Pernah nggak sih, kamu ngerasain sesuatu yang nggak bisa dijelaskan? Kayak perasaan yang datang tiba-tiba, tanpa bisa diprediksi, tapi bikin kamu merasa hidup banget. Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia yang penuh misteri dan keajaiban, tentang seorang pria yang jatuh cinta sama peri bulan.
Tapi, nggak semudah itu, bro. Cinta mereka terlarang, dan kadang, kita harus ngelawan kenyataan buat ngejar yang kita inginkan. Jadi, siap-siap deh, ikutin cerita ini sampai selesai, karena perjalanan cinta ini bakal bikin kamu mikir dua kali soal apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup.
Legenda Peri Bulan
Di Antara Bintang dan Langit
Malam itu, langit di atas desa kecil di kaki gunung terhampar luas, dihiasi dengan ribuan bintang yang berkelip terang. Namun ada satu cahaya yang berbeda, yang lebih lembut dan memikat, yang bersinar dengan kilau perak dari balik awan. Bulan penuh, bulat sempurna, menggantung tinggi di langit seperti sebuah permata raksasa yang memancarkan cahaya ke seluruh penjuru dunia.
Di tepi danau, Alaric duduk sendirian. Pandangannya kosong, terfokus pada permukaan air yang tenang, hanya dipengaruhi oleh gerakan angin yang sesekali mengusik ketenangannya. Pikirannya jauh melayang, berputar-putar dalam kenangan yang seolah tak bisa dilepaskan. Wajahnya, yang biasanya cerah dan penuh semangat, kini tampak kusam, dihiasi dengan kerutan-kerutan kecil yang menunjukkan betapa lelahnya ia.
Hampir setiap malam, Alaric datang ke danau ini. Ini adalah tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama orang yang kini telah tiada. Danau ini saksi bisu dari kebahagiaan mereka yang kini tinggal kenangan. Hati Alaric terasa hampa, sepi, seperti bulan yang tenggelam di balik awan gelap—hilang tanpa jejak.
Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda.
Selyara, peri bulan, mengamatinya dari kejauhan. Dalam wujud yang hampir tak terlihat, ia terbang rendah, menyelinap di antara riak-riak angin yang bergulir lembut. Sayapnya yang tembus pandang berkilauan diterangi oleh cahaya bulan, seolah menyatu dengan malam. Dari sana, ia bisa merasakan gelombang kesedihan yang mendalam di hati Alaric. Itu bukan sekadar kesedihan biasa. Itu adalah kesedihan yang menembus langit, yang melampaui batas dunia yang ia kenal. Sebagai peri bulan, Selyara memiliki kemampuan untuk merasakan hati manusia—dan kali ini, hati yang ia rasakan begitu penuh dengan luka.
Selyara tidak pernah mendekati manusia. Itu adalah aturan yang telah ditetapkan sejak zaman dahulu. Peri bulan ada untuk menjaga dan merawat cahaya malam, bukan untuk terlibat dalam urusan dunia manusia. Namun ada sesuatu dalam diri Alaric yang menariknya. Ia melihat lebih dari sekadar rasa kehilangan. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat hatinya tergerak.
Dengan hati-hati, ia menurunkan cahaya bulan, membiarkan sinarnya jatuh lembut ke atas permukaan danau. Bayangan dirinya mulai membentuk sosok di udara, seolah muncul dari dalam cahaya itu sendiri. Dalam sekejap, Selyara muncul di depan Alaric, berdiri dengan anggun di sisi danau. Ia mengenakan gaun putih yang bersinar lembut, dengan sayap yang tampak seperti serabut cahaya.
Alaric menoleh, terkejut melihat sosok yang begitu berbeda, begitu tidak mungkin ada di dunia ini. “Siapa… kamu?” suara Alaric terdengar sedikit tercekat, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Selyara tersenyum lembut. “Aku Selyara, peri penjaga bulan. Aku datang untuk bertanya, mengapa hatimu begitu penuh dengan kesedihan?”
