Kisah Yazeed: Hafidz Qur’an Cilik dari Palestina yang Menanam Ayat di Tengah Reruntuhan

Posted on

Gimana jadinya kalau di tengah gempuran perang dan puing-puing kehancuran, justru tumbuh seorang anak yang hafal Qur’an dan jadi cahaya buat banyak orang? Cerpen ini bukan sekadar cerita fiksi biasa—ini potret harapan dari Gaza, tempat di mana setiap ayat yang dihafal bisa jadi tameng dan pengingat bahwa iman nggak pernah padam.

Yuk kenalan sama Yazeed, bocah Palestina yang nggak cuma hafal ayat-ayat suci, tapi juga bikin orang-orang di sekitarnya ikut jatuh cinta sama Qur’an. Ceritanya mengharukan, penuh makna, dan dijamin bikin kamu nggak bisa berhenti baca sampai akhir!

Kisah Yazeed

Cahaya dari Lilin Terakhir

Angin malam menyusup dari sela-sela dinding yang mulai rapuh, menggoyangkan kain robek yang digantung sebagai penutup jendela. Di dalam ruangan sempit itu, hanya ada satu cahaya—lilin kecil yang meleleh perlahan, diletakkan di atas kaleng biskuit bekas. Bayangannya menari di dinding, membentuk siluet dua sosok yang duduk bersisian: seorang wanita tua dengan sorban melilit kepala, dan anak laki-laki yang menatap mushaf usang di pangkuannya.

Yazeed tak mengeluh, meski matanya sudah berair karena asap lilin dan kepalanya berdenyut karena belum makan malam. Di sisi kirinya, ibunya sedang melantunkan ayat pelan-pelan, suaranya hampir menyatu dengan suara malam yang sunyi.

“Wa idz qāla rabbuka lil-malāikati innī jāʿilun fil-arḍi khalīfah…”
Suara Umm Yazeed terdengar pelan, sabar. Setiap harakat, setiap mad dibacanya perlahan agar Yazeed bisa mengikuti.

“Coba ulangi, Yazeed,” ucapnya sambil menoleh lembut ke arah anak semata wayangnya.

Yazeed menghela napas pelan, lalu menirukan bacaan itu, meskipun lidahnya belum seluwes lidah ibunya.
“Wa idz qāla rabbuka lil… malaikati… inni… jaa… ja’ilun…”

Umm Yazeed tersenyum, memperbaiki sedikit intonasinya. “Bukan ‘jaa’, tapi ‘jāʿi-lun’, anakku. Huruf ‘ain’-nya jangan hilang. Coba ulangi bagian itu aja dulu.”

Ia mengangguk pelan, lalu mengulang, kali ini dengan lebih hati-hati. Bibirnya gemetar, bukan hanya karena takut salah, tapi juga karena udara malam yang menggigit.

Di luar, suara pesawat tempur terdengar sayup. Suara yang sudah menjadi biasa, namun tetap membuat bulu kuduk berdiri. Tapi tak ada yang beranjak dari lantai tanah itu. Tak ada yang menyuruh untuk tiarap atau bersembunyi. Di rumah kecil itu, hanya ada satu ketakutan: jika hafalan hari ini tak selesai.

“Aku masih salah, ya?” tanya Yazeed lirih, setelah mencoba tiga kali.

Umm Yazeed menggeleng. “Kamu belum salah. Kamu sedang belajar. Salah itu kalau kamu menyerah.” Ia membelai kepala anaknya yang kini rambutnya mulai panjang karena tak ada tukang cukur yang bisa diandalkan di kamp itu.

Yazeed menggigit bibir. Ia tak ingin menyerah. Ia tak ingin jadi anak-anak biasa yang hanya berlarian sambil melempar batu ke arah pagar besi militer. Ia ingin seperti ayahnya. Lelaki yang hafal tiga puluh juz dan mengimami shalat tahajud di masjid kamp sebelum akhirnya syahid dalam reruntuhan saat membantu seorang lansia keluar dari masjid yang terkena serangan udara.

