Langit Periode Sementara: Kisah Persahabatan Sejati yang Tak Akan Pernah Hilang

Posted on

Pernahkah kamu merasakan persahabatan yang begitu dalam, yang seolah meskipun waktu dan jarak memisahkan, kenangan tetap hidup dalam hati? “Langit Periode Sementara” adalah cerita tentang dua sahabat, Maresya dan Elhan, yang menemukan cara unik untuk terus terhubung meskipun kehidupan membawa mereka ke arah yang berbeda.

Di bawah pohon trembesi yang besar, mereka menciptakan ikatan yang lebih kuat daripada apapun yang bisa dipisahkan oleh waktu. Penasaran dengan kisah mereka? Yuk, simak bagaimana persahabatan yang tulus bisa bertahan bahkan di tengah perpisahan.

 

Langit Periode Sementara

Pertemuan di Ladang yang Tersesat

Langit di Lembah Arunika siang itu seperti kain biru pucat yang dijemur terlalu lama—panas, kering, dan sedikit membosankan. Angin cuma lewat sejenak, menyentuh pucuk ilalang lalu menghilang entah ke mana. Suara jangkrik bersahutan dari semak-semak, menyatu dengan gelegak air sungai kecil yang mengalir malas tak jauh dari ladang.

Di tengah bentangan ladang ilalang yang setinggi pinggang orang dewasa, sesosok gadis berdiri dengan kening berkerut. Topi kain yang ia kenakan miring, wajahnya tampak kesal, dan tangan kirinya memegang jurnal kecil yang sudah mulai lembab karena keringat.

“Harusnya jalan pulang ke kanan tadi, bukan ke kiri,” gumamnya kesal sambil memutar tubuh, memandangi hamparan yang tampak sama ke segala arah.

Maresya. Anak kota yang belum genap dua minggu tinggal di desa ini. Anak peneliti burung yang lebih sering memandangi langit daripada bicara dengan orang-orang sekitar. Sejak pindah, waktu senggangnya dihabiskan buat mencoret-coret jurnal dan berjalan tanpa arah, katanya untuk “mencari inspirasi.” Sayangnya, inspirasi yang dicari hari itu justru membawanya pada jalur salah—dan sekarang, ia resmi tersesat di tengah ladang.

“Kalau mati gara-gara nyasar begini, berita di kota pasti lucu banget,” ucapnya setengah kesal, setengah lelah. Dia duduk di atas batu besar, membuka sepatunya, dan mengipasi wajah dengan jurnalnya sendiri.

Dari kejauhan, suara roda sepeda tua memecah keheningan. Suara itu mendekat cepat, disusul tawa pelan yang terdengar seperti mengejek tapi entah kenapa tidak menyebalkan. Tak lama kemudian, sesosok anak lelaki muncul dari balik ilalang. Bajunya sederhana, topinya miring seperti milik nelayan, dan senyumnya… yah, terlalu percaya diri untuk ukuran anak seumuran.

“Kamu ngapain di tengah ladang? Nunggu dijemput helikopter?” tanyanya sambil berhenti tepat di depan Maresya.

Maresya mengangkat alis. “Aku nyasar.”

“Kelihatan kok,” jawab si anak lelaki sambil turun dari sepedanya. “Biasanya orang nyasar mukanya kayak kamu. Campur aduk antara bingung, malu, sama haus.”

“Aku nggak malu.”

“Ya udah, haus doang berarti.”

Maresya mendengus, tapi tak berkata apa-apa. Sambil mengusap keringat, ia menatap anak itu dengan rasa curiga yang tak bisa disembunyikan.

“Elhan,” kata anak lelaki itu sambil mengulurkan tangan. “Namaku Elhan. Kamu pasti anak baru yang tinggal di rumah Pak Raditya, yang tiap pagi ngeluarin teleskop kayak mau nyari alien.”

“Bapak aku peneliti burung,” jawab Maresya, menolak jabat tangan, tapi suaranya mulai melembut. “Aku Maresya.”

Elhan nyengir. “Bagus. Sekarang, kamu mau ikut aku atau mau nyasar sampe ketemu ular sawah?”