Alaric terdiam sejenak. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa kosong dan terluka hatinya saat itu. Ia menatap peri yang baru saja muncul, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. “Aku… kehilangan seseorang yang sangat aku cintai,” kata Alaric perlahan, suaranya hampir tenggelam dalam desiran angin malam. “Seperti bulan yang hilang di balik awan, aku merasa terperangkap dalam kegelapan ini. Tidak ada yang bisa mengembalikannya.”
Selyara mendekat, langkahnya ringan, hampir tidak terdengar. Matanya yang seperti lautan perak menatap dalam, seakan mencoba menyelami kedalaman hati Alaric. “Cinta itu memang bisa membuat kita merasa seolah-olah kita terperangkap dalam kegelapan. Tapi ingatlah, meskipun bulan kadang hilang di balik awan, cahaya itu selalu ada, hanya saja kita harus mencarinya.”
Alaric menunduk, tertekan dengan perasaan yang begitu berat. “Aku… tak tahu harus bagaimana lagi. Semua terasa sia-sia tanpa dia.”
Selyara mengangkat tangannya, menyentuh permukaan air dengan ujung jari yang berkilau. Dalam sekejap, permukaan danau yang tenang itu bergelombang, dan sebuah sinar lembut muncul, menciptakan bayangan yang seolah berbicara. “Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan atau dicari dalam keputusasaan. Cinta adalah sesuatu yang perlu kita temukan dalam diri kita sendiri, bahkan di saat-saat gelap sekalipun.”
Alaric menatap bayangan itu, ada ketenangan yang mulai mengalir di hatinya, meski masih ada rasa sakit yang menyelimutinya. “Tapi bagaimana jika aku tak bisa menemukannya lagi? Bagaimana jika aku hanya terperangkap dalam kenangan?”
Selyara menatapnya dengan penuh pengertian. “Setiap hati punya jalannya sendiri, Alaric. Kamu hanya perlu memberi dirimu kesempatan untuk merasakannya lagi.”
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari danau. Selyara memandang ke langit, seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh Alaric. “Langit ini tak selalu cerah. Ada saatnya bulan tersembunyi, namun itu tak berarti ia hilang. Cahaya itu ada di dalam dirimu, hanya butuh waktu untuk menemukannya kembali.”
Alaric terdiam, mencoba mencerna kata-kata peri itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bergerak. Seperti ada angin yang menggoyang pohon hati yang telah lama terdiam. Ia tahu, meskipun pertemuan ini aneh dan tak mungkin, ada sesuatu yang menghangatkan dalam setiap kata Selyara.
“Terima kasih,” ujar Alaric dengan suara pelan. “Aku… merasa sedikit lebih baik.”
Selyara tersenyum, meskipun ada kesedihan dalam matanya. “Jangan terjebak dalam masa lalu, Alaric. Ada dunia yang menunggu untuk kau temui. Cinta itu akan datang pada waktunya, jika kau membuka hatimu.”
Malam semakin larut. Bulan yang tadinya diselimuti awan perlahan mulai bersinar lebih terang, memancarkan cahaya yang lembut dan penuh harapan. Namun, Selyara tahu bahwa waktunya sudah hampir habis. Ia tak bisa terlalu lama berada di dunia ini. Sebagai peri bulan, tugasnya adalah menjaga cahaya, bukan terjebak dalam hubungan yang tak mungkin.
Dengan satu gerakan lembut, Selyara terbang kembali, tubuhnya menyatu dengan cahaya bulan yang memancar ke seluruh dunia. Sebelum hilang sepenuhnya, ia berkata, “Selamat malam, Alaric. Semoga suatu hari kamu menemukan cahaya di hatimu yang selama ini hilang.”
Alaric hanya bisa menatap kepergian Selyara dengan rasa bingung dan haru yang bercampur. Ia tahu, pertemuan ini bukanlah kebetulan. Namun ia juga tahu, ia harus mencari jalannya sendiri.
Ketika sinar bulan kembali menyinari danau itu, Alaric merasa seolah ada sesuatu yang baru tumbuh di dalam dirinya—sesuatu yang lembut dan penuh harapan, seperti cahaya bulan yang bersinar di langit malam.
