Daftar Isi
Pernah nggak sih merasa cinta itu nggak selalu tentang berakhir bahagia? Langkah yang Tak Pernah Pulang adalah cerita yang bakal bikin kamu mikir dua kali tentang arti sebuah perjalanan cinta. Di sini, kamu bakal diajak menyelami bagaimana sebuah hubungan yang penuh penyesalan, keberanian, dan perjalanan panjang bisa membentuk cinta yang nggak mudah untuk dimiliki.
Kisah Ardhvara dan Alandra nggak cuma soal perpisahan, tapi juga tentang menemukan kekuatan dalam menerima kenyataan dan berani melangkah meski takut. Siap untuk ikut merasakan bagaimana cinta bisa jadi sesuatu yang lebih dari sekadar bahagia? Yuk, simak cerita lengkapnya dan temukan makna cinta yang sesungguhnya!
Langkah yang Tak Pernah Pulang
Di Bawah Ketapang yang Diam
Kota Lumaji tidak pernah ada dalam daftar impian siapapun. Terletak di antara pegunungan yang sering mendidih oleh gempa kecil, kota itu hidup dengan tenang, bahkan cenderung terabaikan. Hujan datang lebih sering daripada sinar matahari, dan malam di sana tiba lebih cepat dari jam di dinding.
Di jalan utama yang kini dipenuhi puing dan genangan, sebuah posko darurat berdiri miring, terpalnya ditiup angin dari barat. Bau lumpur basah bercampur solar dan mi instan mengambang di udara. Di tengah semua kekacauan itu, seseorang muncul dari balik kabut pagi.
Alandra Kirana, perempuan muda yang matanya menyimpan terlalu banyak hal untuk usia yang baru dua puluh tujuh. Bahunya berat, bukan karena ransel besar yang menempel di punggungnya, tapi karena waktu dan keputusan yang dipikulnya. Ia datang sebagai relawan medis, bukan karena merasa heroik, tapi karena ingin menjauh dari dunia yang terlalu gaduh.
Ia berdiri mematung di depan posko yang hampir rubuh itu, mengamati dengan kening berkerut. Di tangannya ada peta kusut, dan di matanya ada pertanyaan. Namun sebelum sempat bertanya, seseorang menghampirinya dari sisi kanan.
Pria itu membawa kotak perkakas dan bau bensin di jaketnya. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan bekas luka samar terlihat di pelipisnya. Ia tidak tampak seperti relawan, lebih seperti seseorang yang sudah terlalu lama berada di medan yang sama dan kelelahan untuk peduli.
“Ini posko utamanya?” tanya Alandra, suaranya ragu.
Pria itu menatapnya singkat, lalu mengangguk. “Iya, tapi nggak utuh lagi. Kena hujan semalam, tiangnya geser.”
Alandra menghela napas, melipat petanya, lalu mendekat. “Kamu kerja di sini?”
“Bisa dibilang gitu. Aku bantu-bantu listrik sama air. Nama kamu siapa?”
“Alandra. Medis dari yayasan Tanah Biru.”
Pria itu meletakkan kotak perkakas di tanah, lalu menjulurkan tangan. “Ardhvara.”
Jabat tangan mereka sebentar, lalu terputus oleh suara ambulans yang meraung dari arah bawah. Alandra memalingkan wajahnya, memperhatikan sejenak, lalu kembali menatap pria di depannya.
“Kamu tahu di mana tempat cuci tangannya?” tanyanya.
“Rusak. Kalau mau, aku bisa bantu betulin nanti sore.”
Alandra tersenyum tipis. “Aku udah dengar orang sini suka bilang ‘nanti sore’, tapi kadang sore itu dua minggu lagi.”
Ardhvara tertawa kecil, pertama kalinya sejak pagi. “Kalau aku janji sore, pasti sore.”
Hari itu, mereka hanya saling berpapasan. Tapi entah mengapa, setiap langkah Alandra ke sudut posko, bayangan Ardhvara tidak pernah jauh. Ia selalu muncul, entah sedang memperbaiki kabel yang menjuntai, atau menambal ember bocor untuk penampungan air. Ia tak bicara banyak, tapi setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia tahu bagaimana cara bertahan di tempat yang tak mengenal kenyamanan.