Maresya mengangkat bahu, berdiri, lalu meraih sepatunya. “Kalau aku ikut kamu dan kamu malah nyasar juga, aku lempar kamu pakai jurnal ini.”

“Tenang, aku nyasar cuma kalau lagi mikir. Hari ini otakku kosong, jadi aman.”

Mereka mulai berjalan berdampingan, Elhan menuntun sepedanya di samping, dan Maresya melangkah pelan, masih waspada tapi mulai sedikit santai.

“Kenapa kamu bisa ada di sini tadi?” tanya Elhan sambil melirik.

“Lagi ngikutin burung kecil warna biru,” jawab Maresya. “Kupikir dia ke arah sungai, tapi ternyata malah bawa aku ke labirin ilalang.”

Elhan tertawa. “Burung biru itu sih udah langganan bikin orang nyasar. Dulu aku juga pernah, tapi aku jatuh ke got. Untung sekarang aku udah lulus jadi pemandu wisata ilegal.”

Maresya mengulum senyum. Tak ada yang istimewa dari Elhan, tapi entah kenapa, kehadirannya bikin suasana jadi lebih ringan. Ia tidak terlalu cerewet, tapi tahu kapan harus ngomong dan kapan harus diam. Mereka terus berjalan sampai ilalang mulai menipis dan suara sungai makin jelas terdengar.

“Kalau kamu bosan, biasanya ngapain di sini?” tanya Maresya.

“Naik ke pohon trembesi di belakang rumahku. Dari atas kelihatan langit sama sawah yang warnanya bisa berubah tiap sore. Kadang aku bawa buku, kadang cuma duduk doang.”

“Sendiri?”

“Ya… sekarang sih iya. Teman-teman seumuran udah sibuk bantu orang tua atau pindah. Tapi aku nggak keberatan sendirian. Langit nggak pernah bikin aku ngerasa sepi.”

Maresya terdiam. Kalimat itu terdengar seperti kutipan dari novel yang biasa dia baca. Tapi kali ini keluar dari mulut anak lelaki dengan topi usang dan sepeda karatan.

Mereka tiba di jalan tanah yang dikenali Maresya—akhirnya. Senyum lega mengembang di wajahnya. Elhan berhenti, bersandar di sepedanya, lalu menunjuk ke arah bukit kecil di kejauhan.

“Lain kali kalau kamu nyasar lagi, aku bisa tunjukin jalan ke atas bukit. Tapi harus janji nggak ngeluh kalo banyak nyamuk.”

“Aku nggak janji.”

“Bagus. Janji itu bahaya, apalagi kalau nggak ditepatin.”

Maresya tertawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak pindah ke desa, tawanya terdengar alami. Bukan senyum sopan ke tetangga, bukan basa-basi di warung, tapi tawa yang keluar dari hati.

Hari itu, di bawah langit pucat dan ladang yang perlahan jadi emas karena matahari condong, dua anak yang berbeda dunia berjalan beriringan. Mungkin cuma sementara, tapi rasanya seperti awal dari sesuatu yang layak diingat.

Musim panas di Lembah Arunika baru saja mulai, dan cerita mereka baru saja dibuka.

Klub Rahasia di Bawah Trembesi

Sejak insiden “tersesat di ladang” itu, Maresya dan Elhan mulai sering terlihat bersama. Bukan yang tiap detik lengket seperti permen di sandal, tapi cukup sering buat bikin orang-orang di desa mulai bertanya-tanya. Warung Bu Warni bilang mereka cocok. Ibu Elhan cuma tersenyum kalau ditanya. Sementara Maresya, setiap ditodong pertanyaan dari ayahnya, hanya menjawab dengan kalimat singkat, “Teman, yang kebetulan tahu jalan pulang.”

Tapi di luar itu, pertemanan mereka pelan-pelan tumbuh. Nggak terburu-buru, nggak dipaksa.

