Daftar Isi
Siapa bilang anak nakal nggak bisa sukses? Dalam cerpen ini, kamu bakal ikutan seru-seruan bareng Dito dan Raka, dua sahabat yang dari jalanan nakal bisa mengubah hidup mereka. Cerita ini penuh pelajaran, keseruan, dan tentunya, inspirasi buat semua yang mau bikin perubahan!
Kisah Seru
KAMPRET SQUAD DAN KOKOK AYAM LEGENDARIS
Di SMP Negeri 12, ada satu geng yang namanya sudah terkenal seantero sekolah—Kampret Squad. Isinya? Bocah-bocah tengil yang kerjaannya bikin ulah. Ketua tidak resminya, tentu saja, Raka. Bocah ini punya nyali segede gaban, otak encer buat nyari ide iseng, dan skill ngomong yang bisa bikin guru kehabisan alasan buat marahin dia.
Hari itu, Raka duduk di kantin bareng tiga temannya: Bayu, Ical, dan Rama. Mereka lagi nyusun rencana buat bikin sekolah heboh lagi.
“Bel sekolah tuh udah gitu-gitu aja, monoton banget,” kata Raka sambil mengaduk es teh manisnya dengan sedotan.
“Nah, terus lo mau gimana? Ganti lagunya jadi dangdut koplo?” Ical nimpalin, ketawa.
“Koplo boleh, tapi gue ada ide lebih gokil,” Raka nyengir. Dia nyodorin ponselnya, memutar suara ayam berkokok yang keras banget.
“KUKURUYUUUUUKKKK!!!”
Seketika, mereka berempat langsung ngakak. Beberapa anak di kantin noleh, tapi gak ada yang curiga.
“Jadi gini,” Raka mencondongkan badannya. “Gue udah tahu di mana ruang operator sekolah. Ada satu laptop yang nyambung ke speaker utama. Kalau kita bisa ganti file bel sekolah sama suara ini, besok pas jam istirahat selesai, satu sekolah bakal dengar ayam berkokok!”
Mereka bertiga langsung mangap.
“Anjir, bisa gitu?” tanya Rama, setengah kagum, setengah takut.
“Bisa lah. Lo pikir suara bel itu jatuh dari langit?” Raka nyengir tengil.
Malam harinya, mereka diam-diam menyelinap ke sekolah. Bayu, yang punya koneksi dengan anak OSIS, berhasil dapetin kunci ruang operator. Mereka masuk dengan hati-hati, cek kanan-kiri buat pastiin gak ada satpam yang patroli.
Raka dengan lincah duduk di depan laptop operator. Tangan cekatan itu langsung mencari folder berisi file bel sekolah. Gak butuh waktu lama, dia menemukan file MP3 klasik yang berbunyi “Teng… Teng… Teng…” yang biasa jadi penanda masuk kelas.
“Oke, saatnya revolusi,” gumamnya, mengganti file itu dengan rekaman ayam yang sudah dia siapkan.
Setelah semuanya beres, mereka kabur dari ruang operator dengan hati puas.
Keesokan harinya, seluruh siswa bersiap masuk kelas setelah istirahat. Guru-guru berdiri di depan pintu, bersiap mengawasi murid-murid yang telat. Semua berjalan biasa. Sampai akhirnya…
“KUKURUYUUUUUKKKK!!!”
Suara ayam menggema ke seluruh penjuru sekolah.
Awalnya, hening. Semua orang bengong. Guru-guru melongo. Tapi detik berikutnya, satu sekolah pecah. Anak-anak ketawa sampai ada yang hampir jatuh dari tangga. Beberapa siswa yang duduk di kantin sampai nyemburin makanannya.
Sementara itu, di kelas 8A, Pak Arman, guru Matematika, mukanya merah padam. Dia menoleh ke depan kelas dan langsung menyipitkan mata.
“Pasti kerjaan Raka!”
Sementara itu, di barisan belakang, Raka dan gengnya sudah terbahak-bahak, puas dengan hasil karya mereka.
Namun, tawa mereka tidak bertahan lama.
Dua puluh menit kemudian, nama mereka sudah dipanggil ke ruang kepala sekolah. Duduk berjajar di depan meja, mereka berempat pura-pura memasang wajah polos.
