Langkah Terakhir di Puncak: Kisah Mendaki Gunung Prau yang Menyentuh Hati

Posted on

Langkah Terakhir di Puncak mengajak Anda menyelami perjalanan emosional Arga, seorang pemuda yang mendaki Gunung Prau untuk mengenang sahabatnya, Dimas, yang telah tiada. Dengan latar pemandangan pegunungan yang memukau, kisah ini penuh dengan detail menyentuh tentang kehilangan, persahabatan, dan pencarian kedamaian. Siapkan diri Anda untuk terhanyut dalam cerita yang menggugah jiwa, di mana setiap langkah di jalur pendakian membawa makna mendalam tentang cinta dan perpisahan.

Kisah Mendaki Gunung Prau yang Menyentuh Hati

Awal Perjalanan yang Dingin

Pagi itu, pukul 04:30 WIB, udara di basecamp Gunung Prau terasa menusuk hingga ke tulang. Kabut tipis menyelimuti area parkir yang dipenuhi tenda-tenda pendaki, dan aroma kayu bakar dari api unggun kecil bercampur dengan bau tanah basah yang khas pegunungan. Di tengah keramaian pendaki yang sibuk mengecek perlengkapan, Arga, seorang pemuda berusia 25 tahun, berdiri sendirian di dekat papan petunjuk jalur pendakian. Jaket tebalnya berwarna biru tua, sedikit lusuh karena sudah sering dipakai, dan tas carrier di punggungnya tampak penuh dengan perlengkapan untuk pendakian dua hari satu malam. Matanya, yang tersembunyi di balik topi kupluk hitam, penuh dengan campuran semangat dan kerinduan yang tak terucapkan.

Arga bukan pendaki berpengalaman. Ini adalah pendakian pertamanya setelah bertahun-tahun hanya mendengar cerita-cerita tentang keindahan Gunung Prau dari sahabatnya, Dimas. Dimas, yang selalu menjadi penyemangat dalam hidup Arga, adalah pendaki sejati. Setiap akhir pekan, Dimas akan mengirimi Arga foto-foto puncak gunung yang ia daki, dengan caption penuh semangat seperti, “Kapan kamu ikut, Ga? Puncak ini nunggu kita!” Namun, setahun lalu, Dimas pergi untuk selamanya—kecelakaan motor di jalan menuju basecamp Gunung Semeru merenggut nyawanya. Sejak saat itu, Arga merasa ada lubang besar di hatinya, dan pendakian ini adalah caranya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada sahabatnya.

Di saku jaketnya, Arga membawa sebuah gelang tali berwarna merah yang dulu dibuat oleh Dimas untuk mereka berdua. Gelang itu sederhana, dengan simpul-simpul kecil dan manik kayu kecil yang sudah sedikit pudar. “Ini gelang persahabatan kita, Ga,” kata Dimas waktu itu, tersenyum lebar. “Kalau kita naik gunung bareng, kita pake ini, biar semangatnya sama.” Kini, gelang itu adalah satu-satunya benda yang membuat Arga merasa Dimas masih ada di sisinya.

Arga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Ia bergabung dengan kelompok pendaki kecil yang dipimpin oleh seorang pemandu bernama Pak Budi, pria paruh baya dengan wajah ramah dan suara yang tenang. Kelompok itu terdiri dari lima orang: Arga, Pak Budi, sepasang suami istri muda bernama Rina dan Dito, serta seorang pendaki wanita bernama Maya yang tampak lebih berpengalaman dari yang lain. Mereka saling menyapa dengan sopan, tapi Arga lebih banyak diam, pikirannya terpaku pada kenangan bersama Dimas.

“Jalur ini nggak terlalu sulit, tapi tetap hati-hati, ya,” kata Pak Budi sambil memeriksa tali sepatu semua anggota kelompok. “Kita targetkan sampai puncak sebelum matahari terbit besok pagi. Kalau capek, bilang, jangan dipaksa.” Semua mengangguk, dan mereka mulai melangkah menuju pintu masuk jalur pendakian, di mana hutan pinus yang lebat menyambut dengan aroma segar dan suara daun yang bergoyang ditiup angin.

