Langkah Azura: Melepaskan Kenangan dan Menemukan Harapan Baru

Posted on

Jadi begini, ini cerita tentang Azura, cewek yang hidupnya penuh kenangan pahit, tapi diem-diem lagi belajar move on. Di tengah semua rasa kehilangan yang bikin sesak, dia ketemu sosok yang nggak cuma bantu dia ngadepin masa lalu, tapi juga ngajarin gimana caranya berdamai sama diri sendiri.

Kalau kamu lagi nyari cerita yang nggak terlalu drama tapi tetep ngena, kisah ini bakal bikin kamu mikir soal arti melepaskan dan gimana nyari harapan di tengah-tengah kekacauan hidup. Sip, yuk langsung aja baca aja!

 

Langkah Azura

Jejak yang Tersisa

Di sebuah sudut kota yang agak terpencil, di antara deretan rumah-rumah tua yang catnya sudah mengelupas, berdirilah sebuah rumah kecil. Rumah ini milik Azura, seorang wanita muda yang hari-harinya selalu dipenuhi dengan rutinitas sederhana. Dari luar, rumah ini tampak seperti sisa-sisa dari masa lalu yang perlahan-lahan menghilang di tengah zaman yang terus berkembang.

Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Azura sudah bangun dan mulai beraktivitas. Dia biasanya menyapu halaman depan rumahnya dengan penuh hati-hati. Sapu lidi yang dia gunakan sudah terlihat tua, begitu juga dengan sikapnya yang penuh perasaan setiap kali dia berusaha menjaga rumah ini tetap bersih.

“Selamat pagi, Azura! Lagi ngapain?” tanya Pak Ramli, tetangga yang umurnya sudah uzur dan selalu penasaran dengan kegiatan orang di sekitarnya. Ia melintas sambil mengangguk ramah.

Azura menoleh, memaksakan senyum yang seolah-olah sudah menjadi rutinitas pagi. “Oh, pagi, Pak Ramli. Lagi nyapu halaman. Seperti biasa. Gimana kabar, Pak?”

“Alhamdulillah baik. Cuma penasaran aja, sehari-hari kamu di rumah terus, gak ada rencana ke mana-mana?” tanya Pak Ramli sambil mengusap keringat di dahinya.

Azura menggeleng pelan. “Enggak, Pak. Cuma di sini aja. Makin lama, makin terasa sepi.”

Pak Ramli mengerutkan keningnya, lalu berkata, “Kalau ada yang perlu dibantu, jangan ragu-ragu. Kadang-kadang kita butuh juga tempat buat curhat.”

Azura hanya mengangguk sambil tersenyum. “Makasih, Pak. Aku akan ingat itu.”

Pak Ramli melanjutkan langkahnya, meninggalkan Azura yang kembali sibuk dengan rutinitasnya. Suara sapu yang menyapu daun kering beradu dengan bunyi angin yang berhembus lembut. Azura mengamati setiap sudut halaman yang sudah tidak terlalu luas itu, mencari-cari kepuasan dari sesuatu yang sederhana.

Setelah selesai menyapu, Azura masuk ke dalam rumah. Ia duduk di kursi kayu tua di ruang tamu, mengamati sekitar dengan tatapan kosong. Di dalam rumah yang tak terlalu besar ini, hanya ada sedikit barang, sebagian besar adalah barang-barang peninggalan ibunya. Ada sebuah rak kecil yang penuh dengan foto-foto lama dan barang-barang yang mengisahkan cerita masa lalu.

Sekitar pukul sepuluh pagi, Azura memutuskan untuk pergi ke pasar. Langkahnya berat, tapi dia tahu dia harus keluar dari rutinitasnya yang monoton. Di pasar, suasana tampak ramai dan penuh warna, berbeda dengan kesepiannya di rumah. Azura berjalan-jalan sambil melihat-lihat barang-barang di kios-kios kecil yang tersebar.