Pak Ridwan, kepala sekolah, mengetuk meja dengan jarinya. “Siapa otak di balik ini?”
Raka berpura-pura menunduk. “Saya juga gak tahu, Pak…”
Pak Ridwan menghela napas panjang. “Raka, kamu pikir saya baru jadi kepala sekolah kemarin? Saya sudah enam tahun di sini, dan setiap kali ada kekacauan, selalu ada nama kamu di dalamnya.”
Ical nyenggol lengan Raka, memberi kode supaya ngaku aja. Tapi bocah tengil itu malah berusaha nahan senyum.
Pak Ridwan menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berkata, “Baiklah. Kalian bertiga boleh keluar. Tapi Raka, kamu tetap di sini.”
Bayu, Ical, dan Rama langsung kabur. Sementara itu, Raka tetap duduk, menunggu.
Pak Ridwan menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kamu sebenarnya anak pintar, Raka. Tapi kenapa setiap kepintaran kamu selalu dipakai buat bikin onar?”
Raka diam sebentar, sebelum akhirnya menjawab, “Karena onar itu seru, Pak.”
Pak Ridwan mengusap wajahnya dengan lelah. “Mulai besok, kamu dihukum bersihin toilet selama seminggu.”
Raka mengangkat bahu, pura-pura tidak peduli. Tapi begitu keluar dari ruangan, dia langsung mengumpat pelan.
“Gila, toilet sekolah bau banget, sumpah…”
Tapi, tentu saja, buat Raka, hukuman bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ini awal dari proyek baru.
BALAPAN, PATAH KAKI, DAN TAMPARAN REALITA
Hari pertama bersihin toilet, Raka ngerasain neraka dunia. Bau amonia nyerang hidung, lantai licin penuh sisa air entah dari mana, dan yang paling ngeselin—sikat WC yang kayaknya udah berusia lebih tua dari sekolah itu sendiri.
“Gila, ini pasti toilet yang sama waktu sekolah ini masih SD,” gerutu Raka sambil melempar sikat WC ke ember.
Bayu, Ical, dan Rama nyamperin dia di jam istirahat, bawa gorengan buat ngeledek.
“Makan tuh akibatnya, bos! Gimana rasanya jadi petugas kebersihan sekolah?” cengir Rama.
“Rasanya kayak hidup gue dihina-hina,” Raka mendengus.
Tapi, hukuman ini gak bikin dia kapok. Malah, di kepalanya sudah ada rencana baru. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar suara ayam di speaker sekolah.
Malam harinya, di lapangan parkir belakang pasar, suara knalpot motor meraung-raung. Puluhan anak nongkrong sambil nonton balapan liar. Lampu jalan remang-remang, menambah aura liar di tempat itu.
Di antara kerumunan, Raka bersandar di motornya, ngeliatin balapan yang sedang berlangsung.
“Ini lebih dari sekadar kebut-kebutan, bro,” bisik Dito, salah satu teman nongkrongnya. “Ini soal harga diri.”
Raka nyengir. “Dan juga soal duit taruhan.”
Dito ketawa kecil. “Bener juga.”
Malam itu, Raka gak balapan. Dia cuma nonton, mengamati, dan menunggu momen yang pas buat turun ke lintasan.
Tapi keesokan harinya, kesempatan itu datang lebih cepat dari yang dia kira.
Di jam sekolah, Dito nyamperin Raka di kantin dengan wajah serius. “Bro, lo mesti turun balapan besok malam.”
“Kenapa gue?” Raka mengangkat alis.
“Karena si Reno udah ngehina lo,” kata Dito. “Dia bilang Kampret Squad cuma bisa bikin onar di sekolah, tapi di jalanan kita cuma bocah bau kencur.”
Mata Raka menyipit. Dia gak bisa terima omongan kayak gitu.
“Oke, kasih tahu dia. Besok malam, gue lawan dia.”
Malam yang ditunggu tiba. Lapangan parkir pasar jadi saksi pertarungan antara Raka dan Reno. Motor mereka sejajar, suara knalpot menggelegar, orang-orang bersorak.
“Tiga… dua… satu… GO!!”
Raka langsung memacu motornya. Angin menerpa wajahnya, suara bising di sekitarnya menghilang. Yang ada cuma dia, jalanan, dan garis finish.