Langkah pertama Arga terasa berat, bukan karena jalur yang curam, tapi karena beban emosi yang ia bawa. Setiap langkah membawanya lebih dalam ke dalam kenangan. Ia teringat malam-malam ketika ia dan Dimas duduk di balkon kos mereka, memandang bintang sambil mendengarkan Dimas bercerita tentang keajaiban puncak gunung. “Di atas sana, Ga, semua masalah kayak hilang,” kata Dimas suatu malam, matanya berbinar. “Kamu cuma bisa bilang, ‘Ya Tuhan, ciptaan-Mu ini gila banget.’”

Jalur pendakian mulai menanjak, dan udara semakin dingin. Arga bisa melihat embun menempel di ujung-ujung daun pinus, berkilau lembut di bawah cahaya senter kepalanya. Di depannya, Rina dan Dito berjalan sambil bergandengan tangan, sesekali tertawa kecil saat Dito hampir tergelincir di tanah yang licin. Maya berjalan di belakang mereka, langkahnya ringan dan pasti, seolah ia sudah hafal setiap inci jalur ini. Pak Budi memimpin di depan, sesekali menoleh untuk memastikan semua baik-baik saja.

Setelah dua jam berjalan, mereka sampai di pos pertama, sebuah tanah lapang kecil dengan beberapa kayu gelondongan sebagai tempat duduk. Kelompok itu berhenti untuk beristirahat, dan Arga duduk di salah satu kayu, mengeluarkan botol air dari tasnya. Ia memandang ke arah hutan yang gelap, mendengar suara jangkrik dan angin yang bersiul di antara pepohonan. Tiba-tiba, ia merasa sangat kesepian. “Dim, kalau kamu di sini, kamu pasti udah nyanyi lagu-lagu aneh buat bikin aku takut,” gumamnya dalam hati, tersenyum kecil meski dadanya terasa sesak.

Maya, yang duduk tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Arga. “Pendakian pertama, ya?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu.

Arga menoleh, sedikit terkejut. “Iya,” jawabnya singkat, tak yakin apakah ia ingin berbagi cerita.

Maya tersenyum kecil. “Aku juga dulu takut pas pertama kali naik gunung. Tapi… entah kenapa, tiap langkah itu bikin aku merasa lebih deket sama sesuatu yang aku cari. Kamu naik gunung ini buat apa?”

Pertanyaan itu membuat Arga terdiam. Ia memandang gelang merah di pergelangan tangannya, lalu menjawab dengan suara pelan, “Buat bilang selamat tinggal… ke sahabatku.”

Maya mengangguk, tak bertanya lebih lanjut, tapi matanya penuh pengertian. Di kejauhan, langit mulai berubah warna menjadi biru tua, tanda malam akan segera tiba. Pak Budi mengajak mereka melanjutkan perjalanan, dan Arga bangkit dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Ia tahu perjalanan ini baru dimulai, tapi di dalam hatinya, ia merasa Dimas sedang menunggunya di puncak—menunggu untuk mendengar kata perpisahan yang tak sempat mereka ucapkan.

Bayang di Tengah Kabut

Pukul 06:15 WIB, langit di atas jalur pendakian Gunung Prau mulai menunjukkan kilauan lembut dari fajar yang baru menyingsing, meski kabut tebal masih membalut hutan pinus dengan lapisan putih yang misterius. Suara langkah kaki kelompok Arga bergema di antara pepohonan, bercampur dengan desau angin yang membawa aroma lembap tanah dan dedaunan basah. Jalur kini semakin menanjak, dengan akar-akar pohon yang menonjol di permukaan tanah menjadi pijakan alami yang kadang licin karena embun. Arga berjalan di belakang Maya, napasnya mulai terengah meski ia berusaha menyembunyikan kelelahan yang mulai menjalar di tubuhnya.

Tas carrier di punggungnya terasa semakin berat, dan keringat dingin bercucuran di bawah jaket tebalnya, meski udara tetap dingin. Di saku jaket, ia merasakan sentuhan gelang merah Dimas, dan itu memberinya sedikit kekuatan untuk melangkah lebih jauh. Di depannya, Rina dan Dito masih berjalan beriringan, Rina sesekali membantu Dito yang tampak kesulitan dengan jalur yang curam. Pak Budi, yang memimpin di depan, berhenti sesekali untuk mengecek arah dengan kompas kecil dan memastikan semua anggota kelompok baik-baik saja. “Masih ada dua jam lagi ke pos kedua,” katanya dengan suara tenang. “Istirahat sebentar kalau capek.”

