Daftar Isi
Kamu pernah denger mitos tentang makanan yang terlalu enak buat jadi kenyataan? Nah, di desa terpencil ini, ada warung makan yang selalu rame.
Gulai merahnya legendaris—rasanya kaya rempah, gurih, dan bikin nagih. Tapi, ada satu hal yang orang-orang nggak tau… Kenapa setiap pelanggan yang terlalu sering makan di sana, selalu menghilang tanpa jejak?
Kutukan Gulai Darah
Dapoer Nyai Sumi
Di pinggir jalan desa yang dipenuhi pepohonan rimbun, berdirilah sebuah warung makan tua dengan papan kayu kusam bertuliskan “Dapoer Nyai Sumi.” Warung itu tidak besar, hanya memiliki beberapa meja kayu panjang dan bangku-bangku sederhana. Atapnya masih dari rumbia, dan aroma rempah yang kuat selalu tercium dari dapurnya.
Anehnya, meski warung itu dikenal luas, tak pernah terlihat banyak orang makan di sana. Ada yang bilang, warung itu selalu ramai pelanggan… hanya saja, bukan pelanggan yang terlihat oleh mata manusia.
Hari itu, seorang pria muda bertubuh tegap dengan jaket denim lusuh dan kamera tergantung di lehernya berhenti di depan warung. Matanya yang tajam menyapu sekitar, memperhatikan suasana sepi yang terasa aneh. Ia adalah Rama, jurnalis kuliner yang sedang menyusun artikel tentang mitos dan legenda kuliner Indonesia.
“Warungnya masih buka, kan?” gumamnya. Ia melangkah masuk, menyingkap tirai bambu yang menggantung di pintu masuk.
Di dalam, hanya ada satu pelanggan tua yang duduk membelakanginya, sesekali menyeruput teh dari cangkir kecil. Di balik meja kayu panjang, seorang wanita tua dengan kerutan tajam di wajahnya berdiri tegak.
Bu Sarma.
Ia menatap Rama lama, sebelum akhirnya berbicara dengan suara parau. “Mau makan, Nak?”
Rama mengangguk. “Iya, saya dengar di sini ada gulai merah yang legendaris.”
Mata Bu Sarma menyipit sedikit. “Gulai Merah Sukma?” tanyanya pelan.
Rama tersenyum kecil. “Iya, itu. Banyak orang kota bilang ini cuma mitos, warung ini juga katanya angker. Saya penasaran, sebenarnya ini fakta atau cuma kepercayaan orang desa?”
Bu Sarma tidak langsung menjawab. Ia berbalik menuju dapur, meninggalkan Rama yang masih berdiri di tengah ruangan. Aroma rempah semakin kuat, bercampur dengan sesuatu yang… aneh.
Bukan aroma basi, bukan juga bau anyir, tapi ada sesuatu di sana yang membuat bulu kuduk Rama sedikit meremang.
Satu menit kemudian, Bu Sarma kembali dengan seporsi gulai merah yang mengepul.
Mangkok tanah liat berisi kuah merah pekat itu diletakkan di hadapan Rama. Potongan daging besar mengapung di dalamnya, diselimuti kuah berkilauan di bawah cahaya redup.
“Silakan.”
Rama menelan ludah. Baunya benar-benar menggoda, bahkan lebih menggoda dari gulai mana pun yang pernah ia cicipi. Dengan perlahan, ia mengambil sendok dan menciduk kuahnya.
Tapi sebelum sendok itu menyentuh bibirnya, suara parau terdengar dari pelanggan tua yang sedari tadi diam.
“Nak… Kau yakin mau makan itu?”
Rama menoleh. Kakek tua itu menatapnya dengan sorot mata penuh peringatan.
“Kenapa?” tanya Rama, sedikit terganggu.
Si kakek mendekatkan tubuhnya, lalu berbisik pelan. “Karena orang yang pernah makan itu… nggak pernah bisa cerita lagi soal rasanya.”
Gulai Merah Sukma
Rama menatap kakek tua di depannya. Kata-kata pria itu menggantung di udara, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikannya, tapi tertahan.
“Orang yang pernah makan itu… nggak pernah bisa cerita lagi soal rasanya.”
