Langit di Atas Hutan Cemara: Cerpen Menyentuh Tentang Kakak yang Rela Berkorban Demi Sang Adik

Posted on

Pernah ngerasain hubungan kakak-adik yang isinya cuma ribut tapi diam-diam saling sayang? Nah, cerpen satu ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri… lalu tiba-tiba mewek.

“Langit di Atas Hutan Cemara” bukan cuma cerita tentang pertengkaran dua saudara, tapi tentang cinta dalam bentuk paling sunyi—pengorbanan yang nggak pernah minta dibalas. Yuk baca sampai habis, kamu bakal nemuin makna keluarga yang dalam banget di balik tiap dialog dan adegannya!

Langit di Atas Hutan Cemara

Di Balik Cemara dan Pertengkaran

Kabut pagi menyelimuti lereng kecil tempat Dusun Ciptawana bersandar. Hutan cemara yang mengelilingi dusun itu berdiri sunyi, menjulang seperti pagar raksasa yang menjaga keheningan dari dunia luar. Di antara gemerisik dedaunan dan desir embun yang belum sempat menguap, berdirilah rumah tua berdinding papan. Catnya sudah luntur, dan suara pintunya yang berdecit jadi alarm alami yang nyaris setiap hari membangunkan penghuninya.

Di dalam rumah itu, kehidupan dimulai lebih awal dari kebanyakan orang. Tapi pagi ini, ketenangan yang ditawarkan oleh udara pegunungan hanya bertahan beberapa menit.

“Kamu tuh ya, udah bangun telat, masih sempet-sempetnya rebut sarapan!” suara keras terdengar dari dapur sempit yang hanya cukup untuk dua orang dewasa berdiri sejajar.

“Aku cuma ngambil sepotong doang, Kak. Nasi gorengnya juga dikit banget,” jawab seorang remaja laki-laki, memeluk piring yang isinya tinggal sejumput nasi dan telur dadar setengah matang.

“Dikit? Itu piring penuh tadi!” Nayara, si kakak, berdiri dengan tangan penuh tepung. Rambutnya yang digelung asal mulai berantakan, dan apron lusuh yang ia kenakan sudah kena noda minyak dari tadi subuh.

Elvano, adiknya yang baru kelas dua belas, mengangkat bahu. “Aku kan butuh energi. Latihan basket nanti, mana bisa lari kalau cuma minum air putih?”

Nayara menghela napas panjang, tapi tak menjawab. Ia hanya kembali mengaduk adonan donat di baskom, mencoba menenangkan diri meskipun hatinya mendidih. Ia sudah bangun sejak pukul empat pagi—memasak, mencuci, lalu mengaduk tepung demi tepung untuk dijual keliling nanti sore. Dan sekarang, adik yang dibelanya mati-matian justru memperlakukannya seperti tukang masak tanpa gaji.

“Kamu nggak pernah mikir, ya? Aku masak buat kita semua, bukan buat kamu ngabisin sendiri,” gumam Nayara.

“Kalau kamu capek, jangan salahin aku. Kamu sendiri yang mutusin berhenti sekolah,” balas Elvano sambil duduk di kursi plastik yang kaki kirinya goyang.

Kata-kata itu menggantung. Seperti peluru yang mengenai sasaran tanpa peringatan.

Wajah Nayara menegang. Tangannya berhenti mengaduk.

“Aku berhenti sekolah karena waktu itu kamu masih kecil. Ibu baru meninggal. Bapak nggak ada. Nenek lumpuh. Dan kamu? Kamu bahkan belum bisa bikin mie sendiri.”

Elvano mendengus, tapi kali ini tak melanjutkan. Ia sadar, mulutnya melampaui batas.

Suasana dapur jadi sunyi. Hanya terdengar suara alat pengaduk yang bergerak pelan di baskom. Di luar, ayam mulai berkokok satu per satu, seolah ingin menjauh dari ketegangan di dalam rumah kayu itu.

Nenek mereka hanya duduk diam di kursi roda, menatap kosong ke arah kalender tua yang tergantung di dinding. Ia tak lagi bisa bicara banyak sejak stroke tahun lalu. Tapi sorot matanya mencerminkan kesedihan—bukan karena tubuhnya yang melemah, melainkan karena dua cucunya selalu bertengkar.

Menjelang siang, Elvano keluar rumah tanpa banyak bicara. Nayara hanya mengantar dengan tatapan datar, lalu melanjutkan mencetak donat dan menggorengnya satu per satu. Tangan-tangannya cekatan, tapi matanya sembab. Sesekali ia mengusap wajah dengan punggung tangan, menyembunyikan air mata yang tumpah bukan karena kelelahan, tapi karena luka yang terus digores oleh satu-satunya orang yang ia lindungi sejak kecil.

