Kisah Sedih Seorang Ayah: Perjuangan dan Harapan di Tengah Kehancuran Keluarga

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasain gimana rasanya jadi ayah yang harus ngelawan perasaan sendiri demi anak-anaknya? Cerita ini bukan cuma soal perceraian atau kehilangan, tapi soal gimana seorang ayah berjuang buat nggak nyerah, meskipun hidup udah kayak hancur berantakan.Dijamin, cerita ini bakal bikin kamu mikir ulang tentang arti keluarga dan pengorbanan. Kamu siap? Baca aja dulu, deh.

 

Kisah Sedih Seorang Ayah

Bayangan di Balik Pintu

Sebuah rumah kecil di ujung gang yang sepi. Tak ada suara riuh seperti dulu, tak ada gelak tawa anak-anak yang berlarian di ruang tamu. Hanya ada Alif yang duduk sendiri di kursi kayu usang yang sudah nyaris tak berbentuk. Di luar jendela, angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang khas, seolah mengingatkannya pada masa-masa indah yang pernah ada.

Alif mengerutkan kening, matanya beralih ke meja kecil di depannya. Di sana, tergeletak beberapa amplop berwarna kuning, yang jika dibuka akan menunjukkan kenyataan pahit tentang hidupnya—tagihan, surat peringatan, bahkan ancaman pemutusan hubungan kerja. Dia sudah terbiasa dengan semuanya itu, namun tetap saja, setiap lembaran yang datang selalu terasa seperti beban yang semakin berat.

Namun bukan itu yang mengusik pikirannya saat ini. Dia memandang sebuah foto di dinding dekat meja itu. Foto lama, sudah mulai pudar warnanya, tapi wajah dalam foto itu—Sarah, Aira, dan Damar—terlihat jelas. Di foto itu, mereka tampak bahagia, senyum merekah, seakan tak ada beban yang harus dipikul. Itu adalah masa yang telah berlalu, dan Alif tahu, seiring waktu berjalan, semua itu semakin jauh.

Bagaimana bisa aku membiarkan semuanya hancur begitu saja? pikirnya. Ia menggigit bibir, menekan perasaan yang seakan hampir meledak. Keputusan Sarah meninggalkannya bukan hal yang mudah untuk diterima. Meskipun Alif tahu itu adalah pilihan yang dibuat setelah segala upaya mereka untuk bertahan, rasanya tetap seperti pisau yang menusuk dari belakang.

Dulu, ia dan Sarah pernah berdiri bersama di sini, di ruang tamu ini, bercakap tentang impian yang akan mereka capai. Mereka berjanji untuk selalu mendukung satu sama lain, tak peduli apa yang terjadi. Tapi kenyataan tak selalu sesuai dengan harapan. Ekonomi mereka yang makin terpuruk membuat segalanya berubah. Sarah, yang lebih pintar dan berbakat dalam dunia bisnis, merasa terjebak dalam kemiskinan yang tak pernah ada jalan keluarnya. Alif, meskipun ia berusaha keras untuk bertahan, tetap saja tidak bisa menyamakan langkah dengan dunia yang terus bergerak maju.

“Alif, aku sudah cukup,” kata Sarah satu malam, suaranya tak seperti dulu. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada bicaranya. “Aku ingin anak-anak punya masa depan yang lebih baik. Aku butuh seseorang yang bisa memberikan itu. Aku tidak bisa lagi bertahan dengan hidup yang begini.”

Alif tak bisa berkata apa-apa. Kata-kata itu menghujam tepat di hatinya. Ia tahu Sarah sudah tidak menginginkan hidup ini lagi. Bukan karena ia tidak mencintainya, tapi karena keadaan yang semakin mencekik. Sebuah keputusan yang terasa seperti sebuah jalan buntu bagi mereka berdua. Mereka tak punya pilihan lain, selain berpisah.

“Jadi, kamu sudah memutuskan?” Alif akhirnya membuka mulut, meski suaranya serak dan penuh keputusasaan.

Sarah menunduk, mengusap matanya yang mulai memerah. “Aku tidak ingin kita terus seperti ini, Alif. Anak-anak juga berhak bahagia. Aku ingin mereka merasa aman, bukan hidup dalam ketidakpastian seperti ini.”

