Daftar Isi
Pernah gak sih, cuma gara-gara bubur kacang hijau, satu kelas bisa heboh kayak mau ujian akhir nasional? Nah, cerpen yang satu ini bener-bener gak masuk akal tapi bikin ngakak dari awal sampe akhir.
Cerita tentang Gumilar dan kawan-kawannya di kelas 9C ini gak cuma kocak dan absurd, tapi juga penuh makna tentang persahabatan, kebersamaan, dan gimana hal sekecil bubur bisa jadi kenangan yang gak bakal dilupain. Siap-siap ketawa, baper dikit, dan nostalgia bareng cerita “Legenda Bubur Kacang Hijau 9C”!
Kisah Pertemanan Lucu
Misi Gumilar dan Panci Harapan
Di kelas 9C, semua hal yang terlihat biasa bisa berubah jadi luar biasa… kocaknya. Apalagi kalau sudah melibatkan Gumilar, makhluk penuh ide dadakan yang sering kali tidak sinkron antara niat dan eksekusi.
Pagi itu, matahari belum naik tinggi, tapi suasana kelas sudah lebih heboh dari biasanya. Rara baru saja menjejakkan kaki di dalam ruangan saat melihat Gumilar berdiri di depan papan tulis, menatap ke langit-langit seperti penemu lampu bohlam pertama di dunia.
“Kamu kenapa sih, berdiri gitu? Nyari sinyal wahyu ya?” celetuk Rara sambil menaruh tasnya di bangku baris kedua.
“Aku dapet ide,” jawab Gumilar serius. “Kita harus melakukan sesuatu yang… besar.”
Rara langsung duduk dengan ekspresi curiga, seperti detektif yang baru saja mencium aroma konspirasi.
“Besar kayak… nyolong guling Bu Widya di ruang guru?”
“Enggak dong!” seru Gumilar cepat. “Kita bikin sesuatu yang ninggalin kesan. Yang bikin orang inget kita bukan karena nilai ulangan yang merah, tapi karena… aksi kebaikan!”
Seketika itu juga, Cempaka dan Miko masuk. Miko langsung nyengir begitu dengar kata “aksi kebaikan”.
“Aku denger ‘kebaikan’? Waduh. Kamu kena demam apa, Lar?”
“Itu Gumilar,” jawab Rara cepat. “Katanya mau ninggalin warisan kebaikan sebelum lulus.”
Gumilar menatap mereka dengan tekad membara. “Aku mau masak bubur kacang hijau buat satu kelas.”
Tiga temannya langsung hening. Suara kipas angin tua di langit-langit terdengar seperti soundtrack film horor.
“Masak? Kamu?” ujar Cempaka pelan, mencoba memastikan dia nggak salah dengar.
“Iya! Aku bisa. Serius. Ini saatnya kita nunjukin sisi positif 9C ke dunia luar. Kita terkenal nakal, rusuh, dan… ya, agak-agak brutal pas lomba tarik tambang kemarin. Tapi kita juga punya hati.”
“Aku gak ragu soal hatinya, Gil,” kata Miko sambil duduk. “Aku cuma ragu soal rasa buburnya.”
Gumilar tersinggung setengah hati. “Eh, aku tuh pernah bantu mama masak.”
“Bantu ngaduk doang kan?”
“Ya… iya. Tapi tetap aja, aku tau caranya. Tinggal rebus air, masukin kacang, gula, santan, beres.”
Rara langsung mengangkat alis. “Kamu yakin gak mau coba masak nasi dulu aja?”
Tapi karena bosan dengan rutinitas kelas yang isinya cuma ulangan dadakan, tugas kelompok dengan pembagian kerja tidak adil, dan kebiasaan Pak Joko yang suka inspeksi tiba-tiba ke tas siswa, akhirnya mereka menyetujui ide itu. Mereka bahkan sepakat buat bantuin Gumilar, demi memastikan dapur sekolah tidak terbakar.
Cempaka ambil bagian sebagai “ketua logistik dan rasa”. Rara ditugaskan urusan perlengkapan, termasuk sendok plastik dan gelas kecil. Miko? Dia bertanggung jawab dokumentasi sekaligus tim pengendali kericuhan.
Sabtu pagi, dapur rumah Gumilar berubah jadi arena eksperimen kuliner. Panci besar dipinjam dari tetangga. Santan instan, gula merah, daun pandan, dan kacang hijau yang direndam sejak semalam siap dieksekusi. Masalahnya, Gumilar terlalu percaya diri.