Malamnya, hujan turun. Tidak deras, hanya gerimis yang menetes seperti kenangan pelan-pelan meneteskan luka lama. Elvano pulang dengan seragam olahraga masih melekat, tubuhnya basah kuyup.

Nayara sedang menyetrika baju di ruang depan. Ia tak menoleh saat adiknya masuk.

“Ini buat kamu,” ucap Elvano pelan, meletakkan kantong plastik berisi roti isi dan satu botol susu cokelat di meja.

Nayara mendongak. Wajahnya penuh tanya.

“Uang jajan tadi masih sisa. Aku beli pas pulang,” lanjutnya, canggung.

“Buat aku?” suara Nayara terdengar pelan. Ia belum pernah diberi apa pun oleh Elvano. Bahkan sekadar ucapan terima kasih jarang mampir dari mulut adiknya itu.

Elvano mengangguk.

“Ya… anggap aja aku nggak sepenuhnya jahat,” tambahnya, mencoba tersenyum.

Nayara tersenyum kecil. Lelahnya belum hilang, tapi setidaknya malam ini ia bisa tidur tanpa menahan amarah.

Di luar, cemara-cemara masih berdiri tegak di balik kabut. Dan di dalam rumah kayu itu, dua jiwa yang selalu bertolak belakang mulai belajar meredam ego demi sesuatu yang tak pernah mereka sebut dengan kata—tapi jelas ada di sana: kasih sayang.

Suara yang Tak Pernah Didengar

Hari-hari setelah malam hujan itu berjalan lebih tenang. Tidak berarti tanpa pertengkaran, tapi paling tidak, tidak lagi diiringi dengan teriakan yang membekas sampai ke dinding kamar. Nayara dan Elvano masih sering berbeda pendapat, seperti dua kutub yang tak bisa berdampingan lama-lama. Tapi ada jarak baru di antara mereka—jarak yang bukan karena menjauh, melainkan karena mencoba saling memberi ruang.

Nayara mulai jarang mengomel soal baju kotor yang ditinggal sembarangan, dan Elvano juga mulai tak banyak membantah saat diminta bantuin jagain nenek. Hal-hal kecil yang dulu jadi sumber ledakan perlahan berubah menjadi pemantik kompromi.

Namun, di balik semua itu, Nayara menyimpan kegelisahan. Bukan karena pertengkaran-pertengkaran kecil yang belum sepenuhnya berhenti, tapi karena surat yang diam-diam ia sembunyikan di bawah tumpukan kain di lemari—surat beasiswa.

Itu bukan surat untuk dirinya. Melainkan surat dari universitas swasta di kota besar, ditujukan untuk Elvano. Beasiswa penuh untuk program olahraga dan akademik. Tawaran yang tidak datang dua kali, dan hanya berlaku jika sang calon siswa bersedia berangkat bulan depan.

Masalahnya, Elvano belum tahu. Dan Nayara belum tahu bagaimana cara mengatakannya.

Ia takut. Bukan karena adiknya tak mampu—justru sebaliknya. Nayara tahu Elvano pintar, berbakat, dan punya semangat tinggi. Tapi di balik semua itu, Elvano juga keras kepala, dan punya kebiasaan aneh: menolak hal besar yang justru bisa mengubah hidupnya. Ia pernah menolak ikut lomba karena tak suka dikeramaian, menolak jadi kapten tim basket karena tak ingin “jadi bahan gosip”, dan bahkan pernah batal tampil di acara sekolah hanya karena salah kostum. Semuanya karena alasan-alasan yang membuat Nayara ingin menjerit: gengsi, malu, atau malas.

Tapi kali ini berbeda. Ini tentang masa depan. Tentang keluar dari lingkaran sempit desa, dari rumah reyot, dari donat-donat yang tak selalu laku dan utang toko yang belum lunas.

Suatu malam, Nayara duduk di teras. Suasana sunyi, hanya terdengar bunyi serangga dan suara kayu berderit ditiup angin. Elvano duduk di anak tangga paling bawah, menggulir ponsel tanpa tujuan.

“Kamu mau tinggal di dusun ini selamanya, Van?” tanya Nayara tiba-tiba.

Elvano mendongak. “Kenapa nanya gitu?”

“Nggak apa-apa. Penasaran aja.”

Elvano mengangkat bahu. “Entahlah. Kayaknya enggak. Tapi aku juga belum tau mau ke mana.”

Nayara mengangguk pelan. “Kalau kamu bisa dapat kesempatan buat hidup lebih baik, kamu mau ambil?”