Arga mengangguk, tapi ia memilih melanjutkan langkah, tak ingin tertinggal. Pikirannya melayang ke kenangan bersama Dimas, saat mereka pernah merencanakan pendakian ini bersama. “Kita bakal lihat sunrise dari Bukit Sikunir, Ga,” kata Dimas suatu sore, menunjukkan peta di layar laptopnya. “Katanya, pemandangannya kayak lukisan. Kita harus ke sana bareng!” Arga tersenyum kecil mengingat itu, tapi senyumnya segera memudar ketika ia teringat kecelakaan yang merenggut nyawa sahabatnya. Ia menggenggam gelang itu lebih erat, seolah itu adalah tali yang menghubungkannya dengan Dimas.

Setelah satu jam berjalan, kabut semakin tebal, membatasi jarak pandang hingga hanya beberapa meter di depan. Arga merasa seperti berjalan di dunia lain, di mana hanya suara napasnya sendiri dan langkah kaki kelompok yang terdengar. Tiba-tiba, ia tergelincir di sebuah batu licin, dan tubuhnya hampir jatuh ke sisi jalur yang curam. Maya, yang berjalan di belakangnya, dengan cepat menangkap tangannya. “Hati-hati, ya,” katanya, suaranya lembut tapi tegas. “Jalur ini licin banget kalau kamu nggak fokus.”

“Terima kasih,” jawab Arga, sedikit malu. Ia berdiri tegak lagi, menyesuaikan tasnya, dan melanjutkan langkah dengan hati-hati. Maya memandangnya sejenak, lalu bertanya, “Kamu bilang tadi naik buat bilang selamat tinggal ke sahabatmu, kan? Dia… dia juga pendaki?”

Arga menarik napas dalam-dalam, memutuskan untuk berbagi sedikit. “Iya. Namanya Dimas. Dia suka banget naik gunung. Dua tahun lalu, kita janji mau naik bareng ke Prau. Tapi… dia kecelakaan sebelum kita sempat berangkat. Aku naik sekarang buat ngelupain dia, tapi juga buat nyapa dia dari puncak.”

Maya terdiam, matanya menunjukkan empati. “Aku ngerti. Pendakian itu kadang jadi cara buat kita selesain sesuatu yang belum selesai. Aku juga pernah naik buat ngingetin diri sama adikku yang udah pergi.” Ia tersenyum kecil, lalu melanjutkan langkah, meninggalkan Arga dengan pikiran yang lebih ringan.

Sekitar pukul 08:00 WIB, mereka sampai di pos kedua, sebuah lahan terbuka dengan pemandangan samar gunung-gunung di kejauhan yang tertutup kabut. Di sini, mereka berhenti untuk makan dan istirahat. Arga duduk di sebuah batu besar, mengeluarkan roti dan termos teh hangat dari tasnya. Ia menuang teh ke dalam cangkir kecil, uapnya naik perlahan di udara dingin. Di depannya, Rina dan Dito berbagi makanan mereka, tertawa kecil saat Dito menceritakan pengalamannya yang pertama kali naik gunung. Maya duduk agak terpisah, menatap ke arah kabut dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Sambil memakan roti, Arga merasa ada sesuatu yang aneh. Angin tiba-tiba bertiup lebih kencang, membawa suara seperti bisikan lembut di antara pohon-pohon. Ia menoleh ke arah hutan, dan untuk sesaat, ia merasa melihat bayangan samar—seperti sosok Dimas yang berdiri di kejauhan, mengenakan jaket hijau favoritnya, tersenyum seperti biasa. Arga menggosok matanya, berpikir itu hanya ilusi karena kelelahan, tapi detak jantungnya berlomba. “Dim… itu kamu?” gumamnya dalam hati, air mata mulai menggenang.

Pak Budi mendekatinya, memperhatikan ekspresi Arga. “Kamu baik-baik aja, Nak?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.

