Kisah Sang Juara Kelas: Jenius, Dibully, dan Kesepian di Puncak

Posted on

Gak semua anak jenius itu bahagia. Ada yang selalu juara satu, selalu menang di setiap kompetisi, selalu bikin orang-orang kagum… tapi di balik semua itu? Dia sendirian. Ini cerita tentang seorang juara kelas yang bukan cuma jenius, tapi juga korban bully.

Tentang seseorang yang di atas kertas keliatan sempurna, tapi di balik semua itu, dia capek banget. Dan satu anak yang awalnya cuma pengen ngalahin dia… malah jadi orang pertama yang akhirnya ngerti perasaannya. Penasaran gimana kisahnya? Baca sampe habis!

Kisah Sang Juara Kelas

Sang Juara yang Terasing

Di kelas XI IPA 1, semua orang tahu siapa yang selalu mendapat peringkat pertama. Varenza Vayandra.

Setiap kali pengumuman ranking keluar, namanya selalu ada di puncak, tidak pernah turun. Semua mata memandangnya dengan campuran kekaguman dan kebencian. Kekaguman, karena dia memang jenius. Kebencian, karena dia terlalu berbeda.

Varen adalah tipe orang yang kalau diajak ngobrol, perlu waktu beberapa detik untuk mencerna ucapan orang lain. Kalau teman-teman sekelasnya sedang heboh membahas sesuatu, dia cuma diam, seolah pikirannya sedang melayang ke tempat lain.

“Bukannya kamu itu juara kelas? Kok kayak lemot gitu kalau diajak ngobrol?” celetuk salah satu anak di belakang kelas suatu hari.

Varen menoleh pelan. “Hah?”

Satu kata itu sudah cukup membuat seisi kelas tertawa. Mereka tidak menertawakan apa yang dia katakan, tapi cara dia bereaksi.

Radith, cowok yang selalu berada di peringkat lima besar, ikut bersuara, “Percuma sih jenius, tapi kayak loading mulu.”

Tawa kembali pecah. Varen diam saja, seperti biasa.

Entah kenapa, semakin tinggi dia berdiri dalam hal akademik, semakin banyak orang yang ingin menjatuhkannya. Tidak ada yang menyukai seseorang yang terlalu sempurna, apalagi kalau orang itu berbeda dari yang lain.

Varen tidak pernah menjadi bagian dari kelompok mana pun di sekolah. Saat jam istirahat, anak-anak lain akan berkumpul di kantin, bercanda dan tertawa. Tapi Varen? Dia lebih suka duduk sendirian di bangkunya, membaca buku atau mengerjakan soal-soal matematika yang bahkan belum diajarkan di kelas.

“Kamu tuh kenapa sih? Masa istirahat malah belajar,” ujar Dira, salah satu teman sekelas yang kadang iseng mengajaknya bicara.

Varen menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Karena aku mau.”

Dira mendengus. “Ih, kayak robot.”

Dia pun pergi meninggalkan Varen sendirian.

Begitulah setiap hari. Setiap kali ada yang mencoba berbicara dengannya, mereka akan menyerah karena Varen selalu lambat dalam merespons. Bukan karena dia tidak mau berbicara, tapi otaknya sepertinya bekerja dengan cara yang berbeda.

Ada saatnya Varen ingin menjelaskan, tapi dia tahu itu tidak akan ada gunanya. Dunia tidak selalu ramah kepada orang yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan cepat.

Bukan hanya dijauhi, Varen juga sering menjadi sasaran keisengan teman-temannya. Buku yang tiba-tiba menghilang, pulpen yang sudah ada di meja mendadak tidak ada, atau tasnya yang dilempar ke kursi belakang.

Puncaknya terjadi pada suatu siang saat jam olahraga.

Hari itu, Varen baru saja keluar dari toilet saat dia melihat sesuatu yang membuatnya diam di tempat.

Sepatunya hilang.

Dia yakin tadi sudah meninggalkannya di rak dekat lapangan, tapi sekarang yang tersisa hanya satu, sementara yang lainnya lenyap entah ke mana.