“Woy, itu terlalu banyak garam!” jerit Cempaka saat melihat Gumilar menaburkan satu sendok teh penuh ke dalam panci.
“Garam tuh buat ngangkat rasa manis, Cemp. Aku baca di internet.”
“Ya iya, tapi bukan buat disamain takarannya kayak bikin mie instan!”
Miko yang merekam dari jarak aman berkomentar, “Ini bakal viral sih. Judul videonya: Bubur Kacang Hijau Rasa Curiga.”
Setelah dua jam memasak, mereka akhirnya selesai. Bubur disimpan dalam wadah besar, ditutup rapat, dan siap dibawa ke sekolah Senin nanti. Gumilar bahkan bikin label di wadahnya: “Bubur Harapan – Dibuat Dengan Cinta”
Hari Senin datang, dan semua berjalan sesuai rencana—setidaknya sampai mereka membuka penutup panci itu di kelas. Aroma manis hangat menyebar, dan untuk sesaat, semua murid menatap ke arah panci dengan mata berbinar.
“Beneran kamu masak ini, Gil?” tanya Dito penuh rasa tidak percaya.
“Yoi. Tim kami masak. Gratis buat semua.”
Satu per satu siswa mengambil bubur, duduk, dan menyendok perlahan.
Tiga… dua… satu…
“INI APAAN WOOY!” jerit Bima yang langsung berdiri.
“Manis… terus asin… TERUS ADA RASA CABAI?!”
“Aku nemu biji ketumbar, astaga ini bubur apa ramuan dukun?” kata Sella.
Gumilar panik. “Lho, lho! Kok ada rasa cabai?! Aku gak masukin itu!”
Rara menatap tajam. “Kamu masak deket sambel kan kemarin?”
“Eee… iya sih… di sebelah cobek.”
Semua siswa mulai berseru macam acara kuis, tapi versinya adalah: “Apa rasa buburmu?” Jawabannya beragam: permen karet rusak, teh manis bocor, sampai “seperti air mata mantan”.
Namun sebelum segalanya makin kacau, Miko tiba-tiba berdiri dan berteriak, “INI CUMA PERCOBAAN! Ada rahasia tersembunyi di dalam bubur ini!”
Seketika, suasana jadi sunyi. Semua menoleh.
Rahasia?
Di dalam bubur?
Mulai muncul keingintahuan. Detik itu juga, aroma bubur cabai manis tak lagi jadi musuh. Satu per satu siswa kembali ke panci.
Dan di situlah babak baru dimulai.
Bukan sekadar tentang bubur. Tapi tentang kode rahasia, kehebohan, dan legenda yang belum tahu arah akhirnya.
Bubur Rasa Petualangan
Satu kalimat dari Miko siang itu sukses mengubah jalannya sejarah kelas 9C:
“Ada rahasia tersembunyi di dalam bubur ini!”
Detik itu juga, fokus siswa bukan lagi soal rasa bubur yang membingungkan, tapi apa yang tersembunyi di balik kekacauan kuliner itu. Bubur mendadak bukan sekadar makanan—ia jadi misteri.
“Rahasia apa, Mik?” tanya Dinda sambil nunduk, melihat mangkuknya seolah bubur itu bisa kasih bisikan gaib.
“Itu… rahasia. Namanya juga rahasia, masa aku bocorin sih,” jawab Miko santai, menyandarkan punggung di kursi dengan gaya detektif sok misterius.
“Pokoknya, katanya yang nemu bakal dapet hadiah,” tambahnya sambil melirik Gumilar yang masih kelihatan linglung di sudut kelas.
“Hadiah apaan?” tanya Bima, separuh curiga, separuh tergoda.
“Ya… bisa apa aja. Mungkin permen, mungkin jodoh. Siapa tahu takdir kamu tersembunyi di dasar bubur,” kata Miko, sok filosofis.
Dan seperti hipnotis massal, siswa-siswa mulai menyendok dengan semangat yang belum pernah dilihat sebelumnya. Bahkan Sella yang awalnya mengeluh soal rasa “bubur rasa mantan” kini sibuk menggali mangkuknya seperti penambang emas di pedalaman Kalimantan.
Rara melirik Cempaka yang duduk di sebelahnya. “Ini makin gak masuk akal ya?”