Alif merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia memandang Sarah pergi, membawakan serta anak-anak mereka. Aira dan Damar yang dulu selalu memanggilnya dengan sebutan ‘ayah’, kini ikut serta dalam langkah Sarah. Mereka tak lagi memanggilnya dengan penuh cinta. Anak-anak itu mulai mengabaikannya, tak lagi menunjukkan kehangatan yang pernah mereka tunjukkan. Sebagai seorang ayah, itu adalah hal yang paling menyakitkan.

Kini, saat rumah itu terasa begitu sepi, Alif tak bisa menahan diri. Ia teringat kembali saat-saat ketika Aira dan Damar masih kecil, berlarian di sekitar rumah dengan tawa ceria mereka. Waktu itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Segalanya tampak sempurna, seperti sebuah keluarga yang bahagia.

Tapi kini, semuanya hanya bayangan. Alif berusaha meyakinkan dirinya bahwa mereka masih mencintainya, tapi setiap kali ia mendengar kabar tentang Aira dan Damar yang semakin jauh dari dirinya, hatinya terasa semakin hancur.

Suatu malam, ketika Alif sedang duduk di kursinya yang sudah usang, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Aira. Hatinya berdebar kencang saat ia membukanya.

“Pa, ada yang perlu kita bicarakan. Ibu dan suami ibu sudah memutuskan untuk memberikan kami rumah baru. Kami akan tinggal bersama mereka. Ini demi masa depan kami.”

Alif memandangi layar ponselnya dengan pandangan kosong. Kata-kata itu seolah menyentuhnya dengan cara yang sangat dalam. Aira, anak perempuannya yang dulu sangat dekat dengannya, kini merasa lebih baik di bawah naungan pria baru yang memiliki segalanya. Sebuah pria yang bisa memberikan apa yang Alif tak mampu beri—sebuah kehidupan yang stabil dan penuh harapan.

Aira tak menghubunginya lagi setelah itu. Sebuah kesepakatan yang sudah diputuskan, tanpa ada kesempatan untuk perubahan. Semua sudah terlalu terlambat.

Alif duduk diam, mencoba menenangkan diri, meski perasaan hancur itu tak bisa disembunyikan. Ia tahu bahwa Aira dan Damar memiliki hak untuk bahagia, tetapi kenyataannya, ia merasa semakin terpinggirkan. Setiap kali melihat Aira yang dulu sering bermanja-manja dengannya, kini terasa seperti orang asing.

“Mungkin, ini yang terbaik,” gumamnya pelan, meskipun ia tidak yakin dengan kata-kata itu. Di dalam hatinya, Alif merasakan sesuatu yang lebih gelap dari yang bisa diungkapkan. Ia merasa seolah-olah hidupnya yang dulu penuh dengan harapan kini hanyalah sebuah kenangan yang perlahan memudar.

Pagi itu, Alif kembali ke rutinitasnya yang monoton. Ia bangun, membuka jendela, dan mencoba untuk menerima kenyataan—bahwa anak-anaknya kini lebih membutuhkan orang lain daripada dirinya. Bahwa hidup yang mereka impikan bersama sudah lama hilang, seperti bayangan yang terhapus oleh waktu.

Namun, meski demikian, ada satu hal yang tetap membuatnya bertahan. Cinta. Cinta yang masih ada, meskipun ia tahu itu hanya tinggal bayangan yang akan semakin redup seiring berjalannya waktu.

 

Jejak yang Terhapus

Hari-hari terus berlalu, tapi bagi Alif, waktu seolah berhenti pada titik yang sama. Di ruang tamu yang kini terasa lebih luas dan lebih sunyi, ia kembali merenung. Lampu-lampu yang dulu menemani kebersamaan mereka kini hanya berfungsi sebagai penerang kesepian. Dinding-dinding rumah ini seakan mengingatkan setiap detik kebersamaan yang telah hilang, dan suara angin yang menyusup lewat celah-celah jendela hanya menambah rasa hampa yang semakin menyesakkan dada.

