Daftar Isi
Gimana kalau ada tempat yang nggak boleh dimasuki, tapi rasa penasaran bikin kamu nekat buat masuk? Hutan larangan di Kalimantan Barat ini bukan sekadar mitos.
Sekali kamu melanggar batasnya, sesuatu yang tertidur akan bangkit… dan nggak bakal pergi begitu aja. Cerita ini bukan buat nakut-nakutin, tapi setelah baca, kamu bakal mikir dua kali sebelum main-main sama hal yang nggak kasat mata.
Kutukan Hutan Larangan
Sumpah Leluhur yang Terlupakan
Matahari masih tinggi di langit Kalimantan Barat, menyorot deras di atas Sungai Kapuas yang mengalir tenang. Di tepiannya, di sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya hutan, seorang lelaki tua bernama Pak Buyung duduk bersila di depan rumah panggungnya.
“Pak, kenapa sih kita selalu ribet kalau mau masuk hutan sebelah sana?” tanya Jalin, seorang pemuda yang baru saja pulang merantau ke Pontianak. Ia mengerutkan dahi, menatap hutan yang menjulang gelap di kejauhan.
Pak Buyung menghela napas, menyesap rokok lintingnya sebelum menjawab. “Karena ada yang harus kita hormati, Nak. Bukan cuma manusia yang tinggal di sini, tapi juga yang tak bisa kita lihat.”
Beberapa pemuda lain yang duduk di sekitar Pak Buyung saling pandang. Mereka sudah sering mendengar cerita tentang larangan memasuki hutan sebelah timur desa, tapi tak banyak yang benar-benar tahu alasannya.
“Aku pernah dengar cerita soal ini,” sela Gadap, salah satu pemuda yang paling berani di desa. “Katanya dulu ada orang yang nekat masuk sana terus nggak balik-balik?”
Pak Buyung menatap Gadap lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Iya. Dulu, ada yang nekat.”
Ia menarik napas dalam-dalam, seakan mengumpulkan ingatan sebelum mulai bercerita. Para pemuda semakin mendekat, tertarik dengan kisah yang hendak disampaikan.
Bertahun-tahun yang lalu, di desa yang sama, hiduplah seorang pemuda bernama Janting. Ia gagah, berani, dan tak pernah takut menghadapi apa pun. Di antara kawan-kawannya, dialah yang paling hebat berburu, paling cepat mengayuh perahu, dan paling kuat mengangkat kayu di ladang. Namun, ada satu sifat buruknya—ia terlalu percaya diri.
Hari itu, desa sedang bersiap untuk perayaan Naik Dango, ritual syukur atas panen padi yang melimpah. Segala persiapan sudah dilakukan, tetapi mereka masih kekurangan daging untuk hidangan utama. Janting, yang merasa tak ada yang lebih hebat darinya, berdiri di hadapan para pemuda desa dan berkata, “Kita berburu di hutan seberang. Dengar-dengar, rusa di sana besar-besar.”
Beberapa pemuda langsung menegang. “Tapi Janting, itu hutan larangan,” kata seorang kawannya, Bakar, dengan ragu.
Janting tertawa meremehkan. “Larangan apa? Itu cuma cerita lama biar orang-orang takut. Aku nggak percaya.”
Namun, Bakar tetap gelisah. “Tapi kita belum minta izin sama tetua adat.”
“Apa gunanya izin kalau kita cuma mau berburu?” Janting mengangkat bahunya. “Aku cuma mau bawa pulang rusa besar buat pesta nanti. Kamu mau ikut atau nggak?”
Kebisuan melanda. Beberapa kawan mereka, termasuk Gadak dan Long, akhirnya mengangguk, meski dengan perasaan ragu. Malam itu, mereka bersiap. Busur dan anak panah ditajamkan, parang diikatkan di pinggang, dan obor kecil dibawa sebagai penerangan.
Pagi buta, mereka berangkat. Kabut masih menggantung rendah di permukaan tanah ketika mereka mulai memasuki hutan. Tak seperti hutan-hutan lain yang sering mereka datangi, tempat ini terasa lebih sunyi. Tak ada suara burung, tak ada monyet yang bergelantungan, bahkan gemerisik daun terasa aneh di telinga.