Sore itu, hujan turun lagi. Alandra duduk di bawah pohon ketapang besar yang berdiri angkuh di pinggir jalan, tempat satu-satunya sinyal bisa ditangkap. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, tapi tidak ada pesan yang masuk. Hanya satu bar sinyal dan satu hati yang sedang mencoba lupa.
“Aku pikir kamu udah kabur ke kota,” suara Ardhvara terdengar dari balik gerimis.
Alandra menoleh. Pria itu membawa termos dan dua gelas plastik. Ia duduk tanpa permisi di sampingnya, menyodorkan salah satu gelas. “Jahe. Bikin sendiri.”
“Aku suka jahe,” jawab Alandra pelan.
“Kelihatan dari caramu minum, pelan-pelan banget.”
Alandra menyipitkan mata, “Kamu ngamatin aku ya?”
“Dari tadi pagi. Kamu orang baru paling rame di posko.”
Diam sejenak. Hujan menari-nari di dedaunan ketapang. Jalanan sepi, hanya sesekali dilalui motor dengan bunyi knalpot pecah. Di antara mereka, suara dunia seakan menghilang. Hanya ada dua cangkir jahe, dua tubuh yang kelelahan, dan satu percakapan yang belum tahu akan ke mana.
“Kamu udah lama di sini?” tanya Alandra.
“Dua tahun. Awalnya cuma mau bantu pas gempa yang dulu. Tapi aku nggak pernah balik.”
Alandra menoleh, menatapnya lekat. “Kenapa?”
Ardhvara mengangkat bahu. “Nggak semua orang punya alasan buat pulang.”
Dan sejak malam itu, pohon ketapang menjadi saksi awal dari kisah yang akan menguji batas kesabaran dan kejujuran. Mereka bukan dua orang yang sempurna, tapi mereka bertemu di waktu yang paling jujur—saat masing-masing tidak sedang berpura-pura kuat.
Mereka belum saling menyukai. Belum ada rindu atau pelukan. Tapi sesuatu tumbuh perlahan, di antara celah waktu dan percakapan seadanya. Dan dalam diam, pohon ketapang itu menyimpan semuanya, tak banyak bicara, seperti Ardhvara.
Seperti cinta yang belum sempat diberi nama.
Sepasang Mata, Seribu Luka
Hari-hari berjalan dengan cepat di kota Lumaji. Setiap pagi, Ardhvara dan Alandra menjalani rutinitas yang tak banyak berubah. Mereka bertemu di posko yang makin ramai dengan bantuan relawan, memulai pekerjaan mereka masing-masing, dan berpisah tanpa banyak kata. Namun, meskipun tak banyak bicara, setiap pertemuan mereka seakan menjadi satu potongan puzzle yang pelan-pelan mulai membentuk gambar yang tidak mereka mengerti.
Suatu sore, setelah hujan reda, Ardhvara duduk di depan posko, menatap langit yang cerah. Angin sore mengusir sisa-sisa hujan yang menggantung di udara. Alandra keluar dari ruang medis, masih dengan pelindung rambut yang tersisa di lehernya, menghapus keringat dari dahinya dengan ujung jari.
“Akhirnya hujan berhenti,” ujar Alandra sambil duduk di samping Ardhvara.
“Ya, udah lama juga nggak hujan sekeras ini. Tapi entah kenapa, aku nggak pernah bosen sama cuaca di sini,” jawab Ardhvara sambil menyandarkan tubuhnya pada tembok, menikmati sejuknya udara sore yang jarang datang.
Alandra tersenyum, menatap ke arah horizon yang perlahan berubah merah karena matahari terbenam. “Kota ini aneh ya. Rasanya kayak masih nggak tahu arah. Tapi aku suka, ada ketenangan di sini.”
“Ketika sudah terjebak di tempat seperti ini, kadang ketenangan lebih berharga daripada semua kenyamanan di luar sana,” Ardhvara berkata dengan suara yang lebih dalam dari biasanya, seolah menyimpan banyak hal yang tak bisa dia ungkapkan.
Alandra menoleh padanya, namun tak menemukan penjelasan lebih lanjut di mata pria itu. “Tapi kadang ketenangan itu malah jadi menakutkan,” jawab Alandra, suaranya lebih pelan. “Saat semuanya diam, kamu jadi punya lebih banyak waktu untuk berpikir… tentang apa yang hilang.”