Rama menegakkan punggungnya, matanya menyipit. “Maksud, Kakek?”
Si kakek hanya menggeleng pelan sebelum kembali menyeruput tehnya, seolah tidak ingin melanjutkan pembicaraan.
Bu Sarma masih berdiri di balik meja, memperhatikan tanpa ekspresi. Di baliknya, dapur yang temaram terasa seperti menyembunyikan lebih banyak rahasia daripada yang terlihat.
Rama kembali menatap mangkuk di hadapannya. Kuah merah kental itu masih mengepul, menguarkan aroma rempah yang menggiurkan sekaligus… ganjil.
Ini cuma makanan.
Tanpa pikir panjang, ia membawa sendok ke mulutnya.
Begitu cairan pekat itu menyentuh lidahnya, tubuhnya merespons secara otomatis. Rasanya… luar biasa.
Rempahnya begitu kaya, menggigit dengan sempurna, meninggalkan jejak pedas yang berbaur dengan rasa gurih yang dalam. Ada sedikit keasaman, sedikit manis, dan sesuatu yang membuatnya terlalu lezat untuk dijelaskan.
Lebih nikmat dari gulai mana pun yang pernah ia cicipi.
“Astaga…” bisik Rama, matanya sedikit melebar.
Tanpa sadar, ia mengambil sesendok lagi. Dan lagi.
Semakin ia makan, semakin lidahnya ketagihan.
Namun, di suapan keempat, sesuatu berubah.
Rasa gurih itu tiba-tiba terasa berbeda. Ada sensasi aneh yang menjalar ke tenggorokannya. Seperti ada sesuatu yang berbisik di dalam kepalanya.
Rama meletakkan sendok. Dahi mulai berkeringat.
Apa ini?
Ia menoleh ke arah kakek tua tadi, tapi pria itu sudah menghilang. Kursinya kosong, hanya menyisakan cangkir teh yang masih mengepul.
Sejak kapan dia pergi?
Rama menoleh ke Bu Sarma. Perempuan tua itu masih berdiri di tempatnya, tapi sekarang ia tersenyum.
Senyuman kecil, tapi dingin.
“Suka?” tanyanya pelan.
Rama menelan ludah. Dadanya mulai terasa berat. Tiba-tiba ruangan terasa lebih panas, suara dari luar terdengar semakin jauh.
Lalu, suara lain muncul.
“Tolong…”
Rama membeku.
Suara itu pelan, hampir seperti bisikan, datang dari dalam dapur. Suara seorang wanita.
Seketika, bulu kuduknya berdiri.
“Kamu dengar sesuatu?” tanyanya pada Bu Sarma.
Perempuan tua itu hanya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Hanya suara dapur yang bernyanyi.”
Suaranya terdengar terlalu tenang.
Rama mengalihkan pandangannya ke dapur yang gelap. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tidak ingin ia lihat, tapi juga menariknya mendekat.
Klek.
Lampu dapur tiba-tiba berkedip. Sekilas, dalam bayangannya, Rama melihat gentong besar di sudut ruangan. Tutupnya sedikit terbuka.
Dari dalamnya, ia bisa melihat sesuatu yang mengambang di dalam cairan merah.
Sesuatu… yang tampak seperti wajah manusia.
Gentong yang Berbisik
Rama menahan napas.
Bayangan itu masih melekat di matanya—sesosok wajah pucat mengambang di dalam gentong, matanya kosong, kulitnya pucat seperti direndam terlalu lama.
Ini cuma halusinasi. Aku cuma kecapekan.
Tapi tubuhnya tidak bisa berbohong.
Dada terasa sesak, bulu kuduknya masih berdiri, dan entah kenapa, suara dari dalam dapur semakin jelas.
“Tolong… Aku di sini…”
Rama menoleh ke Bu Sarma.
Perempuan tua itu tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya masih sama—senyum tipis yang terlalu tenang untuk situasi seperti ini.
Rama mencoba mengatur napas. “Bu,” suaranya terdengar lebih rendah dari yang ia harapkan. “Saya boleh lihat dapurnya?”
Tepat saat ia mengucapkan kalimat itu, suara dari dapur terdiam.