Yazeed masih mengingat betul hari itu. Tubuh ayahnya digotong dengan hanya satu bagian yang utuh. Tapi mushaf kecil milik ayahnya ditemukan tak rusak sedikit pun. Sejak saat itu, ia bersumpah dalam diam untuk meneruskan hafalan itu.

Sore tadi, Umm Yazeed memberikan mushaf itu kepadanya. Sampulnya sudah lusuh, ujung-ujungnya sobek, namun ayat-ayatnya masih jelas, walau warnanya sudah tak seterang dulu. Di halaman pertama, ada tulisan tangan kecil: “Untuk anakku. Jadilah penjaga firman Allah, bahkan jika bumi ini tak lagi menjaga kita.”

Sore tadi juga, Yazeed sempat bertanya, “Bu, kenapa sih kamu terus paksa aku hafal Qur’an? Aku tahu ini baik, tapi kadang aku capek.”

Jawaban ibunya datang seperti selalu: dengan tenang, tanpa emosi.
“Kamu tahu nggak, kenapa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap?”
Yazeed mengangkat bahu. “Supaya mudah dihafal?”
“Salah satunya. Tapi juga supaya manusia kuat. Karena setiap ayat turun, manusia diajak bertahan satu langkah lagi. Kalau kamu hafalin ayat hari ini, kamu akan lebih kuat besok.”
Ia menunduk. “Tapi kalau aku nggak kuat juga gimana?”
“Kamu tetap kuat, nak. Karena ayat itu akan tinggal di dada kamu. Ayat itu akan bicara buat kamu nanti, waktu aku nggak bisa.”
Umm Yazeed terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lirih, “Termasuk kalau nanti aku udah nggak ada…”

Yazeed tak menjawab. Tapi ia tahu, malam itu, ia harus hafal sampai ayat ke-10 dari surah Al-Baqarah. Karena itu yang ditargetkan hari ini. Tak boleh kurang. Tak peduli lilin akan mati sebentar lagi, atau perutnya belum kenyang sejak pagi.

Malam makin larut. Di luar, suara serangga bersaing dengan suara drone. Tapi di dalam ruangan kecil itu, suara Yazeed yang membaca pelan terdengar lebih kuat. Lebih nyata. Seakan ayat-ayat yang ia ucapkan membangun dinding-dinding tak terlihat untuk melindungi rumah mereka dari segala ancaman.

Hingga akhirnya, ketika jarum jam menunjukkan hampir pukul dua pagi, Umm Yazeed menutup mushafnya dan menyelimutkan sorban kecil ke pundak Yazeed.

“Kamu udah hafal sepuluh ayat hari ini. Esok, kita lanjut ke ayat ke sebelas.”
“Tapi, Bu…” Yazeed mengangkat wajahnya. “Kalau besok lilin ini udah nggak bisa dipakai, gimana?”
Ibunya menatap lilin yang tinggal sejari. “Berarti kita hafal dalam gelap. Ayat nggak butuh cahaya untuk masuk ke hati. Ia hanya butuh niat.”

Dan malam itu ditutup dengan satu kalimat dari bibir Yazeed yang hanya terdengar oleh langit:
“Kalau gitu… aku janji, aku bakal hafal semuanya. Sampai akhir.”

Mushaf Warisan dan Janji yang Mengakar

Pagi di kamp Al-Bureij tidak pernah benar-benar sunyi, bahkan saat belum ada matahari. Suara langkah para ibu yang menyalakan tungku, tangisan bayi yang kelaparan, serta gesekan logam dari kereta barang buatan tangan yang didorong ke titik distribusi bantuan. Semua menyatu dalam satu ritme: ritme bertahan hidup.

Di antara keramaian itu, Yazeed duduk di dekat pintu rumahnya, mushaf kecil warisan ayah tergenggam di tangan, dan secangkir teh mint yang sudah lebih air daripada daun, mengepul pelan di sampingnya.

