Langit di Atas Kota Mataram: Mahasiswa Perantau yang Menyalakan Mimpi Anak Desa Lewat Pendidikan Karakter

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa dunia kampus itu sempit banget dibanding realita di luar sana? Nah, cerpen berjudul Langit di Atas Kota Mataram ini bakal ngajak kamu ngelihat gimana kerasnya hidup mahasiswa rantau yang nggak cuma mikirin nilai, tapi juga belajar jadi manusia yang punya arti buat orang lain.

Cerita ini bukan cuma soal kuliah dan cari kerja, tapi tentang gimana pendidikan karakter itu terbentuk dari pengalaman, kegigihan, dan kepekaan terhadap sekitar. Yuk baca sampai habis—siapa tahu kamu juga terinspirasi buat nyalain mimpi orang lain, sekecil apapun langkahnya!

Langit di Atas Kota Mataram

Tikungan Pertama di Jalan Panjang

Tepat pukul 05.40 WITA, sebuah kapal cepat merapat di Pelabuhan Lembar, Lombok Barat. Di antara rombongan penumpang yang turun terburu-buru, satu pemuda berdiri agak kikuk sambil menyeret koper hitam yang rodanya sudah pincang sebelah. Namanya Arvan Da Costa—anak sulung dari empat bersaudara, baru saja lulus dari SMA Negeri di pesisir Flores Timur, dan kini menginjakkan kaki di pulau yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya: Lombok.

Langit pagi masih kelabu. Kabut tipis menggantung di antara pohon kelapa dan atap rumah warga yang berjejer di balik pelabuhan. Arvan menarik napas dalam. Udara di sini berbeda. Lebih padat, lebih ramai. Bising motor dan deru ombak bercampur, membuat detak jantungnya melambung seperti perahu yang tadi ia tumpangi.

Mobil travel yang ia pesan sejak dari Ende tidak kunjung muncul. Ia duduk di bangku panjang, beralaskan jaket, sembari melirik kanan-kiri. Tak banyak yang bisa ia ajak bicara. Ia buka ponselnya, mengecek pesan dari ibunya.

“Hati-hati di tempat orang, Nak. Jangan lupa shalat.”
“Ibu doakan semua lancar.”

Pesan singkat itu cukup membuat matanya menghangat. Di balik layar kecil itu, ada peluk yang tidak bisa ia balas saat ini. Tapi Arvan tak mau terjebak dalam rasa sentimentil. Ia datang ke sini bukan untuk jadi anak manja, tapi untuk membuktikan bahwa pendidikan bukan hanya milik orang yang lahir di kota besar.

Dua jam kemudian, mobil travel akhirnya tiba. Sopirnya seorang pria bertubuh gempal bernama Bang Fatur, murah senyum tapi doyan bercerita. Sepanjang perjalanan dari Lembar ke Mataram, Arvan lebih banyak diam, mendengarkan.

“Kamu kuliah di UNRAM, ya?” tanya Bang Fatur sambil mengemudi santai, satu tangan di kemudi, satu lagi memegang segelas kopi.

“Iya, Bang. Pendidikan,” jawab Arvan sambil menyandarkan kepala ke jendela.

“Wih, bagus itu. Jadi guru, ya?”

“Iya, semoga aja bisa. Tapi pengennya bisa ngajar anak-anak yang susah sekolah juga.”

Bang Fatur menoleh sekilas dan tertawa kecil. “Jarang anak muda mikir kayak gitu. Biasanya pengen cepet kerja, cari gaji gede.”

Arvan hanya tersenyum. Tak ada yang salah dengan keinginan itu, tapi tujuan hidupnya lebih dari sekadar angka di slip gaji.

Setibanya di kosan—sebuah rumah petak dengan dua lantai di daerah Kekalik—ia disambut oleh ibu kos bernama Bu Yayah. Wanita paruh baya yang cerewet tapi hangat, senang menyodorkan teh manis dan cerita-cerita lama tentang anak-anak kos yang sukses.