Kata-kata itu menggantung di udara, seolah memancing Ardhvara untuk mengungkapkan sesuatu. Tapi dia hanya diam, menarik napas panjang.
“Apakah kamu pernah merasa bahwa ada bagian dari diri kamu yang hilang, Ardhvara?” tanya Alandra lagi, sedikit tersenyum.
Pria itu menatapnya, untuk pertama kalinya dengan pandangan yang sedikit lebih terbuka. “Tentu saja. Semua orang pernah merasa begitu, kan?”
Alandra mengangguk perlahan. “Tapi bagaimana kalau kita nggak bisa menemukannya lagi? Bagaimana kalau bagian yang hilang itu benar-benar hilang, dan kita nggak tahu harus ke mana mencarinya?”
Ardhvara menundukkan kepala, memerhatikan ujung sepatunya yang sudah sedikit kumuh. “Kadang, aku merasa seperti itu. Seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku nggak tahu ke mana mencarinya. Mungkin itu sebabnya aku nggak pernah benar-benar bisa ‘pulang’.”
Alandra terdiam. Kalimat itu seperti menyentuh bagian terdalam dari dirinya, menyentuh kenangan yang belum sepenuhnya ia pahami. “Pulang?” tanya Alandra, suaranya lembut.
Ardhvara tersenyum kecut. “Iya. Pulang. Ada banyak hal yang harus aku hadapi sebelum bisa benar-benar pulang ke rumah. Mungkin karena itu aku memilih tetap di sini. Di kota yang gak akan pernah tanya banyak hal.”
Alandra tidak menjawab, hanya menatap pria itu. Sesuatu di matanya—sebuah keraguan atau ketakutan yang sulit dipahami—membuat hati Alandra bergetar. Ia tahu, bahwa Ardhvara menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang dia tunjukkan. Rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat di balik ketenangannya. Dan Alandra, tanpa sadar, mulai ingin tahu lebih banyak.
Keesokan harinya, saat mereka bekerja, perasaan itu semakin jelas. Alandra bisa merasakan perbedaan. Ketika Ardhvara berbicara, ia tidak hanya sekadar menjawab pertanyaan. Ia menyembunyikan lebih banyak hal dalam kalimatnya. Dan setiap kali Alandra mencoba untuk menggali lebih dalam, ada dinding yang terbentuk di antara mereka, dinding yang tidak bisa ditembus dengan mudah.
Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai dan malam menyelimutinya dengan dingin, Alandra berdiri di depan posko, menatap langit malam yang gelap. Tiba-tiba, Ardhvara datang, membawa secangkir kopi hangat.
“Aku pikir, malam ini cukup tenang buat kita beristirahat,” kata Ardhvara, menyodorkan kopi kepada Alandra.
Alandra menerimanya, tetapi matanya tetap tertuju pada bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan. “Tapi ada banyak hal yang belum selesai, kan?” katanya pelan.
Ardhvara menatapnya, lalu mengangguk. “Memang. Tapi kadang, kita cuma bisa belajar untuk menerima apa yang ada.”
“Dan bagaimana jika apa yang ada itu justru bukan yang kita inginkan?” tanya Alandra, suara lirihnya memecah kesunyian malam.
Ardhvara tersenyum tipis, lalu menatap ke depan, jauh ke dalam malam yang gelap. “Kamu bisa mencoba untuk mencari yang lain. Atau… kamu bisa mencoba untuk menerima kenyataan.”
Alandra merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Kata-kata Ardhvara bukan sekadar tentang hidup di kota ini. Ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membungkam semua kegelisahan yang ia pendam. Sesuatu yang berusaha ia pahami, namun tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Terima kasih,” jawab Alandra akhirnya, meskipun ia tahu, jawaban itu tak cukup untuk menutupi semua pertanyaan yang berputar di kepalanya.
Alandra dan Ardhvara berdiri dalam diam, hanya ada suara angin malam yang berdesir dan gemerisik daun ketapang. Di bawah pohon itu, dua orang yang berusaha mencari arti dari segala luka dan kehilangan, tak tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
Kata Maaf yang Tak Pernah Cukup
Pagi itu, kota Lumaji diselimuti kabut tebal yang membungkus setiap sudut dengan diam. Angin dingin menggigit kulit, membawa aroma tanah yang masih basah. Di posko, suasana lebih ramai dari biasanya. Relawan baru berdatangan, dan sebagian dari mereka langsung sibuk mengatur logistik dan peralatan medis.