Hari itu, ia hendak menghafal ayat ke sebelas hingga dua puluh dari surah Al-Baqarah. Tapi sesuatu yang berbeda muncul di dalam dadanya—rasa yang belum pernah datang sebelumnya. Bukan malas, bukan lelah, tapi… takut.

Sejak kemarin malam, ia terus memikirkan perkataan ibunya: “Termasuk kalau nanti aku udah nggak ada…” Kalimat itu menempel seperti duri yang belum sempat dicabut. Ia mencoba mengusirnya dengan membaca a’ūdzu billāh, tapi tetap saja pikirannya berkelana ke arah yang sama.

Yazeed tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang masih menyebut namanya dengan penuh makna. Ia tidak mau menghafal sendirian. Tapi ketakutan itu justru menumbuhkan sesuatu yang lain: tekad.

Saat Umm Yazeed keluar dengan membawa semangkuk roti pipih yang sudah keras dan sisa zaitun dari hari sebelumnya, Yazeed menatapnya lekat-lekat.

“Bu, nanti… kalau kamu nggak ada, siapa yang bakal denger hafalan aku?”

Pertanyaan itu membuat langkah Umm Yazeed terhenti sesaat. Tapi hanya sesaat. Ia meletakkan mangkuk di depannya, duduk di tikar lusuh itu, dan menjawab dengan suara pelan namun pasti.

“Kamu sendiri yang bakal denger, Yazeed. Dan Allah. Karena setelah kamu hafal, ayat itu nggak butuh disimak. Ayat itu akan nyimak kamu.”

Mata Yazeed berkaca. Ia menunduk. Tapi tak menangis. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang tumbuh pelan-pelan di dalam hatinya—semacam akar. Ia tak tahu tumbuh dari mana, tapi ia yakin, itu akan menguatkan langkahnya ke depan.

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan pola yang nyaris sama, namun kali ini ada tambahan. Yazeed mulai mencatat hafalannya di dinding rumah. Ia menuliskan potongan ayat menggunakan arang yang ia ambil dari tungku. Tulisan itu tidak rapi, bahkan kadang sulit dibaca. Tapi bagi Yazeed, itu bukan catatan, melainkan pengingat janji.

Salah satu janji yang ia tulis besar-besar di sudut kamar berbunyi:

“Kalau aku mati sebelum hafal 30 juz, semoga hafalanku cukup buat buktiin aku udah mulai.”

Umm Yazeed tak banyak komentar soal tulisan itu. Ia hanya bilang, “Kalau kamu tulis, pastikan kamu tepati. Jangan biarkan ayat jadi saksi yang menyudutkan kamu nanti.”

Dan Yazeed, dengan segala keberaniannya yang masih dibungkus tubuh kecil, menjawab, “Aku tepati, Bu. Aku nggak akan biarin mushaf ayah cuma jadi peninggalan. Aku pengen jadi warisan juga.”

Sejak saat itu, hafalannya tumbuh cepat. Ia tak hanya menghafal, tapi juga mulai mengajarkan ke beberapa anak kecil di sekitar rumah. Anak-anak yang sebelumnya hanya bermain layang-layang dari kantong plastik kini duduk di tikar bersama Yazeed, menyebut huruf demi huruf sambil menahan lapar.

“Kalau kalian bisa hafal satu ayat, aku bagi zaitun satu biji,” kata Yazeed suatu sore. Dan anak-anak itu tertawa, walau tawanya lebih mirip jeritan kecil yang haus kasih.

Mereka tetap datang. Hari demi hari. Makin banyak. Kadang sampai sepuluh anak duduk di depan rumah kecil itu, sementara Umm Yazeed membuatkan air hangat seadanya untuk mengobati batuk yang menyerang mereka satu per satu saat cuaca berubah dingin.