“Ya iyalah. Tapi kesempatan itu kan nggak dateng tiap hari.”

Dan di situlah Nayara tahu, ini waktunya.

Ia bangkit, masuk ke dalam, dan kembali dengan amplop putih yang sudah agak kusut di tangan.

“Ini,” ucapnya, menyerahkan amplop itu.

Elvano menerimanya dengan ragu, membuka dan membaca isinya dalam diam.

Beberapa menit berlalu tanpa suara. Lalu ia mendongak.

“Kamu ngumpetin ini dari aku?” suaranya terdengar tajam, bukan karena marah, tapi karena bingung.

“Aku nunggu waktu yang tepat,” jawab Nayara tenang.

“Kamu nemu ini kapan?”

“Seminggu lalu.”

“Dan kamu pikir aku nggak cukup dewasa buat mutusin?”

Nayara terdiam. Ia tahu ini akan datang. Nada menyalahkan, pertanyaan yang menusuk.

“Aku cuma pengen kamu siap. Nggak semua orang bisa dapat beasiswa kayak gini, Van.”

“Aku siap!” potong Elvano. “Kamu yang dari dulu selalu mikir aku nggak bisa ngatur hidupku sendiri!”

“Karena kadang kamu emang nggak mikir!” suara Nayara naik. “Kamu seenaknya, nyakitin orang, bilang hal-hal tanpa mikir perasaan… Kamu pikir aku senang nyuruh-nyuruh kamu di rumah, Van? Aku cuma—”

“Aku bukan anak kecil lagi, Kak! Kamu tuh nggak pernah percaya aku bisa jalanin hidupku sendiri!”

Ucapan itu menggantung lama. Elvano berdiri, masuk ke rumah, dan membanting pintu kamarnya.

Nayara tetap duduk di teras, matanya kosong menatap hutan cemara yang gelap di kejauhan. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan tangis yang sudah menggenang. Hatinya remuk. Bukan karena Elvano menolak tawaran itu—belum, setidaknya. Tapi karena Elvano belum benar-benar tahu, seberapa besar pengorbanan yang ia lakukan hanya untuk bisa menyerahkan amplop itu malam ini.

Esoknya, rumah terasa dingin. Mereka tidak saling bicara. Nayara menyiapkan sarapan seperti biasa, dan Elvano hanya mengambil roti tanpa sepatah kata. Tapi ketika ia akan keluar rumah, Elvano berhenti di depan pintu, tak berbalik, hanya berkata:

“Nanti malam, aku mau ngomong.”

Lalu ia pergi.

Dan Nayara berdiri di dapur, mencoba memahami apa maksud dari kalimat itu. Ia tak tahu apa yang akan terjadi nanti malam. Tapi ia tahu satu hal—cinta yang ia punya untuk adiknya, terlalu besar untuk dibatasi oleh kata-kata. Bahkan kalau harus kembali berkorban, Nayara akan tetap melakukannya, tanpa ragu.

Luka yang Belum Selesai

Malam datang dengan langkah lambat. Angin membawa aroma tanah basah yang tertinggal dari hujan dua hari lalu, menyelinap masuk lewat celah-celah jendela yang tak sepenuhnya rapat. Di langit, bintang-bintang tampak malas menampakkan diri. Satu-dua saja yang berani menyala di balik kabut tipis.

Nayara menyalakan lampu dapur yang menggantung di langit-langit, lalu duduk di meja dengan segelas teh yang sudah mulai dingin. Sejak pagi, pikirannya hanya berputar pada satu hal: ucapan Elvano semalam. “Nanti malam, aku mau ngomong.”

Kalimat itu lebih menyerupai teka-teki daripada janji. Dan Nayara benci menunggu jawaban yang menggantung.

Jarum jam mendekati pukul sembilan ketika suara pintu depan berderit pelan. Elvano muncul, masih mengenakan jaket hitam yang mulai lusuh, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Entah karena lelah, atau karena sempat berpikir terlalu banyak.

Nayara tidak langsung menyapa. Ia menunggu. Memberi ruang.

Elvano duduk di kursi seberang meja, menatap teh yang sudah mendingin di tangan kakaknya.

“Aku udah baca lagi surat itu,” katanya pelan. “Aku juga udah cari-cari info di warnet tadi siang.”

Nayara hanya mengangguk, menunggu ia melanjutkan.

“Kayaknya… aku bakal ambil tawaran itu.”

Hati Nayara langsung berdegup lebih cepat. Ada haru yang melompat ke tenggorokan, tapi ia menahannya agar tak meledak dalam tangis.