Janting tidak peduli. Ia melangkah mantap, matanya tajam mencari jejak. Beberapa kawannya sudah mulai ragu dan sesekali menoleh ke belakang, seolah berharap ada alasan untuk kembali.
Setelah hampir setengah hari berjalan, mereka akhirnya menemukan seekor rusa besar di tengah sebuah padang rumput kecil. Tanduknya bercabang banyak, bulunya cokelat kemerahan, dan sorot matanya terlihat tajam—seperti menatap langsung ke dalam jiwa mereka.
Janting tersenyum puas. “Bagus. Ini yang aku cari.”
Ia mengangkat busurnya, menarik tali dengan mantap. Namun, sebelum ia bisa melepaskan anak panah, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Angin berdesir kencang, dedaunan berbisik seolah sedang memperingatkan.
“Janting, jangan,” bisik Bakar, suaranya nyaris tak terdengar.
Janting mengabaikannya. Dengan satu hembusan napas, ia melepas panahnya.
Anak panah melesat tajam dan menancap tepat di jantung rusa itu. Hewan itu mengerang lirih, tubuhnya perlahan jatuh ke tanah. Namun, yang membuat mereka semua merinding bukanlah suara rusa yang sekarat—melainkan suara aneh yang mengikuti setelahnya.
Suara bisikan.
Angin semakin kencang. Langit yang tadi cerah tiba-tiba mendung pekat. Dari sudut matanya, Long melihat bayangan-bayangan hitam muncul dari sela-sela pepohonan.
“Kita harus pergi!” seru Gadak.
Tapi sebelum mereka bisa berbalik, sesuatu terasa berubah. Tanah di bawah kaki mereka seperti bergerak, udara menjadi berat, dan mereka semua merasakan hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh.
Janting, yang masih berdiri di dekat bangkai rusa, merasa lehernya seperti dicekik oleh sesuatu yang tak terlihat. Tubuhnya membeku, matanya membelalak dalam ketakutan.
Sebuah suara lirih terdengar, menggetarkan udara di sekitar mereka.
“Kau telah melanggar sumpah leluhur.”
Suara itu bergema di kepala mereka, seakan berasal dari ribuan tahun yang lalu.
Para pemuda itu berteriak panik, mencoba melarikan diri. Tapi semakin mereka berlari, semakin hutan terasa tak berujung. Nafas mereka memburu, keringat dingin mengalir, dan tubuh mereka seolah ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat.
Hingga akhirnya—
Semua menjadi gelap.
Pak Buyung mengembuskan napas panjang, matanya menatap lurus ke para pemuda yang kini terdiam.
“Sejak hari itu, Janting dan teman-temannya tak pernah kembali. Yang ditemukan hanya busur patah, jejak-jejak samar, dan tanah yang tampak seperti baru digali,” katanya pelan.
Jalin menelan ludah, sementara Gadap menyandarkan punggung ke tiang rumah panggung, merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya.
“Jadi…” suara Jalin terdengar serak, “itu sebabnya nggak boleh masuk ke hutan itu?”
Pak Buyung mengangguk. “Orang yang melanggar adat tidak akan diberi jalan pulang.”
Langit mulai berwarna jingga saat suara gendang dari pusat desa mulai terdengar. Perayaan Naik Dango akan segera dimulai. Tapi kini, bagi para pemuda yang mendengar kisah itu, ada sesuatu yang berbeda di udara—sebuah perasaan bahwa cerita tadi bukan sekadar dongeng lama.
Sementara itu, di dalam hutan, angin kembali berdesir. Seolah ada sesuatu yang masih mengawasi.
Rusa Penjaga Hutan Keramat
Malam turun dengan cepat di desa, menutup langit dengan kelam yang pekat. Api unggun besar di tengah pelataran berkobar, menerangi wajah-wajah penduduk yang bersiap merayakan Naik Dango. Namun, di sudut desa, di bawah rumah panggung Pak Buyung, beberapa pemuda masih duduk dengan gelisah. Cerita tadi masih bergema di benak mereka.
“Aku masih nggak percaya,” kata Jalin, suaranya sedikit bergetar. “Masa iya hutan itu benar-benar terkutuk?”