Tapi malam itu baru saja dimulai. Dan perjalanan Alaric untuk menemukan kembali cahaya dalam hidupnya baru saja dimulai.
Sinar yang Terpancar di Tengah Kegelapan
Pagi pun tiba dengan perlahan, membawa cahaya keemasan yang menyapu permukaan danau. Namun bagi Alaric, dunia tetap terasa suram. Meskipun semalam ia merasa seolah-olah mendapat secercah cahaya, perasaan kosong itu kembali menguasainya begitu ia membuka mata. Selyara—peri bulan yang muncul dalam wujud cahaya lembut—telah pergi, meninggalkan jejak kenangan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Alaric merasakan kehangatan yang ditinggalkan oleh sentuhan peri itu, namun ia juga tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup, meski hati terasa berat.
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, Alaric berjalan melewati desa yang sepi, dengan langkah pelan dan pikiran yang terombang-ambing. Namun ada sesuatu yang berbeda. Seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Ada getaran halus dalam hatinya, seperti aliran lembut yang perlahan membangkitkan sebuah rasa yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
Di tepi sungai, ia duduk, memandang ke arah langit yang mulai biru dengan awan yang berarak perlahan. Tidak ada lagi kesedihan yang mencengkeram, hanya kekosongan yang kini terasa lebih ringan. Terkadang, meskipun perasaan itu belum sepenuhnya hilang, Alaric merasa seperti ada sesuatu yang menyambutnya dari kejauhan.
Malam kembali tiba, dan dengan itu datang lagi keheningan yang menenangkan. Alaric duduk di tempat yang sama, di tepi danau. Kali ini, ia tidak merasa sesepian malam sebelumnya. Meskipun ia tahu Selyara tidak akan datang lagi, perasaan yang ia alami malam itu adalah sesuatu yang berbeda. Ia tak merasa terperangkap dalam kegelapan, melainkan seperti tengah berdiri di ambang cahaya yang perlahan mulai menyinari jalan yang gelap.
Namun, tiba-tiba, angin malam berhembus lebih kencang, membawa serta aroma lembut bunga dari hutan terdekat. Alaric mendongak, merasakan kehadiran sesuatu yang familiar namun tak dapat ia jelaskan. Sebuah bayangan mulai terbentuk di hadapannya—bayangan yang lembut dan bersinar. Alaric terkejut, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu itu bukan hanya imajinasinya.
Selyara kembali.
“Kenapa kamu datang lagi?” Alaric bertanya, suaranya penuh keheranan.
Selyara tersenyum, namun kali ini ada kesedihan yang lebih dalam di matanya. “Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja,” jawabnya dengan suara yang hampir tak terdengar, seakan bisikan angin yang berlarian di antara dedaunan. “Kamu tidak harus menjalani semuanya sendirian.”
Alaric menatap peri itu, bingung. “Tapi kamu… kamu bukan bagian dari dunia ini. Kamu adalah peri bulan, bukan manusia. Aku tidak bisa terus bergantung padamu.”
Selyara mengangguk perlahan. “Aku tahu. Aku hanya peri yang menjaga cahaya bulan. Namun, aku juga merasakan apa yang ada dalam hatimu, Alaric. Dan itu lebih dari sekadar kesedihan. Itu adalah pencarian yang belum selesai.”
Pencarian? Alaric merasa seperti ada sebuah benang merah yang terhubung dengan setiap kata yang diucapkan Selyara, namun ia tidak bisa sepenuhnya menangkap maksudnya. “Pencarian untuk apa?” tanyanya, semakin bingung.
“Pencarian untuk menemukan kembali dirimu yang hilang,” jawab Selyara, mengulurkan tangannya. Cahaya bulan yang lembut itu menari di ujung jarinya, menciptakan lingkaran kecil di udara. “Cinta bukan hanya tentang memiliki seseorang, Alaric. Cinta adalah tentang menemukan kembali siapa diri kita di tengah kehilangan.”