“Makin? Dari awal juga udah gak waras,” jawab Cempaka pelan sambil ngunyah camilan pribadinya, tak ikut dalam perburuan bubur.
Dito, siswa yang paling percaya takdir dan horoskop, malah mulai menandai mangkuknya sendiri dengan spidol, seperti ilmuwan gila.
“Kalau ada pola di permukaan bubur, itu bisa berarti sesuatu. Nih liat, kayak huruf ‘S’.”
“Atau mungkin itu sendokmu kegores,” timpal Rara sinis.
Di sisi lain, Gumilar tampak makin bingung. Dia menatap Miko dengan ekspresi penuh kode morse: “Kamu ngomong apaan sih barusan?!”
Miko cuma angkat bahu, bisik pelan, “Tenang, ini namanya penyelamatan reputasi. Daripada buburnya dihina, mending diburu.”
Dan ternyata, strategi itu berhasil.
Dalam waktu lima belas menit, panci bubur yang semula ditakuti kini sudah setengah kosong. Siswa-siswa mulai bikin “tim bubur” kecil. Ada yang duduk bareng sambil mengaduk, ada yang menyortir isi mangkuk satu per satu, bahkan ada yang bikin daftar nama siapa aja yang udah nyicip dan belum.
“Aku rasa aku nemu sesuatu!” teriak Rafi dari pojok belakang.
Semua menoleh. Suasana mendadak senyap, seperti menjelang pengumuman juara lomba Agustusan.
“Apa?! Mana?!”
Rafi berdiri, memegang sesuatu kecil di ujung sendoknya. Semua mendekat. Sella bahkan sempat nginjek kaki Rara.
“Itu… plastik bon, Raf. Dari warung sebelah,” kata Dinda dengan nada kecewa.
“Hah? Tapi… tapi kok bisa ada di dalem bubur?”
Semua menoleh ke Gumilar.
“Aku… ya ampun… itu pasti nyelip waktu aku belanja bahan, aku buru-buru soalnya—”
“YA INI KESEMPATAN KEDUA AKU UNTUK HIDUP BERMARTABAT, GIL!” teriak Rafi, dramatis.
“Aku udah tulis caption Instagram buat kalau nemu rahasia ini!”
Miko tertawa keras. “Tenang, Raf. Mungkin itu kodenya. Kode rahasia: ‘Jangan belanja sambil lari-lari’.”
Gelak tawa pecah di seluruh ruangan. Suasana kelas 9C berubah jadi pasar malam kecil yang riuh tapi penuh tawa. Semua siswa udah gak peduli lagi sama rasa aneh bubur. Yang penting, mereka merasa ikut bagian dari sesuatu yang absurd tapi seru.
Saat suasana mereda, Bu Widya tiba-tiba masuk kelas. Beliau baru selesai dari pelatihan guru dan terkejut menemukan siswa-siswa duduk mengelilingi panci besar seperti sedang menggelar arisan kuliner.
“Apa ini… kalian jualan makanan?”
“Enggak, Bu! Ini… proyek sosial!” jawab Gumilar spontan.
“Sosial?”
“Iya, Bu. Kegiatan kelas. Mengenalkan cita rasa bubur kacang hijau lintas genre,” sahut Miko cepat.
Bu Widya memandang panci itu dengan ragu. “Lintas genre?”
“Iya Bu. Ada manisnya, ada asinnya, sedikit pedas… kayak hidup.”
“Dan… ada kode rahasia,” tambah Dito bangga.
Bu Widya memejamkan mata sejenak, mungkin mencoba memahami apa yang sedang terjadi di hadapannya. Tapi akhirnya beliau hanya menghela napas dan berkata, “Asal gak bikin keributan, silakan lanjut. Tapi habis ini kelas harus bersih, ya.”
“Iya, Bu!” serentak semua menjawab seperti pasukan pramuka yang baru diizinkan pulang dari hutan.
Dan setelah guru pergi, kegilaan dilanjutkan lagi. Kali ini malah makin kreatif. Ada yang bikin kuis tebak rasa, ada yang mulai mencampur bubur dengan kopi sisa di termos Rara—yang secara mengejutkan, katanya “lebih masuk akal rasanya”.
Siang itu, tidak ada yang pulang dengan tangan kosong. Bukan karena buburnya enak, tapi karena mereka punya cerita yang gak bisa dibeli. Tentang satu panci bubur absurd yang membuat satu kelas tertawa, menebak-nebak, bahkan berimajinasi tinggi.