Alandra berdiri di depan meja medis, menyusun peralatan dengan rapi. Wajahnya sedikit letih, meski ia berusaha menutupi dengan senyuman tipis. Ardhvara, yang biasanya terlihat tenang dan tak banyak bicara, kali ini tampak lebih tertekan. Matanya yang biasanya tampak jernih, kini terlihat penuh dengan kegelisahan.
“Apa yang terjadi?” tanya Alandra tanpa menoleh, suaranya lembut namun penuh perhatian.
Ardhvara terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Ada hal-hal yang nggak bisa diselesaikan begitu saja. Terlalu banyak yang sudah aku buat jadi berantakan,” jawabnya pelan, seakan berat untuk mengungkapkan.
Alandra menatapnya dengan hati-hati. Sudah beberapa kali ia merasakan ada sesuatu yang mengganjal di hati Ardhvara, tapi kali ini, ia merasa bahwa itu lebih dari sekadar penundaan. Ada keraguan dalam sikapnya, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kejadian sehari-hari.
“Apa maksudmu?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Ardhvara menarik napas panjang, menatap ke lantai sejenak, lalu menatap Alandra. “Aku… pernah melakukan kesalahan besar. Dulu, sebelum aku datang ke sini. Kesalahan yang seharusnya nggak aku buat. Tapi aku memilih kabur dari semuanya.”
Alandra terkejut mendengar pengakuan itu. Meski ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap Ardhvara, ia tak pernah menduga bahwa pria itu menyimpan luka begitu dalam.
“Apa kesalahan itu?” Alandra bertanya hati-hati, meski ada rasa takut yang tumbuh di dadanya.
Ardhvara menunduk, menatap tangannya sendiri seolah ada sesuatu yang tak ingin ia lihat. “Aku meninggalkan seseorang. Seseorang yang seharusnya aku perjuangkan. Aku meninggalkannya tanpa penjelasan, tanpa kata maaf. Dan sampai hari ini, aku nggak tahu bagaimana cara meminta maaf.”
Alandra terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Meski ia tahu Ardhvara bukan pria yang mudah dibaca, ia tidak menyangka bahwa ada luka sebesar itu yang disembunyikan. Tetapi ia juga tahu, bahwa kata-kata yang terlambat tak bisa menghapus segala rasa sakit yang sudah terjadi.
“Tidak ada kata maaf yang cukup untuk menebus hal seperti itu, Ardhvara,” kata Alandra, suaranya lembut namun tegas. “Kadang, luka yang kita buat terlalu dalam untuk bisa sembuh hanya dengan kata-kata. Kamu perlu lebih dari itu untuk memperbaikinya.”
Ardhvara mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku bahkan nggak tahu apakah dia masih ada di sana, atau apakah dia masih ingin mendengar kata-kataku.”
Alandra memandang Ardhvara dengan penuh empati, namun ada sesuatu dalam dirinya yang mulai merasa bingung. Ia tahu perasaan cinta dan penyesalan itu berat, tapi ia juga merasa ada sesuatu yang belum terungkap antara mereka berdua.
“Tapi apakah itu alasan kamu memilih untuk tinggal di sini?” tanya Alandra, suaranya bergetar. “Apakah kamu berlari dari kesalahanmu dengan tinggal di kota ini?”
Ardhvara menatapnya lama. Ada ketenangan di mata pria itu, meskipun dalam hati Alandra, ia tahu bahwa pria itu tengah bergulat dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kenyamanan kota kecil ini.
“Aku nggak tahu,” jawab Ardhvara akhirnya, suaranya rendah. “Mungkin. Mungkin aku lari. Mungkin aku memang takut menghadapi apa yang sudah aku buat. Dan aku nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk kembali dan memperbaikinya.”
Alandra merasakan ada sebuah jarak yang tiba-tiba terbentuk di antara mereka, meski mereka duduk berdekatan. Sebuah perasaan yang sulit diungkapkan, sebuah ketegangan yang tak terucapkan, dan sebuah kebingungan yang makin mendalam.
