Sumanta tersenyum kecil. “Dia bukan hanya tahu. Dia adalah keturunan dari orang-orang yang dulu mengabdi pada Putri Sekar Mayang. Dialah yang menjaga agar kutukan itu tetap terkendali.”

Jaka dan Raka saling pandang.

“Jadi… kalau sampai seseorang mengganggu sungai itu?” tanya Jaka, suaranya penuh kecemasan.

Ki Sumanta menghela napas panjang. “Kutukan itu bisa bangkit kembali.”

Dan di saat yang sama, di tepi sungai yang berwarna-warni, seseorang tengah berdiri sambil menatap air.

Ki Darma.

Dengan sebatang tongkat kayu di tangannya, ia mencelupkan ujungnya ke dalam air, memperhatikan riak yang muncul dengan senyum licik.

“Air ini masih menyimpan kekuatan… aku bisa merasakannya,” gumamnya. “Aku hanya perlu cara untuk mengambilnya…”

Dan tanpa ia sadari, dari dasar sungai, bayangan hitam kembali muncul.

 

Keserakahan yang Mengundang Bencana

Matahari mulai condong ke barat saat Jaka dan Raka meninggalkan rumah Ki Sumanta. Langkah mereka cepat, hampir berlari menuju rumah Nyai Rengganis. Ada perasaan mendesak yang tak bisa mereka abaikan.

“Aku nggak suka ini, Jak,” gumam Raka sambil mengusap tengkuknya yang berkeringat. “Kenapa Ki Sumanta harus bilang soal kutukan itu? Kalau beneran ada orang yang berani macem-macem sama sungai itu—”

Jaka mempercepat langkahnya. “Justru karena itu kita harus cepat. Nyai Rengganis pasti tahu sesuatu.”

Mereka berdua tiba di halaman rumah Nyai Rengganis yang dipenuhi tanaman obat. Wanita tua itu sudah berdiri di ambang pintu, seolah tahu mereka akan datang. Tatapan matanya tajam, penuh kewaspadaan.

“Kalian telat,” katanya dingin. “Kutukan itu sudah terganggu.”

Jaka dan Raka saling berpandangan.

“Apa maksudnya, Nyai?” tanya Jaka.

Nyai Rengganis menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Seseorang telah menyentuh air sungai dengan niat yang tidak baik. Aku bisa merasakan getaran aneh sejak tadi siang.”

Raka menggigit bibirnya. “Jangan bilang itu kerjaannya Ki Darma…”

Nyai Rengganis menghela napas panjang. “Kalau memang dia, maka kita dalam masalah besar.”

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara gong berulang kali dari balai desa. Suara itu menusuk telinga, pertanda ada bahaya.

“Cepat ke balai desa!” seru Nyai Rengganis.

Mereka bertiga segera berlari ke arah suara. Saat sampai di sana, mereka melihat para penduduk berkumpul dengan wajah panik.

Ki Lurah berdiri di tengah-tengah mereka, suaranya bergetar saat berbicara. “Ki Darma… dia… dia hilang di sungai!”

Seketika suasana berubah tegang.

Jaka melangkah maju. “Hilang bagaimana, Ki?”

Seorang lelaki tua di antara kerumunan menjawab dengan suara gemetar, “Tadi sore dia terlihat di tepi sungai. Beberapa orang melihatnya mencelupkan tongkat kayu ke dalam air. Tapi tiba-tiba… air sungai bergolak hebat, warnanya berubah makin pekat… lalu dia menghilang begitu saja. Seperti ditelan air!”

Nyai Rengganis menutup mata. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.

Jaka menelan ludah. “Jadi… apa yang terjadi?”

Nyai Rengganis membuka matanya dan menatap lurus ke arah sungai yang tak terlihat dari sana. “Kutukan itu sudah bangkit.”

Angin malam berhembus kencang. Daun-daun kering beterbangan. Dan dari kejauhan, terdengar suara gemuruh dari arah sungai, seolah sesuatu yang besar sedang bergerak di dalamnya.

Tanpa ragu, Jaka mengepalkan tangan. “Aku harus ke sana.”

Raka menahannya. “Gila kamu?! Kita bahkan nggak tahu apa yang ada di sana!”

Tapi Jaka sudah memantapkan hatinya. Ini bukan sekadar mitos atau cerita lama. Ini nyata. Dan kalau benar ada sesuatu yang telah terlepas dari sungai, mereka harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat.

Nyai Rengganis menatap Jaka dengan mata penuh arti. “Kalau kamu memang ingin pergi, aku harus memberimu sesuatu.”

Ia berjalan masuk ke rumahnya, lalu kembali dengan sebuah kain putih yang digulung rapi. Saat dibuka, tampak sebilah keris kecil dengan ukiran bunga teratai di gagangnya.

“Ini milik Putri Sekar Mayang,” ucap Nyai Rengganis. “Dulu, ia memberikan ini kepada orang kepercayaannya. Konon, hanya benda ini yang bisa menenangkan amarahnya.”

Jaka mengambil keris itu dengan hati-hati. Begitu menyentuhnya, ia merasakan getaran halus di telapak tangannya.