Tiba-tiba, dia berhenti di sebuah sudut pasar yang agak sempit. Di situ, sekelompok anak-anak berkumpul di sekitar sebuah keranjang besar yang penuh dengan barang bekas. Mereka tampak sibuk memilih-milih barang, dan ada yang tampak sangat bersemangat.

“Permisi, ada apa di sini?” tanya Azura kepada salah satu anak yang tampaknya lebih tua dari yang lain, sambil mencoba terlihat tertarik.

Anak itu menoleh dan menjawab, “Ini barang-barang sumbangan untuk keluarga yang kurang mampu. Kami lagi ngumpulin barang-barang supaya bisa dibagi-bagi.”

Azura merasa tersentuh. “Oh, jadi ini untuk mereka ya? Bagus sekali. Aku… mau ikut menyumbangkan beberapa barang dari rumah.”

Anak itu tersenyum lebar. “Wah, makasih banget, Mbak. Barang-barang dari Mbak pasti bakal sangat berarti.”

Dengan semangat yang baru, Azura pulang ke rumah dan mulai memilih barang-barang yang akan disumbangkan. Ia memeriksa setiap sudut rumah, mencari barang-barang yang sudah lama tidak digunakan. Ada beberapa pakaian lama, perabotan yang usang, dan barang-barang kecil lainnya. Namun, saat dia sampai pada sebuah kotak kecil yang usang, dia berhenti sejenak.

Kotak itu adalah peninggalan ibunya, satu-satunya barang yang sangat berharga baginya. Azura merasakan berat di dadanya. Melepaskan kotak itu berarti meninggalkan sebagian besar kenangan yang masih dia simpan. Namun, dia tahu bahwa barang-barang ini bisa membantu orang lain.

Setelah berpikir cukup lama, Azura akhirnya memutuskan untuk menyumbangkan kotak tersebut. Dia memasukkan semua barang ke dalam keranjang besar dengan hati yang campur aduk.

Hari berikutnya, saat dia pergi ke pusat sumbangan untuk menyerahkan barang-barangnya, Azura merasa sebuah dorongan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Setiap barang yang dia serahkan, termasuk kotak kecil itu, terasa seperti sebuah bagian dari dirinya yang dia lepaskan untuk kebaikan orang lain.

Dan seperti itulah, hari-hari di pasar dan di rumah Azura terus berlalu, dengan harapan bahwa tindakan kecilnya akan memberikan sedikit cahaya di tengah kegelapan yang sering kali menggelayuti hidupnya.

 

Berkumpul di Sudut Pasar

Hari ini, pasar lebih ramai dari biasanya. Azura membawa keranjang yang penuh dengan barang-barang yang sudah tak terpakai, termasuk kotak kecil peninggalan ibunya. Setiap langkahnya terasa berat, tapi ada semangat baru yang mendorongnya maju. Dia tahu, meskipun ini hanya barang-barang lama, mungkin di tangan orang lain, mereka bisa lebih berarti.

Sesampainya di sudut pasar yang sempit, tempat anak-anak biasanya berkumpul untuk mengumpulkan barang sumbangan, Azura melihat mereka lagi. Wajah-wajah kecil itu begitu ceria, seperti dunia mereka tak pernah mengenal beban. Mereka sibuk memilah-milah barang, bercanda, dan tertawa lepas. Di tengah keramaian itu, seorang pria berusia sekitar tiga puluhan dengan pakaian sederhana sedang mengarahkan anak-anak untuk menata barang-barang dengan rapi.

Azura mendekati mereka, dan salah satu anak yang dia temui kemarin langsung mengenalinya. “Mbak! Kamu datang lagi!” serunya dengan semangat.

Azura tersenyum kecil, mengangguk. “Iya, aku bawa beberapa barang lagi.”

Anak-anak mulai mengerubungi Azura, dengan wajah penuh rasa penasaran, seolah menunggu harta karun keluar dari keranjang yang ia bawa. Pria yang tadi berdiri mengawasi anak-anak juga mendekat.