Mereka berdua terdiam, seakan memikirkan banyak hal yang belum sempat diungkapkan. Sesekali, mereka saling memandang, namun kata-kata tak mampu keluar. Ada terlalu banyak yang belum diselesaikan. Terlalu banyak yang belum ditemukan, terlalu banyak yang perlu diperbaiki.
Setelah beberapa menit dalam diam, Alandra akhirnya berbicara, dengan suara yang lebih lembut, namun penuh makna. “Kamu nggak perlu langsung memperbaikinya, Ardhvara. Mungkin yang kamu butuhkan sekarang bukan untuk kembali, tapi untuk menghadapi dirimu sendiri.”
Ardhvara menatapnya, matanya masih penuh dengan keraguan. “Tapi bagaimana caranya? Apa yang harus aku lakukan?”
Alandra menggigit bibirnya, berpikir sejenak. “Kadang, kamu nggak perlu melakukan apapun untuk memperbaiki semuanya. Terkadang, yang kamu butuhkan adalah waktu. Waktu untuk belajar menerima kesalahanmu dan memberi diri kamu kesempatan untuk berubah.”
Ardhvara menunduk, merenung. Ia tahu bahwa apa yang Alandra katakan ada benarnya. Tetapi perasaan bersalah itu terlalu berat, dan kata maaf itu terasa begitu kosong.
“Apa kamu yakin itu cukup?” tanya Ardhvara, masih mencari kejelasan.
Alandra menarik napas panjang, lalu menjawab dengan penuh keyakinan, “Terkadang, kata maaf itu memang nggak cukup. Tapi yang lebih penting adalah tindakan setelahnya. Itu yang akan memberi arti pada semuanya.”
Hening sejenak di antara mereka. Ardhvara menatap jauh ke luar jendela, melihat langit yang mulai gelap. Di luar sana, dunia terus berputar, dan di dalam hati Ardhvara, perjalanan yang panjang ini baru saja dimulai.
Namun untuk pertama kalinya, ada sedikit harapan yang tumbuh di sana. Harapan yang tak lagi hanya berupa kata maaf yang terlambat, melainkan sebuah kesempatan untuk memulai kembali.
Langkah yang Tak Pernah Pulang
Pagi itu, langit di atas Lumaji cerah, lebih cerah dari yang pernah mereka rasakan. Hembusan angin masih terasa dingin, tapi tidak terlalu menusuk. Di posko, suasana seperti biasa—relawan bekerja dengan giat, beberapa orang mulai merapikan tenda yang sudah sedikit rusak karena hujan beberapa hari lalu.
Namun bagi Alandra, hari itu terasa berbeda. Sesuatu yang mengganjal dalam dirinya mulai menghilang, seiring dengan keputusan yang ia buat malam sebelumnya. Ada kedamaian yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan di kota ini. Ia merasa lebih kuat, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Ardhvara berdiri di luar, di bawah pohon ketapang yang kini tampak lebih kuat dari sebelumnya, meskipun beberapa cabangnya mulai mengering. Ia menatap ke kejauhan, matanya tak lepas dari hamparan sawah yang luas.
Alandra mendekatinya, langkahnya pelan namun penuh dengan niat. Ketika Ardhvara mendengarnya, ia menoleh dengan sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis.
“Apa yang kamu lihat?” tanya Alandra, bergabung di sampingnya.
Ardhvara tersenyum tanpa banyak kata. “Memandang waktu. Seperti kita berdua. Sudah terlalu lama di sini, tapi ada rasa yang terus bertahan.”
Alandra mengangguk, merasakan berat yang sama di hatinya. “Kita berdua bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Tapi apa yang bisa kita lakukan selain terus berjalan?”
Ardhvara menatapnya lebih lama. Wajah Alandra terlihat lebih tenang, lebih matang dalam menerima kenyataan. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih lega, seolah beban yang telah lama ia pikul perlahan-lahan mulai terangkat.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih,” ujar Ardhvara, dengan suara yang lebih dalam dari biasanya.
Alandra menoleh padanya. “Untuk apa?”
“Untuk membiarkan aku menjadi siapa diriku saat ini. Untuk tidak memberi aku beban lebih, untuk tidak terus-menerus menuntutku untuk mengubah masa lalu,” jawab Ardhvara pelan.
