Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasain jadi tulang punggung keluarga, tapi nggak pernah minta dihargai? Nah, cerpen “Langkah Dua Perempuan” ini bakal ngena banget di hati kamu.
Cerita tentang seorang kakak yang rela ngorbanin segalanya demi adiknya bisa meraih mimpi jadi dokter. Nggak cuma bikin haru, kisah ini juga penuh makna, real, dan dekat sama kehidupan banyak orang di luar sana. Yuk, baca sampe habis—siap-siap mewek, ya!
Langkah Dua Perempuan
Tiket di Bawah Hujan
Langit sore mendung, seolah tahu apa yang akan terjadi di bawahnya. Hujan tak menunggu aba-aba. Saat jarum jam menunjuk pukul lima lebih dua belas menit, tetes pertama jatuh di atas aspal terminal yang sudah dipenuhi suara klakson, teriakan calo, dan dengungan mesin bus yang tak pernah tidur.
Liona berdiri di bawah atap seng yang bocor di ujung deretan bangku tunggu. Jaket lusuhnya basah separuh, tapi ia tetap menggenggam tiket bus erat-erat, seperti sedang memegang janji yang tak boleh terlepas.
Di sampingnya, Citra—gadis berkacamata dengan rambut dikuncir seadanya—menatapnya dengan mata yang penuh kata-kata tapi tak satu pun keluar dari mulutnya.
“Aku bisa cari kerja juga, Kak,” suara Citra akhirnya pecah, pelan tapi tegas. “Nggak harus kamu yang ninggalin semuanya buat aku.”
Liona tak langsung menjawab. Ia menghela napas, lalu menggeser sedikit tas lusuh yang digendongnya. Sepasang sepatu yang mulai terkelupas di ujung juga tak lagi bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia sudah terlalu lama menunda hidupnya sendiri.
“Kamu itu… masih punya waktu, Cit,” ucap Liona pelan, suaranya datar tapi dalam. “Kamu pintar, kamu bisa jadi apa aja yang kamu mau. Aku udah milih buat jadi apa yang kamu butuhin sekarang.”
Hujan makin deras. Air mengalir dari seng, jatuh persis di dekat kaki mereka. Bau logam, oli, dan kopi tubruk dari warung kecil di belakang mereka bercampur dengan udara lembab sore itu. Dunia seolah ikut diam, memberi ruang untuk pertarungan batin dua saudara perempuan yang berdiri di persimpangan takdir.
Citra menggeleng, matanya mulai berair. “Tapi kamu kan juga punya mimpi…”
Liona tersenyum, tipis, nyaris seperti menertawakan kenyataan yang sudah lama ia terima. “Dulu, iya. Tapi sekarang aku cuma pengen lihat kamu pakai jas putih itu, terus pulang… terus bangga cerita kalau kamu punya kakak yang waras milih jalan ini.”
“Waras?” Citra nyaris tertawa sambil menyeka air matanya. “Kamu nyiksa diri sendiri, Kak.”
“Kalau nyiksa diri sendiri bikin kamu bisa sekolah, itu bukan nyiksa. Itu bayar tiket,” jawab Liona, dan untuk pertama kalinya sejak sore itu, ia menatap mata adiknya tanpa ragu.
Bus tujuan Bekasi perlahan masuk ke dalam terminal. Suara pengeras dari petugas loket menyebutkan nomor plat dan rute dengan suara yang parau. Penumpang lain mulai berdiri, sebagian tergesa, sebagian tampak sudah pasrah akan perjalanan panjang malam itu.
Liona berdiri, meraih tas gendongnya. Ia menoleh sekali lagi ke arah Citra, lalu mendekat dan menyelipkan sesuatu ke dalam kantong jaket adiknya. “Kalau kamu lapar, jajan. Jangan pelit sama perut.”
“Aku benci ini…” gumam Citra lirih.
“Aku juga,” jawab Liona. “Tapi yang namanya jalan ke depan, kadang harus ngelewatin tempat yang kita nggak suka dulu.”
Langkah kaki Liona pelan tapi pasti. Ia menaiki tangga bus dengan kepala sedikit menunduk, seperti sedang minta maaf pada hidup karena harus memilih jalan ini. Jendela bus mulai berembun ketika Liona duduk di kursi paling belakang, tempat yang ia pilih agar bisa melihat pemandangan terakhir dari kota yang telah menyimpan terlalu banyak cerita.
Di luar, Citra berdiri kaku di bawah hujan, tak lagi peduli baju atau rambutnya basah. Ia hanya menatap bus itu pergi, membawa serta separuh dari hidupnya. Lampu belakang bus menyala merah, mengabur perlahan di antara kabut dan hujan.