“Kamu harus hati-hati, Jaka,” ujar Nyai Rengganis dengan nada serius. “Kalau benar Putri Sekar Mayang telah bangkit dalam amarahnya, hanya ada dua kemungkinan—kamu bisa menenangkannya… atau kamu akan ikut tenggelam dalam kutukannya.”

Jaka menggenggam keris itu erat. Ia menatap Raka, yang hanya bisa menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk.

“Baiklah, aku ikut,” kata Raka.

Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua berlari menuju sungai yang kini bergolak semakin ganas.

Dan dari kejauhan, terdengar suara tawa lembut… suara seorang perempuan yang telah lama terkurung dalam kesedihan dan amarah.

 

Pertemuan dengan Putri Sekar Mayang

Jaka dan Raka berlari secepat yang mereka bisa. Tanah di sekitar sungai terasa bergetar, seolah ada kekuatan besar yang hendak bangkit dari dalam bumi. Angin bertiup makin kencang, menerbangkan dedaunan dan debu ke udara.

Saat mereka tiba di tepi sungai, pemandangan di depan mereka benar-benar mengerikan. Air sungai yang biasanya jernih kini berwarna pekat, hitam berkilauan di bawah cahaya bulan. Arusnya bergolak hebat, menciptakan pusaran-pusaran yang tampak seperti mulut raksasa siap menelan apa saja yang mendekat.

Dan di tengah-tengahnya, samar-samar terlihat sosok seorang perempuan. Rambutnya panjang menjuntai, gaunnya berkilau perak seperti cahaya bulan yang memantul di permukaan air. Namun wajahnya… dingin dan penuh kemarahan.

Jaka meneguk ludah. “Putri Sekar Mayang…”

Sosok itu menoleh ke arah mereka. Suaranya bergema seperti datang dari dasar air, namun jelas terdengar.

“Kalian berani datang ke sini?”

Raka melangkah mundur, tapi Jaka tetap berdiri tegak. Ia tahu, ini bukan waktunya untuk gentar. Dengan hati-hati, ia mengangkat keris peninggalan sang putri.

“Aku bukan musuhmu,” kata Jaka dengan suara tegas. “Aku datang untuk mengembalikan ini padamu.”

Tatapan Putri Sekar Mayang berubah. Sesaat, kemarahan di matanya meredup. Namun air sungai tetap bergolak, dan dari dalamnya muncul sesuatu yang membuat bulu kuduk mereka meremang—Ki Darma.

Tapi bukan dalam wujud manusia biasa. Tubuhnya membiru, matanya kosong tanpa cahaya, seperti boneka yang digerakkan oleh arus sungai.

“Dia… dia masih hidup?” bisik Raka ngeri.

Putri Sekar Mayang menatap mayat hidup itu dengan penuh kebencian. “Dia telah melanggar batasan yang seharusnya tidak boleh disentuh. Keserakahan dan ketamakannya membangkitkan amarahku.”

Jaka meneguhkan hatinya. “Kami mengerti kemarahanmu, tapi kalau kau terus seperti ini… desa kami akan hancur.”

Angin semakin kencang. Putri Sekar Mayang mendekat, wajahnya kini tak lagi marah, tapi penuh kesedihan.

“Aku tidak ingin menghancurkan desa ini…”suaranya lirih, hampir seperti bisikan angin.“Aku hanya ingin keadilan…”

Jaka menarik napas dalam. “Kalau begitu, biarkan dia mendapatkan balasannya sendiri. Biarkan alam yang menghukumnya.”

Mata sang putri menatap Jaka dalam-dalam. Lalu, perlahan, ia mengulurkan tangannya ke arah Ki Darma. Arus sungai tiba-tiba naik, membentuk gelombang tinggi yang berputar-putar mengelilingi tubuh lelaki tua itu.

Dan dalam sekejap—Ki Darma menghilang, ditelan oleh pusaran air yang kembali tenang.

Putri Sekar Mayang berbalik, menatap sungai yang mulai kembali jernih. Wajahnya kini lebih damai, tidak lagi dipenuhi amarah.

“Aku… akhirnya bisa tenang…” bisiknya.

Jaka menatapnya dengan penuh rasa hormat. “Semoga kau bisa beristirahat dengan damai, Putri.”

Sang putri tersenyum tipis sebelum sosoknya perlahan memudar, larut bersama angin malam. Air sungai pun kembali seperti semula, jernih dan tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Nyai Rengganis dan penduduk desa tiba tak lama setelahnya. Mereka terkejut melihat perubahan sungai, tapi Jaka dan Raka hanya saling pandang dan tersenyum.

Mereka tahu, legenda itu bukan sekadar cerita kosong. Dan malam ini, mereka telah menjadi bagian darinya.

 

Dan begitulah, guya! Bukan sekadar cerita biasa, tapi ini legenda yang nyimpen makna dalem. Kadang, sesuatu yang udah lama terkubur emang harus diungkap biar bisa tenang. Jadi, kalau kamu nemu tempat yang katanya angker atau punya sejarah kelam… pikir dua kali sebelum macem-macem. Siapa tahu, ada yang masih jagain di sana.

Leave a Reply