Setiap pagi, Alif terbangun dan melakukan rutinitas yang sama. Menyapu lantai, menata meja, membuka jendela untuk melihat dunia luar yang terus bergerak maju. Semua terasa tidak ada artinya. Ia sudah terbiasa hidup dengan kesendirian ini, meski setiap detiknya terasa lebih berat. Kebutuhan hidup yang terus meningkat, tagihan yang belum dibayar, dan kekurangan yang tak kunjung berakhir membuatnya semakin tertekan. Namun yang paling menekan adalah perasaan kehilangan, yang tak kunjung hilang, meski sudah berbulan-bulan berlalu.

Satu hal yang tidak bisa ia hindari adalah kehadiran surat-surat yang selalu datang, semakin menumpuk dan semakin mendesak. Ada sesuatu yang janggal dalam rutinitasnya kali ini. Di atas meja, ada sebuah amplop yang berbeda dari yang lainnya—lebih tebal, lebih besar, dan tidak seperti surat tagihan biasa. Ia membuka amplop itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ada surat dari pengadilan, sebuah pemberitahuan yang akan mengubah semuanya.

“Pemutusan Hak Asuh Anak” tertulis tebal di bagian atas surat itu. Alif menundukkan kepala, matanya tertuju pada kata-kata yang semakin mengaburkan pandangannya. Perasaan sesak menghimpit dadanya. Ia tahu ini akan datang, namun tetap saja, itu tetap terasa seperti pukulan telak.

Aira dan Damar kini resmi tinggal bersama Sarah dan suami barunya. Semua hak asuh yang pernah ia miliki telah hilang, diambil begitu saja oleh wanita yang dulu berjanji untuk selalu bersama, dalam suka dan duka. Ia tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa kini anak-anaknya lebih memilih mengikuti jejak ibunya. Mereka tidak memanggilnya lagi dengan penuh kasih, dan perlahan, wajah mereka semakin samar dalam ingatannya.

Ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya dari surat yang masih ada di tangannya. Sebuah pesan masuk. Dari Damar.

“Pa, bisa kita bicara?”

Alif memandang layar ponselnya, menghela napas panjang. Damar, anak laki-lakinya yang dulu begitu dekat dengannya, kini mulai terasa jauh. Bahkan pesan singkat itu pun, yang dulu mungkin datang dengan cepat, kini terasa seperti peringatan. Alif ragu sejenak, kemudian membalas.

“Tentu, Damar. Ada apa?”

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya pesan berikutnya datang.

Ibu bilang, kita harus ikut program sekolah baru. Mereka yang mengurus semuanya sekarang. Aku cuma… cuma bingung.”

Alif menggigit bibir, merasa sesuatu dalam hatinya terguncang. Kata-kata itu lebih tajam dari yang ia kira. Damar, yang dulu menjadi anak laki-laki yang penuh energi, kini mulai berbicara dengan bahasa yang asing baginya. Dia bahkan merasa bingung dengan kehidupannya yang baru, meskipun sudah tinggal bersama ibu dan suami ibunya.

“Jadi, kamu baik-baik saja?” Alif membalas dengan penuh perhatian, meskipun jauh di lubuk hatinya, ada rasa cemas yang semakin tumbuh.

Pesan Damar yang berikutnya datang setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang.

“Iya, Pa. Tapi aku nggak bisa bohong. Aku nggak tahu harus gimana. Kadang aku kangen sama kita. Tapi aku nggak bisa berhenti mikirin yang baru.”

Alif menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, kata-kata Damar itu penuh dengan kebingungan, penuh dengan rasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda. Dunia yang satu penuh dengan kenangan indah bersama ayahnya, dan yang satu lagi menjanjikan kehidupan yang lebih mudah, lebih nyaman. Namun, kenyataannya, Alif merasa seolah ia telah kehilangan anaknya selamanya.

“Kamu nggak usah khawatir, Damar. Ayah akan selalu ada, meskipun mungkin tidak bisa seperti yang kamu harapkan.”

Setelah beberapa saat, pesan dari Damar itu berhenti. Alif menatap layar ponselnya, merasa hampa. Anak laki-lakinya, yang dulu sering menghabiskan waktu bermain bola bersamanya, kini lebih memilih untuk menjaga jarak. Meskipun Damar mengaku rindu, dia merasa tidak lagi memiliki tempat di hati anaknya yang kini lebih besar dari sekadar kenangan masa kecil.