Pohon trembesi di belakang rumah Elhan jadi markas. Batangnya besar, cabangnya lebar, dan akar-akarnya seperti lengan tua yang siap menampung siapa pun yang datang. Di sana, di antara suara dedaunan dan bayangan burung yang sesekali melintas di atas, terbentuklah sebuah “klub” yang cuma punya dua anggota.

“Namanya harus keren,” kata Elhan suatu sore, sambil menggambar lingkaran di tanah dengan ranting. “Tapi juga nggak terlalu norak. Gimana kalau… Langit Periode Sementara?”

Maresya menatapnya. “Kamu dapet nama itu dari mana?”

“Baru kepikiran sekarang. Kita cuma punya waktu sebentar, kan? Kamu bakal balik ke kota nanti. Tapi langit di atas sini bakal terus ada, meski kita nggak duduk di bawahnya bareng lagi.”

Maresya diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oke. Klub Langit Periode Sementara. Tapi kita harus punya aturan.”

Elhan mengangkat alis. “Aturan?”

“Ya. Biar resmi. Misalnya… setiap kali kita ke sini, harus bawa satu hal baru buat dibagi. Entah cerita, gambar, atau benda.”

“Deal.” Elhan menjentikkan jari. “Tapi kamu duluan yang mulai.”

Esoknya, Maresya membawa bulu burung kecil berwarna biru kehijauan. “Aku nemu ini waktu jalan ke sungai. Mungkin bulu burung yang waktu itu bikin aku nyasar.”

Elhan memperhatikan bulu itu dengan rasa hormat seolah melihat peninggalan sejarah. Lalu dia keluarkan dari saku celana sebuah batu kecil pipih dengan bekas goresan di tengahnya. “Aku nemu ini di dekat sawah. Bentuknya kayak pulau, kan?”

“Pulau yang mau tenggelam,” sahut Maresya, tertawa.

Begitulah mereka. Setiap sore, dua kepala itu duduk di atas akar, membagikan hal-hal sederhana yang entah kenapa terasa penting. Kadang cerita soal mimpi aneh, kadang puisi pendek, kadang cuma gulungan daun kering yang dilipat seperti perahu. Tapi semuanya punya tempat di dalam “klub.”

Di minggu kedua, mereka membawa kertas dan mulai menggambar peta khayalan. Ada gunung es, danau bernama “Rasa Ingin Tahu,” serta sebuah pulau kecil bernama “Tempat Aku Ketemu Kamu.” Setiap lokasi punya cerita, dan setiap cerita punya kode rahasia yang hanya mereka berdua pahami.

Suatu hari, setelah sesi membuat peta selesai, Maresya bersandar di batang pohon. Matanya menghadap ke langit yang mulai oranye.

“Kamu percaya nggak, orang bisa bertemu cuma sekali, tapi tetap diinget seumur hidup?”

Elhan menatap langit juga. “Percaya. Karena kadang yang sebentar itu justru yang paling nempel di kepala.”

Maresya tersenyum kecil. “Aku takut lupa.”

“Kamu nggak akan lupa. Karena kamu udah nyimpen semuanya di jurnalmu, kan?”

Dia menoleh ke arah Elhan yang tersenyum, menunjuk buku kecil yang hampir selalu dibawa Maresya ke mana pun. Sampulnya sudah mulai lusuh, tapi isinya penuh coretan, sketsa, dan kata-kata yang hanya Maresya tahu artinya.

Hari demi hari, pohon trembesi jadi tempat pelarian. Bukan karena mereka ingin lari dari sesuatu, tapi karena di sana mereka bisa jadi siapa pun yang mereka mau. Anak kota yang suka bicara dengan burung, dan anak desa yang lebih percaya bintang daripada ramalan cuaca.

Mereka bukan tipe yang saling mengandalkan untuk semua hal, tapi ketika ada yang hilang, yang satu pasti nyariin. Ketika yang satu diam terlalu lama, yang lain tahu harus nunggu atau pura-pura nggak nanya. Ada kenyamanan yang nggak harus diucapkan, tapi terasa.

Suatu sore, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Daun-daun trembesi beterbangan. Elhan duduk memeluk lutut, sementara Maresya membolak-balik halaman jurnalnya.