Anak-anak lain yang ada di sekitar hanya tertawa melihatnya.

“Cari aja, siapa tahu nyangkut di pohon,” kata salah satu anak sambil terkikik.

Radith berjalan mendekat, tangan bersedekap. “Tuh sepatu mahal, kan? Coba deh pake otak jenius kamu buat nyari.”

Varen tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, tatapannya tetap datar.

“Halah, cuek banget,” gerutu Radith, lalu pergi bersama teman-temannya.

Varen tetap diam, lalu perlahan berjalan tanpa sepatu, kembali ke kelas.

Tidak ada yang menolongnya. Tidak ada yang peduli.

Meski sering dibully, nilai Varen tidak pernah turun. Bahkan guru-guru pun tidak bisa mengabaikan betapa pintarnya dia.

Saat ujian matematika, sementara yang lain masih berkutat di soal nomor dua, Varen sudah selesai mengisi seluruh lembar jawaban.

Saat hasilnya keluar, dia mendapat nilai sempurna—sesuatu yang bahkan guru pengajarnya pun anggap luar biasa.

Guru matematika mereka, Pak Aryo, berdiri di depan kelas sambil mengangkat kertas ujian Varen.

“Luar biasa. Varen mendapatkan nilai 100 di ujian kali ini,” katanya dengan bangga.

Seketika, suasana kelas terasa lebih dingin. Beberapa anak melirik Varen dengan ekspresi tidak senang.

Radith menyandarkan punggung ke kursinya, wajahnya masam. “Pasti dia nyontek.”

Pak Aryo menatapnya tajam. “Kamu pikir Varen butuh nyontek?”

Tidak ada yang berani menjawab. Semua tahu bahwa meskipun mereka tidak menyukai Varen, mereka tidak bisa menyangkal kepintarannya.

Namun, menjadi pintar saja tidak cukup untuk membuat seseorang diterima.

Saat bel pulang berbunyi, Varen mengemasi bukunya dengan tenang. Tapi sebelum dia bisa keluar dari kelas, Radith sudah lebih dulu menghadangnya.

“Kamu itu jenius, kan? Harusnya bisa ngerti kalau gak ada yang suka sama kamu.”

Varen menatap Radith, matanya kosong seperti biasa.

“Aku gak peduli,” jawabnya akhirnya, lalu berjalan pergi, meninggalkan Radith yang terdiam di tempatnya.

Saat itu, Radith tidak tahu kalau kata-kata Varen akan menghantuinya di masa depan.

Sebab, tidak peduli seberapa keras mereka mencoba menjatuhkannya, Varen tidak akan pernah kalah.

Dan suatu hari nanti, mereka akan dipaksa untuk mengakuinya.

 

Batas Kesabaran

Hari demi hari berlalu, dan tidak ada yang berubah.

Varen tetap juara kelas, tetap jenius, dan tetap menjadi sasaran empuk bagi mereka yang tidak menyukainya. Radith dan gengnya makin gerah. Mereka sudah mencoba segala cara untuk menjatuhkan Varen—membully, menyembunyikan barang-barangnya, bahkan menyebarkan rumor bahwa Varen sebenarnya tidak sepintar yang orang kira.

Tapi hasilnya selalu sama.

Varen tidak pernah terpengaruh.

Nilainya tetap sempurna. Reaksinya tetap dingin. Dan itu membuat Radith semakin frustasi.

“Orang kayak dia tuh ngeselin banget,” gerutu Radith sambil membanting tasnya ke meja saat jam istirahat. “Gue udah capek liat dia duduk di ranking satu terus.”

“Kita bikin dia jatuh aja,” usul Rio, salah satu anak gengnya. “Kayak… bener-bener jatuh.”

Radith menyeringai. “Gue punya ide.”

Seminggu kemudian, sekolah mengumumkan seleksi untuk Olimpiade Matematika Nasional. Hanya dua siswa terbaik yang akan dikirim untuk mewakili sekolah.

Radith melihat ini sebagai kesempatan emas.