Tapi di tikungan terakhir, semuanya berubah.
Dito, yang juga ikut balapan di belakang mereka, kehilangan kendali. Motornya oleng, lalu…
BRUK!!
Badan Dito menghantam aspal.
Raka mengerem mendadak, hampir jatuh juga. Begitu dia menoleh, jantungnya seakan berhenti.
Dito tergeletak di jalan. Kakinya bengkok dengan cara yang gak seharusnya. Darah menggenang di aspal.
Semua orang panik. Beberapa langsung kabur, takut polisi datang. Tapi Raka gak peduli. Dia berlari ke arah Dito, mengguncang tubuhnya.
“Dito! Bangun, bro! Bangun!”
Dito mengerang kesakitan. “Kaki gue, Rak… Sakit banget…”
Malam itu, ambulans datang. Raka ikut ke rumah sakit, nunggu di luar ruang UGD sambil menggenggam helmnya erat-erat.
Beberapa jam kemudian, dokter keluar. “Kakinya patah cukup parah. Dia butuh waktu lama buat sembuh.”
Kata-kata itu terdengar seperti hukuman yang lebih berat dari apa pun yang pernah Raka terima.
Saat itu juga, dia sadar… ini bukan lagi soal iseng atau harga diri. Ini soal hidup dan mati.
HARGA SEBUAH PERSAHABATAN
Dito masih terbaring di rumah sakit dengan gips putih membungkus kakinya. Wajahnya pucat, tapi matanya masih menyala dengan sisa-sisa api yang sama—api kebebasan, kenekatan, dan gengsi khas anak jalanan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Ketika Raka masuk ke ruangannya, Dito cuma menoleh sebentar, lalu mendengus. “Lo ngapain di sini, Rak?”
Pertanyaan itu bikin Raka terdiam. Dia nahan napas, nyari jawaban yang pas, tapi yang keluar malah… “Gue harusnya yang ada di tempat lo.”
Dito tertawa kecil. “Lo pikir kalau lo yang jatuh, gue bakal lebih seneng?”
Suasana jadi hening. Raka narik kursi, duduk di samping tempat tidur Dito.
“Nyokap lo ngamuk?”
“Banget. Gue kayak habis dihajar dua kali, satu dari aspal, satu dari omelan emak gue.”
Raka menatap kaki Dito yang terbungkus gips. “Kaki lo bakal bisa dipakai balapan lagi?”
Dito menghela napas panjang. “Gue gak tahu, Rak. Kata dokter sih bisa, tapi butuh waktu lama. Setahun? Dua tahun? Gue gak ngerti.”
Raka ngepuk tangannya ke paha sendiri, frustrasi. “Gue bego, bro.”
Dito melirik. “Baru nyadar?”
Raka nyengir kecut. “Gue kira balapan, jahil, ngerjain guru, bikin onar itu seru. Tapi setelah liat lo kayak gini… rasanya beda.”
Dito mengangkat bahu. “Kita cuma anak-anak, Rak. Dan anak-anak emang bodoh. Lo baru sadar sekarang, bagus. Gue sadar pas kepala gue kebentur aspal.”
Di luar rumah sakit, geng Kampret Squad mulai goyah. Ical udah jarang nongol. Bayu malah menghapus semua foto-foto mereka di Instagram, kayak mau bersih-bersih jejak. Rama? Dia lebih milih ikut geng motor lain, yang katanya lebih ‘profesional’.
Raka mulai sadar, sesuatu yang dia anggap keren selama ini sebenarnya cuma sementara.
Hari itu, dia pulang ke rumah, ngelamun di kamarnya, terus ambil ponsel. Tangannya gemetar waktu dia ngetik pesan di grup WhatsApp:
“Gue gak bakal balapan lagi.”
Pesan itu masuk, dibaca, tapi gak ada yang bales. Sampai akhirnya, Bayu ngetik sesuatu.
“Lo serius?”
“Serius.”
Kali ini, Rama bales.
“Udah bosen jadi anak nakal?”
“Gak bosen. Cuma sadar, kita gak bakal bisa nakal selamanya.”
Lama gak ada jawaban. Raka naruh ponselnya di meja, nutup matanya. Malam itu, pertama kalinya dia ngerasa takut kehilangan sesuatu.