Sore itu, Alif kembali duduk di kursi kayu yang sama. Matanya kosong, seolah tidak ada lagi tujuan yang jelas. Ia mulai merasakan kehadiran waktu yang berjalan begitu cepat. Perasaan kehilangan itu tidak bisa lagi dibendung. Ia merasa seolah-olah kehilangan dua bagian dari dirinya—bagian yang telah ia bangun selama bertahun-tahun, dan bagian yang kini telah pergi untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Ia menatap foto-foto lama yang tersimpan rapi di meja sampingnya. Aira dan Damar yang dulu begitu dekat dengan dirinya kini hanya ada dalam kenangan yang semakin pudar. Dan Sarah, wanita yang dulu selalu ada di sampingnya, kini hanya menyisakan bayangan yang semakin kabur.

Seketika, Alif teringat pada saat-saat pertama ia bertemu Sarah. Saat itu, ia merasa dunia mereka akan selalu utuh. Mereka berdua saling mengisi, menguatkan satu sama lain dalam suka dan duka. Namun, kini semua itu tinggal menjadi cerita yang semakin terlupakan.

Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan yang sudah lama hilang. “Apa yang akan aku lakukan sekarang?” gumamnya pelan, namun tidak ada jawaban yang bisa memberinya kelegaan. Dunia di luar sana terus bergerak maju, sementara ia tetap berada di tempat yang sama, mencoba bertahan meski tak tahu harus ke mana.

Di luar sana, dunia mungkin tidak peduli dengan apa yang sedang ia rasakan. Namun di dalam hatinya, Alif tahu satu hal—meskipun anak-anaknya semakin jauh, meskipun hidupnya semakin terasingkan, ia akan terus berjuang. Mungkin bukan untuk mereka, tetapi untuk dirinya sendiri. Karena meskipun ia sudah kehilangan banyak, ia tidak ingin kehilangan dirinya.

 

Di Bawah Langit yang Berbeda

Alif duduk di bangku tua yang terletak di dekat taman kota, tempat yang sering ia kunjungi ketika hatinya penuh dengan kekacauan. Udara malam terasa dingin, tetapi tidak ada yang bisa menghalangi pikirannya yang terus berputar. Di tangan kanannya, secangkir kopi yang hampir dingin, di tangan kirinya, sebuah buku catatan yang sudah lama tidak ia buka. Di halaman pertama buku itu, tertulis dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal: “Mimpi kita, Alif. Jangan lupakan apa yang pernah kita impikan bersama.”

Itu adalah kata-kata Sarah, yang ditulis saat mereka masih berdua, penuh dengan harapan dan impian yang tak terbatas. Sekarang, semuanya terasa begitu jauh, begitu asing. Mimpi-mimpi itu telah tercerai-berai, seperti daun yang tertiup angin, tak bisa digenggam kembali. Hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya, meskipun ia tahu bahwa ia harus terus maju.

Malam ini, ia tidak tahu mengapa ia merasa begitu terisolasi. Meskipun ada orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar taman, semua itu tidak mampu menghilangkan rasa sepi yang mencekam. Orang-orang itu tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri, seperti tidak peduli dengan dunia yang ia jalani.

Di tengah keheningan itu, ponsel Alif bergetar lagi. Sebuah pesan masuk dari Aira, dan sekejap perasaan rindu menyelimuti dirinya.

“Pa, bisa nggak kita ketemu? Aku ada banyak hal yang ingin aku bicarakan.”

Jantung Alif berdebar cepat. Aira. Setelah sekian lama, akhirnya anak perempuannya itu menghubunginya lagi. Perasaan bahagia dan cemas bercampur aduk dalam dirinya. Apakah ini tanda bahwa mereka bisa mulai memperbaiki segalanya? Apakah Aira masih memikirkan dirinya seperti dulu?

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alif membalas pesan itu.

“Tentu, Aira. Kapan kamu ada waktu?”

Beberapa menit berlalu sebelum pesan berikutnya datang.

“Besok sore. Aku akan datang ke tempat kita dulu. Jangan terlambat ya.”

Tempat mereka dulu. Alif menatap kosong ke arah taman yang sepi, merenungkan kata-kata itu. Apakah Aira masih ingat pada rumah mereka yang lama? Rumah yang dulu menjadi saksi bisu dari semua kenangan indah bersama, sebelum semuanya berubah. Sebelum kehidupan mereka terpecah menjadi dua dunia yang berbeda.