Alandra tersenyum. “Aku tahu bahwa kamu juga sedang berjuang dengan dirimu sendiri. Kadang, yang kita butuhkan bukan seseorang untuk mengubah kita, tetapi seseorang yang bisa menerima kita apa adanya.”
Ardhvara menunduk, seolah mencerna kata-kata itu. Lalu, ia mengangkat wajahnya lagi, dan untuk pertama kalinya, ada kelegaan yang jelas di matanya. “Aku merasa… aku bisa sedikit lebih tenang sekarang.”
Alandra mengangguk pelan, merasakan bahwa mereka memang tak perlu menjadi sempurna untuk saling memahami. Mereka telah melalui banyak hal—sakit, penyesalan, kebingungan—tapi akhirnya mereka sampai pada titik ini, tempat di mana segala sesuatunya tak lagi perlu dijelaskan.
“Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?” tanya Alandra, suaranya lembut namun penuh makna.
Ardhvara terdiam beberapa saat, seolah sedang memikirkan jawabannya. Matanya menatap ke depan, ke jalan yang membelah sawah, ke arah kota yang selalu terasa begitu jauh.
“Aku nggak bisa kembali, Alandra. Aku nggak bisa mengubah apa yang sudah aku buat. Tapi aku juga nggak bisa tetap tinggal di sini selamanya,” jawabnya dengan hati-hati.
“Apa maksudmu?” tanya Alandra, matanya melekat pada wajah pria itu.
“Aku akan pergi. Pergi untuk mencari apa yang hilang. Bukan untuk meninggalkanmu atau kota ini, tapi untuk menuntaskan bagian dari diriku yang tak pernah selesai,” jawab Ardhvara, matanya penuh tekad.
Alandra terdiam, hatinya berdebar. Meski rasanya berat, ia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil Ardhvara. Ia tidak bisa lagi terjebak dalam masa lalu, dan begitu juga dengan dirinya. Mereka harus menjalani hidup mereka masing-masing, meskipun perpisahan itu terasa pahit.
“Kapan?” tanya Alandra akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
“Besok,” jawab Ardhvara singkat. “Aku nggak ingin menunda lagi.”
Alandra menarik napas dalam-dalam, mencoba menerima kenyataan itu dengan lapang dada. “Kalau itu yang terbaik untukmu, aku tidak akan menghalangi.”
Mereka berdiri bersama dalam diam, hanya ada suara angin yang berbisik pelan di antara mereka. Tak ada kata-kata lagi yang diperlukan. Hati mereka sudah saling memahami, meskipun perpisahan ini adalah sesuatu yang tak ingin mereka hadapi.
Malam itu, mereka berbicara lebih banyak. Mereka berbicara tentang hal-hal kecil, tentang masa depan, tentang harapan, dan bahkan tentang ketakutan yang mereka rasakan. Tapi yang terpenting adalah, mereka berbicara dengan jujur, tanpa ada rahasia yang tertinggal.
Esoknya, saat Ardhvara bersiap untuk pergi, Alandra menatapnya satu kali lagi. Ada rasa kehilangan, tapi juga ada rasa bangga. Mereka berdua sudah menjalani perjalanan yang berat, dan meskipun langkah mereka kini berpisah, ada satu hal yang tetap terjaga: pengertian bahwa cinta bukan selalu tentang bersama, tapi tentang memberi ruang untuk tumbuh dan berubah.
“Aku harap kamu menemukan apa yang kamu cari, Ardhvara,” kata Alandra dengan suara yang agak serak.
“Aku juga harap begitu,” jawab Ardhvara, memberikan senyum terakhir sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Langkah kaki Ardhvara menjauh, dan meskipun rasanya sakit, Alandra tahu bahwa perpisahan ini adalah akhir yang harus terjadi. Bukan karena mereka tidak saling mencintai, tetapi karena terkadang, cinta memerlukan waktu dan jarak untuk bisa ditemukan kembali.
Di bawah pohon ketapang yang masih berdiri tegak, Alandra menatap ke arah jalan yang kini kosong, dan dengan perlahan, ia mulai menerima kenyataan: bahwa tidak semua orang bisa pulang, tetapi perjalanan itu selalu membawa arti.