Alaric terdiam. Kata-kata itu menembus ke dalam jiwanya, membuatnya merasa lebih paham meski belum sepenuhnya mengerti. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa sakit yang selama ini menguasai dirinya. Sesuatu yang lebih besar, lebih luas, yang menghubungkannya dengan dunia ini, dengan segala makhluk hidup, bahkan dengan Selyara yang datang dari dunia yang jauh.
“Aku tidak tahu bagaimana cara menemukan itu,” ujar Alaric pelan, matanya terfokus pada cahaya yang kini membalut tangannya Selyara. “Aku merasa begitu kecil, begitu tak berarti.”
Selyara tersenyum lagi, namun kali ini senyumnya lebih penuh harapan. “Kamu hanya perlu memulai dari langkah pertama, Alaric. Tidak ada yang bisa menemukan jalan tanpa berani melangkah. Jika kamu terus terjebak dalam kenangan dan kesedihan, kamu akan kehilangan kesempatan untuk menemukan kebahagiaan yang datang dari dirimu sendiri.”
Angin malam berhembus lagi, membawa suara lembut dari pepohonan yang berdiri di tepi danau. Bulan yang terang tampak semakin tinggi, memancarkan sinar yang semakin kuat, menembus kegelapan malam. Alaric memandang ke arah langit, merasakan kehangatan yang mulai mengalir di dalam dirinya.
“Jika aku melangkah,” kata Alaric akhirnya, “apa yang harus aku cari?”
“Carilah dirimu sendiri,” jawab Selyara, suara itu penuh dengan kehangatan. “Carilah kebahagiaan dalam hatimu yang selama ini tertutup. Dan saat saatnya tiba, cinta akan datang dengan cara yang tak terduga.”
Alaric menatap peri itu, perasaan yang selama ini terkubur dalam hatinya mulai muncul kembali—bukan dalam bentuk rasa sakit, tetapi sebagai sebuah harapan yang baru. Ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang memberinya kekuatan untuk melangkah maju.
Selyara mulai menghilang perlahan, seperti angin yang membubung tinggi. “Selamat malam, Alaric,” katanya dengan suara yang semakin jauh. “Aku akan selalu ada di sana, menjaga cahaya bulan untukmu. Tapi ingat, kebahagiaan itu ada di tanganmu sendiri.”
Malam kembali sunyi setelah kepergiannya, namun Alaric merasa berbeda. Ia merasa seolah-olah sebuah beban yang berat telah terangkat dari pundaknya. Selyara mungkin tidak lagi berada di sampingnya, tetapi sinar bulan yang menerangi malam itu adalah bukti bahwa cahaya itu selalu ada, meski kadang-kadang kita harus mencarinya dalam kegelapan.
Dengan hati yang lebih ringan, Alaric menatap langit malam, merasa sedikit lebih dekat dengan dirinya sendiri. Perjalanan panjangnya untuk menemukan cahaya dalam hidupnya baru saja dimulai.
Cinta yang Terlarang di Bawah Cahaya Bulan
Malam itu, Alaric tidak bisa menahan diri untuk kembali ke tepi danau. Langit malam terasa begitu damai, seolah menanti untuk membuka rahasia yang selama ini tersembunyi. Ada sebuah ketenangan baru dalam dirinya, meskipun perasaan itu masih bercampur dengan rasa bingung yang sulit dijelaskan. Ia tidak tahu pasti apa yang ia cari, namun satu hal yang ia yakini: Selyara telah membuka sebuah jalan baru dalam pikirannya, jalan yang mengarah pada kebahagiaan yang lebih dalam, yang lebih dari sekadar rasa kehilangan yang telah menahannya begitu lama.
Ketika ia tiba di tempat yang sama, di mana mereka bertemu untuk pertama kalinya, bulan sudah berada di titik tertinggi di langit. Cahaya yang lembut namun penuh kekuatan itu menari di atas permukaan danau, menciptakan pantulan yang hampir magis. Sesuatu dalam dirinya tergerak, seolah mengingatkan Alaric pada semua yang telah ia dengar dari Selyara. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Itu adalah sesuatu yang harus ia cari dan temukan dalam dirinya sendiri.