Kalau dia bisa mengalahkan Varen dalam seleksi ini, maka gelar “terpintar” di sekolah akan berpindah kepadanya.

Maka, saat seleksi dimulai, dia benar-benar berusaha sekuat tenaga.

Tapi tetap saja, hasil akhirnya tidak berubah.

Peringkat pertama: Varenza Vayandra
Peringkat kedua: Radith Pranata

Mereka berdua yang akhirnya terpilih untuk maju ke olimpiade.

Tapi bagi Radith, ini bukan kemenangan.

Karena dia tetap berada di bawah Varen. Lagi.

Hari itu, setelah hasil seleksi diumumkan, Radith dan gengnya kembali berkumpul di kantin.

“Lo udah ngasih yang terbaik, kan?” tanya Rio.

Radith mengangguk malas. “Ya jelas lah.”

“Terus masih kalah?” Dika, salah satu anak geng mereka, mendengus. “Ya udah, berarti gak bisa dikalahin pake cara bersih.”

Radith menyipitkan mata. “Maksud lo?”

Rio menyeringai. “Kalau lo gak bisa menang di atas kertas, kenapa gak bikin dia gagal dengan cara lain?”

Dan di saat itulah, ide licik mulai terbentuk di kepala Radith.

Beberapa hari kemudian, sesuatu yang aneh mulai terjadi.

Varen menemukan bahwa bukunya—yang berisi catatan penting untuk olimpiade—menghilang.

Awalnya, dia mengira hanya lupa menaruhnya. Tapi setelah mencari ke mana-mana dan tetap tidak menemukannya, dia mulai sadar… ini bukan kebetulan.

Tentu saja, dia tidak perlu buku itu untuk tetap bisa unggul. Dia bisa mengingat sebagian besar isi buku itu di kepalanya. Tapi ini bukan sekadar masalah kehilangan buku.

Ini adalah peringatan.

Dan ternyata, itu baru permulaan.

Hari berikutnya, dia menemukan bahwa seseorang telah mengotori kursinya dengan tinta hitam.

Lalu, di hari lainnya, air minumnya terasa aneh—seperti sudah dicampur sesuatu.

Tidak ada bukti siapa pelakunya, tapi Varen tahu.

Radith.

Tapi seperti biasa, Varen memilih diam.

Dia bisa saja melapor ke guru, tapi itu hanya akan membuatnya terlihat lemah. Lagipula, dia sudah terbiasa.

Namun, apa yang terjadi setelah ini, adalah sesuatu yang bahkan Varen tidak duga.

Pada suatu sore, setelah semua pelajaran selesai, Varen berjalan menuju loker untuk mengambil bukunya yang lain.

Tapi begitu dia membukanya, sesuatu meluncur keluar.

Sebuah ember kecil yang berisi air kotor tumpah tepat ke bajunya.

Bau busuk langsung menyebar. Seisi lorong yang masih ramai pun sontak terdiam.

Lalu, suara tawa pun pecah.

“Hahaha! Lihat tuh si jenius!”

“Udah kayak cucian gagal!”

“Juara kelas kok bego sih, kena jebakan gitu doang!”

Radith berdiri sedikit lebih jauh, tersenyum puas.

Varen tetap diam.

Tangannya mengepal, tapi wajahnya tetap datar. Dia menatap lurus ke arah Radith.

Beberapa detik berlalu. Tidak ada yang tahu apa yang ada di pikirannya saat itu.

Tapi di dalam dirinya, sesuatu retak.

Varen melangkah maju, mendekati Radith. Langkahnya lambat, tapi pasti.

Tawa mulai mereda saat semua orang melihat bagaimana ekspresi Radith berubah.

“Apa?” tanya Radith, masih dengan nada menantang.

Varen berhenti tepat di depannya, lalu berkata pelan tapi tegas, “Kalau kamu yakin bisa lebih baik dariku… buktikan.”

Radith mengerutkan kening. “Apa maksud kamu?”

“Buktikan kalau kamu lebih pintar,” lanjut Varen. “Kalahkan aku di olimpiade.”

Radith terdiam.