Terminal kembali bising. Hujan tak reda. Tapi di bangku panjang yang tadi kosong, tertinggal sepasang bekas jejak sepatu dan serpih kehangatan yang masih menggantung di udara.
Tangan Kasar, Hati Lembut
Pabrik itu terletak di pinggiran kota yang tak dikenal siapa pun kecuali para buruh dan truk-truk pengangkut logistik. Bangunannya tinggi, dicat putih tapi sudah pudar di beberapa bagian, seperti wajah seseorang yang sudah lama berhenti tersenyum. Di sinilah Liona memulai hidup barunya—bukan dengan semangat, tapi dengan kebutuhan yang tak bisa ditawar.
Hari pertama kerja, Liona terlambat dua belas menit. Bukan karena malas, tapi karena dia harus jalan kaki tiga kilometer dari kos-kosan ke pabrik setelah menyadari sepeda mininya tak bisa dikayuh—rantainya putus saat hujan malam sebelumnya. Mandor berteriak, matanya merah seperti baru saja bertengkar dengan istri. “Telat awal-awal, awas keterusan! Gaji dipotong!”
Liona cuma mengangguk. Tidak membela diri, tidak minta maaf. Ia tahu di tempat ini, penjelasan cuma jadi alasan yang tidak penting. Tangannya langsung bekerja, menekan pedal mesin jahit tua dengan kaki, sambil memandu kulit sintetis di bawah jarum tajam. Suaranya berdengung konstan, berirama seperti napas orang yang tak bisa istirahat.
Waktu di pabrik tak berjalan seperti di luar. Di dalam sini, jam tidak terasa lambat, tapi panjang. Makan siang hanya dua puluh menit. Kadang menunya cuma nasi dan tempe goreng yang terlalu asin. Tapi Liona tak pernah mengeluh. Saat yang lain duduk di sudut ruang makan sambil mengeluh soal lembur atau gaji yang belum naik, dia malah membuka surat dari Citra—ditulis tangan di kertas bergaris, wangi bedak bayi, seperti membawa potongan rumah ke tengah panasnya mesin produksi.
“Doain aku ya, Kak. Aku mulai modul baru minggu depan. Namanya ‘anatomi sistem saraf’. Serem ya?” — begitu salah satu isi surat itu. Liona hanya tersenyum. Bukan karena lucu, tapi karena senang. Adiknya belajar tentang saraf, sementara dia makin kehilangan rasa di ujung jari karena terus menjahit sol sepatu dari pagi sampai malam.
Kos-kosan tempat ia tinggal lebih mirip gudang tua. Dindingnya lembab, suara tetangga tipis seperti kertas. Satu kamar diisi empat orang, dengan kipas angin gantung yang cuma berputar setengah hati. Teman sekamarnya—Sinta, Meri, dan Uun—semua datang dari desa yang berbeda, tapi punya cerita yang hampir sama: orang tua sakit, anak butuh biaya sekolah, atau suami kabur. Di antara mereka, Liona jarang bicara. Bukan karena sombong, tapi karena sudah terlalu banyak suara dalam kepalanya sendiri.
Malam hari, setelah semua tertidur, Liona sering duduk di depan jendela sempit yang menghadap ke gang belakang. Di sana, ia menulis balasan surat buat Citra, pakai pulpen hitam yang tintanya makin menipis. Ia tidak pernah cerita kalau telapak tangannya mulai pecah-pecah, atau betisnya nyeri karena berdiri terlalu lama. Yang ia tulis hanyalah hal-hal yang bisa bikin adiknya tersenyum. “Aku makan enak hari ini. Dapet bonus roti dari ibu kantin. Kamu jangan lupa sarapan ya.”
Dalam keheningan yang cuma ditemani bunyi tikus dan suara televisi tetangga, Liona menyelipkan surat itu ke dalam amplop cokelat. Ia tahu, mungkin surat itu akan sampai seminggu kemudian, tapi ia tak peduli. Buatnya, menulis surat itu seperti menambal bagian dari dirinya yang mulai rapuh.
Suatu malam, Sinta bertanya, “Lo nggak pengen punya hidup yang enak, Lon? Jalan-jalan, kerja di tempat bagus, beli baju baru?”
Liona diam sejenak, lalu menjawab pelan, “Gue pengen… tapi bukan buat gue.”
Dan tidak ada yang membantah. Karena saat seseorang berkata seperti itu tanpa senyum, itu bukan lagi mimpi. Itu sumpah yang udah dikunci rapat di hati.
Surat dari Citra
Udara siang di pabrik mendadak pengap, meski kipas gantung berputar kencang sampai menimbulkan bunyi berderit. Liona sedang menyelesaikan jahitan sepatu ke-186 saat suara keras dari gerobak pos terdengar di lorong depan. Beberapa pekerja menyambut gembira, berebut mencari nama mereka di antara tumpukan amplop dan bungkusan kecil.
