Lebih dari Sekadar Kata: Arti Sebenarnya Menghormati Orang Tua dan Guru

Posted on

Pernah nggak sih kepikiran kalau selama ini kita cuma ngomong doang soal menghormati orang tua dan guru? Kayak, kita tahu kalau harus sopan, harus nurut, tapi sebenernya… udah beneran paham belum?

Nah, cerita ini bakal nunjukin kalau menghormati itu bukan cuma soal kata-kata manis, tapi lebih ke tindakan kecil yang sering kita lupakan. Siap buat dapet tamparan halus? Yuk, baca sampai habis!

 

Lebih dari Sekadar Kata

Kata yang Terlupa

Raka Bramantyo, anak laki-laki berusia lima belas tahun, dikenal sebagai siswa yang cerdas dan tajam dalam berpendapat. Ia bukan anak yang kasar, hanya saja, sikapnya sering dianggap kurang sopan. Jika seorang guru memberi pendapat yang menurutnya tidak masuk akal, ia tidak ragu untuk membantah. Jika ibunya menyuruhnya melakukan sesuatu yang menurutnya sepele, ia sering menunda atau bahkan lupa. Baginya, menghormati bukan berarti selalu menurut.

Hari itu, di kelas Bahasa Indonesia, Bu Lestari berdiri di depan kelas dengan wajah teduh seperti biasa. Guru yang berusia sekitar lima puluh tahun itu dikenal sabar dan penyayang, meski tetap tegas dalam mengajar. Ia menuliskan sesuatu di papan tulis dengan kapur putih, kemudian berbalik menghadap para muridnya.

“Tulis esai satu halaman. Tema: Orang yang paling kamu hormati.”

Sebagian besar murid mengangguk paham, beberapa mulai membolak-balik buku catatan untuk mencari inspirasi. Tapi Raka hanya duduk bersandar, menatap tulisan di papan tulis dengan sedikit kebingungan.

“Boleh tentang siapa aja, Bu?” tanya seorang murid perempuan dari bangku depan.

“Ya, boleh. Bisa tentang orang tua, guru, atau siapa pun yang menurut kalian layak untuk dihormati,” jawab Bu Lestari sambil tersenyum.

Raka menghela napas. Ia mengerti maksud tugas ini, tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya—apakah benar ada seseorang yang benar-benar ia hormati? Ia sayang pada ayah dan ibunya, tapi apakah ia benar-benar menganggap mereka sebagai sosok yang patut dikagumi? Rasanya, mereka hanya orang biasa yang kebetulan menjadi orang tuanya.

Di belakangnya, Zhafran, teman sekelasnya yang terkenal kalem dan santun, sudah mulai menulis dengan tekun. Raka meliriknya sekilas sebelum kembali menatap kertas kosong di mejanya.

“Kenapa, Ra?” tanya Zhafran pelan.

“Nggak tahu mau nulis siapa,” gumam Raka jujur.

Zhafran tersenyum kecil. “Kamu nggak hormatin siapa pun?”

“Bukan gitu, cuma… aku ngerasa mereka biasa aja. Aku nggak pernah mikir soal ini sebelumnya,” jawab Raka sambil memutar bolpoin di jarinya.

Zhafran tidak membalas, hanya kembali fokus menulis.

Akhirnya, setelah berpikir cukup lama, Raka mulai menulis tentang ayahnya. Tapi tulisan itu terasa hambar, hanya sekadar memenuhi tugas.

Saat bel berbunyi, semua murid mengumpulkan esai mereka di meja Bu Lestari sebelum keluar kelas. Raka menyerahkan kertasnya tanpa berpikir lebih jauh. Baginya, tugas ini hanya satu dari sekian banyak tugas yang harus ia kerjakan.

Namun, ia tidak tahu bahwa esai itu akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya.

 

Esai Zhafran

Keesokan harinya, kelas berlangsung seperti biasa. Murid-murid mengobrol di bangku mereka sebelum pelajaran dimulai. Beberapa sibuk membahas hasil tugas Matematika, sementara yang lain asyik bercanda. Raka duduk di bangkunya, mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil menunggu Bu Lestari masuk.

Tak lama, Bu Lestari tiba dengan tumpukan kertas esai di tangannya. Begitu berdiri di depan kelas, beliau tersenyum.

“Aku sudah membaca semua esai kalian,” katanya sambil menepuk-nepuk lembaran di tangannya. “Dan ada beberapa yang sangat bagus. Hari ini, aku akan membacakan salah satunya.”

Beberapa murid langsung menegang, sebagian lagi tersenyum penuh percaya diri, berharap esai mereka yang akan dibacakan. Raka hanya menghela napas pelan, tidak terlalu peduli.