“Tapi,” lanjut Elvano cepat, “aku punya satu syarat.”

Nayara menatapnya, alis sedikit terangkat.

“Kamu ikut ke kota. Aku nggak mau ninggalin kamu di sini sendirian.”

Permintaan itu terdengar sederhana, tapi bagi Nayara, rasanya seperti pisau yang mengiris pelan. Ia sudah membayangkan hari itu—melepas Elvano, berdiri di terminal bus dengan tangan menggenggam uang pas-pasan, lalu kembali ke rumah kosong yang sunyinya lebih menusuk daripada kabut di hutan belakang rumah. Tapi ikut? Bagaimana mungkin?

“Van…” suaranya lirih, “aku nggak bisa.”

“Kenapa nggak?” potong Elvano. “Donat bisa kamu jual di mana aja. Di kota malah mungkin lebih laku. Kita bisa cari kontrakan bareng. Aku bisa bantu kerja sambilan juga.”

“Itu bukan soal jualan. Ini soal nenek. Siapa yang jaga beliau kalau kita berdua pergi?”

Elvano terdiam. Sorot matanya meredup.

“Kalau gitu… aku nggak pergi,” ucapnya mantap.

“Nggak, jangan gitu!” Nayara langsung membentak, nadanya hampir panik. “Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali, Van. Kamu harus pergi. Aku bisa jaga rumah, jaga nenek. Aku—”

“Kamu selalu gitu!” suara Elvano naik, kali ini bukan karena marah, tapi putus asa. “Kamu selalu nyuruh aku maju, tapi kamu sendiri diem di tempat. Kamu pikir aku senang kalau harus ninggalin kamu di sini? Kamu pikir aku nggak ngerasa bersalah tiap kali kamu masak sendiri, dagang sendiri, kerja sendiri?”

“Kamu nggak perlu ngerasa bersalah…” bisik Nayara, nyaris tak terdengar.

“Tapi aku ngerasa! Setiap hari!” Elvano memukul meja dengan kepalan tangannya. “Kamu kakakku, tapi kamu juga perempuan. Kamu manusia. Kamu juga punya hak buat bahagia, bukan cuma jadi pengorbanan buat keluarga yang hancur ini.”

Air mata Nayara tak bisa lagi ditahan.

“Aku bahagia lihat kamu dapet yang terbaik, Van,” ucapnya sambil terisak. “Kalau aku bisa ulang waktu, aku bakal tetap berhenti sekolah buat kamu. Aku bakal tetap jagain rumah, jagain nenek. Aku lakuin semua itu bukan karena aku wajib… tapi karena aku mau. Karena aku sayang kamu.”

Tangis Elvano akhirnya pecah. Tangis laki-laki yang terlalu lama menyimpan luka, terlalu sering merasa tak dianggap, dan terlalu malu untuk mengakui betapa ia sebenarnya butuh kakaknya lebih dari siapa pun di dunia ini.

Ia bangkit dari kursi dan memeluk Nayara erat.

“Aku janji…” ucapnya di sela tangis, “aku bakal pergi. Tapi nanti, kalau aku udah sukses, kamu nggak akan jualan donat lagi. Nggak akan tinggal di rumah bocor ini lagi. Nggak akan masak subuh-subuh lagi.”

Nayara tertawa kecil di balik pelukannya, meski air matanya belum berhenti.

“Elvano yang dulu nyuri nasi goreng sekarang ngomong kayak gitu,” godanya pelan.

“Yah… orang bisa berubah kan?” jawab Elvano sambil menyeka matanya, berusaha tertawa meski matanya masih merah.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, mereka berbicara tanpa saling menyakiti. Bukan sebagai kakak dan adik yang sering berseteru, tapi sebagai dua orang yang akhirnya mengerti betapa dalam cinta yang mereka simpan selama ini.

Di luar, hutan cemara berdiri tenang. Seolah ikut menyaksikan dua jiwa muda yang perlahan, meski penuh luka, akhirnya saling sembuh.

Langit yang Akhirnya Terbuka

Hari keberangkatan Elvano datang lebih cepat dari yang Nayara bayangkan. Sinar pagi terasa lebih menyilaukan dari biasanya, seakan matahari sengaja ingin jadi saksi dari perpisahan yang terasa ganjil—campuran antara harapan dan kehilangan.

Terminal kecil itu dipenuhi suara-suara: pengumuman keberangkatan, klakson angkot, ibu-ibu yang menawar gorengan, dan anak-anak sekolah yang berlarian. Tapi di tengah keramaian itu, Nayara hanya mendengar detak jantungnya sendiri. Berat, dan berulang-ulang menyuarakan satu kalimat yang tak henti terputar di kepalanya: Adikku akan pergi.