“Ini kamarnya, Nak. Maaf ya, nggak besar. Tapi bersih, Insya Allah,” katanya sambil membuka pintu kamar nomor empat. Arvan mengangguk.

Kamar itu sempit, tapi cukup. Satu kasur tipis, meja belajar kecil, dan gantungan baju di sudut. Ia duduk di lantai, membuka koper, menata buku-buku, dan menggantung foto keluarga di dinding—foto yang sudah mulai pudar tapi tetap menjadi pusat semangatnya.

Malam pertama di kota Mataram sunyi. Tapi bukan sunyi yang menakutkan—melainkan sunyi yang mengajak berpikir. Arvan tahu, perjuangan baru dimulai.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti lorong yang asing. Ia harus berjalan kaki hampir dua kilometer ke kampus, terbiasa makan murah di warung dekat pasar, dan berteman dengan mahasiswa dari berbagai daerah. Ada Malik dari Bima, Loka dari Sumbawa, dan Yasha dari NTT juga, tapi beda kampung.

Pertemuan pertama di kelas seperti memasuki dunia yang serba cepat. Dosen-dosennya cerdas, tajam dalam berbicara, tapi tetap membumi. Salah satunya adalah Pak Riza, dosen filsafat pendidikan, yang dikenal tak suka basa-basi.

“Pendidikan bukan tentang berapa banyak kalian hafal, tapi tentang siapa kalian setelah keluar dari ruangan ini,” ucap Pak Riza dalam satu kuliah pembuka.

Kalimat itu melekat di kepala Arvan. Ia mulai menyadari bahwa menjadi mahasiswa bukan sekadar lulus dan mencari kerja. Tapi tentang pembentukan nilai-nilai yang akan ia bawa ke mana pun ia pergi. Tentang jujur saat ujian, disiplin datang kuliah, sopan pada orang meski beda agama atau suku. Hal-hal yang tampak kecil, tapi membentuk fondasi kuat dalam dirinya.

Suatu sore, saat duduk di taman kampus, Arvan sempat curhat ke Yasha yang sedang asyik mengunyah gorengan.

“Kamu pernah ngerasa kecil nggak sih, Sha? Maksudku… minder gitu. Kita dari kampung, terus tiba-tiba harus ngikutin dunia yang beda banget gini.”

Yasha tertawa pelan. “Aku sih pernah, Van. Tapi aku pikir, kita ini bukan lebih rendah, cuma beda medan. Yang penting niat belajar kita bener. Aku malah salut sama kamu, udah bisa survive sejauh ini.”

Arvan menatap langit yang mulai memerah di ujung barat. Jawaban itu bukan cuma penguat hati, tapi juga penanda bahwa ia tidak sendiri dalam perjalanannya.

Namun hidup di tanah rantau tidak selalu manis. Di bulan kedua, ia kehilangan dompet di angkot. Isinya bukan hanya uang bulanan, tapi juga KTP, kartu ATM, dan kartu mahasiswa. Malam itu, ia duduk lama di depan masjid, tidak tahu harus menelepon siapa. Tapi ia tidak menyerah. Ia pinjam HP teman untuk mengurus surat kehilangan, minta bantuan dosen pembimbing untuk legalisir ulang data. Semua dilaluinya sendiri, pelan-pelan.

Kesabaran, keberanian, dan kemandirian tumbuh dari setiap kesulitan. Dan karakter—yang dulunya hanya kata-kata di pelajaran PKN—kini menjelma menjadi sikap hidup.

Hingga di suatu malam yang sunyi, Arvan menulis di buku catatannya:
“Jalan ini panjang. Tapi setiap langkahnya akan membentuk siapa aku nantinya. Dan aku nggak mau jadi orang yang menyerah hanya karena capek di awal.”

Langit Mataram kembali cerah malam itu. Di balik jendela kamar sempitnya, Arvan tahu—ia baru menapaki tikungan pertama di jalan panjang yang penuh makna.