Bu Sarma tetap diam selama beberapa detik. Matanya yang dipenuhi kerutan menatap Rama tajam, seolah sedang menimbang sesuatu.
Lalu, ia melangkah ke samping.
“Suka-suka kamu.”
Jantung Rama berdegup lebih kencang. Ia tidak menyangka perempuan itu benar-benar memperbolehkannya masuk.
Dengan langkah hati-hati, ia berjalan ke arah dapur. Lantainya terasa lebih dingin dibanding ruang makan, dan udara di sini lebih lembap. Aroma rempah yang sedari tadi menusuk hidungnya kini bercampur dengan bau besi—bau darah.
Matanya langsung tertuju pada gentong besar di sudut ruangan.
Gentong itu terbuat dari tanah liat tua, tingginya hampir setengah badan Rama. Tutup kayunya miring, terbuka beberapa sentimeter, seolah mengundang siapa pun untuk mengintip isinya.
Ia menelan ludah.
Tangannya terangkat, perlahan meraih tutup gentong.
Tepat saat jari-jarinya menyentuh kayu tua itu—
Brak!
Tiba-tiba pintu dapur tertutup sendiri dengan keras.
Jantung Rama hampir copot. Ia menoleh ke belakang—tidak ada siapa-siapa. Bu Sarma masih di ruang makan, berdiri dengan posisi yang sama seperti tadi.
Dari belakang, terdengar suara ceprat-cepret—seperti sesuatu yang bergerak di dalam cairan kental.
Tangannya bergetar, tapi ia tetap mendorong tutup gentong dengan perlahan.
Dan saat akhirnya terbuka—
Gluk.
Sesuatu yang lunak mengapung ke permukaan.
Jari manusia.
Rama terlonjak mundur. Wajahnya memucat saat melihat lebih dalam. Di bawah lapisan lemak yang mengapung, ia bisa melihat potongan tangan, daging yang terkoyak, dan… wajah.
Wajah seorang perempuan.
Matanya kosong, mulutnya sedikit terbuka, seolah ingin berteriak sebelum tenggelam ke dalam cairan merah itu.
Darah. Itu bukan gulai. Itu darah.
Rama ingin berteriak, tapi tenggorokannya tercekat.
Tiba-tiba, suara pelan terdengar dari belakangnya.
“Sekarang kamu tahu.”
Rama menoleh dengan cepat.
Di sudut ruangan, berdiri seorang perempuan muda dengan baju compang-camping, wajahnya pucat dengan bekas luka panjang di lehernya.
Dan yang paling mengerikan—Rama mengenali wajahnya.
Itu wajah yang sama dengan yang ada di dalam gentong.
Santapan Terakhir
Wajah pucat itu masih berdiri di sudut ruangan.
Rama ingin lari, ingin berteriak, tapi tubuhnya seakan membatu.
Mata perempuan itu kosong, kulitnya seputih mayat yang lama direndam air. Pakaiannya kotor, lusuh, dengan bekas luka menghitam di lehernya. Namun, yang membuat Rama hampir kehilangan keseimbangan adalah wajahnya—karena ia baru saja melihat wajah yang sama di dalam gentong.
Tubuh Rama gemetar. “S-siapa… kamu?”
Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, memperhatikan Rama dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Tiba-tiba, suara sendok jatuh terdengar dari ruang makan.
Rama tersentak, menoleh ke arah meja. Bu Sarma masih di sana, tetapi kali ini ekspresinya berubah.
Dari wajahnya yang biasanya tenang, kini muncul sesuatu yang lebih menyeramkan.
Senyuman.
Senyuman yang lebar, dingin, seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang menyenangkan.
“Kamu sudah makan cukup banyak, Nak.” Suaranya tenang, tapi ada sesuatu yang membuat Rama semakin merinding.
Rama mundur selangkah, tangannya masih gemetar. “Apa yang kalian lakukan di sini?”
Bu Sarma menghela napas, seolah bosan. “Ah… anak kota selalu penasaran dengan hal-hal yang seharusnya mereka tinggalkan.”