“Terima kasih, Mbak… Azura, kan?” tanyanya lembut. “Saya Danu, pengurus kegiatan sumbangan ini. Saya dengar dari anak-anak, kamu sering datang membawa barang.”

Azura mengangguk pelan, merasa agak canggung berada di tengah keramaian ini. “Iya, saya cuma ingin menyumbangkan beberapa barang yang… mungkin lebih bermanfaat untuk orang lain.”

Danu tersenyum. “Setiap barang yang datang ke sini selalu bermanfaat. Dan kamu sudah banyak membantu.”

Azura mengangguk lagi, bingung harus merespons apa. Ia kemudian menunduk, membantu anak-anak memasukkan barang-barang dari keranjangnya ke dalam tumpukan barang sumbangan. Saat kotak kecil ibunya mulai diangkat, ada jeda sejenak. Azura menatap kotak itu dengan perasaan campur aduk. Danu, yang memperhatikan perubahan di wajah Azura, menatapnya dengan penuh pengertian.

“Kamu bisa tetap menyimpannya kalau itu terlalu berharga,” katanya lembut.

Azura tersentak. “Oh… tidak. Itu… sesuatu yang lama. Saya rasa sekarang sudah waktunya untuk… merelakannya.”

Mereka berdua terdiam sejenak, sebelum Azura menyerahkan kotak itu kepada salah satu anak yang langsung memasukkannya ke tumpukan barang.

“Aku tahu rasanya,” ucap Danu tiba-tiba, suaranya pelan. “Melepaskan sesuatu yang penting, yang punya banyak kenangan, itu tidak mudah.”

Azura hanya mengangguk. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Baginya, kenangan itu seperti rantai yang tak bisa diputus begitu saja, meskipun dia tahu beberapa dari mereka hanya membawa rasa sakit.

“Kadang-kadang, melepaskan adalah bagian dari penyembuhan,” lanjut Danu, suaranya lembut tapi tegas.

Mendengar kata-kata itu, Azura merasa seolah Danu bisa membaca pikirannya. “Kamu tahu banyak tentang kehilangan, ya?” tanya Azura akhirnya, sedikit ragu.

Danu menghela napas panjang. “Mungkin. Kehilangan, rasa sakit, kenangan—semuanya pernah jadi bagian dari hidup saya. Tapi justru dari situ, saya sadar kalau kita tidak bisa terus-terusan menggenggam sesuatu yang sudah lama berlalu.”

Azura menatap Danu, seolah mencari jawaban di matanya. Tapi di balik ketenangan wajah pria itu, ada kedalaman yang membuatnya semakin penasaran. Mungkin, Danu juga pernah melalui rasa kehilangan yang tak kalah beratnya.

Mereka berdua berdiri di sana, di tengah-tengah keramaian pasar yang semakin padat, namun percakapan mereka terasa begitu sunyi dan pribadi. Azura kemudian memutuskan untuk berpamitan setelah semua barangnya diterima.

“Terima kasih sudah mau menyumbang lagi. Dan… kalau kamu butuh tempat untuk bicara, atau sekedar curhat, kami selalu ada di sini,” kata Danu sambil tersenyum hangat.

Azura hanya tersenyum samar sebelum berbalik dan berjalan meninggalkan pasar. Perasaan di dalam dirinya bercampur aduk. Di satu sisi, dia merasa sedikit lega setelah melepas barang-barang yang selama ini mengikatnya pada masa lalu. Tapi di sisi lain, ada ruang kosong yang tiba-tiba terasa begitu jelas.

Saat Azura pulang ke rumah, suasana sepi kembali menyambutnya. Hening. Dingin. Tak ada suara kecuali langkah kakinya yang menggema di lantai kayu. Dia berjalan menuju rak kecil tempat barang-barang ibunya dulu berjejer. Sekarang, rak itu tampak kosong, seperti hatinya.

Azura duduk di kursi kayu tua di ruang tamu, memandangi ruangan yang tampak semakin hampa. Pikirannya melayang pada apa yang Danu katakan tadi—tentang melepaskan untuk bisa menyembuhkan. Tapi bagaimana jika yang dilepaskan itu satu-satunya hal yang membuatmu merasa masih terhubung dengan seseorang yang sudah tiada?