“Kalau klub ini suatu saat nggak ada lagi…” Elhan memulai.

Maresya menoleh.

“…kamu bakal ingat semua ini, kan?”

Dia tidak langsung menjawab. Hanya menutup bukunya pelan, lalu menatap langit yang sebentar lagi kehilangan cahaya.

“Selama langit masih ada, klub ini nggak akan hilang. Meskipun kita nggak duduk di sini bareng lagi.”

Sore itu, mereka menambahkan satu aturan baru di klub rahasia mereka:
“Kalau salah satu pergi duluan, yang tinggal harus tetap melihat langit setiap sore.”

Dan pohon trembesi, sekali lagi, menyimpan rahasia kecil yang tak bisa dicuri waktu.

Langit yang Mulai Mendung

Hari-hari semakin pendek. Musim panas yang dulu terasa tak terhingga kini perlahan memudar menjadi angin sepoi yang lebih dingin. Daun trembesi mulai menguning, dan langit yang dulu cerah terang seringkali tertutup oleh awan kelabu. Hujan kadang turun, membawa suasana yang lebih sepi di Lembah Arunika, seolah mengingatkan bahwa waktu yang mereka punya tak akan berlangsung selamanya.

Maresya tahu itu. Waktu yang dimilikinya di desa ini semakin dekat dengan titik akhirnya. Ayahnya sudah mengumpulkan semua data tentang burung migran, dan minggu depan mereka akan kembali ke kota. Semua sudah dipersiapkan. Kecuali satu hal yang tidak bisa Maresya persiapkan—perpisahan.

Hari itu, pohon trembesi tampak lebih sepi dari biasanya. Elhan sudah menunggu, duduk dengan sepeda di sampingnya, tangannya yang biasa memegang ranting kini hanya menggenggam kunci sepeda. Wajahnya tampak lebih serius daripada biasanya, meski tetap ada senyum di ujung bibirnya.

“Langit hari ini terlihat lebih berat, ya?” kata Elhan sambil memandangi awan yang menggantung rendah.

Maresya mengangguk perlahan, meskipun di hatinya tahu, yang lebih berat dari langit saat itu adalah rasa yang tak bisa ia sembunyikan lagi. “Iya… kayak bakal hujan besar. Tapi hujan itu kan cuma sementara.”

Elhan tersenyum, tapi senyumnya kali ini berbeda—ada keraguan di baliknya. “Iya, hujan itu cuma sementara. Tapi setelah hujan, tanahnya jadi basah, dan kita harus berhati-hati biar nggak kepleset. Atau kalau nggak, kita bisa menikmati bau tanah basah.”

Maresya mendongak, menatap Elhan dengan sedikit bingung. “Apa maksudmu?”

“Terserah. Aku cuma bilang, kadang kita harus siap buat hal-hal yang nggak selalu enak. Tapi itu nggak berarti kita nggak bisa nikmatin sisa waktunya.”

Maresya menarik napas panjang. Ada perasaan aneh menggelayuti dadanya, perasaan yang membuatnya ingin mengatakannya, tapi rasanya susah sekali mengeluarkannya.

“Aku pergi minggu depan,” akhirnya ia berkata juga, suaranya pelan, seperti meredam badai dalam dada. “Ayah aku sudah selesai dengan pekerjaannya, jadi kita harus kembali ke kota.”

Kata-kata itu meluncur keluar begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Dan saat mereka keluar, langit yang sebelumnya kelabu seolah ikut menahan nafas, menunggu reaksi Elhan.

Elhan tak langsung menjawab. Ia menunduk, menatap kunci sepeda di tangannya, lalu mengembuskan napas pelan. Wajahnya kosong, namun ada sesuatu yang bergetar di sana.

“Kamu… bakal kangen sama pohon trembesi ini?” tanya Elhan akhirnya, nada suaranya berubah lebih dalam.

“Pohon trembesi ini kan nggak pergi kemana-mana. Tapi… aku pasti kangen sama tempat ini, sama tempat kita ngobrol, sama kamu,” jawab Maresya, berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa kata-kata itu hanya kalimat biasa. “Aku… kangen sama hal-hal sederhana.”