Elvano berdiri di sampingnya, membawa satu tas ransel lusuh berisi pakaian dan dokumen. Rambutnya kini dipotong lebih rapi. Ia terlihat lebih dewasa, seperti seseorang yang akhirnya sadar bahwa dunia di luar sana tak akan menunggunya untuk tumbuh. Ia harus berjalan, meski dengan langkah yang ragu.

“Jangan lupa sarapan,” pesan Nayara sambil merapikan kerah jaket Elvano.

“Iya, Kak,” jawabnya, nyaris seperti bisikan.

“Dan jangan cuma makan mie tiap malam.”

“Iya.”

“Kalau habis uang, jangan malu bilang. Jangan malah minjem temen.”

Elvano menunduk, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Iya, Kak.”

Dan di detik berikutnya, Nayara tak tahan lagi. Ia menarik Elvano ke dalam pelukan yang panjang. Tak peduli orang-orang melihat. Tak peduli kalau air matanya mengalir deras.

“Kamu harus lebih baik dari aku,” bisiknya, suara gemetar. “Kamu harus jadi orang yang bisa lihat langit lebih tinggi dari kita yang di bawah sini. Jangan cuma jadi penonton. Kamu yang harus naik ke panggung, Van.”

Elvano mengangguk dalam pelukan itu. “Aku janji. Tapi janji juga ya… kamu bakal jaga diri. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Jangan terus jadi Nayara yang mikirin semua orang, tapi lupa kamu juga manusia.”

Tangis mereka bercampur di udara pagi yang dingin.

Ketika bus datang dan Elvano melangkah masuk, Nayara berdiri tegak. Ia tak ingin Elvano melihatnya lemah. Ia ingin adiknya mengingat wajahnya yang tegar, bukan yang penuh air mata.

Bus mulai berjalan perlahan. Elvano duduk di dekat jendela, melambai dari balik kaca. Dan ketika kendaraan itu mulai menjauh, Nayara masih berdiri di tempat. Angin menerpa rambutnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar sendiri.

Namun, bukan kesepian yang menyakitkan. Tapi semacam kekosongan yang indah—seperti melepaskan burung yang selama ini ia rawat, terbang tinggi ke langit yang selalu ia ceritakan lewat jendela kamar.

Beberapa minggu kemudian, rumah menjadi lebih sepi, tapi juga lebih ringan. Nayara tetap bangun pagi, tetap membuat adonan donat, tetap pergi ke pasar dengan motor tua yang minta diservis. Tapi kini, setiap kali ia melihat ke arah hutan cemara di kejauhan, hatinya lebih tenang.

Kadang ada surat datang. Kadang video call tengah malam karena Elvano salah beli sabun yang ternyata shampo. Kadang ada suara tawa dari ujung telepon yang membuat Nayara merasa, dunia ini belum sepenuhnya jahat.

Sampai suatu sore, saat langit sedang jingga-jingganya, Nayara duduk di teras, memegang sebuah bingkisan kecil. Di dalamnya ada kaus bertuliskan nama universitas tempat Elvano kuliah, dan secarik kertas dengan tulisan tangan yang berantakan:

“Aku udah mulai jualan kopi sama temen di kampus. Hasilnya belum seberapa. Tapi ini buat kamu. Biar kamu juga bisa ngerasain, sedikit aja, gimana rasanya jadi aku di sini.

P.S: Aku masih suka donat buatan Kakak.”

Nayara tertawa. Air mata jatuh juga, tapi kali ini bukan karena kehilangan.

Ini air mata bahagia.
Air mata seorang kakak yang akhirnya melihat langit terbuka, dan adiknya terbang tinggi dengan sayap yang dulu ia bantu bentuk dari luka dan cinta.

Dan hutan cemara di kejauhan tetap berdiri diam, seperti penjaga rahasia antara dua hati yang tak selalu sejalan, tapi tak pernah terpisahkan.

“Langit di Atas Hutan Cemara” bukan sekadar cerita fiksi—ini adalah pengingat halus bahwa kadang, cinta itu nggak selalu hadir dalam bentuk kata manis atau pelukan hangat. Kadang, cinta hadir dalam bentuk kelelahan yang tak pernah diungkap, keputusan sulit yang diam-diam dibuat, dan langkah mundur demi orang yang kita sayangi bisa melangkah lebih jauh. ]

Jadi setelah baca ini, jangan cuma nangis doang ya—semoga kita bisa lebih peka sama pengorbanan kecil yang ada di sekitar kita, terutama dari orang-orang yang sering kita anggap ‘biasa’.

Leave a Reply