Satu surat jatuh di dekat kakinya. Amplop putih dengan tulisan tangan yang sudah ia hafal luar kepala: Citra. Tangannya refleks mengambil, menyelipkan ke saku celana lusuh, lalu lanjut menjahit tanpa menoleh lagi. Tapi pikirannya sudah tidak di ruang itu. Setiap denting jarum mesin seolah memanggilnya untuk segera membaca isi kertas itu.
Baru malam harinya, di kamar kos yang sudah sepi, Liona membuka amplop itu dengan tangan yang sedikit bergetar.
“Kak, aku mau cerita sesuatu. Tapi kamu jangan marah, ya.”
Kalimat pembuka itu cukup buat jantungnya berdegup lebih cepat. Ia lanjut membaca pelan-pelan, kata demi kata, seolah takut melewatkan napas dari tulisan itu.
“Aku keterima program pertukaran mahasiswa ke Eropa, Kak. Enam bulan di sana. Semua dibiayai kampus. Aku bisa belajar langsung di rumah sakit, pakai bahasa Inggris. Aku kaget… terus takut… terus bingung. Aku langsung kepikiran kamu. Kalau aku pergi, artinya aku makin jauh dari kamu. Aku takut kamu makin sendirian…”
Liona berhenti membaca sebentar. Matanya tak berkedip. Di luar jendela, suara motor lalu-lalang. Jauh di kejauhan, ada suara anak-anak main petasan meski bukan malam lebaran. Tapi di dalam kamar itu, Liona cuma duduk diam, tangan menggenggam surat yang mulai bergetar.
Ia lanjut membaca.
“Aku pengen bilang ‘nggak usah’, tapi kata dosen ini kesempatan langka. Aku cuma bisa dapet ini sekali seumur hidup. Tapi aku juga ngerasa bersalah. Soalnya, Kak, aku tahu kamu yang bikin semua ini mungkin. Aku takut aku egois. Aku nulis surat ini sambil nangis.”
Helaan napas Liona panjang. Ia bersandar ke dinding, menatap langit-langit penuh tambalan kertas kalender. Ada rasa lega, ada rasa kehilangan, ada sesuatu yang nggak bisa didefinisikan dengan kata-kata.
Teman sekamarnya sudah tertidur. Di sudut ruangan, kipas berputar malas, menyebar angin yang lebih banyak membawa debu daripada kesejukan. Liona membuka laci kecil di bawah tempat tidur dan mengeluarkan satu amplop kosong. Di situlah ia menulis balasan—huruf demi huruf yang seperti memaku semua perasaan ke atas kertas.
“Cit, aku marah. Tapi bukan sama kamu. Aku marah sama hidup yang bikin kamu harus ngerasa bersalah cuma karena kamu mau maju. Aku sedih, iya. Tapi aku nggak pernah nyesel. Kamu harus pergi. Harus belajar. Harus bikin semua ini jadi berharga. Kalau nanti kamu sampai ke sana, lihat keluar jendela pesawat. Terus pikirin, semua ini bukan karena kamu lari, tapi karena aku dorong kamu buat terbang.”
Tangan Liona sempat berhenti. Ia mengedipkan mata cepat-cepat sebelum bulir airnya jatuh ke kertas. Di akhir surat, ia menambahkan satu kalimat terakhir yang ia tahu, akan menancap dalam di hati Citra.
“Kalau kamu masih takut ninggalin aku, ingat aja: aku nggak pernah pergi dari belakangmu.”
Beberapa hari kemudian, surat itu dikirim. Liona tak pernah tahu kapan pastinya surat itu sampai. Tapi ia tahu, di antara ratusan kilometer dan ribuan langkah hidup yang mereka jalani berbeda arah, benang di antara mereka tidak pernah putus. Tidak pernah akan.
Langkah yang Tak Terlihat
Musim penghujan datang lagi. Air kembali meresap ke sela-sela atap kamar kos yang belum juga diperbaiki. Liona, yang kini sudah hafal pola rembesan di langit-langit, hanya menaruh baskom plastik di tempat biasa tanpa berkata apa-apa. Tangannya tetap sibuk melipat sepatu, mengecek jahitan, dan menandai ukuran dengan spidol merah. Tidak ada yang berubah secara kasat mata—tapi waktu berjalan, dan itu terasa dari berat tubuhnya yang sedikit menyusut, serta lingkar mata yang makin dalam.