Arga mengangguk cepat, menyeka matanya dengan lengan jaket. “Iya, Pak. Cuma… cuma kelelahan dikit.”

Pak Budi tersenyum paham. “Kadang, gunung ngasih kita lebih dari pemandangan, Nak. Dia ngajak kita ketemu sama diri kita sendiri, sama orang yang udah pergi. Nikmatin perjalanan ini, ya.”

Setelah istirahat selama setengah jam, kelompok melanjutkan perjalanan menuju pos tiga. Arga berjalan dengan langkah yang lebih mantap, meski pikirannya penuh dengan bayangan Dimas. Kabut mulai menipis, memberikan sedikit harapan bahwa puncak akan segera terlihat. Di dalam hatinya, ia merasa perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai puncak, tapi juga tentang menemukan kedamaian yang selama ini ia cari—kedamaian untuk melepaskan sahabatnya dengan cinta.

Ujian di Tengah Malam

Pukul 10:43 AM WIB, Kamis, 15 Mei 2024, langit di atas jalur pendakian Gunung Prau mulai terang benderang, meski sisa-sisa kabut pagi masih menempel di celah-celah pepohonan. Kelompok Arga telah meninggalkan pos kedua sekitar satu jam yang lalu, dan kini mereka berjalan menuju pos tiga dengan langkah yang semakin berat. Jalur ini lebih curam, dengan tanah yang dipenuhi akar pohon besar dan bebatuan kecil yang membuat pijakan terasa goyah. Suara angin yang bertiup kencang membawa aroma rumput liar dan tanah basah, sementara suara burung berkicau di kejauhan menambah suasana mistis pegunungan.

Arga berjalan di tengah kelompok, napasnya terdengar lebih berat dibandingkan pendaki lain. Keringat membasahi dahinya, meski udara tetap dingin, dan pundaknya terasa nyeri karena beban tas carrier yang tak ringan. Di saku jaketnya, ia sesekali menyentuh gelang merah Dimas, mencari kekuatan dari kenangan sahabatnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan samar yang ia lihat di pos kedua—sosok Dimas yang tampak tersenyum di balik kabut. Apakah itu hanya ilusi, atau benar-benar tanda dari sahabatnya? Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya, membuat hatinya bergetar antara harapan dan ketakutan.

Di depan, Pak Budi memimpin dengan langkah pasti, sesekali berhenti untuk mengecek kompas dan memastikan arah. Rina dan Dito mengikuti di belakangnya, Rina tampak sedikit pucat tapi tetap tersenyum setiap kali Dito memegang tangannya untuk menjaga keseimbangan. Maya berjalan di samping Arga, matanya tajam mengamati jalur, dan sesekali ia menawarkan bantuan dengan menunjukkan pijakan yang lebih aman. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya pada Arga, suaranya lembut tapi penuh perhatian.

“Iya,” jawab Arga, mencoba tersenyum meski napasnya tersengal. “Cuma… agak capek. Tapi aku mau lanjut.”

Maya mengangguk, lalu menawarkan botol air minumnya. “Minum dulu. Kita masih punya jarak ke pos tiga, dan nanti malem bakal lebih berat lagi kalau kamu kehabisan tenaga.”

Arga menerima botol itu dengan ucapan terima kasih, lalu minum perlahan. Air dingin itu terasa menyegarkan, memberikan sedikit kelegaan pada tenggorokannya yang kering. Ia memandang Maya sejenak, merasa ada kehangatan dalam sikap wanita itu yang mengingatkannya pada Dimas—cara Dimas selalu memastikan teman-temannya baik-baik saja sebelum dirinya sendiri.

Sore menjelang, sekitar pukul 03:00 PM WIB, mereka akhirnya sampai di pos tiga, sebuah lahan datar dengan pemandangan lembah yang samar tertutup kabut. Di sini, ada beberapa tenda lain yang sudah didirikan oleh kelompok pendaki lain, dan aroma sup kaldu hangat dari kompor portabel tercium di udara. Kelompok Arga memutuskan untuk mendirikan tenda mereka di sudut lahan, dekat sebuah pohon besar yang memberikan sedikit perlindungan dari angin. Pak Budi menginstruksikan mereka untuk membagi tugas: Rina dan Dito mengatur tenda, Maya menyiapkan peralatan memasak, dan Arga membantu Pak Budi mengumpulkan kayu bakar.