Dan seperti api kecil yang nyala di semak-semak, rumor tentang “kode rahasia” mulai menyebar ke luar kelas.
Adik kelas mulai bertanya-tanya. Siswa kelas sebelah diam-diam mampir ke pintu kelas 9C.
Ada yang bisik-bisik, “Kalian denger soal bubur rahasia?”
“Ada kabar yang nemu bakal dapat iPhone…”
“Aku denger yang nemu malah dapat pacar…”
Cerita bubur itu berubah bentuk di tiap mulut yang menyebarkannya. Dan saat semua mengira kekonyolan sudah selesai, ternyata itu baru awal dari kehebohan yang lebih besar.
Kode Rahasia dan Ilusi Detektif
Hari berikutnya, suasana sekolah berubah drastis.
Biasanya lorong depan kelas 9C cuma dilewati siswa yang buru-buru ke toilet atau guru yang salah masuk kelas. Tapi pagi itu, seakan ada magnet misterius yang menarik orang-orang datang, melirik, lalu bisik-bisik. Semua penasaran. Semua ingin tahu: apa sebenarnya isi “kode rahasia” di dalam bubur kacang hijau kemarin?
Gumilar yang baru masuk kelas dengan rambut setengah basah karena ketinggalan ojek, langsung diserbu tiga anak kelas 8 yang entah kenapa sudah berdiri di depan pintu.
“Mas Gil… katanya buburnya bisa bikin hoki, ya?”
“Aku denger temennya temen aku tiba-tiba dapet ranking 3 setelah makan sesendok doang.”
“Bener gak sih yang nemu kode itu bisa jadi pacar kakak kelas?”
Gumilar nyaris refleks bilang, “Apa sih maksudnya semua ini?!” tapi berhasil menahan diri dan malah senyum seperti bos marketing MLM.
“Rahasia, ya… gak semua orang bisa nemu. Harus pake perasaan dan nurani,” katanya sok bijak sambil ngerapihin tas.
Sementara itu di dalam kelas, Miko sudah mulai bertingkah layaknya detektif film noir. Dia datang pagi-pagi, pakai jaket hitam, bawa catatan kecil, dan menyusun kursi menghadap ke papan tulis. Di tengah papan itu ada tulisan besar:
“INVESTIGASI: MISTERI KODE KACANG HIJAU”
Cempaka, yang baru masuk kelas sambil bawa roti bakar, berhenti di depan tulisan itu dan diam beberapa detik.
“Mi… kamu kenapa makin gak waras setiap hari?”
“Aku cuma mengungkap kebenaran. Ini bukan sekadar bubur biasa, Pak Cek. Ini simbol. Ini teka-teki!” jawab Miko dengan gaya dramatis.
Rara duduk di bangkunya sambil menggelosor malas. “Simbol dari apa? Kesalahan dapur?”
Tapi keanehan belum selesai. Sejak kabar “kode rahasia” menyebar, mulai banyak siswa dari kelas lain yang mampir. Ada yang numpang lewat sambil ngintip, ada yang beneran duduk dan ikut diskusi seolah-olah mereka bagian dari tim investigasi resmi.
Ada satu anak kelas 7 yang dengan polosnya nanya, “Kode rahasia itu ada di kacangnya langsung atau harus dimasak dulu, Kak?”
Miko langsung menyambut, “Kita masih telusuri kemungkinan itu. Bisa aja kacangnya menyimpan energi tertentu. Atau… clue yang hanya bisa terbaca kalau kena panas tertentu.”
“Lho, jadi kayak tinta rahasia dong?” sahut si anak dengan mata berbinar.
Cempaka langsung peluk binder-nya kuat-kuat. “Aku gak siap kalau bubur ini berubah jadi skrip Harry Potter.”
Sementara itu, Gumilar makin terpojok. Dia gak pernah nyangka sekadar eksperimen kuliner bisa melebar jadi misi rahasia nasional.
“Aku cuma mau bikin bubur damai-damai,” gumamnya di pojok kelas sambil melihat dari kejauhan sekelompok siswa menaruh sendok di depan kipas angin, berharap itu bisa “mengungkap energi tersembunyi” seperti teori yang barusan dicetuskan anak IPA dari kelas 9A.
Sampai akhirnya, ada satu insiden yang bikin semuanya makin kacau.