Sore itu, Azura membuka jendela ruang tamu. Cahaya matahari sore masuk, memberikan kehangatan yang lembut di dalam ruangan yang dingin. Mungkin, ini adalah langkah awal untuk membiarkan sesuatu yang baru masuk ke dalam hidupnya. Tapi entah mengapa, kehangatan itu belum sepenuhnya terasa.

Azura menutup jendela lagi dan menarik napas panjang. Esok, mungkin dia akan kembali ke pasar, bertemu Danu, dan siapa tahu, mungkin akan ada percakapan lain yang bisa sedikit meringankan beban di hatinya.

 

Percakapan di Bawah Langit Senja

Hari itu langit berwarna oranye kemerahan, dan Azura mendapati dirinya kembali ke pasar seperti yang ia rencanakan kemarin. Kakinya terasa ringan kali ini, seolah ada alasan baru yang mendorongnya ke sana. Bukannya terjebak dalam kenangan masa lalu, ia merasa ingin tahu lebih banyak tentang orang-orang yang ada di sekitarnya, khususnya Danu.

Ketika Azura tiba, suasana di sudut pasar tidak banyak berubah. Anak-anak masih berlarian, suara mereka menggema di antara hiruk-pikuk aktivitas pasar. Danu, seperti biasanya, sedang membantu menata barang-barang sumbangan di dekatnya. Dia terlihat fokus, tapi sesekali tersenyum saat anak-anak bercanda di sekitarnya.

Azura berjalan mendekat, dan kali ini, dia tidak membawa apapun. Dia hanya ingin berada di sana—di tengah kesibukan yang mengalihkan pikirannya dari rumah kosong dan kenangan yang terlalu sering menghantuinya.

Danu menyadari kedatangan Azura, dan sambil tersenyum ramah, dia menyapa, “Azura, apa kabar hari ini? Tidak bawa barang sumbangan lagi?”

Azura tertawa kecil. “Hari ini aku hanya datang untuk melihat-lihat. Tidak ada barang lagi yang bisa disumbangkan.”

Danu meletakkan barang yang sedang dipegangnya dan mengelap keringat di dahinya. “Kamu tidak perlu selalu menyumbang barang untuk datang ke sini. Kadang, kehadiran saja sudah lebih dari cukup.”

Azura tertegun mendengar itu. Kata-kata Danu selalu terasa tulus dan menenangkan, seolah-olah dia selalu tahu apa yang harus dikatakan di saat yang tepat.

“Kalau begitu, aku akan sering datang,” jawab Azura sambil tersenyum tipis.

Danu hanya mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Azura berdiri di sampingnya, membantu memisahkan pakaian yang layak pakai dari yang sudah usang, sambil sesekali mencuri pandang ke arah Danu. Di tengah kesibukan, perasaannya berubah. Tak lagi berat seperti sebelumnya, tapi ada kehangatan yang aneh menyelip di antara rutinitas ini.

Sore semakin menjelang, dan suasana pasar mulai sepi. Danu akhirnya berhenti bekerja dan menatap langit senja yang perlahan mulai memudar. “Senja selalu punya cara sendiri untuk bikin kita merasa damai, ya,” katanya tanpa memandang Azura.

Azura menatap langit yang sama, dengan nuansa oranye yang mulai berubah menjadi ungu dan biru gelap. “Aku suka senja,” balas Azura pelan, “selalu mengingatkanku pada sesuatu yang akan berakhir, tapi dengan cara yang indah.”

Danu tertawa kecil. “Kamu filosofis juga, ya.”

Azura tersenyum malu. “Mungkin. Atau mungkin juga, aku cuma terlalu sering sendirian di rumah, jadi mulai berpikir macam-macam.”

“Sendirian memang seringkali bikin kita berpikir terlalu dalam,” ujar Danu. “Tapi di sisi lain, itu juga saat-saat di mana kita paling jujur dengan diri sendiri.”