Saat mengumpulkan kayu, Arga merasa tubuhnya semakin lelah. Tangan dan kakinya terasa kaku, dan pikirannya mulai kabur karena kurang tidur sejak keberangkatan semalam. Di tengah kegelapan hutan, ia tiba-tiba mendengar suara—seperti tawa pelan yang familiar. Ia menoleh ke arah sumber suara, dan di balik pohon pinus, ia kembali melihat bayangan Dimas, kali ini lebih jelas. Dimas tampak mengenakan jaket hijau kesukaannya, tangannya memegang senter, dan wajahnya tersenyum seperti biasa. “Ga, cepet dong! Puncak nunggu kita!” suara itu terdengar samar, seolah datang dari jauh.

Arga terpaku, jantungnya berdegup kencang. “Dim…?” panggilnya pelan, tapi bayangan itu segera lenyap saat angin bertiup kencang. Ia menggosok matanya, berusaha memastikan apa yang ia lihat, tapi hanya ada kegelapan dan suara daun yang bergoyang. Pak Budi, yang sedang mengikat kayu, mendekatinya. “Kamu ngapain, Nak? Lihat apa?”

“Ng… nggak apa-apa, Pak,” jawab Arga, suaranya bergetar. “Cuma… kayak lihat sesuatu.”

Pak Budi tersenyum bijak. “Gunung ini sering bikin kita lihat apa yang ada di hati, Nak. Mungkin itu tanda dari seseorang yang kamu rinduin.”

Malam tiba dengan cepat, dan suhu turun drastis hingga mendekati nol derajat. Di dalam tenda, kelompok itu berkumpul di sekitar kompor kecil, menghangatkan diri dengan sup kaldu yang disiapkan Maya. Arga duduk di sudut, membungkuk dengan tangan yang menggenggam gelang merah itu. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Dimas, dan ia mulai merasa takut—takut bahwa pendakian ini akan membawanya pada kenyataan yang lebih menyakitkan. Tapi di sisi lain, ada dorongan aneh di dalam dirinya, seolah Dimas benar-benar ada di sana, mendorongnya untuk melangkah lebih jauh.

“Besok pagi, kita ke puncak sebelum sunrise,” kata Pak Budi, memecah keheningan. “Kalau ada yang nggak sanggup, bilang sekarang. Jalur ke puncak agak menantang.”

Arga menarik napas dalam-dalam, memandang gelang itu. “Saya mau lanjut, Pak,” katanya tegas, meski hatinya penuh ketidakpastian. Di dalam tenda yang redup, dengan suara angin yang bersiul di luar, ia merasa perjalanan ini bukan lagi tentang mencapai puncak, tapi tentang menghadapi bayangan masa lalu yang terus mengejarnya—bayangan sahabat yang ia cintai dan kehilangan.

Fajar yang Membawa Damai

Pukul 03:00 AM WIB, Kamis, 15 Mei 2024, udara di pos tiga Gunung Prau terasa lebih dingin dari malam sebelumnya, dengan suhu yang hampir mencapai nol derajat Celsius. Angin malam bersiul pelan di antara tenda-tenda yang berderet di lahan terbuka, membawa aroma tanah basah dan rumput liar yang khas pegunungan. Di dalam tenda kecil kelompok Arga, cahaya lampu senter kepala yang redup menjadi satu-satunya sumber penerangan, memantulkan bayangan samar di dinding kain tenda. Arga duduk bersila di atas sleeping bag-nya, tangannya gemetar bukan hanya karena dingin, tapi juga karena perasaan campur aduk yang membuncah di dadanya. Gelang merah Dimas tergenggam erat di tangannya, manik kayu kecilnya terasa dingin di kulitnya, seolah menjadi pengingat bahwa ini adalah saat yang ia tunggu—saat untuk mencapai puncak dan mengucapkan perpisahan terakhir.