Nilai-Nilai yang Tak Tertulis

Awal semester kedua dimulai dengan riuh. Kampus mulai penuh dengan mahasiswa baru yang sibuk cari kelas, dan warung-warung kopi sekitar kampus makin ramai hingga tengah malam. Namun di balik semua hiruk-pikuk itu, hidup Arvan semakin terfokus—bukan hanya pada mata kuliah, tapi pada pelajaran-pelajaran yang tidak ada dalam silabus.

Setiap pagi, Arvan bangun pukul lima. Bukan karena ada kelas, tapi karena harus bersiap kerja paruh waktu di warung kopi milik Pak Saleh, seorang perantau asal Palu yang sejak awal sudah memercayakan kasir dan logistik tokonya kepada Arvan. Gaji per bulan tak seberapa, tapi cukup untuk menutup biaya makan dan fotokopi diktat kuliah. Lebih dari itu, pekerjaan itu mengajarkannya satu hal: disiplin tanpa disuruh.

Pak Saleh bukan bos yang cerewet, tapi punya prinsip keras.

“Kalau kamu telat sekali, mungkin aku masih bisa maafin. Tapi kalau dua kali, itu bukan karena kamu sibuk, tapi kamu belum menghargai waktu,” ucapnya suatu hari, saat Arvan datang dua menit terlambat.

Arvan tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dan sejak saat itu, tidak pernah telat lagi, bahkan di saat hujan turun deras dan sepatunya basah kuyup.

Di kampus, ia mulai terlihat oleh dosen-dosen. Bukan karena pintar luar biasa, tapi karena selalu hadir lengkap—catatan rapi, tugas selesai, dan diskusi aktif. Suatu ketika, dalam kelas Psikologi Pendidikan, dosennya, Bu Indri, menunjuk Arvan sebagai moderator kelompok diskusi besar.

“Bukan karena kamu paling pintar, Van,” katanya di akhir kelas, “tapi karena kamu bisa dipercaya.”

Kalimat itu singkat, tapi menancap kuat di kepalanya. Ia baru sadar bahwa kepercayaan adalah hasil dari konsistensi, bukan semata dari kecerdasan.

Di luar jam kampus dan kerja, Arvan mulai terlibat dalam kegiatan komunitas mahasiswa. Ia ikut organisasi kecil yang bergerak di bidang pengabdian pendidikan di desa-desa sekitar Lombok Tengah. Di sinilah ia bertemu anak-anak yang memintanya untuk mengajari mereka membaca, berhitung, dan mengenal dunia luar.

Tempat belajarnya sederhana: teras masjid, bale-bale bambu, atau tikar yang digelar di kolong rumah panggung. Tapi semangat anak-anak itu membuat semua yang seadanya jadi terasa luar biasa.

“Aku mau jadi dokter hewan,” kata Kani, bocah perempuan dengan rambut dikepang dua dan gigi ompong di tengah.

“Kenapa dokter hewan?” tanya Arvan sambil membereskan buku gambar.

“Soalnya kucing aku sering sakit, dan aku nggak tau harus ngapain,” jawabnya polos.

Arvan tertawa kecil, lalu berkata, “Kalau gitu, kamu harus rajin belajar dari sekarang. Jadi pas besar nanti, kamu bisa bantu bukan cuma kucing kamu, tapi hewan-hewan lain juga.”

Kani mengangguk mantap, lalu menulis besar-besar di bukunya: “AKU MAU JADI DOKTER HEWAN”.

Itu bukan pelajaran kelas, tapi pelajaran hidup. Dari anak-anak itulah Arvan belajar arti komitmen. Ia tidak dibayar, tidak juga diberi penghargaan, tapi merasa penuh setiap kali melihat mata anak-anak itu bersinar karena bisa menjawab soal yang dulu mereka anggap mustahil.