Orang-orang di sekitar yang tadinya hanya ingin menonton drama pun langsung tertarik. Ini bukan sekadar perdebatan biasa—ini tantangan.

Seketika, suasana berubah.

Semua tahu bahwa menantang Varen dalam akademik adalah keputusan bodoh. Tidak ada yang bisa mengalahkannya dalam hitungan angka.

Tapi harga diri Radith sudah dipertaruhkan di depan semua orang.

Jadi, dengan suara yang sedikit bergetar, dia berkata, “Oke. Gue terima tantangan lo.”

Varen tidak tersenyum. Tidak ada ekspresi kemenangan di wajahnya.

Dia hanya berbalik, berjalan melewati Radith, dan pergi begitu saja.

Tapi satu hal sudah jelas.

Pertarungan sebenarnya baru saja dimulai.

 

Pertarungan di Atas Kertas

Sejak hari itu, suasana kelas berubah.

Radith yang biasanya santai, sekarang terlihat lebih sering menekuni buku dan latihan soal. Setiap istirahat, dia memilih duduk di bangkunya dengan dahi mengernyit, menulis sesuatu di kertas dengan kecepatan tinggi, lalu menghapusnya lagi, berulang-ulang.

“Serius banget, Dit,” celetuk Rio sambil menggoyang-goyangkan kursinya.

Radith hanya mendesah, tidak menanggapi.

Dia tidak bisa kalah.

Bukan hanya karena harga dirinya, tapi karena semua orang sudah melihat tantangan itu. Jika dia gagal mengalahkan Varen di olimpiade nanti, semua orang akan mengingatnya sebagai pecundang.

Dan itu lebih buruk daripada apapun.

Sementara itu, Varen tetap seperti biasa. Tidak ada perubahan dalam rutinitasnya. Dia tetap membaca buku seperti tidak ada yang terjadi. Tetap diam dalam obrolan kelas, tetap mengerjakan soal-soal rumit tanpa kesulitan.

Itulah yang paling membuat Radith frustasi.

Dia sudah mati-matian belajar, begadang setiap malam demi mengejar ketertinggalan, sementara Varen… seakan tidak perlu usaha sama sekali.

Akhirnya, hari itu tiba.

Olimpiade Matematika Nasional diadakan di salah satu universitas terbaik di kota.

Puluhan sekolah lain ikut serta. Pesertanya adalah yang terbaik dari yang terbaik—anak-anak paling jenius dari seluruh negeri.

Tapi bagi Radith, hanya ada satu lawan yang benar-benar harus dia kalahkan.

Varen.

Mereka berdua duduk bersebelahan di dalam aula besar yang dipenuhi ratusan meja dan kursi. Di depan mereka, layar besar menampilkan hitungan mundur sebelum soal diberikan.

Radith menghela napas, menggenggam pensilnya erat.

Gue bisa. Gue udah latihan keras buat ini. Gue gak akan kalah.

Varen, di sisi lain, hanya duduk tenang. Tangannya sudah siap di atas meja, matanya fokus ke depan, tapi tidak ada sedikit pun kecemasan dalam dirinya.

Seolah dia sudah tahu hasilnya.

Dan itu membuat Radith semakin panas.

“Peserta, bersiap!”

Suara panitia menggema di seluruh ruangan.

“Ujian dimulai dalam… tiga… dua… satu… Mulai!”

Ruangan seketika menjadi hening.

Semua peserta mulai menulis, mencoret-coret kertas, menghitung dengan kecepatan luar biasa.

Radith juga langsung bergerak. Dia melihat soal pertama—mudah. Soal kedua—masih bisa diatasi. Tapi semakin jauh, tingkat kesulitannya semakin meningkat.

Dia menoleh sedikit ke samping.

Dan di sanalah Varen.

Tangannya melaju dengan kecepatan yang konstan, tidak terburu-buru, tapi juga tidak pernah berhenti. Ekspresinya tetap kosong. Tidak ada kebingungan. Tidak ada keraguan.

Seolah-olah setiap angka dan rumus yang dia lihat langsung masuk ke otaknya tanpa perlu diproses.