Namun, malam ini ada sesuatu yang berbeda. Ada sebuah ketegangan di udara, seperti semacam kehadiran yang tak bisa ia jelaskan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar dari belakangnya.
“Apa yang kamu cari di sini, Alaric?”
Alaric menoleh dan mendapati sosok yang sudah sangat ia kenal—Selyara, peri bulan yang selalu datang dengan cahaya lembutnya. Ia tampak lebih nyata malam ini, seolah tidak ada jarak di antara dunia manusia dan dunia peri. Sayapnya yang tembus pandang berkilau, memancarkan cahaya bulan yang indah. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam matanya. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks. Alaric bisa merasakan ketegangan yang ada di udara, seperti ada sesuatu yang menghubungkan mereka berdua, lebih dari sekadar pertemuan tak terduga.
“Aku mencari… aku tidak tahu apa,” jawab Alaric, suaranya rendah, hampir seperti sebuah bisikan. “Tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Sesuatu yang perlu aku temukan.”
Selyara melangkah lebih dekat, matanya masih penuh dengan empati namun kini juga ada sesuatu yang lebih misterius. “Kamu sudah mulai menemukan jalanmu, Alaric. Tapi ingat, perjalanan ini tidak mudah. Kadang-kadang, kita harus menghadapi kenyataan yang lebih sulit dari apa yang kita bayangkan.”
Alaric mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Apa yang harus aku hadapi?”
Selyara terdiam sejenak, lalu menatap bulan yang terang, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk dijelaskan. “Kadang, untuk menemukan kebahagiaan, kita harus siap melepaskan sesuatu. Tapi ada kalanya kita harus berjuang untuk sesuatu yang kita inginkan, meskipun itu terasa terlarang.”
Alaric merasa seperti ada beban berat yang jatuh di pundaknya. Ia tahu ada sesuatu yang sedang disampaikan oleh Selyara, namun ia tidak bisa menangkap sepenuhnya. “Terlarang? Apa yang terlarang?”
Selyara menunduk, tampak ragu sejenak. “Kita, Alaric, tidak bisa bersama. Aku adalah peri bulan, aku berasal dari dunia yang sangat berbeda dengan dunia manusia. Cinta kita… tidak bisa terwujud seperti yang kamu harapkan.”
Kata-kata itu menghantamnya seperti sebuah petir. Sebuah rasa sakit yang ia tidak duga datang begitu mendalam. Semua perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya, semua harapan yang ia rasakan, tiba-tiba terasa sangat rapuh. Selyara, peri bulan yang selama ini memberinya harapan, mengungkapkan kenyataan yang tak terelakkan. Mereka berasal dari dunia yang berbeda—dunia yang tidak bisa dipertemukan.
Alaric menatap Selyara, mencoba mengendalikan perasaan yang mendalam ini. “Kamu… mengatakan kita tidak bisa bersama. Tapi kenapa? Bukankah kita bisa mencoba?”
Selyara menghela napas panjang, langkahnya semakin mendekat hingga jarak mereka hanya beberapa langkah. “Cinta bukan hanya soal perasaan, Alaric. Cinta adalah tentang saling memahami dan menerima kenyataan. Aku adalah peri bulan, dan tugas utamaku adalah menjaga cahaya malam. Aku tidak bisa tinggal di dunia manusia. Aku tidak bisa memberimu apa yang kamu inginkan.”
Tapi dalam hati Alaric, perasaan itu tidak bisa dibendung lagi. Rasa sakit, keinginan, dan juga ketakutan menyatu dalam satu kepalan di dadanya. Ia merasa seperti ada kekuatan yang menariknya untuk mendekat, untuk menggapai sesuatu yang tidak bisa ia jangkau, sesuatu yang begitu indah namun sekaligus terlarang. “Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Selyara. Aku merasa seperti aku menemukan bagian dari diriku yang hilang setiap kali aku bersamamu.”