Elhan menatapnya dalam-dalam, kemudian tersenyum. Senyum itu, walau sederhana, seperti menyimpan sejuta makna.

“Kalau kamu kangen, kamu bisa datang kapan saja. Cukup lihat langit yang sama. Bukannya kita udah janji buat terus lihat langit bareng?”

Maresya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Setiap kata Elhan seperti menambah berat di hatinya. Ia tahu, janji itu tidak akan pernah bisa sepenuhnya ditepati. Waktu akan mengubah segalanya. Tapi di saat yang sama, ada sebuah harapan kecil yang berusaha ia pegang—bahwa mereka akan selalu terhubung, meskipun tak lagi berdiri di bawah pohon trembesi yang sama.

“Aku nggak tahu, Elhan,” jawab Maresya pelan. “Mungkin langit bisa jadi tempat buat kita ngumpul lagi, tapi kalau aku pergi, apa kita masih bisa… kayak dulu?”

Elhan tertawa kecil. “Kamu bilang itu kayak kita udah beda benua. Kita cuma beda jarak, Maresya. Kalau kamu nggak ada di sini, aku pasti masih bisa lihat langit yang sama, dan aku yakin, kamu juga bisa. Kalau kamu bisa ingat semua yang ada di sini, kenapa nggak bisa ingat aku?”

Maresya terdiam. Hatinya serasa teriris, tetapi ada sesuatu yang menenangkan dalam kata-kata Elhan. Sebuah kenyataan yang tidak bisa ditolak, bahwa meskipun mereka tidak bisa bersama setiap hari, kenangan tentang mereka akan tetap ada. Dan itu cukup.

Langit di atas mereka mulai gelap, semakin berat. Sebuah petir menyambar di kejauhan, menandakan hujan akan datang.

“Kalau kamu benar-benar kangen, kamu harus lihat bintang yang berkedip tiga kali,” kata Elhan sambil mengeluarkan batu kecil dari sakunya. “Itu tanda kalau aku lagi mikirin kamu.”

Maresya tersenyum, meski air mata hampir tumpah. “Dan kalau aku lihat itu, aku bakal jawab dengan melihat bintang yang lain, ya?”

Elhan mengangguk. “Iya. Kita punya cara kita sendiri buat komunikasi.”

Maresya melirik langit yang semakin gelap, berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Oke. Aku janji.”

Seperti biasa, mereka duduk bersama di bawah pohon trembesi yang mulai diterpa angin. Langit semakin mendung, dan suara hujan mulai terdengar, namun kali ini, tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Mereka hanya duduk bersama, mendengarkan hujan yang datang. Dan meskipun langit menutupi segala yang ada, mereka tahu, keduanya akan selalu terhubung dengan cara yang tidak bisa dijelaskan kata-kata.

Hari itu, di bawah pohon trembesi, Maresya dan Elhan menghabiskan waktu terakhir mereka dengan cara yang paling sederhana dan paling berarti: duduk bersama, berjanji di bawah langit yang sama.

Persahabatan yang Tidak Pernah Pergi

Minggu itu datang begitu cepat. Hari-hari yang terasa seperti deru angin musim panas berubah menjadi hujan yang tiada henti. Mungkin karena langit sedang berduka, atau mungkin karena semuanya memang hanya sementara—seperti janji mereka yang terucap di bawah trembesi.

Maresya sudah bersiap. Pagi itu, koper-koper sudah dipenuhi dengan pakaian dan peralatan yang akan dibawa ke kota. Di luar jendela rumah Pak Raditya, suara hujan menggema seperti ritme perpisahan yang tak bisa ditunda lagi. Tapi hati Maresya terasa lebih sunyi dari hujan yang mengguyur. Kakinya seakan terasa berat untuk melangkah, meski ia tahu, apa yang harus dilakukan. Ia harus pergi.