Pak Budi, yang sudah bangun lebih dulu, membuka pintu tenda dan mengintip keluar, memastikan kondisi cuaca. “Langit cerah, nggak ada tanda hujan,” katanya dengan suara rendah agar tak terlalu mengganggu yang lain. “Kita mulai siap-siap sekarang, biar sampai puncak pas sunrise.” Nada suaranya tenang tapi tegas, penuh pengalaman dari puluhan pendakian yang sudah ia pimpin. Rina dan Dito, yang tidur di sudut tenda, mulai bergerak perlahan, menggosok mata mereka yang masih berat karena kurang tidur. Maya, yang sepertinya tak benar-benar tidur malam itu, sudah merapikan sleeping bag-nya dan mengenakan jaket tebalnya, siap untuk langkah terakhir menuju puncak.

Arga mengangguk, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia mengenakan sarung tangan wol yang sedikit longgar, pemberian Dimas dari ulang tahunnya dua tahun lalu, dan memastikan sepatu hiking-nya terikat dengan baik. Di luar tenda, ia bisa melihat bintang-bintang yang berkilauan di langit gelap, seperti permata kecil yang bertaburan di atas kepala. Udara terasa segar tapi menusuk, membuat uap putih keluar dari mulutnya setiap kali ia menghembuskan napas. Ia mengambil tongkat pendakiannya, sebuah tongkat aluminium ringan yang ia beli khusus untuk perjalanan ini, dan melangkah keluar tenda, mengikuti kelompoknya.

Jalur menuju puncak lebih menantang dari sebelumnya. Tanahnya berbatu dan licin, dengan kemiringan yang hampir 45 derajat di beberapa bagian. Senter kepala mereka memancarkan cahaya kuning pucat, menerangi jalur sempit yang dikelilingi rumput ilalang setinggi pinggang dan semak-semak kecil. Arga berjalan di belakang Maya, langkahnya hati-hati tapi tegas, meski kakinya terasa berat karena kelelahan yang menumpuk. Di depannya, Rina sesekali terdengar mengeluh pelan, “Dingin banget, Dit,” tapi Dito selalu menjawab dengan nada menenangkan, “Bentar lagi, Sayang, kita bakal lihat sunrise yang nggak bakal kamu lupain.”

Setelah hampir satu jam mendaki, mereka sampai di sebuah tanjakan terakhir yang disebut Pak Budi sebagai “Tanjakan Penutup”. Tanjakan ini curam, dengan bebatuan besar yang mengharuskan mereka merangkak menggunakan tangan untuk menjaga keseimbangan. Arga merasa napasnya semakin pendek, dan keringat dingin membasahi punggungnya meski udara sangat dingin. Di tengah tanjakan, ia tiba-tiba merasa pusing, pandangannya berkunang-kunang, dan tubuhnya goyah. Maya, yang memperhatikan gerakan Arga, segera menoleh dan memegang lengannya. “Arga, istirahat dulu,” katanya, suaranya penuh perhatian. “Jangan maksa diri, kita hampir sampai.”

Arga mengangguk, duduk di sebuah batu besar di sisi jalur, dan mengatur napasnya. Ia memandang ke bawah, melihat jalur yang sudah mereka lewati, dan tiba-tiba kenangan bersama Dimas kembali membanjiri pikirannya. Ia teringat malam terakhir mereka bersama, saat Dimas duduk di sampingnya di balkon kos, memandang langit malam sambil berkata, “Ga, kalau aku pergi duluan, janji ya, kamu naik gunung ini. Aku mau kamu lihat apa yang aku lihat.” Arga menutup matanya, air mata mengalir perlahan di pipinya yang dingin. “Aku di sini, Dim,” gumamnya dalam hati. “Aku nggak bakal nyerah.”

Setelah beberapa menit, Arga bangkit lagi, didorong oleh tekad yang membara. Dengan bantuan Maya, ia melanjutkan pendakian, langkah demi langkah, meski tubuhnya terasa seperti akan runtuh. Akhirnya, pukul 05:15 AM WIB, mereka sampai di puncak Gunung Prau—Bukit Sikunir, titik tertinggi yang terkenal dengan pemandangan matahari terbitnya. Langit di timur mulai berubah warna, dari hitam pekat menjadi gradasi biru tua, lalu perlahan menyala dengan semburat oranye dan merah muda. Di bawah mereka, hamparan awan putih terbentang seperti lautan kapas, dan puncak-puncak gunung lain—Sindoro, Sumbing, dan Merbabu—terlihat samar di kejauhan, bermandikan cahaya fajar.