Namun tidak semua pengalaman manis. Suatu malam, saat hendak pulang dari kegiatan mengajar, motornya mogok di tengah jalan sepi. Seorang pengendara yang pura-pura menawarkan bantuan malah mencuri dompetnya saat Arvan lengah. Ia pulang dengan rasa campur aduk—lelah, marah, dan kecewa.

“Kenapa harus aku yang kena?” keluhnya pada Malik, teman satu kelas sekaligus tetangga kamar kos.

Malik hanya mengangkat bahu. “Kadang hidup emang nggak adil. Tapi yang bisa kita pilih itu gimana kita ngadepinnya.”

Kalimat itu terdengar klise, tapi menyentuh. Arvan mulai paham bahwa karakter bukan dibentuk saat keadaan baik-baik saja. Justru dalam situasi sulitlah seseorang benar-benar diuji. Ia tidak melapor ke siapa-siapa, tidak menyebar cerita. Ia hanya mengunci dirinya semalam suntuk, lalu keesokan harinya, tetap hadir di kelas seperti biasa, tetap kerja seperti biasa.

Karakter yang ia bangun tak terucap dalam kata-kata. Ia tidak pernah berkata “aku orang jujur” atau “aku tangguh”, tapi sikapnya berbicara sendiri. Ia menolak saat ditawari “jalan pintas” untuk menyalin tugas kelompok dari angkatan atas. Ia mengingatkan teman saat melihat ada yang mencontek saat ujian. Ia tidak takut terlihat berbeda.

Bahkan ketika ada yang mengejeknya terlalu serius, terlalu “sok idealis”, Arvan hanya menanggapi dengan senyum datar. Karena ia tahu, idealisme bukan untuk dipamerkan, tapi dijaga—meski dalam diam.

Di penghujung semester itu, ia mulai menulis jurnal pribadi. Bukan untuk dikirim ke mana-mana, hanya sebagai pengingat, bahwa hidupnya punya arah. Dalam salah satu halamannya tertulis:

“Kadang kita belajar karakter bukan dari kelas, bukan dari buku, tapi dari orang-orang yang bahkan nggak tahu mereka sedang mengajarkan sesuatu. Dan mungkin… itulah guru yang sebenarnya.”

Semester dua ditutup dengan nilai memuaskan, tapi yang lebih penting: hati yang lebih utuh. Arvan melangkah ke semester berikutnya bukan sebagai mahasiswa yang hanya mengejar gelar, tapi sebagai manusia yang mulai paham, bahwa menjadi dewasa bukan soal usia, melainkan soal keberanian untuk bertahan, bertumbuh, dan tetap memilih menjadi baik meski dunia tidak selalu ramah.

Dan pada malam yang lengang di kamar nomor empat, lampu belajar menyala pelan. Di luar, suara jangkrik saling bersahut, dan langit Mataram kembali menggantungkan bintang-bintang kecil—seolah ikut menyusun peta jalan hidup seorang pemuda yang tengah belajar menjadi lebih dari sekadar “orang pintar”.

Anak Kecil dan Mimpi Besar

Musim kemarau di Mataram makin terasa panas. Debu beterbangan dari jalanan tanah yang retak, dan daun-daun mulai berubah warna jadi kecoklatan. Tapi panas yang menyengat tak mengurangi langkah-langkah kaki kecil di Desa Perigi, sebuah dusun di pinggiran Lombok Tengah. Di sanalah, tiap Sabtu dan Minggu, Arvan bersama teman-teman komunitasnya mengajar di sebuah ruang belajar terbuka. Dindingnya dari papan kayu, atapnya dari daun rumbia, dan bangkunya bekas kursi balai desa.

Arvan bukan satu-satunya relawan, tapi jadi yang paling sering datang. Ia tak pernah menolak jika diminta mengisi kelas mendadak, atau mengantar anak-anak pulang saat sore turun lebih cepat. Ia bahkan hafal nama-nama mereka satu per satu: Kani, Bram, Indri, Farel, hingga si bungsu Leli yang belum lancar bicara tapi selalu duduk paling depan dengan boneka kain di pelukannya.