Radith mengepalkan rahangnya.

Gak mungkin dia secepat itu!

Waktu terus berjalan. Beberapa peserta mulai tampak panik. Keringat menetes di dahi mereka, tangan gemetar saat menulis.

Tapi Varen?

Dia masih tetap sama.

Dan saat hitungan mundur di layar menunjukkan sisa sepuluh menit, Varen sudah selesai.

Dia meletakkan pensilnya, merapikan kertas, lalu bersandar di kursinya.

Radith membeku.

Dia udah selesai?!

Sementara itu, Radith masih berkutat di soal terakhir. Tangan dan otaknya mulai tidak sinkron. Angka-angka di kertas mulai tampak kabur. Dia tahu jawabannya ada di ujung pikirannya, tapi tekanan yang dia rasakan membuatnya semakin sulit berpikir jernih.

“Peserta, waktu habis! Letakkan alat tulis kalian!”

Radith terpaksa meletakkan pensilnya. Soal terakhir itu… belum sepenuhnya selesai.

Dan untuk pertama kalinya, dia merasa kalah bahkan sebelum hasil diumumkan.

Beberapa jam kemudian, hasilnya keluar.

Peringkat pertama: Varenza Vayandra (Skor 100)
Peringkat kedua: Radith Pranata (Skor 92)

Radith menatap angka itu. Tangannya mengepal.

Dia tahu 92 adalah skor tinggi. Tapi tetap saja, itu bukan 100.

Dan yang paling menyakitkan?

Dia kalah dari seseorang yang bahkan tidak terlihat berusaha keras.

Di belakangnya, beberapa peserta lain berbisik kagum.

“Si Varen itu jenius banget, ya…”

“Gila, gak ada salah sama sekali?”

“Radith juga jago, sih. Tapi tetep aja, beda level sama Varen.”

Radith menunduk. Kata-kata itu terdengar seperti belati yang menusuk telinganya.

Tapi di tengah kekalahannya, satu hal justru lebih mengusik pikirannya.

Selama ini, dia selalu berpikir bahwa Varen adalah musuhnya. Seseorang yang harus dikalahkan.

Tapi setelah melihat sendiri bagaimana Varen menghadapi olimpiade ini…

Dia mulai bertanya-tanya.

Bagaimana rasanya hidup sebagai seseorang yang tidak pernah kalah?

Dan… apa sebenarnya yang dirasakan Varen setiap hari?

 

Di Balik Jenius

Dari luar, Varen tampak tidak terpengaruh oleh hasil olimpiade. Dia menerima sertifikatnya dengan ekspresi yang sama seperti biasanya—datang, menerima, lalu pergi tanpa berkata apa-apa.

Namun, bagi Radith, semuanya terasa berbeda.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasakan sendiri bagaimana rasanya berusaha sekeras mungkin… tapi tetap kalah. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dia kalah dari seseorang yang terlihat tidak perlu berusaha sama sekali.

Di perjalanan pulang, Radith tidak bisa berhenti memikirkannya.

Sampai akhirnya, dia melihat Varen berdiri sendirian di halte bus yang sepi.

Dan untuk pertama kalinya, dia merasa penasaran.

Tanpa banyak berpikir, Radith berjalan mendekat.

Varen, seperti biasa, tidak bereaksi saat menyadari kehadirannya.

Tapi kali ini, Radith tidak datang untuk mengejek.

“Hei,” panggilnya.

Varen menoleh pelan, mengangkat alis.

Radith menggigit bibirnya sebelum akhirnya mengaku, “Gue gak nyangka lo bisa selesai secepat itu tadi.”

Varen tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Radith beberapa detik, seakan sedang mempertimbangkan apakah kata-kata itu tulus atau hanya sarkasme terselubung.

Lalu, dengan suara pelan, dia menjawab, “Aku memang suka matematika.”

Radith menatapnya lama. Jawaban itu terdengar terlalu sederhana.

“Terus… lo gak pernah capek?” tanya Radith akhirnya. “Selalu juara satu. Selalu lebih pintar dari siapa pun. Lo gak bosan?”