Yazeed tak sadar bahwa ia telah menjadi sesuatu yang lain: bukan hanya penghafal, tapi penanam.

Ia menanam ayat di dada orang lain.

Hingga suatu hari, sebuah kejadian kecil mengubah arah pikirannya.

Seorang anak bernama Fadi—usia tujuh tahun, paling kecil di antara semuanya—berkata saat mereka sedang melantunkan surah Al-Fajr:

“Kak, aku pengen hafal ayat ini terus. Karena ayat ini bikin aku nggak takut mati.”

Yazeed tertegun. Ia menatap Fadi, anak yang selalu duduk di paling depan, yang suaranya serak karena sering tidur di luar tenda kalau hujan turun. Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi dalam hati, ia tahu… hafalan ini sudah tumbuh. Dan bukan cuma di dirinya.

Suara yang Menyentuh Langit

Fajar itu tidak datang dengan warna jingga seperti biasa. Langit di atas kamp Al-Bureij dipenuhi kabut tipis yang bukan dari embun, melainkan sisa asap dari ledakan yang terjadi semalam. Beberapa tenda sudah rata dengan tanah. Sebagian lagi hanya menyisakan tiang berdiri miring, seperti tubuh renta yang kehilangan keseimbangan.

Tapi dari tengah kamp yang setengah hancur itu, terdengar lantunan ayat yang lembut namun jelas, menyayat udara pagi seperti pisau kecil yang menguliti luka-luka lama.

“Wa al-fajr, wa layālin ‘ashr…”
Suara itu berasal dari Yazeed. Ia berdiri di atas puing beton bekas rumah yang dulunya dipakai untuk mengajar. Mushaf kecil digenggam erat di tangan kanan, sementara tangan kirinya terulur seolah memanggil mereka yang masih bersembunyi di balik bayang-bayang ketakutan.

“Semua yang masih bisa dengar aku, mari baca bareng. Kita mulai dari awal surah!” serunya, dan suara kecil mulai menyambut satu per satu dari sudut kamp: dari balik tumpukan karung, dari celah-celah dinding yang belum ambruk, dari lorong sempit di antara dua rumah yang tinggal setengah.

Fadi yang suaranya serak-serak parau, duduk paling depan dengan luka di pelipis. Di sebelahnya, Hana—anak perempuan yatim dari tenda sebelah—membawa papan triplek berisi ayat yang ditulis pakai spidol luntur. Mereka membaca bersama, seolah tak ada pesawat pengintai yang terbang rendah di atas mereka.

Hari itu menjadi titik balik bagi Yazeed.

Ia tidak lagi sekadar mengajar karena ingin menepati janji kepada almarhum ayah atau menjaga warisan mushaf kecil itu. Ia mulai sadar bahwa ayat-ayat yang keluar dari mulutnya telah menyentuh sesuatu yang lebih tinggi—lebih dalam dari sekadar hafalan.

Setelah fajar, datanglah seorang pria paruh baya dari kamp tetangga, mengenakan gamis sederhana dan membawa perekam tua. Namanya Syaikh Nadhir, salah satu qari ternama yang diam-diam masih berpindah dari satu kamp ke kamp lain untuk mendata para penghafal Qur’an yang tersembunyi—bukan untuk lomba, bukan untuk penghargaan, tapi untuk harapan.

“Siapa yang bacain surah Al-Fajr tadi pagi?” tanyanya pada Umm Yazeed, yang saat itu sedang menjemur kain dengan air mata tertahan.
“Itu anak saya, Yazeed,” jawabnya singkat.
Syaikh Nadhir mengangguk pelan. “Boleh saya dengar langsung?”

Yazeed dipanggil. Dengan kaus longgar dan peci bolong di sudut, ia duduk bersila di depan tamu yang tidak ia kenal. Tapi saat diminta membaca, tak ada satu pun getaran di suaranya. Ia membuka mushaf, lalu menutupnya kembali. Ia tidak membutuhkannya.