Azura terdiam mendengar itu. Mungkin Danu benar. Di dalam kesendirian, pikirannya selalu melayang pada hal-hal yang tak pernah ia akui kepada siapapun. Rasa rindu, kehilangan, dan ketakutan untuk benar-benar melepas masa lalu yang selama ini menghantuinya.

“Kadang-kadang aku bertanya-tanya,” kata Azura akhirnya, “apakah mungkin kita terlalu terikat pada sesuatu, sampai-sampai kita lupa bagaimana rasanya hidup tanpa itu.”

Danu menoleh, menatap Azura dengan tatapan penuh pemahaman. “Kamu masih bicara soal kotak itu?”

Azura tersenyum pahit. “Mungkin. Atau mungkin lebih dari itu. Rasanya… seolah-olah, kalau aku benar-benar melepaskan semuanya, aku juga akan kehilangan diriku sendiri.”

Danu mengangguk, matanya menerawang ke arah langit. “Aku paham. Tapi menurutku, melepaskan bukan berarti kita melupakan. Kadang, melepaskan adalah cara kita memberi ruang untuk hal-hal baru masuk ke dalam hidup kita. Hal-hal yang mungkin bisa membuat kita merasa utuh lagi.”

Azura menatap Danu, memikirkan kata-katanya. Mungkin benar apa yang dikatakan pria itu. Selama ini, dia terlalu terjebak dalam kenangan dan perasaan kehilangan, hingga tidak memberi ruang untuk sesuatu yang baru. Mungkin inilah saatnya untuk berubah, untuk belajar menerima bahwa hidup terus bergerak maju, bahkan jika itu berarti harus melepaskan apa yang pernah membuatnya merasa aman.

Mereka duduk di sana cukup lama, hanya ditemani suara angin sore yang sejuk. Tak ada kata-kata lagi yang diucapkan, tapi keheningan itu terasa nyaman, seolah-olah ada pemahaman tanpa perlu bicara.

Ketika langit mulai gelap, Danu berdiri dan menawarkan Azura untuk berjalan bersamanya ke luar pasar. Mereka berjalan berdampingan di jalan setapak yang mulai sepi. Langkah mereka lambat, seperti menikmati setiap momen yang ada.

“Sebenarnya…,” Danu mulai bicara, memecah keheningan, “aku juga punya masa lalu yang sulit untuk kulepaskan. Tapi di titik tertentu, aku sadar bahwa terus menggenggam sesuatu yang sudah tak bisa diubah hanya akan membuat kita terjebak.”

Azura menoleh, penasaran dengan cerita Danu yang selama ini tidak pernah ia duga. “Apa yang kamu lepas?”

Danu terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan. “Orang tua. Mereka meninggal ketika aku masih kecil. Dan selama bertahun-tahun, aku hidup dengan rasa bersalah karena merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk mereka. Itu kenangan yang sangat berat.”

Azura terkejut mendengar itu. Danu yang terlihat kuat dan selalu ceria di hadapan anak-anak ternyata menyimpan luka yang begitu dalam. “Aku… aku tidak tahu,” bisiknya.

Danu tersenyum kecil. “Ya, kamu tidak perlu tahu. Aku tidak sering cerita tentang itu. Tapi aku merasa, mungkin itu yang membuat kita berdua sama. Kita sama-sama berusaha melupakan masa lalu, meski cara kita berbeda.”

Azura terdiam, menatap Danu dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, dia merasa kasihan pada Danu, tapi di sisi lain, ada rasa kagum karena pria itu bisa bertahan dan bangkit dari luka yang pernah ia alami.

“Satu hal yang aku pelajari,” kata Danu lagi, “kadang, masa lalu memang tidak bisa kita ubah. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita menghadapi masa depan.”

Azura menatap langit yang sudah gelap. Mungkin, Danu benar. Mungkin sudah waktunya dia berhenti menggenggam erat masa lalu dan mulai membuka diri pada kehidupan yang ada di depannya.