Gadap menelan ludah. “Kalau nggak percaya, besok kita coba masuk.”
Semua mata menoleh ke arah Gadap. Wajah-wajah mereka berubah tegang.
“Kamu gila?” sergah Bakar. “Udah jelas dibilangin kalau tempat itu bukan buat manusia.”
“Tapi kita nggak pernah lihat sendiri, kan?” Gadap bersikeras. “Siapa tahu itu cuma cerita lama buat nakut-nakutin orang.”
Pak Buyung, yang sedari tadi diam, tiba-tiba bersuara. “Dulu, Janting juga berpikir begitu.”
Suasana langsung hening.
Sementara itu, di dalam hutan yang sunyi, sesuatu bergerak di antara pepohonan. Jejak langkah samar masih tertinggal di tanah lembap, tapi tidak ada pemiliknya.
Angin berhembus pelan, membawa suara bisikan yang tak bisa dipahami manusia.
Janting berdiri di tempat yang sama, matanya kosong menatap kegelapan. Tangannya masih menggenggam busur yang kini tak lagi memiliki senar. Tubuhnya terasa ringan, tapi juga berat. Di sekelilingnya, kawan-kawannya masih tergeletak di tanah, napas mereka pendek dan tersengal.
Dia mencoba bicara, tapi tak ada suara yang keluar.
Sebuah suara lain datang dari belakangnya.
“Kamu sudah melanggar batas.”
Janting berbalik. Sesosok pria tua berdiri di sana, wajahnya dipenuhi kerutan yang seperti diukir oleh waktu. Matanya tajam, menusuk langsung ke dalam jiwa Janting.
“Siapa… kamu?” Janting akhirnya bisa berbicara, meski suaranya serak.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Janting, lalu melirik ke bangkai rusa yang kini sudah mulai memudar, seolah tubuhnya tengah dihisap oleh tanah.
“Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan?”
Janting menelan ludah. Ia ingin berkata bahwa ia hanya berburu, bahwa ia hanya ingin membawa pulang daging untuk perayaan desa. Tapi kata-kata itu terasa kosong di lidahnya.
Pria tua itu melangkah maju, suaranya berat dan penuh peringatan.
“Rusa yang kamu bunuh bukan sekadar hewan. Ia adalah penjaga hutan ini. Dan kamu… telah membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup.”
Janting mundur selangkah. “Aku… aku nggak tahu.”
“Kebodohan bukan alasan.”
Tiba-tiba, suara samar mulai terdengar dari pepohonan. Bayangan-bayangan muncul, bergerak tanpa bentuk yang jelas. Mata-mata merah menyala dalam gelap, mengawasi mereka.
Janting menoleh ke teman-temannya yang masih tergeletak. “Tolong… biarkan kami pergi.”
Pria tua itu menggeleng. “Kalian bisa pergi. Tapi tidak dengan harga yang murah.”
Di desa, Gadap masih berusaha meyakinkan yang lain untuk ikut dengannya esok hari.
“Kita nggak akan masuk jauh. Cuma lihat dari pinggiran aja,” katanya meyakinkan.
Bakar masih menolak. “Kalau kamu mau mati, silakan. Aku nggak mau ikut-ikutan.”
Jalin menghela napas panjang. “Udah, kita nggak usah macam-macam. Aku tahu kamu penasaran, tapi nggak semua hal harus kita buktikan sendiri.”
Gadap mendengus kesal, tapi tak berkata apa-apa lagi. Ia menatap hutan di kejauhan, yang tampak gelap dan tak bersuara. Seolah menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pepohonan.
Di dalam hutan itu, sesuatu sedang menunggu.
Hukuman dari Dunia Tak Kasat Mata
Pagi menjelang dengan kabut tebal yang menggantung rendah di atas desa. Aroma embun bercampur dengan asap sisa perayaan semalam masih tercium samar. Namun, di tengah suasana yang seharusnya damai, kegelisahan merayap di hati para pemuda yang semalam mendengarkan kisah Pak Buyung.
Jalin terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya mengarah ke jendela, ke arah hutan larangan yang berdiri bisu di kejauhan. Ia merasakan sesuatu yang aneh—seolah udara pagi ini lebih berat, lebih pekat dari biasanya.