Varen menghela napas, lalu menatap lurus ke depan.

“Aku capek,” jawabnya pelan.

Radith terdiam. Dia tidak menyangka jawaban itu keluar dari mulut Varen.

Varen tidak langsung melanjutkan. Seolah dia ragu apakah Radith pantas mendengar kelanjutannya. Tapi entah kenapa, mungkin karena lelah atau karena akhirnya ada yang bertanya, dia memilih untuk melanjutkan.

“Setiap kali aku menang, orang-orang bilang aku gak berusaha,” katanya. “Setiap kali aku dapat nilai sempurna, mereka bilang aku terlalu serius.”

Radith mulai menyadari sesuatu.

“Setiap kali aku mau ngobrol dengan orang lain,” lanjut Varen, “mereka bilang aku membosankan. Kalau aku diam, mereka bilang aku sombong. Kalau aku salah sedikit aja, mereka langsung ketawa, seolah-olah akhirnya mereka dapat bukti kalau aku juga manusia biasa.”

Varen tersenyum kecil, tapi senyuman itu tidak terasa bahagia.

“Aku selalu menang, tapi rasanya aku gak pernah benar-benar menang,” ucapnya pelan.

Untuk pertama kalinya, Radith melihat Varen sebagai manusia.

Bukan sebagai musuh. Bukan sebagai saingan. Tapi sebagai seseorang yang hidup dalam tekanan konstan untuk selalu menang.

Dan ironisnya, meskipun Varen tidak pernah kalah, dia juga tidak pernah benar-benar menang.

Karena tidak peduli seberapa tinggi dia berdiri, dia selalu sendirian di puncak.

Radith tidak tahu harus berkata apa.

Tapi satu hal yang dia sadari… dia tidak lagi membenci Varen.

Justru, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa kasihan.

Mereka berdua terdiam cukup lama.

Sampai akhirnya, bus Varen datang.

Varen melangkah masuk, lalu sebelum pintu tertutup, dia menoleh ke Radith.

“Kamu lumayan juga,” katanya tiba-tiba.

Radith mengerutkan kening. “Apa?”

Varen menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil.

“Aku gak pernah menyelesaikan soal terakhir di olimpiade tadi,” ucapnya sebelum akhirnya pintu bus tertutup.

Radith hanya bisa terdiam di tempatnya, mencerna kata-kata itu.

Dan saat bus itu mulai menjauh, dia baru menyadari apa maksud Varen.

Varen bisa saja menyelesaikan soal terakhir itu, tapi dia sengaja berhenti.

Dia bisa mendapatkan nilai lebih tinggi, tapi dia memilih untuk tidak melakukannya.

Dan bukan karena dia sombong atau ingin meremehkan siapa pun.

Tapi karena… untuk pertama kalinya, dia ingin tahu bagaimana rasanya tidak sendirian di puncak.

Hari berikutnya di sekolah, suasana terasa berbeda.

Radith masih dikelilingi teman-temannya, tapi kali ini, dia tidak ikut menertawakan Varen.

Dan ketika mereka masuk ke kelas, tanpa banyak berpikir, Radith berjalan ke arah bangku Varen, lalu menarik kursinya dan duduk di depannya.

Varen menatapnya, sedikit bingung.

“Aku ada PR matematika,” kata Radith santai. “Lo bisa bantuin gue gak?”

Beberapa teman Radith yang melihat itu melongo.

Tapi Varen hanya menatapnya sebentar, sebelum akhirnya menghela napas pelan dan berkata, “Buka bukunya.”

Dan untuk pertama kalinya, Varen tidak sendirian di puncak.

 

Kadang, yang paling jenius bukan mereka yang selalu menang… tapi mereka yang akhirnya sadar kalau menang sendirian itu gak ada artinya.

Dan kadang, musuh terbesar kamu hari ini… bisa jadi satu-satunya orang yang akhirnya ngerti kamu lebih dari siapa pun. Gak ada yang nyangka, tapi itulah hidup. Kadang kqmu butuh kalah, biar bisa ngerti arti menang yang sebenarnya.

Leave a Reply