Selyara menatapnya, matanya penuh kesedihan. “Aku tahu itu. Aku bisa merasakannya. Tapi kamu harus memahami, ada harga yang harus dibayar jika kita melanjutkan ini. Cinta seperti ini… bisa merusak dunia yang ada di sekeliling kita.”
Alaric merasa seolah dunia berputar. “Jadi kita harus berhenti? Kita harus melepaskan semuanya hanya karena kita berasal dari dunia yang berbeda?”
Selyara menggigit bibir, matanya memantulkan cahaya bulan yang tajam. “Bukan begitu. Kamu bisa memilih untuk melanjutkan perjalananmu, menemukan kebahagiaanmu sendiri. Tapi aku tidak bisa memberikan janji-janji yang tidak bisa kutepati. Aku akan selalu ada di sini, di balik cahaya bulan, menjaga dunia ini. Tetapi kita tidak bisa bersatu, Alaric. Itu adalah kenyataan yang tak terhindarkan.”
Keheningan melanda di antara mereka. Angin malam yang lembut membawa bisikan samar dari pepohonan yang berdiri tegak. Alaric bisa merasakan sakit itu, namun ada sesuatu dalam dirinya yang menuntutnya untuk terus berjuang. Meskipun ia tahu betapa mustahilnya, ia tidak bisa melepaskan perasaan yang sudah tumbuh begitu dalam.
“Aku tidak ingin kehilanganmu, Selyara. Tidak seperti ini.”
“Kadang, Alaric, kita tidak bisa memilih bagaimana cinta datang. Cinta adalah sebuah perjalanan yang tak selalu sesuai dengan apa yang kita harapkan.”
Dengan satu gerakan, Selyara berbalik, tubuhnya mulai memudar dalam cahaya bulan yang semakin terang. Sebelum ia sepenuhnya menghilang, ia menatap Alaric untuk terakhir kalinya.
“Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam cinta yang terlarang, Alaric. Cari cahaya yang ada dalam dirimu sendiri.”
Alaric berdiri kaku, tubuhnya terasa seperti beku. Kata-kata itu membekas di hatinya, dan untuk pertama kalinya ia merasa seolah-olah ia harus membuat keputusan yang paling sulit dalam hidupnya. Cinta ini—cinta yang tumbuh di antara dua dunia yang berbeda—mungkin harus berakhir. Namun, perasaan itu tetap ada, terperangkap dalam setiap sinar bulan yang menyinari langit malam.
Cinta yang terlarang, tetapi tak bisa diabaikan begitu saja.
Cahaya yang Abadi
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Alaric masih berada di tepi danau, menatap pantulan bulan yang semakin memudar. Cahaya itu, yang dulu terasa begitu menenangkan, kini tampak begitu jauh, seolah semakin menjauhkan dirinya dari Selyara. Namun meskipun hati Alaric terasa sakit, ada sesuatu yang lebih besar yang mulai tumbuh di dalam dirinya—sebuah pemahaman yang mendalam tentang apa yang benar-benar penting.
Ia berdiri, langkahnya perlahan menuju hutan yang terletak di sisi danau, menghirup udara malam yang segar. Dalam benaknya, terbayang wajah Selyara, peri bulan yang begitu indah dan misterius. Ia tahu, meskipun cinta itu tak terwujud seperti yang ia harapkan, ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia temukan—sesuatu yang telah dibimbingkan oleh pertemuan mereka.
“Kadang, kita harus melepaskan sesuatu untuk menemukan diri kita yang sebenarnya,” kata-kata Selyara terngiang dalam pikirannya.
Alaric berhenti di tengah jalan setapak, memandang ke langit yang kini lebih gelap. Tidak ada lagi sinar bulan yang terang, hanya awan yang perlahan menutupi cahaya malam. Tetapi dalam kegelapan itu, ia merasakan kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak lagi terjebak dalam perasaan kehilangan atau kesedihan. Perjalanan yang telah dimulai dengan pertemuan tak terduga dengan Selyara kini membawanya pada sebuah pemahaman baru.