Farrel, anak kelas 9C yang paling sering tidur di kelas dan hampir nggak pernah ikut diskusi apapun, tiba-tiba berdiri di depan kelas dengan wajah serius.
“Aku rasa… aku tahu kode rahasianya.”
Semua mendadak hening. Bahkan suara kipas tua di pojok kelas tiba-tiba terasa dramatis.
“Aku nemu potongan kecil tulisan di bagian dasar mangkuk bubur aku kemarin. Kayaknya itu huruf,” katanya sambil membuka lipatan kertas kecil dari saku seragamnya.
Kertas itu kusut, ada bercak coklat yang kemungkinan bekas bubur. Tapi benar saja, ada bekas tinta bolpoin yang samar-samar terlihat. Tulisan itu seperti potongan kata:
“…mu tak harus dimengerti, cukup dirasa…”
Miko langsung berdiri. “INI! Ini petunjuk!”
Cempaka memijat pelipis. “Apa itu kutipan motivasi kalender?”
Farrel duduk lagi, puas, seperti pahlawan yang baru menemukan harta karun. Tapi sejak saat itu, kelas 9C resmi masuk ke fase “konspirasi kacang hijau”.
Semua mulai membuat teori:
-
Ada yang bilang bubur itu dikasih mantra rahasia.
-
Ada yang yakin Gumilar sebenarnya keturunan dukun kuliner.
-
Bahkan, Dito meyakini ini adalah bentuk ujian semesta, dan siswa yang berhasil memecahkan kode akan mendapatkan “pencerahan batin”.
Saking hebohnya, Bu Widya sampai manggil Gumilar ke ruang guru.
“Gumilar… ini ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba kelasmu jadi tempat seminar spiritual?”
Gumilar hanya bisa garuk kepala dan berkata jujur, “Saya cuma mau minta maaf, Bu. Saya awalnya cuma pengen ngasih bubur, biar kelas akur…”
Bu Widya menatapnya lama, kemudian menghela napas pelan.
“Ya sudah. Tapi kalau minggu depan ada yang ngaduk kacang hijau pakai lilin aromaterapi, saya gak tanggung jawab.”
Di kelas, “tim penyelidik” bubur makin gencar. Mereka bahkan mulai buka pendaftaran untuk jadi anggota resmi. Ada formulir. Ada lencana kertas. Dan tentu saja: password masuk yang absurd—“rasa adalah rahasia”.
Dan di tengah semua kegilaan itu, satu hal jadi jelas.
Bubur itu gagal. Rasanya gak karuan. Isinya ngawur. Tapi dari satu panci itu, tercipta kenangan yang gak akan pernah bisa digantikan. Bahkan mungkin lebih berkesan daripada lomba 17-an atau pensi sekolah.
Dan ini belum selesai.
Karena satu petunjuk muncul diam-diam di laci meja Miko keesokan harinya.
Secarik kertas kecil. Tertulis:
“Bubur itu bukan hanya awal. Temukan ‘yang tersembunyi’ di bawah papan tulis…”
Dan saat Miko membaca itu, senyum jahilnya muncul lagi.
“Siap, detektif 9C. Kita belum selesai…”
Geng Bubur Cabai Manis dan Legenda 9C
Miko berdiri di depan papan tulis sambil memegang secarik kertas misterius yang muncul entah dari mana. Di belakangnya, tim detektif kelas 9C—yang kini telah berganti nama jadi “Geng Bubur Cabai Manis”—menunggu dengan napas tertahan.
Mereka semua tahu, apapun yang ada di bawah papan tulis, bisa jadi adalah jawaban dari segala kegaduhan dua hari terakhir ini. Kode rahasia. Konspirasi bubur. Gumilar yang hampir drop out karena bubur rasa balado. Semuanya akan berpuncak… di sini.
“Siap-siap,” kata Miko.
“Buat apa?” bisik Cempaka.
“Siapa tahu ada jebakan. Aku nonton film detektif, clue terakhir tuh selalu bahaya.”
Cempaka melirik sinis. “Ini bukan Indiana Jones, Mi. Ini kelas. Dan clue-nya bubur.”
Dengan gaya penuh teatrikal, Miko jongkok, lalu perlahan menggeser papan tulis kayu tua yang sudah mulai copot sekrupnya.
Dan di sanalah, menempel di tembok kusam dengan selotip bening yang hampir lepas, selembar kertas bertuliskan tangan:
“Selamat! Kamu telah menemukan inti dari semua ini.