Sudah tiga bulan sejak surat terakhir dari Citra datang. Kali ini, bukan tulisan tangan, tapi cetakan email dari warnet. Bahasa Inggrisnya rapi, tapi tetap diselingi satu dua kalimat dalam bahasa Indonesia, seperti: “Aku kangen sambel pecel, Kak.” atau “Orang sini aneh, suka jalan cepet tapi senyumnya hemat.”
Liona membaca semuanya berulang-ulang. Ia tidak pernah membalas lewat email. Sebaliknya, ia tetap menulis surat tangan. Bukan karena tidak tahu cara kirim email, tapi karena baginya, tulisan tangan adalah satu-satunya hal yang belum bisa digantikan oleh mesin. Seperti kenangan, atau rasa cinta.
Pada suatu pagi yang mendung tapi tidak hujan, Liona dipanggil ke ruang administrasi. Tumit sepatunya berdetak pelan melewati lorong sempit. Di dalam ruangan itu, seorang lelaki berkemeja rapi menyodorkan surat resmi berkop universitas ternama. Surat itu ditujukan padanya.
“Kepada Liona, dengan ini kami mengundang Anda sebagai tamu kehormatan dalam acara Wisuda Mahasiswa Fakultas Kedokteran…”
Tangannya gemetar. Ia baca ulang pelan-pelan, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah paham. Di bagian bawah surat, tertulis jelas nama Citra—sudah resmi jadi dokter. Ada juga tiket kereta diselipkan di belakangnya. Liona menatapnya lama, sebelum akhirnya menunduk dan tersenyum kecil, seperti seseorang yang baru saja mendapat ucapan terima kasih setelah bertahun-tahun menunggu.
Hari wisuda itu, langit cerah. Aula besar dipenuhi karangan bunga, tawa, dan denting kamera. Liona duduk di barisan belakang, mengenakan blouse biru tua dan celana kain yang disetrika rapi. Rambutnya diikat sederhana. Ia menolak ditaruh di kursi tamu VIP. Ia hanya ingin melihat dari jauh—cukup tahu bahwa adiknya sampai di garis akhir dengan selamat.
Saat nama Citra dipanggil, ruangan riuh. Gadis itu melangkah ke atas panggung dengan jubah wisuda dan senyum yang hampir pecah karena menahan tangis. Tapi matanya tidak mencari kamera, tidak melihat dekan, tidak bahkan menoleh ke teman-temannya. Ia menoleh ke belakang, langsung ke arah Liona.
Dan saat mata mereka bertemu, keduanya tak lagi bisa menahan air mata.
Citra berdiri dengan bangga di depan semua orang, tapi semua tahu bahwa yang berdiri bersamanya… adalah seseorang yang duduk jauh di belakang. Seseorang yang jejaknya tidak pernah terekam kamera, tapi tanpa langkahnya, takkan ada panggung hari ini.
Setelah acara, mereka bertemu di luar aula. Citra langsung memeluk kakaknya erat, seolah waktu tak pernah memisahkan mereka.
“Aku bawa sepatu yang kamu bikin, Kak,” katanya sambil tertawa kecil, mata masih sembab. “Aku pakai pas presentasi terakhir. Temen-temenku ngira itu merek luar negeri.”
Liona tertawa pelan, suaranya serak. “Bilang aja, itu buatan kakak lo yang tukang jahit.”
“Bukan tukang jahit,” Citra membantah. “Kamu tukang dorong mimpi orang, Kak.”
Hari itu, mereka pulang berdua. Tidak ke rumah, tapi ke tempat yang akan mereka bangun dari awal. Liona tidak kembali ke pabrik. Ia membuka bengkel kecil, menerima servis dan pesanan sepatu. Nama tokonya? “Langkah Dua Perempuan.”
Tidak banyak yang tahu kisah di balik nama itu. Tapi di dalam setiap sepatu yang selesai dibuat, ada inisial kecil yang dijahit di bagian lidah: LC—Liona dan Citra.
Dan meski orang-orang hanya melihat satu pasang kaki yang melangkah, sebenarnya… selalu ada dua langkah yang berjalan bersama—satu di depan, dan satu di belakang, diam-diam menjaga agar langkah itu tidak pernah goyah.
Cerpen “Langkah Dua Perempuan” bukan cuma soal perjuangan, tapi tentang cinta yang nggak pernah minta balasan. Kadang, pahlawan sejati nggak pakai jubah atau gelar—mereka cuma duduk diam di belakang kita, mastiin kita nggak jatuh.
Cerita ini ngingetin kita semua bahwa setiap langkah besar pasti ada seseorang di baliknya yang rela berkorban dalam diam. Kalau kamu punya seseorang kayak Liona di hidupmu, jangan lupa bilang terima kasih… sebelum semuanya cuma tinggal kenangan.