“Inna lil-muttaqīna mafāzā…”
Suaranya jernih, mengalir tanpa putus. Seolah ia sedang bercakap langsung dengan langit. Dan ketika ayat terakhir surah An-Naba selesai ia bacakan, Syaikh Nadhir menunduk, menahan haru.

“Kamu tahu,” katanya kemudian, “suara kamu bisa jadi jembatan. Bukan cuma untuk diri kamu sendiri, tapi buat banyak orang yang bahkan belum pernah dengar ayat ini.”

Yazeed tidak langsung paham maksudnya, tapi Syaikh Nadhir menjelaskan bahwa ia akan membawa rekaman itu ke luar kamp. Ke radio dakwah kecil yang masih siaran dari Gaza City. Suara Yazeed akan diputar—di tengah jeda berita duka dan laporan korban—sebagai pengingat bahwa kehidupan masih berdenyut.

Dan hari-hari setelahnya pun berubah. Anak-anak tak lagi sekadar datang untuk belajar. Mereka datang membawa salinan ayat buatan tangan sendiri, ingin menyamakan nada bacaan mereka dengan Yazeed. Bahkan para ibu yang sebelumnya hanya mendengarkan dari balik dinding, kini mulai duduk di ujung tikar, menyimak, dan menitikkan air mata diam-diam saat Yazeed melantunkan surah Maryam.

Suatu malam, ketika listrik kamp padam total dan suara generator pun tak terdengar, sebuah lampu kecil dari baterai senter menyinari wajah Yazeed saat ia mengimami salat isya’ berjamaah di tanah terbuka. Ada tiga puluh orang di sana—anak-anak, ibu-ibu, dan dua orang kakek dengan tongkat kayu.

Ayat demi ayat mengalun, dan malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena api unggun, tapi karena dada-dada yang penuh dengan ayat, dan hati-hati yang mengingat Allah dengan suara yang naik ke langit dalam gelombang yang tak bisa dihentikan oleh blokade mana pun.

Setelah salam, Fadi—yang makin kurus tapi makin semangat—berbisik pada Yazeed, “Kak, aku udah hafal tiga juz. Kalo aku mati duluan, kamu terusin hafalan aku, ya?”

Yazeed tidak langsung menjawab. Tapi ia menggenggam tangan Fadi erat, dan menatap matanya.
“Nggak ada yang mati duluan, Fadi. Kita hidup bareng sama ayat-ayat ini. Dan kalaupun kita mati, kita bakal ketemu lagi… sama ayat yang kita jaga.”

Dan malam itu pun ditutup dengan satu kalimat dari Syaikh Nadhir yang duduk tak jauh dari sana, mencatat nama-nama anak yang hadir.
“Ini bukan majelis tahfidz. Ini benteng.”

Hafalan yang Tertanam di Tanah Luka

Hari itu angin datang lebih cepat dari biasanya. Membawa pasir dan bau mesiu yang pekat menusuk. Langit menggelap bukan karena malam, tapi karena bayangan pesawat tempur yang melintas rendah, mendesak bumi dengan suara bergemuruh. Kamp Al-Bureij tak lagi gaduh oleh aktivitas biasa. Semua orang sembunyi, berdoa, atau menangis dalam diam.

Tapi di sudut kecil tanah lapang tempat mereka biasa salat berjamaah, suara anak-anak tetap terdengar.

“A lam naj‘alil-arda mihādā…”

Ayat-ayat dari surah An-Naba meluncur dari bibir mereka seperti biasa. Tak ada yang berubah, kecuali satu hal: Yazeed tidak ada di sana.

Sudah dua hari sejak ia terakhir terlihat. Malam sebelumnya, Yazeed pergi ke rumah Syaikh Nadhir untuk mengembalikan mushaf pinjaman dan beberapa lembar hafalan tulisan tangan yang ia salin untuk anak-anak. Tapi di tengah perjalanan, serangan udara mengenai deretan rumah yang dilaluinya. Tidak ada kabar setelah itu.