Di luar, Gadap sudah bersiap. Parang tergantung di pinggangnya, langkahnya ringan, tapi sorot matanya tajam.
“Kamu beneran mau masuk?” tanya Jalin yang kini berdiri di ambang pintu rumahnya.
Gadap menoleh. “Cuma di pinggirnya aja. Aku mau lihat apakah semua cerita itu benar.”
Jalin menggeleng pelan. “Jangan gegabah, Gadap.”
Namun, Gadap sudah melangkah pergi, diikuti beberapa pemuda lain yang masih ragu tapi penasaran. Mereka berjalan melewati ladang yang basah oleh embun, lalu menembus hutan kecil yang membatasi desa dari hutan larangan. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahan kaki mereka.
Ketika mereka akhirnya tiba di batas hutan larangan, Gadap berhenti.
Hutan itu berbeda dari yang lain.
Udara di dalamnya terasa lebih dingin. Pepohonan menjulang tinggi, daunnya lebih gelap, dan aroma tanahnya lebih tajam. Tak ada suara burung atau binatang lain. Hanya kesunyian yang aneh, seperti tempat itu tidak pernah tersentuh kehidupan.
Gadap menarik napas dalam-dalam. “Cuma sebentar.”
Ia melangkah masuk.
Di dalam hutan, Janting berdiri di hadapan pria tua itu, tubuhnya gemetar.
“Kamu ingin pulang?” suara pria itu terdengar bergema di sekelilingnya.
Janting mengangguk. “Aku mohon…”
Pria tua itu menghela napas panjang. “Pulang bukan hak yang bisa kamu minta begitu saja.”
Janting merasakan udara di sekelilingnya berubah. Bayangan-bayangan hitam yang tadi mengintai kini semakin dekat. Mata-mata merah mereka berkedip pelan, seolah menunggu sesuatu.
“Kamu sudah merusak keseimbangan,” lanjut pria tua itu. “Kamu mengambil sesuatu yang bukan hakmu. Maka, sebagai gantinya… sesuatu akan diambil darimu.”
Tiba-tiba, tubuh Janting terasa berat. Ia melihat ke bawah—kakinya mulai menghilang, berubah menjadi kabut tipis yang perlahan naik ke tubuhnya.
Janting menjerit, tapi tak ada suara yang keluar.
Satu per satu, teman-temannya yang tergeletak mulai mengalami hal yang sama. Tubuh mereka memudar, diserap oleh hutan yang kini mengklaim mereka sebagai bagian darinya.
Mata Janting bertemu dengan mata pria tua itu untuk terakhir kalinya.
“Kamu tidak akan benar-benar hilang,” kata pria itu. “Kamu hanya akan menjadi bagian dari tempat ini… selamanya.”
Dan dalam sekejap, mereka menghilang.
Di tepi hutan, Gadap dan teman-temannya merasakan udara berubah.
“Kenapa rasanya tiba-tiba dingin banget?” bisik Long.
Gadap melangkah lebih dalam, matanya mencari sesuatu yang bisa menjelaskan perasaan aneh ini. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh—
“Gadap, kita balik!” seru Jalin dari belakang.
Namun Gadap tidak bergerak. Ia menatap sesuatu di tanah.
Busur patah.
Kayu tuanya telah lapuk, senarnya sudah putus, tapi bentuknya masih jelas. Gadap meraih benda itu dengan tangan gemetar.
Ketika ia menyentuhnya, suara berbisik terdengar di telinganya.
“Pergilah… sebelum kamu tidak bisa kembali.”
Jalin, yang kini sudah berdiri di belakang Gadap, melihat wajah temannya yang pucat pasi.
“Apa yang kamu lihat?” tanyanya pelan.
Gadap tidak menjawab. Ia membuang busur itu dan segera berlari keluar dari hutan, diikuti oleh yang lain.
Namun, saat mereka hampir mencapai desa, Gadap mendengar sesuatu—
Langkah kaki.
Bukan langkah mereka.
Seseorang… atau sesuatu… mengikuti mereka dari dalam hutan.
Dan Gadap tahu, mereka baru saja membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur.