Suatu siang, usai kelas menulis sederhana, Arvan duduk di bawah pohon waru bersama Bram, bocah kelas lima yang paling cerewet dan paling sering kena tegur karena lari-larian.

“Kamu kenapa diem aja, Bram?” tanya Arvan sambil menyeruput air dari botol minum.

“Aku males sekolah, Kak,” jawab Bram pelan.

“Lho, kenapa?”

“Bapak bilang, percuma sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya tetep jadi petani.”

Arvan terdiam sejenak. Jawaban Bram bukan sekadar keluhan anak kecil, tapi gema dari puluhan tahun kekecewaan yang diwariskan turun-temurun. Ia tahu, banyak orang tua di desa yang tak lagi percaya pada pendidikan. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena sistem terlalu lama gagal menjawab kebutuhan mereka.

“Kamu suka pelajaran apa, Bram?”

“Gambar… sama cerita-cerita.”

“Kalau gitu, kamu bisa jadi penulis buku anak-anak. Atau bikin komik.”

“Emang bisa ya, Kak?”

“Bisa banget. Tapi ya… kamu harus sekolah dulu. Belajar dulu. Gimana mau bikin cerita kalau kamu belum kenal dunia?”

Mata Bram berbinar. Ia memang anak kecil, tapi dari sorot matanya, mimpi mulai terbentuk.

Arvan pulang ke kos malam itu dengan rasa yang sulit dijelaskan. Ia tidak sedang mengubah dunia, tapi paling tidak, ia menjaga api kecil tetap menyala di dada seorang anak yang nyaris padam.

Di kampus, hidup tetap berjalan. Tugas menumpuk, presentasi beruntun, dan jadwal praktikum makin padat. Tapi ia tidak pernah meninggalkan jadwal mengajar di desa. Ia lebih memilih kurang tidur daripada mengecewakan anak-anak yang menunggu dengan buku lusuh dan sandal jepit mereka.

Tak jarang teman-teman kampus mempertanyakan pilihannya.

“Kamu nggak capek, Van? Gaji nggak ada, bensin tekor, tugas numpuk, kadang dimarahin dosen lagi.”

Arvan hanya tersenyum.

“Capek sih, capek. Tapi aku ngerasa hidupku lebih waras di sana. Ada yang bisa aku bangun, bukan cuma dikejar nilai.”

Ia tidak mencari pengakuan. Ia hanya tahu bahwa nilai-nilai yang ia bangun di desa jauh lebih kuat dari nilai di KHS. Ia sedang menanam pohon yang buahnya mungkin baru bisa dipetik belasan tahun lagi—dan mungkin bukan olehnya sendiri.

Puncak dari semua aktivitas itu terjadi saat komunitas mereka membuat acara kecil di dusun Perigi: “Hari Mimpi Anak”. Acara itu sederhana. Ada lomba menggambar, baca puisi, dan dongeng di atas tikar. Tapi bagi anak-anak, itu lebih besar dari pesta ulang tahun.

Arvan menjadi MC acara. Dengan suara sedikit serak karena kelelahan, ia membacakan nama-nama pemenang dengan penuh semangat. Sorak-sorai anak-anak memekakkan telinga, tapi juga menghangatkan hati.

Saat memberikan hadiah pada Kani yang menang lomba menggambar, ia sempat berbisik, “Jangan berhenti mimpi ya, Kan.”

Kani mengangguk sambil menggenggam buku mewarnai hadiah yang tak seberapa nilainya, tapi luar biasa artinya.

Malam itu, Arvan duduk sendirian di bale kosong dekat lokasi acara. Lampu minyak bergoyang pelan tertiup angin. Di tangannya, secarik kertas dilipat dari hasil gambar Bram. Sebuah gambar rumah kecil, bendera merah putih, dan seorang guru berdiri di depan papan tulis.