Malam itu, Azura pulang dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Ada banyak hal yang masih belum ia pahami, tapi setidaknya, dia tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanannya.

 

Langkah untuk Menerima

Keesokan harinya, Azura duduk di teras rumahnya dengan secangkir kopi di tangan. Udara pagi masih segar, dan sinar matahari yang hangat menyinari halaman kecil di depannya. Pikirannya kembali melayang pada percakapannya dengan Danu kemarin. Kata-kata pria itu terus terngiang-ngiang, seolah menjadi cambuk yang membantunya menyadari bahwa hidup memang tak bisa terus-terusan dijalani dengan menggendong beban masa lalu.

Dia memutuskan untuk kembali ke pasar, tapi kali ini, bukan hanya untuk bertemu Danu. Ada sesuatu yang lebih besar yang perlu ia lakukan. Ada sebuah keputusan yang harus diambil.

Setelah sampai di pasar, suasana masih belum terlalu ramai. Anak-anak berlarian seperti biasa, dan Danu tampak sibuk dengan aktivitasnya, membantu menata barang sumbangan yang baru datang. Ketika Azura mendekat, Danu tersenyum hangat, seperti biasa.

“Azura, datang lagi? Apa kabar?” tanya Danu, menyambutnya dengan ceria.

Azura balas tersenyum. “Aku baik. Hari ini, aku bawa sesuatu.”

Danu mengangkat alis, penasaran. “Oh ya? Apa itu?”

Dengan tangan sedikit gemetar, Azura membuka tas kecil yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalamnya. Kotak itu, yang selama ini selalu ia jaga dengan hati-hati, kini berada di tangannya. “Ini… kotak kenangan keluargaku. Di dalamnya ada hal-hal yang selalu membuatku merasa terikat dengan masa lalu.”

Danu menatap kotak itu dengan pandangan penuh pengertian. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Azura melanjutkan.

“Aku sudah terlalu lama menyimpan ini,” lanjut Azura, suaranya sedikit bergetar. “Terlalu lama aku bersembunyi di balik kenangan-kenangan yang ada di dalamnya. Aku pikir, kalau aku terus memegangnya, aku akan merasa aman. Tapi ternyata, yang terjadi justru sebaliknya. Aku terus merasa terperangkap.”

Danu menatap Azura dengan tatapan lembut. “Lalu, apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”

Azura menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku ingin melepaskan ini. Aku ingin membiarkannya pergi, agar aku bisa melangkah maju.”

Sambil berkata begitu, Azura perlahan membuka tutup kotak itu. Di dalamnya, ada beberapa benda kecil yang memiliki makna besar baginya—sebuah foto keluarga, seutas pita yang dulu dipakai ibunya, dan beberapa surat kecil yang ditulis oleh ayahnya sebelum beliau meninggal. Azura memandangi benda-benda itu untuk terakhir kalinya, mengenang masa-masa bahagia sekaligus menyakitkan yang pernah ia lalui.

Dengan lembut, Azura menutup kembali kotak itu dan memandang Danu. “Aku ingin mengubur ini di sini, di tempat yang penuh kehidupan. Aku ingin kenangan ini tidak lagi hanya menjadi beban, tapi menjadi bagian dari perjalanan yang membawa aku ke masa depan.”

Danu tersenyum, kali ini lebih hangat dan penuh dukungan. “Aku akan bantu kamu.”

Mereka berdua berjalan menuju bagian taman di dekat pasar, tempat yang dipenuhi bunga dan pohon rindang. Dengan bantuan Danu, Azura menggali lubang kecil di bawah pohon besar yang teduh. Ketika lubang itu cukup dalam, Azura meletakkan kotak kenangan itu dengan hati-hati ke dalamnya.

Sebelum menutup tanah, Azura menatap kotak itu untuk terakhir kalinya. “Terima kasih untuk semuanya,” bisiknya pelan, meski tak ada yang mendengarnya kecuali dirinya sendiri.