Bu Lestari menarik satu kertas dari tumpukan dan mulai membaca.

“Orang yang paling aku hormati adalah ayahku. Beliau bukan orang yang punya banyak uang, bukan orang yang terkenal. Tapi dia selalu pulang dengan keringat bercucuran dan tetap tersenyum. Setiap pagi, dia memastikan aku berangkat sekolah dalam keadaan kenyang. Aku tahu hidupnya tidak mudah, tapi dia tidak pernah mengeluh.”

Kelas hening. Beberapa murid mulai menoleh, penasaran siapa pemilik esai itu.

“Aku ingin membalas semua yang telah dia lakukan untukku. Bukan hanya dengan nilai yang bagus, tapi juga dengan sikap yang bisa membuatnya bangga. Karena aku sadar, seberapa tinggi pun ilmu yang aku punya, itu tidak ada artinya kalau aku tidak tahu bagaimana caranya menghormati orang yang telah membesarkan aku.”

Raka terdiam. Ada sesuatu dalam tulisan itu yang membuat dadanya terasa aneh. Ia melirik ke arah Zhafran, yang duduk dengan tenang tanpa ekspresi berlebihan.

“Esai ini ditulis oleh Zhafran,” kata Bu Lestari sambil tersenyum. “Aku bangga membacanya. Bukan karena kata-katanya indah, tapi karena maknanya begitu dalam.”

Beberapa murid mulai bertepuk tangan. Zhafran hanya tersenyum kecil, lalu mengangguk sopan.

Tapi bagi Raka, bukan tepuk tangan itu yang membuatnya diam. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.

Sejak kecil, ia selalu menganggap orang tua sebagai bagian dari hidupnya, bukan sesuatu yang harus dipikirkan terlalu dalam. Tapi tulisan Zhafran seakan menamparnya.

Selama ini, apakah ia benar-benar menghormati orang tuanya? Atau hanya menganggap mereka sebagai orang yang memang seharusnya ada di sisinya?

Pikirannya terus melayang sepanjang hari, membuatnya lebih diam dari biasanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa tugas yang ia anggap remeh justru membuka matanya lebih lebar.

 

Sebuah Perubahan Kecil

Raka pulang lebih awal hari itu. Tidak seperti biasanya yang langsung naik ke kamar, ia memilih duduk di ruang tamu, memperhatikan ibunya yang sibuk di dapur. Tangannya gesit mengiris sayur, sesekali mengaduk panci di atas kompor.

“Udah pulang, Nak?” suara lembut ibunya terdengar tanpa menoleh.

“Iya,” jawab Raka singkat. Biasanya, ia hanya menggumam atau langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Tapi kali ini, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

Ia terdiam sejenak, memperhatikan ibunya lebih lama dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Baru sekarang ia sadar—kerutan di sekitar mata wanita itu semakin dalam, gerakannya tidak secepat dulu, dan ada kelelahan di wajahnya yang selama ini tidak pernah benar-benar ia perhatikan.

“Bu,” panggilnya pelan.

Ibunya menoleh, sedikit terkejut karena jarang sekali Raka memulai percakapan lebih dulu. “Kenapa, Nak?”

“Kenapa Ibu nggak pernah istirahat?” tanyanya spontan.

Ibunya tersenyum tipis. “Ya namanya juga ibu rumah tangga, Nak. Kalau nggak masak, nanti kamu makan apa?”

Raka mengangguk pelan. Selama ini, ia tidak pernah benar-benar memikirkan hal seperti itu. Makan malam selalu tersedia, seragamnya selalu rapi setiap pagi, dan rumah selalu bersih. Tapi ia tidak pernah bertanya, seberapa lelah ibunya setiap hari?

Dari dapur, terdengar suara pintu depan terbuka. Ayahnya pulang, membawa tas kerja dan wajah lelah yang berusaha ia sembunyikan.

“Raka udah pulang, ya?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

Raka mengangguk. Ayahnya duduk di sofa, menghela napas panjang sebelum menatap ibunya.

“Kamu belum istirahat?”

“Nanti aja kalau udah selesai masak.”

Ayahnya mengusap wajahnya pelan, lalu tanpa banyak bicara, ia berdiri dan menuju dapur. Raka memperhatikan saat ayahnya mengambil pisau dan mulai membantu memotong sayur tanpa diminta.

Ibunya terkekeh pelan. “Kamu kan udah capek kerja, Pak.”

“Capek sih capek, tapi kalau kita kerjain bareng kan lebih ringan,” jawab ayahnya santai.