Di bawahnya tertulis dengan ejaan yang masih salah-salah:
“Kalau aku besar nanti, aku mau ngajarin anak-anak yang nggak bisa sekolah, kayak Kak Arvan.”

Matanya memanas. Ia tidak tahu harus bangga atau merasa terbebani. Tapi satu hal pasti—ia tahu bahwa pendidikan karakter bukan sesuatu yang bisa ditulis di kurikulum. Itu harus dihidupkan. Harus ditunjukkan. Harus dijalani.

Dan ia sedang menjalaninya, pelan-pelan, tanpa panggung, tanpa kamera, hanya dengan niat yang tidak pernah surut.

Semenjak itu, Arvan merasa lebih dari sekadar mahasiswa. Ia merasa menjadi bagian dari perubahan. Bukan perubahan besar, bukan revolusi, tapi seperti tetesan air yang lama-lama membentuk aliran. Ia sadar, dunia ini terlalu luas untuk dikuasai, tapi cukup untuk diperbaiki dari sudut kecil tempatnya berpijak.

Langit malam menggantung gelap tanpa bintang. Tapi dalam gelap itulah, mimpi anak-anak dusun tetap bersinar. Dan Arvan tahu, ia harus terus menjaga cahaya itu.

Pulang dengan Nama yang Berbeda

Waktu berlalu seperti air yang mengalir di sungai kecil—terus bergerak, kadang tenang, kadang deras, tapi tak pernah berhenti. Empat tahun di Mataram terasa seperti satu musim panjang bagi Arvan. Sebagian besar hidupnya selama kuliah bukan dihabiskan di dalam kelas, melainkan di persimpangan jalan antara kampus, warung kopi, desa kecil, dan kamar kos yang tak pernah benar-benar sepi.

Hari wisuda datang bersamaan dengan musim hujan pertama. Rintik gerimis membasahi pelataran kampus. Tenda-tenda berwarna biru putih berdiri di lapangan, dan keluarga para wisudawan mulai berdatangan dengan bunga plastik dan ponsel siap foto. Arvan datang sendiri. Tak ada orang tua atau kerabat yang mengantar. Ibunya sakit dan tak bisa bepergian jauh, sementara ayahnya harus menjaga toko kelontong agar tetap buka di hari pasar.

Tapi ia tidak sendiri. Di tepi lapangan, berdiri enam anak dengan seragam sekolah yang kebesaran, celana sedikit belel, dan sepatu yang sudah tak mengkilap. Mereka datang dari Dusun Perigi, diantar oleh guru honorer lokal yang tahu betul betapa pentingnya hari itu untuk mereka.

Kani melambaikan tangan dengan semangat, sambil membawa papan karton bertuliskan:
“SELAMAT, KAK ARVAN! KAMI NUNGGU KAMU BALIK!”

Senyum Arvan mengembang, perlahan, tapi utuh. Ia berjalan ke arah mereka, menyalami satu per satu, lalu mengucap pelan, “Makasih udah datang. Aku nggak nyangka kalian sejauh ini cuma buat lihat aku pakai toga.”

Farel menjawab dengan polos, “Soalnya kami nggak yakin kapan lagi bisa lihat Kak Arvan pake baju keren gini!”

Tawa mereka pecah. Bukan tawa sopan-sopan khas acara formal, tapi tawa lepas yang hanya keluar dari keakraban yang terbangun oleh waktu, peluh, dan ratusan kisah kecil yang tak tercatat.

Setelah wisuda, Arvan tidak langsung kembali ke kampung halaman. Ia mendapat tawaran kerja sebagai asisten peneliti dari dosennya sendiri, tapi dengan syarat: harus tinggal di Lombok selama minimal satu tahun lagi. Tawaran itu tak memberinya kekayaan, tapi memberi ruang. Ruang untuk tetap melanjutkan misi kecilnya di desa. Tanpa ragu, ia terima.