Setelah membaca pesan itu, Alif menatap bintang-bintang di langit yang cerah malam itu. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki hubungan dengan anak-anaknya. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir untuk mengembalikan sedikit kebahagiaan yang telah lama hilang.

“Aku harus berusaha,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Meskipun ia merasa dunia telah meninggalkannya, ia tidak bisa menyerah begitu saja. Aira, Damar, mereka adalah bagian dari hidupnya yang tidak bisa dihapus begitu saja. Mereka adalah darah dagingnya, dan meskipun sudah begitu jauh, ia tahu ada satu hal yang tidak akan pernah bisa hilang—cinta yang ia miliki untuk mereka.

Keesokan harinya, Alif datang tepat waktu, meskipun hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya. Di depan rumah yang dulu mereka tinggali bersama, Alif berdiri sejenak, mengingat kembali semua yang terjadi di tempat ini. Rumah yang dulu penuh tawa, penuh harapan, kini sepi. Begitu banyak kenangan yang tertinggal di dalamnya.

Tak lama setelah itu, Aira datang, melangkah pelan ke arah Alif. Wajahnya sedikit berubah, lebih dewasa, dan ada jarak yang terlihat di matanya. Aira yang dulu penuh dengan keceriaan kini tampak lebih serius, lebih berhati-hati. Namun, meskipun begitu, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Alif merasa ada sedikit ruang untuk berharap.

Aira berhenti beberapa langkah di depannya, lalu memandangnya lama. “Pa, aku tahu mungkin kamu nggak bisa memahami semua ini, tapi… aku cuma ingin kamu tahu kalau aku nggak gampang lupa. Aku cuma… bingung, Pa.”

Aira menundukkan kepalanya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Kadang aku merasa, kalau aku kembali ke sana, ke rumah kita dulu, semuanya akan seperti dulu. Tapi aku juga tahu, aku nggak bisa lagi hidup di masa lalu.”

Alif menelan ludah, merasakan sebuah lumpur kesedihan yang semakin mengendap di dalam dirinya. “Aku mengerti, Aira,” katanya pelan. “Kamu punya kehidupanmu sendiri sekarang, dan aku nggak bisa paksa kamu untuk kembali seperti dulu. Aku cuma… cuma ingin kamu tahu, aku selalu ada, Aira.”

Aira menatapnya, mencoba untuk membaca perasaan ayahnya yang kini tampak begitu berbeda. “Aku tahu, Pa. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup di antara dua dunia. Aku juga nggak bisa terus meragu tentang pilihan yang aku ambil.”

“Apa yang kamu rasakan itu wajar,” jawab Alif, sedikit tersenyum. “Aku nggak akan memaksa kamu untuk memilih, Aira. Aku hanya ingin kamu tahu, kamu selalu ada di hati ayah.”

Sekali lagi, mereka terdiam, hanya terdengar angin malam yang berbisik lembut di sekitar mereka. Aira kemudian berbicara lagi, suaranya sedikit lebih tenang, namun masih ada rasa bingung yang begitu jelas terdengar. “Pa, aku nggak tahu kalau aku bisa kembali sepenuhnya seperti dulu. Aku nggak tahu apa aku bisa melihat kamu seperti waktu itu lagi, saat kita masih utuh, saat kita masih satu keluarga.”

Alif mengangguk, memahami. “Aku juga nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, Aira. Tapi aku harap, suatu saat nanti, kita bisa kembali menemukan jalan menuju satu sama lain, meski itu mungkin tidak akan pernah sama.”

Mereka saling memandang, dan meskipun ada jarak yang tak bisa disangkal, ada sesuatu dalam tatapan itu yang mengingatkan Alif pada masa-masa mereka yang lebih bahagia. Meskipun dunia telah berubah, meskipun Aira sudah memiliki hidupnya sendiri, Alif tahu satu hal—cinta itu tak pernah benar-benar pergi. Hanya saja, ia harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa hidup mereka sudah berbeda.

Setelah beberapa saat, Aira menghela napas panjang. “Aku harus pergi, Pa. Ibu sudah nungguin di rumah.”