Danu menepuk bahu Azura dengan lembut, tanda dukungan yang tak perlu diucapkan.

Setelah tanah kembali ditutup, mereka berdua duduk di bangku taman. Azura merasa ada beban besar yang terangkat dari pundaknya. Udara terasa lebih segar, dan hatinya lebih ringan daripada sebelumnya.

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Danu akhirnya.

Azura tersenyum lebar, sesuatu yang jarang ia lakukan sejak kehilangan keluarganya. “Entah kenapa, aku merasa lebih lega. Aku pikir, dengan melepaskan itu, aku juga melepaskan diriku dari rasa bersalah yang selama ini menghantuiku.”

Danu mengangguk pelan. “Itu bagus. Kadang, melepaskan bukan tentang melupakan, tapi tentang memberi diri kita kesempatan untuk bernapas lagi.”

Matahari semakin tinggi, dan pasar mulai ramai dengan aktivitas. Anak-anak kembali berlarian, suara tawa mereka mengisi udara. Azura memandang mereka dengan perasaan yang berbeda. Ada kehangatan yang menyelip di dalam dadanya, sesuatu yang selama ini jarang ia rasakan—harapan.

“Kamu tahu, Danu,” kata Azura sambil menatap pria itu, “kamu benar tentang satu hal. Aku memang harus belajar untuk menerima masa laluku, bukan menghindarinya.”

Danu tersenyum, kali ini lebih dalam. “Aku hanya memberimu sudut pandang baru. Selebihnya, kamu yang membuat keputusan itu sendiri.”

Azura mengangguk. “Mungkin. Tapi tanpa kamu, aku tidak akan punya keberanian untuk melakukannya.”

Mereka berdua duduk di sana, menikmati momen itu, tanpa perlu banyak bicara. Kini, masa depan tidak lagi tampak suram dan menakutkan bagi Azura. Sebaliknya, dia merasa siap untuk melangkah maju, tidak lagi terikat pada bayang-bayang masa lalu.

“Apa rencana kamu selanjutnya?” tanya Danu akhirnya, memecah keheningan.

Azura berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku belum tahu. Tapi yang pasti, aku tidak akan berhenti di sini. Aku akan terus mencari jalan baru untuk hidupku, mungkin dengan lebih banyak melibatkan orang lain, seperti di tempat ini.”

Danu mengangguk setuju. “Kamu selalu diterima di sini, Azura. Kamu tahu itu.”

Azura tersenyum lagi, kali ini dengan keyakinan yang lebih besar. “Terima kasih, Danu. Untuk semuanya.”

Mereka berdua saling bertatapan sejenak, sebelum akhirnya Danu berdiri dan menawarkan tangannya. “Ayo, kita kembali ke pasar. Masih banyak yang harus dikerjakan.”

Azura menerima uluran tangan itu dan berdiri. “Baiklah. Mari kita mulai babak baru.”

Mereka berjalan beriringan kembali ke pasar, meninggalkan taman di belakang. Tapi bagi Azura, taman itu sekarang bukan lagi tempat yang penuh dengan kenangan menyakitkan. Sebaliknya, itu adalah tempat di mana dia belajar untuk melepaskan, menerima, dan memulai kembali.

Dan mungkin, di bawah langit yang sama, dia tahu bahwa selama dia tidak berjalan sendirian, masa depan akan selalu memberikan harapan baru.

 

Nah, itulah kisah Azura. Dari seseorang yang terus terjebak di masa lalu, sampai akhirnya berani melangkah maju. Terkadang, kita cuma butuh sedikit dorongan dari orang yang tepat buat ngelepasin beban yang selama ini kita pikul.

Dan di setiap akhir perjalanan, selalu ada awal baru yang siap menunggu. Jadi, kapanpun kamu ngerasa hidup kamu stuck, ingat aja: mungkin kamu cuma satu langkah lagi dari harapan yang selama ini kamu cari, oke gitu aja cerita hari ini bye guys!

Leave a Reply