Sebelum berangkat, Maresya menulis sebuah pesan di jurnal kecilnya—pesan yang ia tahu hanya Elhan yang bisa mengerti. Kalimat yang hanya bisa diucapkan tanpa suara, tapi tetap bergema di hati. “Selalu ada tempat untuk kamu di langitku, Elhan. Terima kasih untuk setiap tawa yang tak pernah lepas.”

Pagi itu, Elhan tidak datang. Mungkin ia juga tahu, bahwa perpisahan mereka sudah dekat, dan kata-kata tidak lagi bisa diucapkan. Namun, Maresya yakin, meskipun tidak ada pertemuan terakhir, mereka tetap akan terhubung. Di suatu tempat di luar sana, mereka akan melihat bintang yang sama.

Di sisi lain, Elhan memang tidak muncul di depan rumah Pak Raditya. Tapi ia tahu, bahwa kadang, tidak ada pertemuan yang lebih bermakna daripada yang tidak diucapkan. Tersembunyi di balik kediamannya yang sederhana, Elhan juga menulis di sebuah kertas kecil yang diletakkannya di bawah batu besar dekat pohon trembesi. “Aku tidak akan melupakan langit kita, Maresya. Tidak ada yang bisa memisahkan kita, meskipun jarak memisahkan. Sampai nanti, di bawah bintang yang sama.”

Kedua pesan itu, meskipun tak pernah dibaca bersamaan, tetap mengikat mereka dalam satu kenangan yang tak akan pernah pudar.

Pagi itu, Maresya melangkah keluar dari rumah dengan langkah yang lebih pasti. Ia menoleh sekali lagi ke ladang, ke sungai, dan pohon trembesi yang perlahan menghilang di kejauhan. Hatinya terasa berat, tapi ia tahu, bahwa apa yang ia rasakan bukanlah kehilangan. Ini adalah cara hidup memberi ruang untuk hal-hal baru.

Saat mobil yang membawa Maresya bergerak meninggalkan desa, hujan mulai berhenti. Langit kembali terang, dan sinar matahari perlahan menembus awan yang tertinggal. Maresya melihat ke luar jendela, menyadari sesuatu. Di kejauhan, di balik lembah dan bukit, ada satu titik cahaya kecil yang berpijar di antara awan yang mulai menipis.

Bintang itu, yang tak pernah lepas dari langit mereka, tetap ada. Mengingatkan Maresya bahwa persahabatan yang sejati tak akan pernah benar-benar pergi. Meskipun perjalanan mereka berbeda, langit yang sama akan selalu menjadi penghubung.

Begitu juga dengan Elhan. Ia berdiri di balik jendela rumahnya, melihat mobil Maresya yang semakin menjauh, dan menyadari bahwa perpisahan ini hanyalah titik awal dari sebuah kisah yang lebih besar. Di dalam hatinya, Elhan tahu, persahabatan mereka akan selalu ada—seperti langit, seperti bintang yang terus bersinar, meskipun mereka tidak lagi berdiri di bawah pohon trembesi yang sama.

Hari itu, tidak ada kata-kata perpisahan. Tidak ada tangisan. Hanya ada janji yang disimpan di dalam hati, yang akan dikenang setiap kali mereka melihat langit. “Sampai nanti, di bawah bintang yang sama.”

Dan meskipun mereka berpisah, persahabatan mereka tetap hidup. Karena dalam setiap hujan yang turun, dalam setiap langit yang cerah, mereka akan selalu terhubung oleh kenangan yang tak akan pernah pudar.

Cerita Maresya dan Elhan mengajarkan kita bahwa persahabatan sejati bukan hanya tentang berada di tempat yang sama, tetapi tentang tetap terhubung dengan hati meski jarak memisahkan. Kadang, yang kita butuhkan bukanlah janji untuk selalu bersama, tetapi kenangan dan janji untuk selalu melihat langit yang sama.

Semoga kisah mereka bisa menginspirasi kamu untuk menghargai setiap momen dengan sahabat sejati, yang meskipun jauh, akan selalu ada di dalam hati. Jadi, siapkah kamu untuk menjaga persahabatanmu, seperti mereka menjaga langit?

Leave a Reply