Alif mengangguk perlahan. “Jaga diri kamu, Aira.”

Aira mengangguk, lalu berbalik pergi. Alif menatapnya pergi, merasa sebuah perasaan yang begitu dalam. Mungkin Aira masih ragu, tapi Alif tahu satu hal: pertemuan ini, meskipun singkat, memberikan secercah harapan di tengah kegelapan yang selama ini ia rasakan.

Saat Aira menghilang dari pandangannya, Alif kembali memandang langit malam yang sama. Bintang-bintang itu, yang tampaknya begitu jauh, tetap bersinar. Mungkin, sama seperti dirinya, meskipun terhalang awan dan gelapnya malam, harapan tetap ada, meskipun sangat sulit untuk digapai.

Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alif merasa sedikit lebih ringan. Karena, setidaknya, ia tahu bahwa Aira masih ada, meskipun jalan mereka sekarang berbeda.

 

Menyusun Kembali

Pagi itu, Alif bangun lebih awal dari biasanya. Langit terlihat mendung, dan ada angin yang bertiup cukup kencang, menggetarkan ranting pohon yang ada di halaman rumah. Suasana terasa tenang, bahkan terlalu tenang. Seolah dunia sedang menunggu sesuatu yang besar, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Alif tahu bahwa perasaan itu bukan hanya tentang cuaca, tetapi lebih kepada hatinya yang sedang bergolak.

Aira sudah pergi setelah pertemuan mereka kemarin. Tapi percakapan itu masih terngiang di telinga Alif, seperti gema yang tidak bisa ia hindari. Kata-kata Aira tentang kebingungannya, tentang hidupnya yang kini terpecah antara dua dunia, masih menggema dalam pikirannya. Ia tahu bahwa meskipun Aira tidak mengatakan semua yang ia rasakan, perasaan itu terlihat jelas. Ada keraguan, ada kebingungan, dan lebih dari itu, ada rasa kehilangan yang besar.

Namun, Alif tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Ia sadar, waktu tidak akan menunggunya. Kehidupan, meskipun terasa berat, tetap berjalan. Jika ia terus berdiam diri dalam bayang-bayang masa lalu, ia akan terus tenggelam dalam penyesalan yang tak berujung.

Setelah sarapan ringan, Alif memutuskan untuk keluar rumah, menuju ke tempat yang selama ini menjadi pelarian bagi dirinya—taman kota. Di sana, ia sering merenung, memikirkan jalan hidupnya yang penuh dengan lika-liku. Meskipun tak pernah ada yang benar-benar mengerti rasa sakit yang ia rasakan, taman itu selalu menjadi tempat yang menenangkan. Seperti ada sesuatu dalam setiap desah angin yang membisikkan bahwa hidup masih layak untuk diperjuangkan.

Alif duduk di bangku yang sama seperti malam itu. Tempat yang sekarang sudah terasa lebih familiar daripada rumah yang dulu mereka tinggali. Ia memandangi langit yang semakin terang seiring dengan datangnya matahari. Meski awan masih menyelimuti sebagian besar, ada cahaya yang mulai menembus, seolah memberi petunjuk bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang baru.

Ponsel Alif bergetar, dan ia segera melihat pesan dari Damar.

“Pa, aku ingin bicara.”

Pesan yang singkat itu mengingatkan Alif pada percakapan malam sebelumnya dengan Aira. Damar. Anak laki-lakinya yang dulu selalu penuh dengan energi, penuh dengan impian yang besar. Damar yang kini berada di antara kebingungannya, antara pilihannya untuk hidup dengan ibu dan ayahnya yang sudah terpisah.

Alif tidak menunggu lama. Ia membalas pesan itu secepat mungkin.

“Tentu, Damar. Kapan?”

Tidak lama, Damar membalas.

“Besok, Pa. Aku datang ke tempat yang dulu kita sering ke sana. Aku ingin bicara.”

Alif menatap layar ponselnya, sedikit terkejut. “Tempat yang dulu kita sering ke sana.” Tidak ada kata-kata lain yang lebih bisa menggambarkan perasaan Alif selain kalimat itu. Tempat itu, meskipun sudah lama terlupakan, masih menyimpan kenangan yang kuat tentang betapa bahagianya mereka dulu. Damar yang kecil, yang sering bermain bola bersamanya di halaman rumah, yang dulu selalu bertanya tentang hal-hal aneh yang Alif hanya bisa jawab dengan tawa. Damar yang kini sudah semakin dewasa, yang sepertinya mulai merasakan beban yang sama.