Tahun tambahan itu menjadi tahun pembuktian. Ia menyusun program belajar digital sederhana bersama tim kampus untuk anak-anak desa. Ia berkeliling ke dusun-dusun yang bahkan tak terdata di peta. Ia mulai diminta jadi narasumber di forum pendidikan, diundang jadi pembicara di webinar, bahkan dijadikan contoh oleh pihak rektorat sebagai mahasiswa dengan kontribusi sosial nyata.

Namun yang paling menyentuh, datang bukan dari panggung besar. Di sebuah kegiatan kemah di desa terpencil, seorang bocah kecil memegang lengannya dan bertanya dengan logat cadel, “Kak, Kak Arvan itu beneran manusia ya? Kok bisa baik terus?”

Arvan tertawa kecil, lalu menjawab, “Aku juga banyak salah, Dek. Tapi kalau kita bisa jadi baik, kenapa harus milih sebaliknya?”

Malam itu, di bawah langit yang kembali jernih, ia sadar satu hal: pulang bukan selalu soal kembali ke kampung halaman. Kadang, pulang adalah ketika seseorang merasa dirinya sudah sampai pada tempat yang membuatnya berarti.

Beberapa bulan kemudian, ia akhirnya kembali ke rumah orang tua di pinggiran Jawa Tengah. Rumah kecil yang dulu ia tinggalkan kini terasa lebih sempit, tapi hangat. Ibu menyambutnya dengan senyum, dan ayah mengangguk pelan saat ia mencium tangan mereka.

“Selamat ya, Van. Kami bangga,” ucap ibunya, suara serak karena usia.

Namun di kampung, orang-orang tak lagi memanggilnya hanya dengan “Arvan”. Nama itu telah berubah di mata mereka. Ia dipanggil dengan berbagai sebutan: “Mas Guru”, “Anak Baik”, “Yang Kuliah di Lombok”, “Yang Ngajar Bocah-bocah Ndeso”, bahkan ada yang memanggilnya “Orang Kota”.

Tapi dari semua panggilan itu, ada satu yang paling berkesan. Di sebuah sore saat ia duduk di teras rumah, seorang anak tetangga berlari sambil membawa buku tulis, dan dengan napas tersengal berkata, “Mas Arvan, ayo dong ngajarin aku! Aku mau kayak Mas Arvan.”

Dan di sanalah akhir sekaligus awalnya. Bukan akhir cerita, tapi awal dari rantai baru yang ia bangun dengan caranya sendiri.

Karakter bukan dibentuk dalam sehari. Ia tumbuh dari luka, dari pilihan-pilihan sulit, dari tanggung jawab yang tak bisa lari darinya. Pendidikan sejati bukan soal ijazah, tapi bagaimana seseorang membawa nilai-nilai itu kemanapun ia melangkah.

Arvan telah pulang. Tapi ia membawa pulang lebih dari sekadar gelar. Ia pulang dengan nama yang berbeda, dengan diri yang utuh. Dan di dadanya, tertanam teguh satu keyakinan—bahwa seberapa pun kecil langkah seseorang, jika ia berjalan dengan hati yang baik, maka dunia akan sedikit lebih terang karenanya.

TAMAT

Cerpen Langit di Atas Kota Mataram bukan cuma cerita tentang perjuangan mahasiswa, tapi juga cermin kecil dari betapa pentingnya pendidikan karakter dalam kehidupan nyata. Lewat tokoh Arvan, kita diajak buat sadar kalau jadi pintar itu penting, tapi jadi orang baik dan berguna itu jauh lebih berharga.

Semoga setelah baca ini, kamu jadi makin semangat ngebentuk karakter diri, nggak cuma buat diri sendiri, tapi juga buat bantu nyalain harapan orang-orang di sekelilingmu. Karena kadang, perubahan besar datang dari langkah-langkah kecil yang penuh niat.

Leave a Reply