Rama melirik ke arah perempuan hantu di sudut ruangan. Sosok itu masih diam, tapi ada sesuatu di matanya—seperti harapan yang tipis, seakan menunggu sesuatu terjadi.
“Dia…” Rama menunjuk hantu itu. “Siapa dia? Kenapa ada di sini?”
Bu Sarma menyandarkan tangannya ke meja, tatapannya semakin tajam.
“Kamu sudah memakannya.”
Rama mengerutkan kening. “Apa maksud—”
Lalu, ia ingat.
Kuah merah yang ia makan.
Rasanya yang terlalu nikmat, terlalu menggoda.
Dan gentong yang penuh dengan…
Perutnya terasa mual. “Kamu… kamu masak manusia?”
Bu Sarma hanya tersenyum. “Daging manusia memiliki rasa yang lebih kaya dibandingkan daging hewan biasa. Tapi bukan sembarang manusia, Nak.”
Jantung Rama berdegup semakin kencang.
“Mereka yang mati karena ketakutan, yang mati dalam penderitaan… daging mereka lebih lezat. Kuahnya lebih kental. Dan, tentu saja, memiliki rasa yang tak terlupakan.”
Rama ingin muntah. Ia mundur lebih jauh, tetapi tubuhnya terasa semakin berat. Tangannya mulai gemetar tak terkendali.
Ada yang salah dengan tubuhnya.
Dari ujung jarinya, perlahan kulitnya berubah lebih pucat. Suara di kepalanya semakin jelas.
“Tolong… Aku di sini…”
Bukan hanya satu suara. Kini ada banyak.
Mereka berbisik, merintih, menangis.
Dan dari dalam gentong, sesuatu mulai bergerak. Cairan merah itu beriak, seakan ada yang mencoba keluar dari dalamnya.
Bu Sarma menggeleng pelan. “Kamu makan terlalu banyak, Nak.”
Rama mencoba berlari, tapi kakinya terasa berat. Sesuatu menariknya. Dadanya sesak, seolah sesuatu sedang merangkak masuk ke dalam tubuhnya.
Sementara itu, perempuan hantu tadi melangkah mendekat. Bibirnya bergetar, seolah ingin berbicara, dan akhirnya suara lirih keluar dari mulutnya:
“Aku… juga dulu seperti kamu.”
Mata Rama melebar.
Lalu, tiba-tiba—
Gelap.
Ketika Rama membuka mata, dunia di sekitarnya berubah.
Ia berdiri di dapur yang kini kosong. Tidak ada lagi Bu Sarma, tidak ada lagi gentong darah.
Tapi ia tahu sesuatu telah terjadi.
Ia mencoba berbicara, tapi suaranya tidak keluar.
Lalu, saat ia melihat ke cermin di sudut ruangan, dadanya mencelos.
Wajahnya… bukan lagi wajahnya.
Kulitnya lebih pucat, matanya kosong. Dan di lehernya—bekas luka menghitam.
Ia ingin berteriak, tapi tidak bisa.
Karena sekarang, ia bukan lagi Rama yang hidup.
Beberapa hari kemudian, rumah makan Bu Sarma kembali ramai.
Orang-orang dari desa dan kota datang, tertarik oleh kelezatan gulai merah yang konon katanya terlalu nikmat untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Dan di dapur, Bu Sarma tersenyum, menuangkan kuah merah dari gentong besar.
Sementara di sudut ruangan, di tempat paling gelap, seorang pemuda dengan kulit pucat dan mata kosong berdiri, memperhatikan dengan tatapan putus asa.
Suaranya bergetar saat berbisik, tapi tidak ada yang mendengar.
“Tolong… Aku di sini…”
Di luar sana, warung makan Bu Sarma masih buka. Orang-orang masih datang, masih menikmati gulai merah yang katanya terlalu enak buat dijelasin. Tapi cuma sedikit yang sadar… mereka bukan sekadar pelanggan. Mereka cuma tinggal nunggu giliran.
Jadi, kalau kamu lagi jalan-jalan ke desa dan nemu warung gulai yang rasanya terlalu sempurna—mungkin kamu harus mikir dua kali sebelum suapan pertama. Karena bisa jadi, kamu bakal jadi bahan utama untuk menu berikutnya.