Keberadaan peri bulan bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki. Ia adalah cahaya yang datang dari langit, yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang terbuka pada keajaiban dunia. Alaric tahu, meskipun ia tidak bisa bersama Selyara, cahaya itu akan tetap bersinar dalam hidupnya, membawa petunjuk dan harapan meskipun dari kejauhan.
Langkahnya semakin mantap, menuju sebuah puncak kecil di tepi hutan. Di sana, ia berdiri sejenak, menatap desa yang tampak jauh di bawah sana. Bintang-bintang mulai bermunculan di langit, memberi kesan bahwa dunia ini begitu luas, begitu penuh dengan kemungkinan. Meskipun Selyara adalah peri bulan, ia juga bagian dari alam semesta yang tak terbatas ini—dan dalam dirinya, Alaric merasa dirinya juga mulai menjadi bagian dari dunia yang lebih besar.
“Ini adalah langkah pertama,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Langkah pertama untuk menemukan kebahagiaan yang tidak terikat pada siapa pun atau apa pun.”
Beberapa hari setelah itu, Alaric kembali ke desa dengan semangat yang baru. Ia tahu, meskipun hatinya masih terisi oleh kenangan akan Selyara, ia harus melanjutkan hidup. Tugasnya, sebagai seorang manusia, adalah untuk menemukan cahaya dalam dirinya sendiri, bukan bergantung pada cahaya yang datang dari luar. Namun, cahaya bulan yang dulu hanya tampak sebagai sebuah benda jauh di langit, kini terasa lebih dekat, lebih terasa dalam dirinya.
Alaric mulai menyadari sesuatu yang lebih penting: bahwa cinta bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang memberi. Cinta yang ia rasakan untuk Selyara bukanlah sesuatu yang harus ia tuntut atau paksakan, melainkan sesuatu yang memberi energi baru, yang membuatnya lebih kuat dalam menjalani hidup. Selyara, dengan segala kebijaksanaan dan kebaikannya, telah mengajarinya tentang hal itu.
Pada malam yang indah itu, Alaric kembali duduk di tepi danau, seperti malam-malam sebelumnya. Namun kali ini, ia tidak merasa kesepian. Cahaya bulan yang lembut itu jatuh di atasnya, membawa rasa damai yang mendalam. Ia merasa seolah-olah Selyara ada di sana, meskipun dalam bentuk yang tak kasat mata. Ia tidak lagi merasa terpisah dari dunia peri, karena ia tahu, di dalam dirinya, ada cahaya yang selalu ada—cahaya yang diberikannya kepada dunia, cahaya yang tidak akan pernah padam.
“Terima kasih,” bisik Alaric ke angin malam. “Terima kasih telah mengajariku untuk menemukan cahaya dalam diriku sendiri.”
Selyara tidak muncul malam ini, tetapi Alaric tahu ia tidak perlu hadir lagi untuk mengingatkan dirinya akan segala pelajaran yang telah ia berikan. Cinta itu tidak harus terwujud dalam bentuk yang kita inginkan, tetapi ia ada di mana-mana, dalam setiap langkah hidup, dalam setiap keajaiban alam, dalam setiap cahaya yang menerangi malam yang gelap.
Alaric tersenyum. Ia merasa seperti menemukan kembali bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi—dan dalam kegelapan malam, ia tahu cahaya bulan akan terus menyinari langkah-langkahnya, meskipun itu hanya dalam bentuk kenangan yang indah.
Cahaya itu abadi.
Tapi ya, kadang cinta emang nggak harus dimiliki, kan? Mungkin kadang kita cuma perlu ngerti kalau cinta itu bisa hidup dalam kenangan, dalam cahaya bulan yang terus bersinar meski kita nggak bisa menyentuhnya.
Jadi, walaupun Alaric nggak bisa sama Selyara, dia udah belajar banget soal arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Cinta itu nggak harus terwujud, tapi selama kita bisa tetap merasa—cinta itu akan tetap ada. Jadi, semoga kamu juga bisa nemuin cahaya kamu sendiri, entah itu di mana, entah itu dengan siapa.