Bubur ini tak pernah punya rahasia.
Tapi kamu punya. Kalian semua punya.
Kalian bisa mengubah apapun—bahkan kegagalan—jadi cerita.
Dan itu lebih dari cukup.”
Semua diam. Bahkan Cempaka berhenti ngunyah biskuit.
Lalu Dinda berbisik, “Ini siapa yang nulis?”
Miko memandangi kertas itu dalam-dalam. “Kayaknya… ini tulisan Gumilar.”
Sontak semua menoleh ke arah Gumilar yang lagi duduk santai di bangkunya, pakai headset, nyengir santai sambil nyemil keripik.
“Aku? Wah… bisa jadi. Bisa juga bukan,” jawabnya misterius.
“Jangan main-main, Gil. Ini penting!”
“Ya aku juga gak yakin, aku nulis macem-macem kemarin buat tugas Bahasa Indonesia. Mungkin aja nyasar ke situ.”
Tawa langsung meledak di seluruh kelas. Cempaka bahkan sampai ngelap air mata karena ketawa terlalu keras.
“Jadi… semua kekacauan ini, investigasi, kode, teori-teori aneh… cuma karena tugas Bahasa Indonesia yang nyasar?!”
“Ya… bisa jadi,” jawab Gumilar sambil nyengir.
Tapi anehnya, gak ada yang kecewa. Justru, semua merasa lega.
Ternyata, bukan soal kode atau hadiah yang bikin mereka semangat. Tapi proses mereka bareng-bareng—nyari clue, bikin teori gila, ngelawak bareng, dan ribut satu kelas cuma karena satu panci bubur kacang hijau.
Dan akhirnya, hari itu ditutup dengan keputusan paling random dalam sejarah kelas 9C:
Mereka mengadakan Upacara Bubur Penutupan.
Semua berdiri mengelilingi meja yang kini di atasnya ada mangkuk kosong, sendok plastik warna-warni, dan satu lilin aroma terapi—ide absurd dari Dito.
Miko berdiri di tengah, membaca “manifesto bubur” yang ia tulis di kertas binder:
“Bubur ini memang gagal. Tapi pertemanan kita nggak.
Dan dari bubur ini, kita belajar bahwa rasa aneh bisa jadi perekat.
Kayak hubungan manusia.
Kadang asin, kadang manis, tapi kalau dicampur, bisa jadi cerita.”
Semua tepuk tangan. Bahkan Pak Dadang, guru matematika yang kebetulan lewat, ikutan tepuk tangan padahal gak ngerti apa-apa.
Hari itu jadi momen yang gak bakal dilupain siapapun.
Dan beberapa minggu kemudian, ketika majalah dinding sekolah terbit edisi khusus, halaman tengahnya dipenuhi foto-foto kegiatan kelas 9C:
-
Gumilar dengan celemek dan wajah panik.
-
Rara yang tertawa sambil menunjuk ke panci.
-
Miko memegang spidol di depan papan bertuliskan “Pencarian Dimulai”.
-
Dan tentu saja, foto seluruh kelas dengan tulisan di bawahnya:
“Legenda Bubur Kacang Hijau 9C – Karena tawa itu lebih enak dari rasa.”
Sejak saat itu, setiap angkatan baru pasti dengar cerita tentang “Bubur Legendaris” dari kelas 9C. Sebuah cerita yang gak pernah tertulis resmi di buku sejarah sekolah, tapi selalu diceritain turun-temurun—dari kakak kelas ke adik kelas—dengan versi yang makin absurd tiap tahunnya.
Dan di antara semua kisah itu, satu hal selalu sama:
Bahwa di kelas 9C, pernah ada satu panci bubur…
yang isinya bukan cuma kacang hijau,
tapi juga tawa, kegilaan, dan kenangan yang gak akan pernah basi.
TAMAT.
Kadang, momen paling berkesan di hidup itu gak datang dari hal besar, tapi justru dari kejadian receh yang gak direncanain—kayak semangkuk bubur kacang hijau yang gagal total tapi berhasil nyatuin satu kelas.
Cerita ini ngingetin kita kalau tawa bareng sahabat itu gak pernah basi, dan kenangan paling lucu biasanya datang dari hal-hal yang paling gak masuk akal. Jadi, jangan remehkan kekuatan bubur… siapa tahu, itu awal dari legenda baru di hidup kamu!