Tapi keesokan harinya, waktu dia nyamperin Dito di rumah sakit lagi, dia nemuin jawaban yang lebih penting.
“Lo masih mau jadi anak nakal, Rak?” tanya Dito tiba-tiba.
Raka diem sebentar, lalu menggeleng. “Gue mau sukses, bro.”
Dito ketawa kecil. “Nah, itu bedanya kita sama anak lain. Kita gagal, tapi kita belajar. Kita jatuh, tapi kita bangkit.”
Hari itu, mereka sepakat.
Mereka nakal dulu, tapi sukses nanti.
MENEMUKAN JALAN
Waktu berlalu, dan Dito akhirnya pulih. Kakinya yang dulu patah sekarang udah bisa bergerak lagi, walaupun tetap ada rasa sakit yang sesekali muncul. Tapi satu hal yang pasti, dia gak lagi memikirkan balapan di jalanan. Dito menemukan passion-nya di dunia mekanik. Dia belajar merakit motor, jadi tangan kanan teknisi di bengkel dekat rumahnya.
Raka, di sisi lain, lebih fokus pada sekolah. Dia mulai rajin belajar, ngikutin les, dan mengalihkan perhatian dari kebiasaan nakalnya. Teman-temannya di Kampret Squad juga satu per satu mulai melihat arah baru.
Di tahun terakhir mereka di sekolah, Raka dan Dito punya rencana. Mereka berdua memutuskan untuk membuat acara balapan motor, tapi dengan konsep yang berbeda. Bukan balapan liar di jalanan yang berbahaya, tapi acara yang legal dan terorganisir di sirkuit lokal. Raka ngegali semua info tentang izin, sponsor, dan promosi. Dito ngurus semua teknis motor yang akan dipakai peserta.
Hari H acara tiba, suasana di sirkuit ramai dengan peserta dan penonton. Raka berdiri di tengah kerumunan, merasakan semangat yang membara.
“Gue gak percaya ini terjadi,” kata Dito, sambil menyeka keringat dari dahi.
“Semuanya berkat kita, bro. Dari nakal jadi sukses, kan?” jawab Raka, senyum lebar mengembang di wajahnya.
Di belakang panggung, mereka melihat para pembalap bersiap. Semangat balap, tapi kali ini dengan etika yang berbeda. Di depan penonton, mereka ngerasa bangga bisa menjadi inspirasi bagi yang lain.
Setelah balapan selesai, Raka dan Dito berdiri di atas podium kecil. Dito mengangkat piala, dan Raka berteriak, “Ini untuk kita semua! Dari anak nakal, kita jadi orang yang bisa mengubah sesuatu!”
Sorakan dari penonton memenuhi udara. Raka dan Dito merasakan euforia yang sama. Mereka udah menemukan jalan baru, jalan yang jauh lebih baik dari sekadar nakal.
Setelah acara, di teras kafe tempat mereka biasa nongkrong, Raka duduk bersebelahan dengan Dito. “Gimana rasanya jadi mantan anak nakal?”
Dito tersenyum. “Rasanya lebih enak, Rak. Kita bisa nikmatin hidup tanpa takut konsekuensi.”
Malam itu, mereka melihat langit berbintang, mengingat semua kenangan buruk dan baik yang pernah dilalui. Dito mengelus piala di tangannya.
“Kita belajar dari pengalaman, bro. Kadang yang nakal itu perlu, biar kita bisa lebih menghargai kesuksesan.”
Raka mengangguk. “Betul. Dan yang lebih penting, kita bisa jadi inspirasi untuk orang lain. Nakal dulu, baru sukses, kan?”
Keduanya tersenyum, mengetahui bahwa perjalanan mereka masih panjang. Mereka berkomitmen untuk terus belajar, berkembang, dan tak pernah melupakan perjalanan yang telah membawa mereka ke titik ini.
Kehidupan penuh dengan pelajaran, dan mereka siap menghadapinya—bersama.
Jadi, buat kamu yang lagi baca, ingat ya! Nakal itu boleh, tapi jangan lupa juga untuk belajar dari setiap pengalaman. Dito dan Raka udah nunjukin bahwa dari nakal bisa jadi sukses, asalkan kamu mau berusaha dan nggak berhenti berinovasi. Teruslah bermimpi dan cari jalan menuju impian kamu!