Esok harinya, Alif kembali ke tempat itu. Tempat yang dulu dipenuhi dengan tawa mereka, dengan kebahagiaan yang sederhana. Hatinya berdebar. Bagaimana perasaan Damar sekarang? Apa yang ada di pikirannya? Alif tahu, ini bukan percakapan yang mudah. Ini bukan tentang masa kecil yang indah, ini adalah tentang kenyataan yang tak bisa dihindari.

Damar datang tepat waktu, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Alif melihat anaknya dengan tatapan yang lebih terbuka, lebih dewasa. Damar tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya.

“Pa, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” kata Damar, suaranya pelan tapi penuh arti.

Alif mengangguk, merasakan beratnya kata-kata itu. “Aku juga nggak tahu, Damar. Tapi kita harus mulai dari sini. Kalau kita nggak bicara, kalau kita nggak mulai, kita nggak akan tahu bagaimana melanjutkan.”

Damar menghela napas panjang, seolah menyiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah lama dipendam. “Pa, aku bingung. Aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Aku rindu masa-masa dulu, tapi aku juga tahu aku nggak bisa terus hidup di masa lalu.”

Alif menatap anaknya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan keterhubungan yang mendalam. “Aku juga nggak bisa terus hidup di masa lalu, Damar. Tapi aku nggak ingin kehilangan kamu, baik itu masa lalu maupun masa depan. Kamu tetap anak aku, meski segalanya sudah berubah.”

Damar terdiam beberapa saat, menunduk, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tahu, Pa. Tapi kadang, aku merasa salah memilih. Aku bingung harus memilih siapa. Ibu atau kamu? Aku nggak tahu mana yang benar.”

Alif menatap Damar dengan penuh pengertian. “Kadang, hidup itu nggak memberi kita pilihan yang mudah. Tapi kamu nggak harus memilih antara aku atau ibu. Kamu bisa memilih untuk tetap menjadi diri kamu sendiri. Kita semua sedang belajar untuk hidup dengan keadaan yang ada, Damar.”

Damar mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan itu, matanya terlihat lebih tenang. “Jadi… kita bisa tetap ada untuk satu sama lain, meskipun kita nggak bisa kembali seperti dulu?”

Alif tersenyum, meskipun sedikit perasaan getir masih ada di hatinya. “Iya, kita bisa. Mungkin nggak akan sama, Damar. Tapi kita akan tetap ada, meskipun dunia berubah.”

Setelah beberapa saat terdiam, Damar akhirnya berdiri. “Aku nggak janji akan mudah, Pa. Tapi aku janji, aku akan coba.”

Alif mengangguk, merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, bahwa proses penyembuhan ini akan memakan waktu. Tapi ia juga tahu satu hal—meskipun segala sesuatu tampak hancur, ada kesempatan untuk membangun kembali, sedikit demi sedikit.

Di bawah langit yang masih mendung, dengan sedikit sinar matahari yang menerobos awan, Alif merasakan harapan. Seperti sinar itu, yang meski terlambat datang, tetap memberikan cahaya. Tidak ada yang pasti dalam hidup ini, tapi mungkin, hanya mungkin, ada kebahagiaan yang bisa ditemukan kembali—dalam perjalanan panjang yang tak selalu mulus, tapi tetap berharga untuk dijalani.

Mungkin inilah yang disebut dengan kedamaian yang baru ditemukan.

 

Mungkin nggak ada yang bisa ngembaliin waktu atau mengubah apa yang udah terjadi. Tapi setiap perjalanan, sekecil apapun, selalu ada harapan di ujungnya. Dan mungkin, bagi Alif, harapan itu nggak datang dengan cara yang dia bayangkan.

Tapi itu cukup untuk terus maju. Mungkin kamu juga bisa belajar, kadang kehilangan bukan berarti akhir, tapi justru awal dari perjalanan baru. Jadi, kalau hidup kamu lagi berantakan, inget—masih ada kesempatan buat nyusun semuanya kembali

Leave a Reply