Keesokan harinya, sisa tubuh yang tertutup debu dan sobekan baju ditemukan di antara puing. Di saku gamisnya, mushaf kecil yang pernah diwariskan ayahnya masih utuh, meskipun tepiannya hangus.

Dan seperti tahu bahwa inilah waktunya, Umm Yazeed berdiri paling depan di tanah lapang yang sekarang sunyi. Tangannya gemetar, tapi suaranya bulat saat ia berkata:

“Yazeed memang nggak kembali. Tapi hafalannya belum berhenti.”

Hari itu, seluruh anak yang pernah belajar padanya berdiri bersama. Mereka melanjutkan hafalan yang terakhir Yazeed ajarkan. Fadi, dengan luka di kakinya dan suara yang nyaris hilang, memimpin lantunan ayat dengan dada yang masih setengah hafal, tapi penuh keyakinan.

“Yawma yaqūmul-rūḥu wal-malā’ikatu ṣaffā, lā yatakallamūna illa man aẓina lahur-raḥmān…”

Langit masih kelabu. Tapi di bawahnya, dari anak-anak yang masih mengenakan pakaian tambal sulam, dari tenda-tenda yang tinggal rangka, dari bibir yang belum lancar mengucap huruf ‘ض’—keluar lantunan Qur’an yang terus bertumbuh.

Tak ada yang menangis lantang hari itu. Bahkan Umm Yazeed pun hanya berdzikir pelan sambil duduk di tikar yang dulu dipakai anaknya menghafal. Di hadapannya, puluhan anak berdiri dalam saf, meneruskan ayat yang ditinggalkan.

Beberapa pekan setelahnya, suara Yazeed diputar di radio kecil yang siarannya samar-samar bisa ditangkap di kamp. Rekaman dari hari terakhir ia melantunkan surah Maryam. Syaikh Nadhir yang berhasil selamat membawa file audio itu keluar dari wilayah yang diblokade, memastikan bahwa suara itu tak menghilang sia-sia.

Dan ketika suara itu berkumandang, kamp yang sunyi kembali hidup. Bukan oleh senjata atau bantuan, tapi oleh keyakinan bahwa ayat-ayat Qur’an tak akan pernah terkubur.

Kini, di tanah tempat Yazeed biasa mengajar, berdiri papan kayu sederhana bertuliskan:

“Madrasah Yazeed bin Ibrahim — Tempat Hafalan Tak Pernah Mati.”

Fadi dan anak-anak lainnya melanjutkan belajar di sana. Beberapa di antara mereka bahkan sudah menyelesaikan lima, tujuh, bahkan sepuluh juz. Dan mereka menyebut hafalan mereka bukan juz pertama, kedua, atau ketiga… tapi:

“Juz yang ditanam Yazeed.”

Karena di tanah luka yang belum sempat sembuh, hafalan itu tumbuh. Mengakar. Menguat.

Dan suatu hari nanti, ketika dunia lupa bahwa ada seorang anak bernama Yazeed yang pernah hidup di tengah reruntuhan, akan ada suara yang tetap melantunkan ayat, menyentuh langit, menyambung bumi, dan berkata:

“Kami masih hafal.”

TAMAT.

Cerita tentang Yazeed bukan cuma soal hafalan dan reruntuhan—tapi tentang gimana cahaya bisa tetap nyala bahkan di tempat paling gelap. Di balik suara azan yang terputus oleh dentuman, masih ada anak-anak yang ngelantunin Qur’an dengan dada kecil mereka, tapi hati yang luar biasa besar.

Semoga kisah ini nggak cuma bikin kita terharu, tapi juga jadi pengingat… bahwa sekuat apapun badai, ayat-ayat Allah akan selalu tumbuh, hidup, dan bertahan—asal masih ada yang mau menjaga dan menghafalnya.

Leave a Reply