Kelompok itu berhenti, terpaku pada keindahan di depan mereka. Rina memeluk Dito, matanya berkaca-kaca, sementara Dito mengeluarkan ponselnya untuk mengambil foto. Maya berdiri di samping mereka, tersenyum kecil sambil menghela napas lega. Pak Budi, yang sudah sering ke puncak ini, tetap terlihat kagum, matanya memancarkan kebanggaan karena berhasil membawa kelompoknya dengan selamat. Arga, bagaimanapun, berdiri agak terpisah, di dekat sebuah batu besar yang menghadap ke timur. Ia mengeluarkan gelang merah itu dari sakunya, memandangnya dengan penuh perasaan, lalu mengikatnya di pergelangan tangannya dengan tangan yang gemetar.

Matahari akhirnya muncul, sebuah bola api jingga yang perlahan naik dari balik cakrawala, memancarkan cahaya hangat yang menyapu puncak. Cahaya itu menyentuh wajah Arga, menghangatkan kulitnya yang dingin, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa damai. Ia menutup matanya, membiarkan angin pagi membelai wajahnya, dan berbicara dalam hati, “Dim, aku sampai. Ini puncak kita. Aku harap kamu lihat ini dari mana pun kamu sekarang. Aku kangen kamu, tapi aku janji, aku bakal hidup dengan semangat yang kamu kasih ke aku.”

Tiba-tiba, ia merasa ada hembusan angin yang lembut, seolah membawa suara tawa Dimas yang familiar. Arga membuka matanya, dan di sudut pandangannya, ia melihat bayangan samar Dimas berdiri di sampingnya, mengenakan jaket hijau kesukaannya, tersenyum lebar seperti dulu. Bayangan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum lenyap, tapi itu cukup untuk membuat air mata Arga mengalir lebih deras. Ia tersenyum di tengah tangisnya, merasa beban di hatinya terangkat. “Selamat tinggal, Dim,” katanya pelan, suaranya tenggelam dalam hembusan angin.

Maya, yang memperhatikan Arga dari kejauhan, mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Arga. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya lembut.

Arga mengangguk, menyeka air matanya. “Iya, Maya. Aku… aku akhirnya bisa bilang selamat tinggal. Makasih udah nemenin aku sampai sini.”

Maya tersenyum, matanya penuh pengertian. “Gunung ini emang ajaib, ya. Dia bantu kita nemuin apa yang kita cari.”

Kelompok itu menghabiskan waktu di puncak selama hampir satu jam, mengambil foto, menikmati pemandangan, dan berbagi cerita. Arga duduk di batu besar, memandang ke arah matahari yang kini sudah lebih tinggi, dan merasa ada kehangatan baru di dalam dirinya. Ia tahu perjalanan ini bukan hanya tentang mencapai puncak, tapi juga tentang menemukan dirinya sendiri—dan melepaskan Dimas dengan cinta yang tulus.

Saat mereka bersiap turun, Arga melirik gelang merah di pergelangan tangannya sekali lagi. Ia memutuskan untuk meninggalkan gelang itu di puncak, mengikatnya pada sebuah batu kecil sebagai tanda bahwa ia telah menyelesaikan janjinya kepada Dimas. Angin bertiup lembut, membawa gelang itu bergoyang pelan, seolah Dimas mengucapkan terima kasih dari kejauhan. Dengan langkah yang lebih ringan, Arga mengikuti kelompoknya turun, meninggalkan puncak dengan hati yang penuh kedamaian—dan cinta yang akan selalu ia bawa dalam setiap langkah hidupnya.

Langkah Terakhir di Puncak bukan hanya cerita tentang mendaki gunung, melainkan sebuah perjalanan batin yang mengajarkan kita tentang arti melepaskan dengan cinta. Kisah Arga dan Dimas mengingatkan kita bahwa kenangan terindah bisa hidup abadi di setiap langkah yang kita ambil, bahkan di tengah kehilangan. Jadilah seperti Arga, yang menemukan kedamaian di puncak, dan biarkan cerita ini menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen bersama orang-orang terkasih.

Leave a Reply