Yang Dibangunkan Tidak Akan Pergi
Malam kembali turun di desa. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Udara terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari kejauhan. Para penduduk tidak menyadari apa yang terjadi di hutan siang tadi, tapi Gadap dan teman-temannya tahu. Mereka tahu sesuatu telah berubah.
Gadap duduk di beranda rumahnya, memandangi hutan larangan yang kini tampak lebih gelap dari biasanya. Jalin dan Long duduk di sampingnya, diam tanpa sepatah kata. Mereka masih bisa merasakan hawa aneh yang mengikuti mereka sejak keluar dari hutan tadi siang.
“Kamu denger itu?” bisik Long tiba-tiba.
Gadap menegang. Suara itu… seperti langkah kaki di luar rumah.
Jalin menelan ludah. “Jangan bercanda.”
Long menggeleng. “Aku serius. Ada sesuatu di luar.”
Mereka bertiga saling pandang, lalu pelan-pelan berdiri. Gadap menggenggam parang kecil di tangannya, meski ia tahu bahwa senjata itu mungkin tidak akan berguna.
Pelan, ia berjalan menuju jendela dan mengintip keluar.
Di bawah cahaya bulan yang samar, ia melihatnya.
Seseorang… atau sesuatu… berdiri di tengah jalan desa.
Tinggi, kurus, tubuhnya seperti bayangan yang tidak jelas bentuknya. Wajahnya samar, tapi matanya… dua titik merah yang menyala di kegelapan.
Jalin tersentak mundur. “Apa itu…?”
Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.
Lalu, perlahan, ia melangkah maju.
Gadap merasa kakinya melemas. “Ini bukan manusia…”
Ketika sosok itu semakin dekat, suara aneh mulai terdengar—suara bisikan. Bukan satu, tapi banyak. Seperti ada yang berbisik dari segala arah.
“Kalian memanggil kami… Kami sudah terjaga… Kami tidak akan pergi…”
Angin berhembus kencang. Api di pelita yang tergantung di rumah-rumah berkedip, hampir padam.
Tiba-tiba, seluruh desa menjadi sunyi.
Lalu, sesuatu berlari melintas di depan rumah mereka—begitu cepat hingga hanya terlihat seperti bayangan hitam.
Jalin tersentak. “Kita harus kasih tahu orang-orang.”
Tapi sebelum mereka sempat bergerak, sesuatu mengetuk pintu.
Tok… tok… tok…
Gadap membeku. Ia tahu, tidak mungkin ada orang yang mengetuk pintu rumahnya pada jam segini.
Jalin menatapnya dengan wajah pucat. Long memegang tangannya erat, tangannya gemetar.
Tok… tok… tok…
Ketukan itu semakin keras.
Lalu terdengar suara dari luar.
Suara yang tidak mereka kenali.
“Buka pintunya.”
Nadanya datar. Tidak marah, tidak memohon, hanya… menuntut.
Gadap meraih parang di tangannya. Jalin menahan napas.
Tidak ada yang bergerak.
Tok… tok… tok…
Tapi ketika mereka berpikir bahwa suara itu tidak akan berhenti, tiba-tiba…
Sunyi.
Tidak ada lagi ketukan. Tidak ada suara. Bahkan angin pun berhenti bertiup.
Gadap menunggu.
Satu detik. Dua detik.
Lalu, ia mengintip dari celah pintu.
Dan tidak ada siapa pun di sana.
Hanya malam yang gelap, sepi, dan hutan larangan di kejauhan yang kini terasa lebih hidup dari sebelumnya.
Gadap menarik napas berat.
Ia tahu, ini belum berakhir.
Mereka telah membangunkan sesuatu.
Dan sesuatu itu… tidak akan pernah pergi.
Apa yang ada di hutan larangan itu nggak pernah benar-benar hilang. Kamu mungkin bisa keluar dengan tubuh utuh, tapi siapa yang bisa jamin kamu nggak bawa sesuatu dari dalam sana? Malam ini, kalau kamu denger suara bisikan di jendela atau ketukan pelan di pintu… jangan pernah buka. Karena mungkin, kamu juga udah membangunkan sesuatu.