Raka terdiam. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Sebuah kesadaran perlahan menyelinap ke dalam pikirannya.

Selama ini, ia selalu berpikir bahwa orang tua memang seharusnya bekerja keras untuk anak mereka. Tapi kini ia melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda. Mereka bukan robot yang diciptakan untuk melayaninya. Mereka manusia—dengan rasa lelah, kekhawatiran, dan cinta yang tidak pernah mereka ungkapkan dengan kata-kata.

Malam itu, sebelum tidur, ia menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya mengetik pesan singkat.

“Zhaf, makasih.”

Tidak butuh waktu lama sampai pesan balasan masuk.

“Makasih buat apa?”

Raka tersenyum kecil.

“Buat esai kamu.”

Tidak ada balasan setelah itu, tapi Raka tidak keberatan. Untuk pertama kalinya, ia merasa telah menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar tugas sekolah. Sebuah pemahaman kecil yang perlahan mengubah cara ia melihat dunia.

 

Bukan Sekadar Kata-kata

Pagi itu, di sekolah, Raka datang lebih awal dari biasanya. Langkahnya lebih ringan, pikirannya lebih jernih. Ia berjalan melewati koridor menuju kelas dan langsung melihat Zhafran duduk di bangkunya, membaca buku seperti biasa.

Raka menarik kursinya dan duduk di sebelah Zhafran.

“Pagi, Zhaf.”

Zhafran menutup bukunya dan menoleh, sedikit heran. Biasanya, Raka tidak pernah menyapanya lebih dulu.

“Pagi.”

Raka menatap meja sebentar, mencari kata yang tepat. “Aku baca esai kamu lagi tadi malam.”

Zhafran menaikkan alisnya. “Terus?”

Raka menghela napas sebelum tersenyum kecil. “Aku ngerti maksudnya sekarang.”

Zhafran tidak langsung menjawab, tapi ada perubahan di matanya. Seolah-olah ia tahu apa yang dimaksud Raka, tapi memilih untuk membiarkan temannya itu berbicara lebih dulu.

“Dulu aku pikir menghormati orang tua itu cuma tentang ngomong sopan, nurut kalau mereka nyuruh sesuatu.” Raka bersandar di kursinya. “Tapi sekarang aku sadar… itu lebih dari sekadar kata-kata.”

Zhafran tersenyum tipis. “Terus?” tanyanya lagi, seperti menguji sejauh mana pemahaman Raka berkembang.

“Aku baru sadar kalau mereka juga manusia. Mereka capek. Mereka bisa sedih, bisa kesepian.” Raka mengusap tengkuknya, sedikit canggung. “Aku udah lama nggak ngobrol beneran sama orang tuaku. Selama ini, aku cuma nerima apa yang mereka kasih tanpa pernah mikirin perasaan mereka.”

Zhafran menutup bukunya, kini memperhatikan Raka dengan lebih serius. “Terus sekarang kamu mau gimana?”

Raka tersenyum kecil. “Aku mau mulai dari hal kecil.” Ia menatap jendela kelas, matahari pagi masuk ke dalam ruangan dengan lembut. “Aku bakal belajar dengerin mereka, bukan cuma sebagai orang tua, tapi juga sebagai manusia.”

Zhafran terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Bagus kalau gitu.”

Kelas mulai ramai, murid-murid lain berdatangan, dan pelajaran pertama pun dimulai. Hari itu, tidak ada hal yang terlalu berbeda. Tapi bagi Raka, dunia sudah terasa sedikit berubah.

Saat pulang, bukannya langsung masuk ke kamar seperti biasa, ia memilih duduk di ruang tamu bersama ibunya, menemaninya mengobrol sambil membantu melipat pakaian. Malam harinya, ia menawarkan diri untuk membantu ayahnya mencuci mobil.

Tidak ada kata-kata besar yang diucapkan, tidak ada momen dramatis yang terjadi. Tapi dalam perubahan kecil itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh—rasa hormat yang lebih dari sekadar ucapan, melainkan tindakan nyata.

Karena menghormati bukan hanya soal berbicara sopan. Tapi juga tentang memahami, mendengarkan, dan berusaha meringankan beban mereka, meski hanya sedikit.

 

Kadang kita sibuk banget mikirin dunia kita sendiri sampai lupa, orang tua dan guru juga punya rasa capek, sedih, dan butuh dihargai.

Bukan cuma lewat kata-kata sopan, tapi juga lewat perhatian kecil yang bisa bikin mereka ngerasa nggak sendirian. So, setelah baca ini, coba deh pikirin… udah beneran menghormati mereka atau masih setengah-setengah?

Leave a Reply